Post on 24-Mar-2019
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan menyajikan data kajian pustaka yang di antaranya adalah hakikat
pendidikan, model pembelajaran PBL dan penerapan PBL dalam pembelajaran.
A. Pengertian dan Hakikat Pendidikan Agama Islam
Secara khusus Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing yang
belum kepada kedewasaan dan perumusan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik
menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Sedangkan, pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau
semua usaha generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha
untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah
maupun rohaniah.
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi1, pendidikan Islam mengantarkan manusia
pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah”. Selanjutnya
Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan
cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan
mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual
dan sangat sadar akan nilai etis Islam.
Adapun para ahli pendidikan Islam sudah sejak lama mencoba membuat
rumusan definisi mengenai pendidikan Islam, diantaranya:
1 An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (Bandung: CV. Diponegoro, 1988)
1. Omar Mohammad al-Toumy al-Saibany2, Pendidikan adalah usaha mengubah
tingkah laku individu manusia dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan
kemasyarakatannya dan dalam kehidupan alam sekitarnya melalui proses pendidikan
2. Abdul Fatah3, Pendidikan adalah proses yang mengarahkan manusia kepada
kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan
dasar dan kemampuan ajarnya.
3. Hasan Langgulung4, Pendidikan Islam adalah suatu proses spritual, akhlak,
intelektual dan social yang berusaha membimbing manusia dan memberinya
nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan untuk
mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.
Dengan demikian pendidikan Islam adalah segala upaya atau proses pendidikan
yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial
untuk mengarahkan potensi baik yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual
dan spritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kehidupan di dunia dan akhirat.
Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar
“transfer of knowledge” ataupun “transfer of training”, tetapi lebih merupakan suatu
sistem yang ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang
terkait secara langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan
Islam merupakan suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan
seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Maka sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang
membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah.
Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka
2 Al-Syaibany, Omar Muhammad al-Thoumy, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulang Bintang, 1979) 3 Jalal, Abdul Fattah, Azas-Azas Pendidikan Islam, Terj. Harry Noer Ali. (Bandung: CV. Diponegoro, 1988) 4 Langgulung, Hasan, Azas-Azas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1992)
yang harus diperhatikan adalah “nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-
sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya
sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an
dan Hadits.
Jadi, dapat dikatakan bahwa “konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya
melihat pendidikan itu sebagai upaya “mencerdaskan” semata (pendidikan intelek,
kecerdasan), melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat
eksistensinya. Maka, pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait
dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan (eksistensi) manusia.
Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan
pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah dan perbedaanya
adalah terletak pada kadar ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai bentuk perbedaan
secara kualitatif.
a. Istilah Pendidikan Dalam Islam
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada tiga
pengertian yakni; al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut yang
populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah istilah al-tarbiyah.
Sedangkan dua istilah lainnya jarang sekali digunakan.
Kendatipun demikian dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut memiliki
kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara
tekstual maupun kontekstual. Berikut akan disampaikan sedikit uraian dan analisis
terhadap ketiga terma tersebut:
a) Al-Tarbiyah
Penggunaan istilah al-Tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini
memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna
tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian
atau eksistensinya.
Dalam penjelasan lain, kata al-Tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu:
Pertama, rabba-yarbu yang berarti bertambah, tumbuh dan berkembang (QS. Ar-
Ruum/30 : 39). Kedua, rabiya-yarba berarti menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu
berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, dan memelihara.
Kata rabb sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Fatihah/1 : 2 (alhamdu
li Allahi rabb al-‘alamin) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan
istilah al-Tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari
akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah Pendidik Yang
Maha Agung bagi seluruh alam semesta.
Uraian di atas, secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses pendidikan
Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai
“pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam konteks yang luas,
pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-Tarbiyah terdiri atas
empat unsur pendekatan, yaitu: Memelihara dan menjaga fitrah anak menjelang
dewasa (baligh), mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan,
mengembangkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan dan melaksanakan
pendidikan secara bertahap.
Penggunaan kata al-Tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam
dapat dipahami dengan merujuk salah satu firman Allah dalam surah Al-Israa
ayat 24 yang artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
b) Istilah al-Ta’lim
Istilah al-Ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan
pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding
dengan al-Tarbiyah maupun al-Ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-
Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu
tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
Argumentasinya didasarkan dengan merujuk pada ayat yang artinya:
Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah
mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-
Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-
Baqarah : 151).
Kalimat wa yu’allimu hum al-kitab wa al-hikmah dalam ayat tersebut
menjelaskan tentang aktivitas Rasulullah Saw mengajarkan tilawat al-Quran
kepada kaum Muslimin. Menurut Abdul Fattah Jalal, apa yang dilakukan Rasul
bukan hanya sekedar membuat umat Islam bisa membaca, melainkan membawa
kaum Muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian diri) dari
segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta
mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui.
Oleh karena itu, makna al-Ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan
lahiriah, akan tetapi mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan,
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk
melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berperilaku.
Kecenderungan Abdul Fattah Jalal sebagaimana dikemukakan di atas,
didasarkan pada argumentasi bahwa manusia pertama yang mendapat pengajaran
langsung dari Allah adalah Nabi Adam as. Hal ini secara eksplisit disinyalir
dalam Q.S Al Baqarah/2: 31. Pada ayat tersebut dijelaskan, bahwa penggunaan
kata ‘allama untuk memberikan pengajaran kepada Adam as memiliki nilai lebih
yang sama sekali tidak dimiliki para malaikat. Dalam argumentasi yang agak
berbeda, istilah al-ilmu (sepadan dengan al-ta’lim) dalam Al Quran tidak terbatas
hanya berarti ilmu saja. Lebih jauh kata tersebut dapat diartikan ilmu dan amal.
c) Istilah al-ta’dib
Menurut al-Attas5, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan
pendidikan Islam adalah al-ta’dib. Konsepsi ini didasarkan kepada hadist Nabi
yang artinya: “Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”.
(HR. al-‘Askary dari Ali r.a). Hadits di atas menggunakan kata addaba yang
dimaknai oleh al-Attas sebagai “mendidik”.
Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadits tersebut bisa dimaknai
kepada Tuhanku telah membuatku mengenali dan membuatku dengan adab yang
dilakukan secara berangsur-angsur ditanamkan-Nya ke dalam diriku, tempat-
tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal itu
membimbingku ke arah pengakuan dan pengenalan tempat-Nya yang tepat di
dalam tatanan wujud dan kepribadian, serta sebagai akibatnya Ia telah membuat
pendidikanku yang paling baik.
Berdasarkan batasan tersebut, maka al-ta’dib berarti pengenalan dan
pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia
tentang tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.
Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah
pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan
kepribadiaannya.
5 Al-Attas, Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Bagir. (Bandung: Mizan, 1994)
Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung
secara kontinyu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan
fungsi yang harus diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia
seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas
dan fungsi pendidikan memiliki sasaran agar manusia senantiasa tumbuh dan
berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya6.
Dari berbagai istilah di atas, dapat diambil suatu benang merah bahwa
Pendidikan dalam perspektif Islam sangat penting agar manusia senantiasa
berjalan ke arah kebaikan dan terhindar dari kejahatan atau keburukan. Allah
mengungkapkan dalam firman-Nya surah As-Syam ayat 7-8 yang artinya: Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
b. Hakikat Pendidikan Islam
Kalangan ahli pendidikan berpendapat, secara pedagogis manusia dapat
disebut sebagai homo-educandum, makhluk yang dapat dididik. Melalui pendidikan
inilah manusia dapat dibentuk, dirubah dan dikembangkan kearah yang lebih baik.
Pendidikan berfungsi memanusiakan manusia yang sebenarnya. Pendidikan
seyogyanya berusaha untuk mengembangkan potensi manusia secara baik dan benar,
yaitu sesuai dengan fitrahnya. Fitrah manusia sebagai homo divinans (makhluk ber
Tuhan) dan makhluk religius (makhluk beragama)7.
Fitrah manusia sebagai makhluk beragama sudah diisyaratkan oleh Allah Swt
melalui firman-Nya dalam Al Quran surah al-A’raf ayat 172: yang artinya: Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 6 Achwan, Roihan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan 7 An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (Bandung: CV. Diponegoro, 1988)
“Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami),
Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Ayat di atas membuktikan, bahwa Allah mengikat janji kepada manusia agar
mengakui Allah ini sebagai illahnya atau sesembahannya, serta telah membuat
perjanjian kesaksian (amanat) dengan manusia agar berlaku adil dan baik hati.
Meskipun manusia sudah memiliki fitrah beragama, namun manusia tetap
memerlukan pendidikan dari lingkungannya, baik lingkungan keluarga (orang tua),
guru maupun masyarakat.
Tanpa adanya pendidikan dikhawatirkan fitrah beragama sebagai sifat bawaan
manusia akan berjalan liar atau tidak sesuai dengan tujuan Allah menciptakan
manusia. Sebagaimana yang terungkap dalam firman-Nya dalam Al Quran surah Adz-
Dzariyaat ayat 56: yang artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Manusia dibekali oleh Allah potensi berupa akal dan hati nurani. Melalui akal
dan hati nurani inilah yang bisa mengukur kadar baik dan buruk sesuatu hal.
Landasannya adalah ajaran agama, sebab tolok ukur perbuatan baik dan buruk yang
sebenarnya adalah bersumber dari ajaran agama yang diajarkan Allah kepada
manusia. Apa yang dikatakan baik oleh Allah itulah kebaikan yang sesungguhnya,
begitu pula sebaliknya.
Agama Islam adalah agama yang universal, yang mengajarkan kepada umat
manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik dunia maupun akhirat. Islam
mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan pendidikan karena dalam
perspektif Islam, pendidikan juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak
harus dipenuhi demi mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat8.
Dengan pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu
pengetahuan untuk bekal kehidupannya.
Allah berfirman dalam surat Yasin ayat 36 yang artinya: Maha suci Tuhan
yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui. Seandainya tidak difirmankan “dari apa yang tidak mereka ketahui” tentu
saja akal dan ilmu pengetahuan manusia akan berhenti sebatas “yang diketahuinya
saja”.
Dengan adanya ayat ini, maka manusia menjadi sadar bahwa di samping hal-
hal “yang diketahuinya” juga ada masalah lain “yang tidak diketahuinya”. Dengan
demikian segala upaya yang timbul dari akal manusia pasti membenarkan ayat ini
karena merupakan salah satu bukti bahwa Al Quran mengandung ilmu pengetahuan.
Surah yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw
menekankan perlunya orang belajar baca tulis dan ilmu pengetahuan. Sebagaimana
firman Allah dalam surah al Alaq ayat 1-5 yang artinya: Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.
Dari ayat di atas jelaslah bahwa agama Islam mendorong umatnya agar
menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan dilanjutkan dengan
belajar berbagai macam ilmu pengetahuan.
Islam selain menekankan kepada umatnya untuk belajar juga menyuruh untuk 8 Abdullah, Abdurrahman Saleh, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Quran, Cet.III. (Jakarta; Rineka Cipta, 2005)
mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Jadi Islam mewajibkan umatnya untuk
belajar dan mengajar. Melakukan proses belajar dan mengajar adalah bersifat
manusiawi, yakni sesuai dengan harkat kemanusiaannya dalam kontek manusia
sebagai makhluk yang dapat dididik dan dapat mendidik.
Bahkan banyak ayat Al Quran dan Hadits yang menjelaskan hal tersebut,
antara lain: Surah At Taubah ayat 122 yang artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin
itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya9.
Surah Az-Zumar ayat 9 yang artinya: (apakah kamu Hai orang musyrik yang
lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud
dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.
Adapun Surat Al-Mujaadilah ayat 11 yang artinya: Hai orang-orang beriman
apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Selain itu Rasulullah Saw juga bersabda yang artinya: “Belajarlah dan kemudian
9 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II. (Jakarta: Ciputat Press, 2005)
ajarkanlah kepada orang-orang lain, serta rendahkanlah dirimu kepada guru-gurumu
serta berlaku lemah lembutlah kepada murid-muridmu”. (HR. Thabrani).
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas
tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia
yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan
dirinya sebagai hamba yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya
sebagai khalifah dimuka bumi, sebagaimana yang tertuang dalam firman-Nya yang
artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya
aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah : 30)10
Selanjutnya Allah berfirman yang artinya: Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat
bodoh. (QS. Al-Ahzab : 72)
Oleh karena itu pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh
potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertaqwa, berfikir dan berkarya,
sehat, kuat dan berketerampilan tinggi untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya.
Pendidikan diharapkan tidak hanya fokus pada masalah intelektual tetapi juga
emosional dan spritual.
10 Al-Qurthuby, Ibn Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary, Tafsir al-Qurthuby, Juz I. (Kairo: Dar al-Sya’biy, tt)
Walaupun kecerdasan intelektual (IQ) memiliki kedudukan dan posisi yang
sangat penting, akan tetapi tanpa kehadiran kecerdasan emosional (EQ) dan
kecerdasan spritual (SQ) yang merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan
perasaan yang bersumber pada hati, tidak akan optimal dan bermakna.11 Banyak
orang berusaha untuk merubah dunia, tetapi sedikit sekali orang terlebih dahulu
berusaha merubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik dan shaleh. Orang sukses
sejati adalah orang yang terus menerus berusaha membersihkan hati.
Hakikat Pendidikan Islam bagi Pengembangan Pendidikan di Indonesia diakui
atau tidak, kualitas kepribadian anak didik kita belakangan ini kian memprihatinkan.
Maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perilaku
mereka yang cenderung anarkis, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan
suburnya pergaulan bebas di kalangan mereka adalah bukti bahwa pendidikan kita
telah gagal membentuk akhlak anak didik. Pendidikan kita selama ini memang telah
melahirkan alumnus yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan formal yang
diikutinya.
Akan tetapi, pendidikan yang ada tidak berhasil menanamkan nilai-nilai
kebajikan. Kita lihat berapa banyak lulusan pendidikan memiliki kepribadian yang
justru merusak diri mereka. Tampak dunia pendidikan di Indonesia masih dipenuhi
kemunafikan karena yang dikejar hanya gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang
membawa peserta didik pada kesadaran penuh untuk mencari ilmu pengetahuan
dalam menjalani realitas kehidupan.
Pendidikan semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab orientasinya semata-
mata sebagai sarana mencari kerja. Kenyataannya yang dianggap sukses dalam
pendidikan adalah mereka yang dengan sertifikat kelulusannya berhasil menduduki 11 Karim, M. Rusli, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Cet. Pertama (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991)
posisi pekerjaan yang menjanjikan gaji tinggi. sementara nilai-nilai akhlak dan budi
pekerti menjadi `barang langka’ bagi dunia pendidikan12.
Melihat fenomena di atas, pendidikan Islam berupaya untuk menumbuhkan
pemahaman dan kesadaran pada diri manusia, maka sangat urgen sekali untuk
memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang
diproses kearah kebahagiaan dunia dan akhirat, maka pandangan Islam tentang
manusia antara lain:
Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik, yaitu
sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau
dengan “potensi” tertentu. Dalam al-Qur'an, dikatakan “tegakkan dirimu pada agama
dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan
oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya. (ar-Rum : 3013).
Dengan demikian, manusia pada mulanya dilahirkan dengan “membawa
potensi” yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini,
“berbeda dengan teori tabularasa yang menganggap anak menerima “secara pasif”
pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung “potensi bawaan”
aktif (innate patentials, innate tendencies) yang telah di berikan kepada setiap manusia
oleh Allah.
Bahkan dalam al-Quran, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah
mengadakan “transaksi” atau “perjanjian” dengan Allah yaitu mengakui keesaan
Tuhan,14 firman Allah surat al-A’raf : 172, "Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri
12 Muhadjir, Noeng, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, Edisi IV, Cet. I. (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1987) 13 Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Quran al-Hakim; Tafisr al-Manar, Juz VII. (Beirut: Dar al-Fikr, tt) 14 Achwan, Roihan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume 1, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1991)
sendiri; "Bukankah Aku Tuhanmu?" firman Allah. Mereka menjawab; "ya kami
bersaksi" yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak
mengetahui hal ini”.
Apabila kita memperhatikan ayat ini, memberi gambaran bahwa setiap anak
yang lahir telah membawa “potensi keimanan” terhadap Allah atau disebut dengan
“tauhid”. Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan intelegensi
atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya.
Selain itu, dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan
sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun
cara pengarahan perkembangannya. Misalnya saja: tentang tanggung jawab, bahwa
manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut
kodrat atau fitrah-nya (pada al-Mu’minun:115 dan al-Baqarah: 286).
Selain itu juga manusia pada hakikat dan menurut kejadiannya bersedia dan
sanggup memikul amanah (pada al-Ahzab : 72). Di samping itu, hal yang juga penting
implikasinya bagi pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat
pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul
sendiri tanpa melibatkan orang lain (pada Faathir:18). Sifat lain yang ada pada
manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan (fasih perkataan -
kesadaran nurani) yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui
kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik (pada ar-Rahman:3-4).
Pada hadits Rasulullah, "barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus
ditempuh dengan ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagiaan akhirat juga harus
dengan ilmu, dan barang siapa yang mencari keduanya juga harus dengan ilmu”. Dari
pandangan ini, dapat dikatakan bahwa tugas dan fungsi pendidikan adalah
mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal
mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik.
Kedua, peranan pendidikan atau pengarah perkembangan. Potensi manusia
yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan
tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau
pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik
seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia
Muslim yang baik.
Ketiga, profil manusia Muslim. Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah
ketaqwaan kepada Allah. Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara
sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan.
Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang
mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya pada proses
belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi
bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam
lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus
didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif (student active learning).
Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada
asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa
“potensi bawaan” seperti potensi “keimanan”, potensi untuk memikul amanah dan
tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Karena dengan potensi ini,
manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan
dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim
yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah.
B. Model Pembelajaran Berbasis Masalah [Problem Based Learning (PBL)]
Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang
melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah
sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah
tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah15. PBL atau
pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar
tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.
Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata
lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu
pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Kendati demikian, seringkali
penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi
pembelajaran.
Teori pembelajaran adalah fakta, konsep, prinsip, dan prosedur pembelajaran yang
telah diuji kebenarannya melalui pendekatan ilmiah (behavioristik, kognitivistik,
konstruktivistik, perilaku sosial/social behavior). Disain pembelajaran adalah upaya
untuk merencanakan dan menyusun, melaksanakan proses pembelajaran, dan menilai
hasil pembelajaran secara sistematis.
Pendekatan pembelajaran adalah muatan-muatan etis-paedagogis yang menyertai
kegiatan proses pembelajaran yang berisi religius/spiritual, Rasional/intelektual,
Emosional, Fungsional, Keteladanan, Pembiasaan, dan Pengalaman. Strategi
15 Kamdi, Waras, dkk. 2007. Model-model pembelajaran inovatif. Malang: UM Press, hal.77
pembelajaran adalah cara-cara tertentu yang digunakan secara sistematis & prosedural
dalam kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar.
Contoh : contextual teaching-learning, Quantum teaching-learning, Active learning,
Mastery learning, Discovery-inquiry learning, cooperative Learning.
Metode pembelajaran adalah cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil belajar
yang berbeda dalam kondisi yang berbeda berdasarkan kompetensi pembelajaran yang
telah ditetapkan ( Ceramah, tanya jawab, diskusi, dll ). Model pembelajaran kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur secara sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran (dick & carey, weils, benety,
dll)
Problem Based Learning (PBL) atau pembelajaran berbasis masalah merupakan
salah satu dari model pembelajaran yang berasosiasi dengan pendekatan kontekstual.
Nurhadi mengatakan pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model
pembelajaran yang meng-gunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa
untuk belajar tentang cara berpikir dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran16.
Secara garis besar PBL terdiri atas menyajikan kepada siswa situasi masalah yang
otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan mereka untuk melakukan
penyelidikan dan inkuiri. PBL digunakan untuk merancang kemampuan berpikir tingkat
tinggi siswa dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di dalamnya bagaimana siswa
belajar.
Berdasarkan dua penjelasan di atas diketahui bahwa pembelajaran dengan model
PBL diawali dengan penyajian suatu masalah yang ada dalam kehidupan sekitar (nyata)
16 Nurhadi dan Senduk, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK Malang.
Malang: Universitas Negeri Malang, hal. 56
untuk menimbulkan rasa ingin tahu siswa dan ikut terlibat aktif dalam pembelajaran
dalam pemecahan masalah tersebut melalui suatu penyelidikan. Penyajian masalah yang
sesuai dengan situasi nyata memotivasi siswa untuk memecahkan masalah sehingga PBL
diterapkan untuk mengembangkan pembelajaran yang berfokus pada siswa (student
centered).
Delisle mengemukakan sebagai berikut:
Students make a greater attempt to understand and remember when they see connections between the material they study and their own lives. Students constantly ask why they need to study a subject or what use the information will be to them. PBL answers these questions by placing learning in the context of real life. Students acquire new knowledge or skills to solve a problem or complete a task that is highly relevant to their lives. Problem-based learning deals with problems that are as close to reallife situations as possible.17 Menurut Delisle, timbul rasa ingin mencoba yang besar saat siswa dihadapkan
dengan materi masalah dalam kehidupan sehari-harinya. Rasa ingin tahu tersebut
membuat siswa bertanya, mencari informasi kemudian mengingatnya dan memahami
masalah tersebut untuk mendapatkan penyelesaian. PBL merupakan model pembelajaran
dengan belajar menggunakan konteks kehidupan nyata. Siswa akan mendapatkan
pengetahuan baru dari masalah yang muncul dari kehidupannya.
PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut.
1. Belajar dimulai dengan suatu masalah,
2. Memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa,
3. Mengorganisasikan di seputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu,
4. Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan
menjalankan proses belajar mereka sendiri,
5. Menggunakan kelompok kecil, dan
17 Delisle, Robert. 1997. How To Use Problem Based Learning In The Classroom. Alexandria: Association for
Supervision and Curriculum Development, Hal. 08
6. Mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau
kinerja18.
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL
dimulai oleh adanya masalah yang dalam hal ini dapat dimunculkan oleh siswa ataupun
guru, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah
ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memcahkan masalah tersebut. Siswa
dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka
terdorong berperan aktif dalam belajar.
Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa
melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang
beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, di samping
pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat
hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data,
menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan
membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan
pengalaman yang kaya pada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat
meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan
mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.
PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja
teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang
dipilih sehingga siswa tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan
masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu,
siswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi
pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan
18 Kamdi, Waras, dkk. 2007. Model-model pembelajaran inovatif. Malang: UM Press,hal. 76-78
ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan
pola berpikir kritis.
PBL dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya
kepada siswa. PBL dikembangkan terutama untuk membantu siswa mengembangkan
kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual yakni belajar
tentang berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata
atau simulasi dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri. 19
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah apalagi kalau masalah
tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidak seimbangan kognitif pada diri
siswa.20 Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-
macam pertanyaan di sekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan….”, “mengapa
bisa terjadi…”, “bagaimana mengetahuinya…” dan seterusnya. Bila pertanyaan-
pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri siswa maka motivasi intrinsik siswa untuk
belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator
untuk mengarahkan siswa tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan
masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya.
Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran
dapat mendorong siswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini
sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan
pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa PBL sebaiknya
digunakan dalam pembelajaran karena dengan PBL akan terjadi pembelajaran yang
bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah akan membuat mereka
19 Nurhadi dan Senduk, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK Malang.
Malang: Universitas Negeri Malang, hal. 57 20 Baden, Maggie Savin and Claire. 2004. Foundation Of Problem Based Learning. New York: Great Britain
menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang
diperlukannya.
Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin
bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi dimana konsep
tersebut diterapkan. Selain itu melalui PBL ini siswa dapat mengintegrasikan
pengetahuan dan ketrampilan secara berkesinambungan dan mengaplikasikannya dalam
konteks yang relevan.
Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan aplikasi suatu konsep atau teori
yang mereka temukan selama pembelajaran berlangsung. PBL juga dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal
untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja
kelompok.
Wayan dalam Kamdi mengemukakan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam
pembelajaran karena:21
1. dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa yang belajar memecahkan
masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha
mengetahui pengetahuan yang diperlukan,
2. dalam situasi PBL, siswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara
simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan,
3. PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa
dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan
interpersonal dalam bekerja kelompok.
Kutipan ini menerangkan dengan jelas bahwa siswa akan mendapatkan pelajaran
yang lebih bermakna saat mereka berhadapan dengan suatu permasalahan nyata.
21 Kamdi, Waras, dkk. 2007. Model-model pembelajaran inovatif. Malang: UM Press, hal. 79
Permasalahan tersebut diselesaikan berdasarkan pemahaman konsep yang dibangun,
sehingga mereka tidak hanya belajar teori yang tidak nyata dan belum dipahami.
Pembelajaran dengan menggunakan model PBL ini sangat cocok diterapkan
dalam proses belajar PAI, karena model PBL berusaha membantu siswa menjadi
pembelajar yang mandiri dan otonom dengan menggunakan konteks nyata yang sering
dijumpai. Bimbingan guru yang berulang-ulang mendorong dan mengarahkan siswa
untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka
sendiri. Seperti pendapat yang diajukan oleh John Dewey bahwa siswa sebaiknya
didorong untuk terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu
mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual dan sosial.
Pada pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk menemukan pemecahan
masalah yang disajikan, kemudian dianalisis dan dicari informasi sebanyak-banyaknya
sehingga didapatkan solusi yang tepat dari permasalahan yang ada. Siswa diharapkan
menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat hubungan pembelajaran
PAI dengan aspek-aspek yang ada di lingkungannya, sehingga dapat mengembangkan
keterampilan intelektual dan dapat meningkatkan prestasi belajar PAI siswa.
C. Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) merupakan metode pembelajaran yang
menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan baru. Seperti halnya CL, metode ini juga berfokus pada
keaktifan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Peserta didik tidak lagi diberikan
materi belajar secara satu arah seperti pada metode pembelajaran konvensional.
Dengan metode ini, diharapkan peserta didik dapat mengembangkan pengetahuan
mereka secara mandiri. PBL juga memberi kesempatan peserta didik untuk mempelajari
teori melalui praktek. Peserta didik bukan hanya perlu mencari konklusi tetapi juga perlu
menganalisis data.
Boud dan Felleti dalam Delisle menyatakan bahwa “Problem Based Learning is
a way of constructing and teaching course using problem as a stimulus and focus on
student activity”22. PBL adalah sebuah metode pembelajaran yang didasarkan pada
prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan
atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru. Dengan demikian, masalah yang ada
digunakan sebagai sarana agar anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong
keilmuannya.
PBL adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan
masalah dalam kehidupan nyata lalu dari masalah ini mahasiswa dirangsang untuk
mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka
punyai sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk
pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil
merupakan poin utama dalam penerapan PBL.
Tidak selamanya proses belajar dengan metode PBL berjalan dengan lancar. Ada
beberapa hambatan yang dapat muncul. Yang paling sering terjadi adalah kurang
terbiasanya peserta didik dan pengajar dengan metode ini. Peserta didik dan pengajar
masih terbawa kebiasaan metode konvensional, pemberian materi terjadi secara satu arah.
Faktor penghambat lain adalah kurangnya waktu. Proses PBM terkadang membutuhkan
waktu yang lebih banyak. Peserta didik terkadang memerlukan waktu untuk menghadapi
22 Delisle, Robert. 1997. How To Use Problem Based Learning In The Classroom. Alexandria: Association for
Supervision and Curriculum Development
persoalan yang diberikan. Sementara, waktu pelaksanaan PBM harus disesuaikan dengan
beban kurikulum.
Berikut langkah-langkah PBM. Guru memulai sesi awal PBM dengan presentasi
permasalahan yang akan dihadapi oleh siswa. Siswa terstimulus untuk berusaha
menyelesaikan permasalahan di lapangan. Siswa mengorganisasikan apa yang telah
mereka pahami tentang permasalahan dan mencoba mengidentifikasi hal-hal terkait.
Siswa berdiskusi dengan mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang tidak
mereka pahami. Guru mendampingi siswa untuk fokus terhadap pertanyaan yang
dianggap penting. Setelah periode self-study, sesi kedua dilakukan. Pada awal sesi ini
siswa diharapkan dapat membagi pengetahuan baru yang mereka peroleh. Siswa menguji
validitas dari pendekatan awal dan menyaringnya. Siswa berlatih mentransfer
pengetahuan dalam konteks nyata melalui pelaporan di kelas.
Dengan menggunakan pendekatan PBL ini, siswa akan bekerja secara kooperatif
dalam kumpulan untuk menyelesaikan masalah sebenarnya dan yang paling penting
membina kemahiran untuk menjadi siswa yang belajar secara sendiri.23 Siswa akan
membina kemampuan berpikir secara kritis secara kontinu berkaitan dengan ide yang
dihasilkan serta yang akan dilakukan. Dalam melaksanakan proses pembelajaran PBL ini,
Trianto telah menggariskan beberapa ciri-ciri utama seperti berikut:24
1. Pembelajaran berpusat dengan masalah.
2. Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin akan
dihadapi oleh siswa dalam kerja profesional mereka di masa depan.
23 Johnson, Elaine B. 2007. Contextual Teaching And Learning Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar
Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: penerbit MLC 24 Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Interaktif Berorientasi Konstruktivis. Jakarta: Prestasi Pustaka
3. Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh siswa saat proses pembelajaran disusun
berdasarkan masalah.
4. Para siswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
5. Siswa aktif dengan proses bersama.
6. Pengetahuan menyokong pengetahuan yang baru.
7. Pengetahuan diperoleh dalam konteks yang bermakna.
8. Siswa berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.
9. Kebanyakan pembelajaran dilaksanakan dalam kelompok kecil.
D. Penerapan PBL Dalam Praktek Pembelajaran
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah pendekatan
pengajaran yang memberikan tantangan bagi siswa untuk mencari solusi dari
permasalahan dunia nyata (terbuka) secara individu maupun kelompok. Berpikir
menggunakan aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah,
membuat keputusan, atau memenuhi keinginan untuk memahami, mencari jawaban
sebagai sebuah pencapaian makna.25
PBL memberi kesempatan pada siswa untuk bertanggung jawab pada proses
pembelajaran mandiri sekaligus mengembangkan keterampilan berpikir dan ketrampilan
evaluasi melalui analisa permasalahan kehidupan nyata. Model pembelajaran ini baik
diterapkan pada mata pelajaran PAI karena siswa tidak hanya mendapatkan konsep
namun mereka mendapatkan pengalaman dari penyelidikan yang dilakukan. Sesuai
pendapat yang dikemukakan oleh Barr dan Tagg (1995) dalam Baden bahwa pengetahuan
25 Johnson, Elaine B. 2007. Contextual Teaching And Learning Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar
Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: penerbit MLC, hal. 187
akan tetap berada pada pikiran seseorang, jika pengetahuan yang didapatkan diperoleh
dari pengalaman yang telah disusun dan diciptakannya26.
Berdasarkan pendapat para ahli PBL di atas, pengetahuan yang diperoleh dari
pengalaman akan tetap diingat siswa. Pengetahuan tersebut berasal dari peristiwa atau
masalah yang memerlukan penyelesaian. Penyelidikan dilakukan untuk memperoleh
penyelesaian, dengan menyusun bagian-bagian menjadi sebuah kesatuan sehingga
diciptakan sebuah pengetahuan baru bagi siswa atau sebagai bukti dari pengetahuan yang
telah dimiliki oleh siswa.
Ada beberapa langkah cara menerapkan PBL dalam pembelajaran27. Secara umum
penerapan model ini dimulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari
pemecahannya oleh siswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa atau mungkin juga
diberikan oleh guru. Siswa akan memusatkan perhatiannya di sekitar masalah tersebut.
Dengan begitu siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah
yang menjadi pusat perhatiannya.
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode
ilmiah. Dengan demikian siswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan
terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar
melakukaan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa. Adapun langkah-langkah
pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL ada delapan tahapan yaitu:28 (1)
identifikasi masalah, (2) mengum-pulkan data, (3) analisis data, (4) pemecahan masalah
berdasarkan analisis data, (5) memilih cara pemecahan masalah, (6) merencanakan
26 Baden, Maggie Savin and Claire. 2004. Foundation Of Problem Based Learning. New York: Great
Britain,hal.82 27 Delisle, Robert. 1997. How To Use Problem Based Learning In The Classroom. Alexandria: Association for
Supervision and Curriculum Development 28 Sudarman, 2007, Problem Based Learning, Suatu Metode Pembelajaran Untuk Mengembangkan dan
Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah, Samarinda, Jurnal Pendidikan Inovatif Vol 2 No. 2. Universitas Samarinda.
penerapan pemecahan masalah, (7) ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8)
melakukan tindakan untuk pemecahan masalah. Dalam proses pemecahan masalah sehari-
hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula ketrampilan
seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut.
Langkah mengidentifkasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam
PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang
mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi masalah bagi guru dan siswa. Artinya,
pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi
pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa
dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran.
Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru pada tahap ini.
Walaupun guru tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan
melalui pertanyaan-pertanyaan agar siswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap
masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai fasilitator agar
pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakannya29.
Selain guru sebagai fasilitator, guru hendaknya juga menyadari arti penting suatu
pertanyaan dalam PBL. Pertanyaan hendaknya berbasis “Why” bukan sekedar “How”.
Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, ketrampilan siswa dalam tahap
tersebut hendaknya tidak semata-mata ketrampilan “How”, tetapi kemampuan
menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam
proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses
belajar melalui PBL. Para pengembang pembelajaran berbasis masalah telah
mendeskripsikan karaketeristik model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.:30
29 Sulistio, Faizin, 2008, Problem Based Learning Dan Alternatif Pembelajaran Problem Based Learning
dalam, Makalah disajikan dalam Workshop on teaching Grant-TPSDP LP3 Unibraw, 25-26 Januari 2006. 30 Baden, Maggie Savin and Claire. 2004. Foundation Of Problem Based Learning. New York: Great Britain
1. Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan pengajuan pertanyaan atau masalah,
bukannya mengorganisasikan disekitar prinsip-prinsip atau keterampilan-keterampilan
tertentu. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar
pertanyaan atau masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi
bermakna bagi siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik untuk
menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi
untuk situasi itu.
2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata
pelajaran tertentu. Masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya,
siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
3. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki siswa untuk melakukan
pennyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.
Mereka harus menganalsis dan mendefinisikan masalah mengembangkan hipotesis
dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalsis informasi, melakukan
eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan
4. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. PBL menuntut siswa untuk
menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan
yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.
Bentuk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer.
Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain
tentang apa yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar
terhadap laporan tradisional atau makalah.
5. Kerjasama. Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang
bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok
kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam
tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog
dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
PBL biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dengan guru
memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan
analisis hasil kerja siswa31. Tahapan-tahapan pembelajaran berbasis masalah atau PBL
dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Tahapan PBL Tahapan Tingkah laku guru
Tahap 1: Orientasi siswa kepada masalah
Guru mejnjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap 2: Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap 3: Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen dan mencari penjelasan dan pemecahan masalahnya.
Tahap 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
31 Nurhadi dan Senduk, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK Malang.
Malang: Universitas Negeri Malang, hal. 59
Tahap 5 : Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
(Sumber: Nurhadi, 2004:60) E. Kemampuan Berpikir Kritis
Menurut Nurhadi berpikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik,
dan mencapai kesimpulan berdasarkan pada inferensi atau pertimbangan yang saksama.
Selain itu berpikir adalah proses secara simbolik menyatakan (melalui bahasa) obyek
nyata dan kejadian-kejadian serta penggunaan pernyataan simbolik untuk menentukan
prinsip-prinsip esensial tentang objek dan kejadian tersebut.
Resnik dalam Nurhadi menjelaskan bahwa berpikir tingkat tinggi cenderung
komplek, menghasilkan banyak solusi, melibatkan pencarian makna, dan terdapat
pengerahan mental besar-besaran saat melakukan berbagai jenis pertimbangan yang
dibutuhkan32. Jadi berpikir merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang untuk
menganalisis kejadian nyata, mencari penyelesaiannya dan menyimpulkan berdasarkan
informasi yang tepat.
Bloom dan kawan-kawannya mengklasifikasikan tujuan-tujuan pengajaran (tujuan
instruksional) menjadi tiga ranah atau bidang yaitu
1. Ranah kognitif bersangkutan dengan daya pikir, pengetahuan atau penalaran.
2. Ranah afektif bersangkutan dengan perasaan.
3. Ranah psikomotorik terutama bersangkutan dengan keterampilan fisik, keterampilan
motorik, atau keterampilan tangan.
Berdasarkan Taksonomi Bloom terdapat enam jenjang kognitif yang berurutan,
mulai dari jenjang rendah meningkat ke jenjang yang lebih tinggi. Jenjang yang lebih
tinggi dapat dicapai apabila jenjang yang lebih rendah telah dikuasai sebelumnya. 32 Nurhadi dan Senduk, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK Malang.
Malang: Universitas Negeri Malang, hal. 58
Menurut Taksonomi Bloom yang diperbaiki oleh Anderson dan Krathwohl, keenam
jenjang kognitif tersebut secara berurutan adalah mengingat, memahami dan menerapkan
disebut sebagai kemampuan berpikir tingkat rendah, sedangkan menganalisis,
mengevaluasi dan mencipta disebut sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi. Terdapat
perbedaan pada tingkat kognitif antara Taksonomi Bloom Tahun 1956 dan Taksonomi
Bloom yang diperbaiki Anderson dan Krathwohl tahun 2001.
Perbedaan tersebut disajikan pada Gambar 2.1.
Bloom Tahun 1956
Anderson dan Krathwohl Tahun 2001
Gambar 2.1 Perbedaan Tingkatan Kognitif Taksonomi Bloom tahun 1956 dan Taksonomi Bloom
yang diperbaiki Anderson dan Krathwohl tahun 2001. (Leslie Owen Wilson. 2006).
Subiyanto menuturkan kemampuan menganalisis merupakan jenjang keempat
ranah kognitif. Analisis dapat diartikan sebagai pemecahan atau pemisahan (penguraian)
suatu komunikasi (peristiwa, pengertian) menjadi unsur penyusunnya, sehingga ide
Analisis
Penerapan
Evaluasi Sintesis
Pemahaman
Pengetahuan
Menganalisis
Menerapkan
Menciptakan Menilai
Memahami
Mengingat
(pengertian, konsep) itu relatif menjadi lebih jelas dan hubungan antara ide-ide menjadi
lebih eksplisit33.
Di tahap menganalisis siswa akan mampu mengolah konsep yang dimiliki dan
membagi-bagi atau menstrukturkan konsep ke dalam bagian yang lebih kecil untuk
mengenali pola atau hubungannya. Siswa mampu mengenali serta membedakan faktor
penyebab dan akibat dari suatu masalah yang rumit. Siswa dalam merespon pertanyaan
analisis membutuhkan waktu berpikir, sehingga pertanyaan tidak dapat dijawab tanpa
melalui proses berpikir mendalam.
Winkel mengemukakan bahwa evaluasi mencakup kemampuan untuk
membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan
pertanggungjawaban pendapat itu yang berdasarkan kriteria tertentu34. Sedangkan
menurut Subiyanto mengevaluasi bersangkutan dengan penentuan secara kuantitatif atau
kualitatif tentang nilai materi atau metode untuk sesuatu maksud dengan memenuhi tolak
ukur tertentu. Kemampuan ini merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi kedua.
Pertanyaan yang mengacu pada tingkat berpikir evaluasi merupakan pertanyaan
yang menghendaki siswa menyusun, menentukan, dan memutuskan suatu jawaban
daripada hanya mengingat kembali. Mencipta merupakan kemampuan berpikir tingkat
tinggi ketiga di mana siswa sudah dapat menciptakan konsep-konsep baru. Kemampuan
mencipta mengembangkan unsur-unsur kedalam bentuk atau pola yang sebelumnya
kurang jelas hingga siswa mampu menjelaskannya sesuai dengan konsep yang mereka
miliki. Menciptakan dikenali dari kemampuan menggabungkan beberapa unsur menjadi
suatu bentuk kesatuan. Delisle menjelaskan:35
33 Subiyanto.1988. Evaluai Pendidikan Jakarta: DEPDIKBUD Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,hal.51 34 Winkel. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana,hal.247 35 Delisle, Robert. 1997. How To Use Problem Based Learning In The Classroom. Alexandria: Association for
Supervision and Curriculum Development
Creating: Putting elements together to form a coheren or functional whole reorganizing elements into a new pattern or structure theough generating, plenning, or producing. Creating requires users to put parts together in a new way or synthesize parts into something new and different a new form or product. This process is the most difficult mental function in the new taxonomy.
Menurut Delisle menciptakan adalah meletakkan unsur-unsur bersama-sama
untuk membentuk suatu fungsional yang utuh atau padu; menyusun kembali unsur-
unsur ke dalam suatu struktur atau menggenerasi pola baru, merencanakan atau mem-
produksi. Menciptakan menghendaki pemakaian untuk membuat bagian secara baru
atau menyatukan bagian-bagian dalam suatu yang baru dan sesuatu produk berbeda
atau format baru.
Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui bahwa kemampuan mencipta
merupakan kemampuan di mana siswa mampu menyusun struktur baru dari berbagai
bagian. Kemampuan mencipta lebih banyak dihadapi siswa saat menyelesaikan
masalah di masyarakat. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dibutuhkan
kemampuan berpikir siswa yang meliputi kemampuan berpikir analisis, evaluasi dan
mencipta (creat) yang didasarkan pada perbaikan taksonomi Bloom.
F. Prestasi Belajar PAI
Prestasi belajar berasal dari kata prestasi dan belajar. Prestasi diartikan sebagai
hasil yang dicapai, bila digabungkan prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan dalam
belajar. Usman menjelaskan bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai siswa, yang
dilakukan melalui tes prestasi belajar yang bertujuan untuk memperoleh gambaran
tentang daya serap siswa, untuk menetapkan tingkat prestasi atau tingkat keberhasilan
belajar siswa terhadap suatu bahasan36.
36 Usman, Moh. Uzer. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar: bahan kajian PKG, MGMP.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 9
37Menurut Dimyati & Mudjiono, “Prestasi belajar merupakan suatu puncak proses
belajar, yang dipengaruhi oleh proses-proses penerimaan, keaktifan, prapengolahan,
pengolahan, penyimpanan, serta pemanggilan untuk pembangkit pesan dan pengalaman”.
Dari pengertian tersebut maka prestasi belajar merupakan hasil dari suatu usaha, kemam-
puan dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal dalam bidang pendidikan38.
Prestasi belajar banyak diartikan sebagai seberapa jauh hasil yang telah dicapai
siswa dalam penguasaan tugas-tugas atau materi pelajaran yang diterima dalam jangka
waktu tertentu. Prestasi belajar pada umumnya dinyatakan dalam angka atau huruf
sehingga dapat dibandingkan dengan satu criteria. Prestasi belajar kemampuan seorang
dalam pencapaian berfikir yang tinggi. Prestasi belajar harus memiliki tiga aspek, yaitu
kognitif, affektif dan psikomotor.
Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai sebaik-baiknya pada seorang anak dalam
pendidikan baik yang dikerjakan atau bidang keilmuan. Prestasi belajar dari siswa adalah
hasil yang telah dicapai oleh siswa yang didapat dari proses pembelajaran. Prestasi belajar
adalah hasil pencapaian maksimal menurut kemampuan anak pada waktu tertentu
terhadap sesuatu yang dikerjakan, dipelajari, difahami dan diterapkan.
Bloom, dkk dalam Subiyanto mengklasifikasikan tujuan pembelajaran mencakup
tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam penelitian ini prestasi
belajar PAI merupakan hasil aspek kognitif yang dinyatakan dalam nilai atau skor, setelah
siswa mengikuti pembelajaran PAI.
Sesuai dengan taksonomi Bloom (dalam kamdi), aspek kognitif dapat di
deskripsikan dalam enam tingkatan yaitu:39
37 Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT. Rineka Cipta, hal 26 38 Ibid. 39 Kamdi, Waras, dkk. 2007. Model-model pembelajaran inovatif. Malang: UM Press, hal.29
1. Mengingat (remember)
Tahapan ini merupakan tahapan terendah dari hasil belajar siswa. Siswa hanya dapat
mengingat pengetahuan yang didapatnya tanpa berpikir lebih mendalam. Misalnya,
definisi dari fluida atau istilah-istilah lainnya.
2. Pemahaman (understand)
Pada tingkat ini siswa dapat menyerap pengetahuan dari sumber belajar yang
dipelajari. Siswa tidak hanya menerima dan mengingat informasi yang diberikan tetapi
juga mulai mempelajari sendiri informasi dari sumber belajar yang lain. Misalnya,
balon udara apakah merupakan aplikasi dari hukum Archimedes atau apakah
kecepatan mempengaruhi energi potensial suatu benda.
3. Penerapan (apply)
Setelah siswa mendapatkan pengetahuannya dari proses belajar, pada tahap ini siswa
dapat menggunakan pemahaman tersebut dalam situasi baru yang konkret. Penerapan
dalam PAI sering dijumpai pada soal perhitungan.
4. Analisis (analyze)
Tingkat ini sudah menunjukkan tingkat berpikir kritis. Siswa mampu untuk merinci
suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian, sehingga struktur keseluruhan atau
organisasinya dapat dipahami dengan baik. Misalnya, menganalisis apa saja penyebab
diharamkan daging babi selain faktor kesehatan yang terjadi.
5. Evaluasi (evaluate)
Pada tahap ini siswa dapat mempertimbangkan nilai dari suatu materi untuk tujuan
yang telah ditentukan dan dipertimbangkan dengan jelas. Misalnya, dampak dari
adanya pemalsuan hadist nabi bagi umat Islam.
6. Mencipta (create)
Ini merupakan tahapan berpikir tingkat paling tinggi. Siswa mampu menyusun bagian-
bagian dari suatu informasi menjadi keseluruhan informasi baru.
Prestasi belajar diukur dari kemampuan siswa menyelesaikan tes maupun
permasalahan yang berhubungan dengan konsep PAI. Tes prestasi dilakukan di akhir
Pembelajaran sebagai evaluasi hasil belajar selama kurun waktu yang dilampaui.
”Penilaian dalam pembelajaran dibuat berdasarkan informasi yang baik dan
didokumentasi secara ajeg” 40.
Prestasi belajar dalam penelitian ini yang diukur adalah nilai rata-rata siswa dalam
satu kelas dan ketuntasan belajar siswa dari nilai ulangan harian yang ditetapkan sekolah
atau Standar Ketuntasan Minimal (SKM) yaitu 75 keatas. Ketuntasan belajar ini diukur
dari nilai pots test siswa yang mencapai 75 keatas dibagi siswa dalam satu kelas.
Peningkatan prestasi belajar siswa dilihat dari selisih atau meningkatnya nilai rata-
rata dan ketuntasan belajar siswa dari sebelum diterapkannya model pembelajaran PBL
dengan setelah diterapkannya model PBL.
40 Nurhadi dan Senduk, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK Malang.
Malang: Universitas Negeri Malang,hal 25