Post on 31-Mar-2019
8
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Pengertian Berbicara
Keterampilan berbicara menunjang keterampilan bahasa lainnya.
Pembicara yang baik mampu memberikan contoh agar dapat ditiru oleh penyimak
yang baik. Pembicara yang baik mampu memudahkan penyimak untuk
menangkap pembicaraan yang disampaikan.
Berbicara dan menyimak merupakan kegiatan berbahasa lisan, dua-duanya
berkaitan dengan bunyi bahasa. Dalam berbicara seseorang menyampaikan
informasi melalui suara atau bunyi bahasa, sedangkan dalam menyimak seseorang
mendapat informasi melalui ucapan atau suara.
Berbicara dan menyimak merupakan dua kegiatan yang tidak dapat
dipisahkan, kegiatan berbicara selalu disertai kegiatan menyimak, demikian pula
kegiatan menyimak akan didahului kegiatan berbicara. Keduanya sama-sama
penting dalam komunikasi.
Manusia adalah mahluk sosial. Manusia baru akan menjadi manusia bila
ia hidup dalam lingkungan manusia. Kesadaran betapa pentingnya berbicara
dalam kehidupan manusia dalam bermasyarakat dapat mewujudkan bermacam
aneka bentuk. Lingkungan terkecil adalah keluarga, dapat pula dalam bentuk lain
seperti perkumpulan sosial, agama, kesenian, olah raga, dan sebagainya.
9
Setiap manusia dituntut terampil berkomunikasi, terampil menyatakan
pikiran, gagasan, ide, dan perasaan. Terampil menangkap informasi-informasi
yang didapat, dan terampil pula menyampaikan informasi-informasi yang
diterimanya.
Kehidupan manusia setiap hari dihadapkan dalam berbagai kegiatan yang
menuntut keterampilan berbicara. Contohnya dalam lingkungan keluarga, dialog
selalu terjadi, antara ayah dan ibu, orang tua dan anak, dan antara anak-anak itu
sendiri.
Berbicara adalah bercakap, berbahasa, mengutarakan isi pikiran,
melisankan sesuatu yang dimaksudkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007:
165). Sedangkan Tarigan (1998: 15), mengungkapkan bahwa “Berbicara adalah
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk
mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan
perasaan. Berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar
(audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot dan
jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide
yang dikombinasikan. Hal yang berbeda dikemukakan oleh Maidar, Arsjad dan
Mukti US (1991: 17) bahwa “Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-
bunyian artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan pesan, pikiran, gagasan, dan perasaan. Berbicara adalah ungkapan
pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa
(http://makalahdanskripsi.blogspot.com/.../pengertian-berbicara.html).
10
Sehubungan dengan hal itu Widdowson (1978: 59) menyatakan bahwa
“Berbicara sesungguhnya merupakan kemampuan menyampaikan pesan melalui
bahasa lisan”. Berbicara dapat pula diartikan sebagai kemampuan
mengungkapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan
pikiran, gagasan, atau perasaan secara lisan. Brown G&G Yule, (1983: 2).
Pendapat lain diungkapkan pula oleh Nuraeni (2002: 87) bahwa “Berbicara
merupakan suatu proses penyampaian informasi, ide atau gagasan dari pendengar
sabagai komunikan”.
Menurut Mulgrave (dalam Tarigan, 1954: 3-4) berbicara itu lebih
daripada hanya sekedar pengucapan bunyi-bunyi atau kata-kata. Berbicara adalah
suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau
penyimak. Berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada
penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami atau
tidak, baik bahan pembicaraannya maupun para penyimaknya; apakah dia
bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia
mengkomunikasikan gagasan-gagasannya; dan apakah dia waspada serta antusias
atau tidak.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa berbicara adalah
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata secara lisan untuk
mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan
untuk menyampaikan pesan.
11
2.1.2 Tujuan Berbicara
Tujuan berbicara adalah untuk berkomunikasi (Tarigan, 2008: 16)
sementara menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2008, 233-23) mengemukakan
bahwa tujuan keterampilan berbicara mencakup hal-hal di bawah ini:
a. Kemudahan Berbicara: Peserta didik harus mendapat kesempatan yang
besaruntuk berlatih berbicara sampai mereka mengembangkan keterampilan
berbicara secara wajar, lancar,dan menyenangkan baik dalam kelompok kecil
maupun besar.
b. Kejelasan: Dalam hal ini, peserta didik berbicara dengan tepat dan jelas, baik
artikulasi maupun diksi kalimat-kalimatnya. Gagasan yang diucapkan harus
tersusun secara baik. Dengan latihan berdiskusi maka kejelasan berbicara
tersebut dapat tercapai.
c. Bertanggung jawab: latihan berbicara yang bagus menekankan pembicaraan
untuk bertanggung jawab agar berbicara secara tepat dan dipikirkan secara
sungguh-sungguh mengenai topik pembicaraan, siapa yang diajak bicara, dan
bagaimana situasi pembicaraannya.
d. Membentuk pendengar yang kritis: latihan berbicara yang baik sekaligus
mengembangkan keterampilan menyimak secara tepat dan kritis juga menjadi
tujuan utama program ini. Dalam hal ini peserta didik perlu belajar
mengevaluasi kata, niat, dan tujuan berbicara yang secara eksplisit
mengajukan pertanyaan.
e. Membentuk kebiasaan: Kebiasaan berbicara tidak dapat dicapai tanpa
kebiasaan berinteraksi dalam bahasa yang di pelajari atau dalam bahasa ibu.
12
Faktor ini demikian penting dalam membentuk kebiasaan dalam perilaku
seseorang.”
Pendapat lain tentang tujuan berbicara, Tarigan, (dalam Suherli 2009;52)
menyatakan tujuan dan fungsi utama berbicara adalah sebagai berikut:
a. Menghibur
Berbicara untuk menghibur berarti pembicara menarik perhatian
pendengar dengan berbagai cara seperti humor, spontanitas, menggairahkan,
kisah-kisah jenaka, petualangan, dan sebagainya untuk menimbulkan suasna
gembira pada pendengarnya
b. Menginformasikan
Berbicara untuk tujuan menginformasikan, untuk melaporkan,
dilaksanakan jika seseorang ingin: 1) menjelaskan suatu proses,
2)menguraikan, menafsirkan, atau mengimplementasikan sesuatu hal, 3)
memberi, menyebarkan atau menanamkan pengetahuan, dan 4) menjelaskan
kaitan.
c. Menstimulasi
Berbicara untuk menstimulasi pendengar jauh lebih kompleks dan
tujuan berbicara lainnya, sebab berbicara itu harus pintar merayu,
mempengaruhi, atau meyakinkan pendengarnya, Hal itu dapat tercapai jika
pembicara benar-benar mempengaruhi kemauan, minat, inspirasi, kebutuhan,
dan cita-cita pendengarnya
13
d. Meyakinkan
Berbicara untuk tujuan meyakinkan pendengar adalah suatu
pembicaraan yang dapat dipertanggungjawabkan melalui argumentasi atau
alasan-alasan yang logis dan dapat dipercaya. Suatu pembicaraan yang
tergolong kedalam kelompok itu adalah pembicaraan argumentatif dan
persuasif.
e. Menggerakkan
Dalam berbicara untuk menggerakkan diperlukan pembicara yang
berwibawa, panutan, atau tokoh idola. Melalui kepintarannya dalam
berbicara, kecakapan memanfaatkan situasi, ditambah penguasaannya
terhadap ilmu jiwa masa, pembicara dapat menggerakkan pendengarnya.
Dengan demikian tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi
antara pembicara dan lawan bicara. Berbicara berfungsi untuk menghibur,
menginformasikan, menstimulasi, meyakinkan, dan menggerakkan.
2.1.3 Fungsi Berbicara
Fungsi Mata Pelajaran Berbicara meliputi empat aspek. Aspek-aspek
tersebut adalah aspek kognitif, aspek afektif, aspek keterampilan berbicara, dan
aspek keterampilan mengelola pembelajaran berbicara.
Fungsi berbicara dari aspek kognitif yaitu melalui kegiatan pembelajaran
berbicara siswa dituntun memahami dan mendalami teori, konsep, dan
generalisasi berbicara serta metodologi pengajaran berbicara. Berarti pengetahuan
siswa mengenai teori, konsep, dan generalisasi berbicara serta metodologi
pengajaran berbicara meningkat sejalan dengan tahap pembelajaran. Pengalaman
14
berbicara dan pengalaman mengajarkan keterampilan berbicara merupakan fungsi
Berbicara dipandang dari aspek kognitif.
Fungsi berbicara dari aspek afektif ialah kegiatan pembelajaran berbicara
juga berpengaruh terhadap sikap siswa. Bila selama ini sikap mereka terhadap
keterampilan belum bersifat positif maka melalui kegiatan pembelajaran berbicara
sikap itu diubah menjadi sikap positif. Para siswa akan lebih memahami,
menghayati, menyenangi, dan mencintai keterampilan berbicara, serta lebih gemar
melaksanakan kegiatan berbicara dan pengajaran berbicara. Perubahan sikap dari
belum positif menjadi bersikap positif adalah fungsi pembelajaran Berbicara dari
aspek afektif
2.1.4 Aktifitas Berbicara
Menurut Pateda (2004: 62-63) bahwa “Kalau kita mendengarkan orang
Berbicara, kita beroleh kenyataan berikut ini.
1. Kita mendengar bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan
2. Bunyi-bunyi itu dilafalkan berturut-turut
3. Bunyi bahasa yang kita dengar berwujud kata atau kalimat
4. Bunyi-bunyi itu dilafalkan kelompok demi kelompok
5. Kata atau kalimat yang dilafalkan mengandung pesan tertentu
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktivitas berbicara berarti
pembicara melakukan tindakan melafalkan bunyi-bunyi bahasa secara berturut-
turut dalam wujud kata atau kalimat yang dilafalkan kelompok demi kelompok
dan mengandung pesan tertentu.
15
2.1.5 Proses Berbicara
Kegiatan berbicara dilakukan untuk mengadakan hubungan dan untuk
melaksanakan suatu layanan. Yang termasuk golongan yang pertama misalnya
percakapan dalam suatu pesta, di kafetaria, pada saat antri di bank, dan
sebagainya. Sedangkan yang termasuk golongan kedua misalnya mengikuti
wawancara untuk memperoleh pekerjaan, memesan makanan di rumah makan,
membeli perangko, mendaftarkan sekolah dan sebagainya.
Dalam proses belajar bahasa di sekolah, anak-anak mengembangkan
kemampuan secara vertikal tidak secara horizontal. Maksudnya mereka sudah
dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna. Makin
lama kemampuan tersebut makin menjadi sempurna dalam arti strukturnya
menjadi benar, pilihan katanya semakin tepat, kalimat-kalimatnya semakin
bervariasi dsb. Dengan kata lain perkembangan tersebut tidak secara horizontal,
mulai dari fonem, kata, frase, kalimat dan wacana seperti halnya jenis tataran
linguistik.
Ellis (lewat Numan, 1991: 46) mengemukakan adanya tiga cara untuk
mengembangkan secara vertikal dalam meningkatkan kemampuan berbicara.
1. menirukan pembicaraan orang lain (khususnya guru)
2. mengembangkan bentuk ujaran
3. mendekatkan atau menyejajarkan dua bentuk ujaran, yaitu bentuk ujaran
sendiri yang belum benar dan ujaran orang dewasa (terutama guru) yang
sudah benar.
16
Kesulitan dalam berbicara, seperti halnya kesulitan dalam menyimak,
disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu faktor yang menimbulkan kesulitan
dalam berbicara adalah yang datang dari teman bicara. Seperti kita ketahui, dalam
setiap kegiatan berbicara menafsirkan makna pembicaraan agar komunikasi dapat
berlangsung terus sampai tujuan pembicaraan tercapai.
Berikut ini proses pembelajaran berbicara dengan berbagai jenis kegiatan,
yaitu percakapan, berbicara estetik, berbicara untuk menyampaikan informasi atau
untuk mempengaruhi, dan kegiatan dramatik (Tompkins dan Hoskisson, 1995:
124-127)
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa proses berbicara anak
kanberkembang secara vertikal. Hal dapat dikembangkan dengan cara melatih
anak menirukan pebicaraan orang lain, mengembangkan bentuk ujaran, dan
menyejajarkan dua bentuk ujaran yang belum benar dan ujaran yang benar orang
dewasa.
2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara
Agung (Colin, 2010) mengemukakan bahwa “Keterampilan berbicara
seseorang sangat dipengaruhi oleh dua factor penunjang utama yaitu internal, dan
eksternal. Faktor internal adalah segala sesuatu potensi yang ada dalam diri orang
tersebut baik fisik maupun non fisik, faktor fisik adalah menyangkut dengan
kemampuan organ-organ tubuh yang digunakan dalam berbicara misalnya pita
suara, gigi, lidah, dan bibir, sedangkan faktor nonfisik diantaranya adalah
kepribadian, karakter, bakat, cara berpikir dan tingkat intelegensi, sedangkan
17
faktor eksternal, misalnya tingkat pendidikan, kebiasaan, dan lingkungan
pergaulan.
Selain faktor-faktor tersebut, faktor lain yang mempengaruhi berbicara
adalah konteks. Konteks adalah segenap informasi yang ada di sekitar pemakaian
bahasa, bahkan pemakaian bahasa yang ada di sekitarnya. Supardo, dalam Toyiti
(2004:23) membagi konteks menjadi dua, yaitu (1) konteks bahasa (koteks
linguistik) dan (2) konteks nonbahasa (konteks nonlinguistik).
Konteks bahasa adalah unsur yang secara langsung membentuk struktur
lahir; yakni, bunyi, kata, kalimat dan bangun ujaran. Sedangkan konteks
nonbahasa meliputi usia, jenis kelamin, tempat, jarak interaksi, topik
pembicaraan, fungsi, dan cara-cara penyampaian.
Dengan demikian dalam pembelajara keterampilan berbahasa haruslah
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan berbahasa yaitu
konteks kebahasaan dan nonkebahasaan.
2.1.7 Pengertian Kemampuan Berbicara
Kemampuan berbicara merupakan salah satu kemampuan yang perlu
dikembangkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia, di samping kemampuan aspek
mendengarkan, membaca, dan menulis. Keberanian untuk berbicara, bertanya dan
mengungkapkan gagasan sangat mendukung dalam proses pembelajaran
khususnya Bahasa Indonesia. Untuk itu kemampuan berbicara perlu
dikembangkan kepada siswa sedini mungkin (http://www.google.com/R.Sigit’s-
Undergraduated.theses.pdf. kemampuan-berbicara). Kemampuan merupakan
18
tuntutan utama yang harus dikuasai oleh guru. Guru yang baik harus dapat
mengekspresikan pengetahuan yang dikuasainya secara lisan
(http://www.slideshare.net/NASuprawoto/pembelajaran-berbicara).
Sedangkan menurut Nuraeni (2002: 87), kemampuan berbicara merupakan
faktor yang sangat mempengaruhi kemahiran seseorang dalam penyampaian
informasi secara lisan. Sehubungan dengan hal tersebut Hafi (2000: 91)
mengungkapkan bahwa “Kemampuan berbicara sebagai kemampuan produktif
lisan yang menuntut banyak hal yang harus dikuasai oleh siswa, meliputi
penguasaan aspek kebahasaan dan nonkebahasaan”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa kemampuan
berbicara adalah kemampuan untuk menyampaikan informasi secara lisan yang
menuntut keberanian serta kemahiran dalam aspek kebahasaan dan
nonkebahasaan.
2.2. Pengertian Pendekatan
Wardani (dalam Setyowati 2007) mengemukakan bahwa “Pendekatan
(approach) adalah seperangkat asumsi yang saling berkaitan dengan hakikat
bahasa, hakikat pengajaran bahasa serta hakikat apa yang diajarkan. Pendekatan
bersifat aksiomatis artinya bahwa kebenaran itu tidak dioperasionalkan atau tidak
perlu dibuktikan lagi”.
Pendapat lain mengatakan bahwa “Pendekatan adalah cara umum dalam
memandang permasalahan atau objek kajian, laksana pakai kacamata merah,
semua tampak kemerah-merahan. (Sukandi, 2003:39) dalam http://
banjarnegarambs.wordpress.com/2008/09/10/pendekatan pembelajaran/)
19
Lebih lanjut Brown (dalam Setyowati, 2007) memperjelas konsep
pembelajaran dengan menambahkan kata kunci yang harus diperhatikan, yaitu: (1)
pembelajaran menyangkut hal praktis, (2) pembelajaran adalah penyimpanan
informasi, (3) pembelajaran adalah penyusunan organisasi, (4) pembelajatran
memerlukan keaktifan dan kesadaran, (5) pembelajaran relatif permanen, (6)
pembelajaran adalah perubahan tingkah laku.
Mulyasa (dalam Setyowati, 2007) menjelaskan bahwa pembelajaran pada
hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya
sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi
tersebut banyak sekali faktor yang mempegaruhinya, baik faktor internal yang
datang dari dalam diri individu, maupun faktor eksternal yang datang dari
lingkungan.
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut
pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan
tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya
mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan
cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua
jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau
berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered
approach)(http://www.google.co.id
/#hl=id&source=hp&q=Pengertian+Pendekatan&meta=&aq=f&aqi=g10&aql=&o
q=&gs_rfai=&fp=86b23f41f9ecc767)
20
Pengertian pendekatan pembelajaran secara tegas belum ada kesepakatan
dari para ahli pendidikan. Namun beberapa ahli mencoba menjelaskan tentang
pendekatan pembelajaran (instructional approach), misalnya ditulis oleh Gladene
Robertson dan Hellmut Lang (1984: 5)
dalam http: // banjarnegarambs.wordpress.com / 2008 / 09 / 10 / pendekatan-
pembelajaran/, menurutnya pendekatan pembelajaran dapat dimaknai menjadi dua
pengertian, yaitu pendekatan pembelajaran sebagai dokumen tetap dan pendekatan
pembelajaran sebagai bahan kajian yang terus berkembang. Pendekatan
pembelajaran sebagai dokumen tetap dimaknai sebagai suatu Kerangka umum
dalam Praktek Profesional guru, yaitu serangkaian dokumen yang dikembangkan
untuk mendukung pencapaian Kurikulum. Hal tersebut berguna untuk: (1)
mendukung kelancaran guru dalam proses pembelajaran; (2) membantu para guru
menjabarkan kurikulum dalam praktik pembelajaran di kelas; (3) sebagai panduan
bagi guru dalam menghadapi perubahan kurikulum; dan (4) sebagai bahan
masukan bagi para penyusun kurikum untuk mendesain kurikulum dan
pembelajaran yang terintegrasi.
Pendekatan pembelajaran sebagai bahan kajian yang terus berkembang,
oleh Gladene Robertson dan Hellmut Lang dimaknai selain sebagai Kerangka
umum untuk Praktek Profesional guru, juga dimaksudkan sebagai studi
komprehensif tentang praktik pembelajaran, maupun petunjuk pelaksanaanya.
Selain itu dokumen itu juga dimaksudkan untuk mendorong para guru untuk: (1)
mengkaji lebih jauh tentang pendekatan-pendekatan pembelajaran yang lainnya;
(2) menjadi bahan refleksi tentang pembelajaran yang sudah dilakukannya; (3)
21
merupakan seni, seperti hal nya ilmu mengajar yang terus berkembang, dan (4)
juga sebagai katalisator untuk mengembangkan profesional guru lebih lanjut.
Gambaran mengenai pendekatan pembelajaran yang lebih jelas terdapat
dalam artikel pendidikan yang diterbitkan oleh Saskatchewan education (1980)
dalam http://banjarnegarambs.wordpress.com /200 /09/ 10 / pendekatan-
pembelajaran/, pendekatan pembelajaran digambarkan sebagai kerangka besar
tentang tugas profesional guru yang di dalamnya meliputi: model-model
pembelajaran, Strategi-strategi pembelajaran, metode-metode pembelajaran dan
juga keterampilan-keterampilan mengajar. Pendekatan pembelajaran juga
merupakan skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan guru dengan
menyusun dan memilih model pembelajaran, strategi pembelajaran, metode
pembelajaran maupun keterampilan mengajar tertentu dalam rangka mencapai
suatu tujuan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran digambarkan dalam diagram
sebagai berikut:
Menurut Philip R. Wallace (1992: 13) http://banjarnegara
mbs.wordpress.com/2008/09/10/pendekatan-pembelajaran/, pendekatan
pembelajaran dibedakan menjadi 2, yaitu: Pendekatan konservatif (conservative
approaches) dan pendekatan liberal (liberal approach). Pendekatan konservatif
memandang bahwa proses pembelajaran yang dilakukan sebagai mana umumnya
guru mengajarkan materi kepada siswanya. Guru mentransfer ilmu pengetahuan
kepada siswa, sedangkan siswa lebih banyak sebagai penerima. Sedangkan
pendekatan liberal (liberal approaches) adalah pendekatan pembelajaran yang
22
memberi kesempatan luas kepada siswa untuk mengembangkan strategi dan
keterampilan belajarnya sendiri.
Dari semua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan
pembelajaran adalah seperangkat asumsi atau pandangan guru tentang hakikat
bahasa yang diajarkan kepada siswa dalam suatu proses interaksi belajar-mengajar
di kelas yang difasilitasi guru dengan baik (materi, metode, media, evaluasi)
sehingga pencapaian tujuan pembelajaran (bahasa) bisa dicapai.
2.2.1. Pengertian Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada
pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi
merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Di dalam
konsep pendekatan komunikatif terdapat konsep kompetensi komunikatif yang
membedakan komponen bahasa menjadi dua bagian, yaitu kompetensi dan
performansi atau unjuk kerja. Kompetensi komunikatif itu adalah keterkaitan dan
interelasi antara kompetensi gramatikal atau pengetahuan kaidah-kaidah bahasa
dengan kompetensi sosiolinguistik atau aturan-aturan tentang penggunaan bahasa
yang sesuai dengan kultur masyarakat. Kompetensi komunikatif hendaknya
dibedakan dengan performansi komunikatif karena performansi komunikatif
mengacu pada realisasi kompetensi kebahasaan beserta interaksinya dalam
pemroduksian secara aktual dengan pemahaman terhadap tuturan-tuturan. Oleh
sebab itu, seseorang yang dikatakan memiliki kompetensi dan performansi
berbahasa yang baik hendaknya mampu berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa yang dipelajarinya, baik dalam pemroduksian (berbicara dan
23
menulis/mengarang) maupun dalam pemahaman (membaca, dan
menyimak/mendengarkan)
2.2.2. Ciri-ciri Pendekatan Pembelajaran Komunikatif
Brumfit dan Finocchiaro mengungkapkan cirri-ciri pendekatan
komunikatif adalah (1) makna merupakan yang terpenting, (2) percakapan harus
berpusat di sekitar fungsi komunikatif dan tidak dihafalkan secara normal, (3)
kontekstualisasi merupakan premis pertama , (4) belajar bahasa berarti belajar
berkomunikasi, (5) komunikasi efektif dianjurkan, (6) latihan penubihan atau drill
diperbolehkan, tetapi tidak memberatkan, (7) ucapan yang dapat dipahami
diutamakan, (8) setiap alat bantu peserta didik diterima dengan baik, (9) segala
upaya untuk berkomunikasi dapat didorong sejak awal, (10) penggunaan bahasa
secara bijaksana dapat diterima bila memang layak, (11) terjemahan digunakan
jika diperlukan pesrta didik, (12) membaca dan menulis dapat dimulai sejak awal,
(13) sistem bahasa dipelajari melalui kegiatan berkomunikasi, (14) komunikasi
komunikatif merupakan tujuan, (15) variasi linguisik merupakan konsep inti
dalam materi dan metodologi, (16) urutan ditentukan berdasarkan pertimbangan
isi, fungsi, atau makna untuk memperkuat minat belajar, (17) guru mendorong
peserta didik agar dapat bekerja sama dengan orang lain menggunakan bahasa itu,
(18) bahasa diciptakan oleh pesrta didik melalui mencoba dan mencoba, (19)
kefasihan dan bahasa yang berterima merupakan tujuan utama, ketepatan dinilai
dalam konteks bukan dalam keabstrakan, (20) pesrta didik diharapkan berinteraksi
dengan orang lain melalui kelompok atau pasangan, lisan, dan tulis, (21) guru
tidak bisa meramal bahasa apa yang akan digunakan peserta didiknya, dan (2)
24
motivasi intrinsik akan timbul melalui minat terhadap hal-hal yang di
komunikasikan.
Nababan (1992:75 ) dalam bukunya Metodologi Pengajaran Bahasa,
mengemukakan ciri-ciri pendekatan komunikatif antara lain:
1. Adanya aktivitas komunikasi yang sebenarnya (realistis)
2. Adanya aktivitas komunikasi yang penuh kebermaknaan.
3. Adanya silabus komunikatif yang disiapkan dan telah melalui analisis
kebutuhan pembelajar
4. Adanya pembelajaran yang berpusat kepada pembelajar
5. Adanya peran guru sebagai fasilitator, penyuluh, penganalisis kebutuhan
pembelajar dan manajer kelompok.
6. Peran materi pengajaran adalah untuk pendukung aktivitas komunikatif
pembelajaar yaitu materi yang berbasis teks (text based), yang berbasis
tugas (Task Based), dan berbasis bahan otentik (realita).
7. Komunikasi yang realistis akan terjadi dalam pergaulan sehari-hari dan
bukan dibuat-buat, dengan aktivitas yang realistis, dengan bahasa yang
dipelajari baik di sekolah, di rumah maupun lingkungan yang lebih luas,
maka akan tercipta hubungan komunikasi yang penuh kebermaknaan
yakni tidak ada pembicaraan yang kurang efektif.
8. Adanya kebutuhan komunikasi pembelajar teridentifikasi terlalu awal
kemudian berdasarkan identifikasi itulah seorang guru menyalurkannya
dalam pembelajaran bahasa.
25
9. Pembelajaran lebih terpusat pada pembelajar, yakni proporsionalitas
peran antara pembelajar dan guru akan lebih banyak peran aktivitas
pembelajar dalam pembelajaran bahasa.
2.2.3 Pembelajaran Pendekatan Komunikatif
Pembelajaran bahasa komunikatif mulai ditemukan pada tahun 1960-an
ketika tradisi pembelajaran bahasa di Inggris mengalami perubahan yang
mendasar. Sebuah pendekatan berubah dalam pembelajaran bahasa terutama
didorong oleh perubahan pandangan tentang hakikat bahasa serta teori
pembelajaran bahasa yang dianutnya. Ada perubahan asumsi tentang hakikat
bahasa yang mendorong muncul pendekatan baru yang disebut pendekatan
komunikatif. Sebelum tahun 1960-an di Inggris para pakar pembelajaran bahasa
menggunakan pendekatan situasional. Ketika di Amerika orang mulai menolak
pendekatan audiolingual, di Inggris orang juga mulai mempertanyakan
pendekatan situasional itu.
Kritik tajam yang muncul pada saat itu di antaranya dari pakar linguistik
terapan seperti Noam Chomsky, yang memelopori munculnya tata bahasa
generatif transformasi. Chomsky terutama mengkritik teori linguistik struktural
yang dianggapnya tidak dapat menjelaskan dengan baik karakteristik bahasa.
Chomsky memperkenalkan bahwa bahasa itu memiliki sifat universal dan tidak
berbeda-beda secara tak terbatas seperti pendapat kelompok struktural. Ada unsur
kreativitas yang memang sangat mendasar dalam bahasa.
26
Dimensi lain yang muncul pada saat itu adalah adanya gagasan fungsional
dan komunikatif. Pembelajaran bahasa tidak hanya sekadar bertujuan untuk
menguasai kaidah-kaidah gramatikal, tetapi yang lebih penting ialah memiliki
kompetensi komunikatif. Itulah sebabnya pendekatan audiolingual ditolak,
pendekatan situasional dipertanyakan dan muncullah pendekatan komunikatif
dalam pembelajaran bahasa.
2.2.4 Konsep Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada
pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi
merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa (Zuchdi dan
Budiarsih, 1996/1997 : 33-34). Hal ini sesuai dengan yang dituntut oleh
kurikulum 1994 maupun Kurikulum 2004, bahwa tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia di SD tidak lagi untuk menciptakan bagaimana peserta didik memahami
tentang bahasa, tetapi lebih ditekankan pada kemampuan mnggunakan bahasa
Indonesia secara lisan dan tulisan.
Konsep kompetensi komunikatif membedakan komponen bahasa menjadi
dua bagian, yaitu kompetensi dan performansi atau unjuk kerja. Selanjutnya kedua
bagian ini dibedakan lagi dalam dua versi , yaitu versi lemah dan versi kuat. Yang
dimaksud dengan versi lemah adalah perbedaan kemampuan kompetensi dan
performansi pada diri seseorang. Dengan kata lain, kompetensi berbahasa
seseorang tidak memberikan pengaruh terhadap performansi berbahasanya atau
sebaliknya.
27
Pengetahuan kebahasaan bertalian dengan pengetahuan penutur terhadap
bahasa sebagai suatu sistem dan merupakan kemampuan potensial dalam diri
penutur. Melalui kemampuan potensial ini penutur dapat menciptakan tuturan-
tuturan, biasanya berupa kalimat-kalimat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
kompetensi linguistik merupakan daya dorong untuk berbahasa secara kreatif.
Pandangan tersebut diperluas oleh para pakar dari versi kuat. Dalam versi
ini, Chomsky beserta pakar-pakar pembelajaran yang lain seperti Hymes pada
tahun 1971, dan Howatt dalam Richard dan Rogers (1986: 660) mengungkapkan
bahwa penguasaan gramatikal termasuk satu kompetensi berbahasa seseorang.
Disamping itu, ditekankan pula bahwa performansi bahasa seseorang didukung
oleh kompetensi kebahasaannya. Pendapat ini membuka peluang masuknya unsur
sosiokultural dalam telaah linguistik karena bahasa bukan saja dipandang sebagai
kemampuan penuntut secara individual, melainkan dihubungkan dengan dapat
diterima atau tidaknya oleh mitra bicara. Oleh karena itu, kompetensi di bidang
kebahasan adalah juga sebagai kompetensi komunikatif.
Proses performansi kebahasaan biasanya diartikan sebagai kegiatan verbal
yang berkaitan dengan proses pengungkapan. Sebagai bagian dari proses
pengungkapan, performansi kebahasaan mengandung ciri-ciri sosiokultural
khusus yang mewarnai bahasa seseorang. Performansi kebahasaan sering dikenal
sebagai pemakaian bahasa secara aktual dalam situasi kongkret. Jadi pembelajaran
yang komunikatif adalah pembelajaran bahasa yang memungkinkan peserta didik
memiliki kesempatan yang memadai untuk mengembangkan kebahasaan dan
28
menunjukkan dalam kegiatan berbahasa, baik kegiatan produktif maupun reseptif
sesuai dengan situasi yang nyata, bukan situasi buatan yang terlepas dari konteks.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kompetensi
komunikatif adalah keterkaitan dan interelasi antara kompetensi gramatikal atau
pengetahuan kaidah-kaidah bahasa dengan kompetensi sosolingistik atau aturan-
aturan tentang penggunaan bahasa yang sesuai dengan kultur masyarakat.
Kompetensi komunikatif hendaknya dibedakan dengan performansi komunikatif
karena performansi komunikatif mengacu pada realisasi kompetensi kebahasaan
beserta interaksinya dalam pemroduksian secara aktual dengan pemahaman
terhadap tuturan-tuturan. Oleh sebab itu, seseorang yang dikatakan memiliki
kompetensi dan performansi berbahasa yang baik hendaknya mampu
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang dipelajarinya, baik dalam
pemroduksian (berbicara, dan menulis/mengarang) maupun dalam pemahaman
(membaca, dan menyimak/mendengarkan).
Konsep kompetensi komunikatif menurut Cambell dan Wales, Hymes dan
Munby (dalam Omaggio, 1996:7) meliputi kompetensi gramatikal, sosiolinguistik,
kewacanaan dan kompetensi strategi. Keempat konsep kompetensi komunikatif
ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kompetensi gramatikal mencakup kemampuan seseorang menguasai
kaidah-kaidah, aturan-aturan atau rumus-rumus ketatabahasaan. kemampuan ini
meliputi pemahaman dan penguasaan kaidah dari tataran fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, dan ortologi.
29
Kompetensi sosiolinguistik mencakup pemahaman dan penguasaan
terhadap aspek-aspek komunikasi bahasa. Di dalamya tercakup kemampuan
memahami penutur, isi komunikasi, alat penyampai pesan, tujuan komunikasi,
dan siapa mitra komunikasinya. Dengan kata lain, kompetensi sosiolinguistik
berkaitan dengan kemampuan seseorang memahami aspek tujuan berkomunikasi,
ragam bahasa yang digunakan, diksi, serta nuansa-nuansa lain yaang berkaitan
dengan aspek sosial dan bahasa.
Kompetensi kewacanaan berkaitan erat dengan pemahaman dan
penguasaan seorang penutur bahasa terhadap aspek fisik serta mental bahasa.
Yang dimaksud dengan aspek fisik adalah aspek tuturan, lisan maupun tulisan,
dari tataran kalimat, paragraf, hingga wacana, sedangkan, aspek mental bahasa
berkaitan dengan makna, nuansa dan rasa bahasa.
Kemampuan untuk mengolah informasi sehingga menjadi sebuah wacana
yang dipahaminya menjadi informasi yang dikemukakan kepada orang lain, juga
ditentukan oleh strategi berpikir. Dalam konsep kompetensi berbahasa, hal ini
disebut kompetensi startegi. Kompetensi ini berkaitan dengan keterkaitan antara
kemampuan berbahsa dengan berpikir.
Kaitan tentang hubungan antara bahasa dengan kemampuan berpikir
merupakan konsep psikolinguistik. Secara garis besarnya, terdapat tiga pendapat
tentang hubungan antara kemampuan berpikir dengan kemampuan berbahasa ,
yaitu (1) kemampuan berbahasa tidak memliki hubungan dengan kemampuan
berpikir, (2) kemampuan berbahasa pada dasarnya identik dengan kemampuan
30
berpikir , dan (3) kemampuan berbahasa dan kemampuan berpikir memiliki
keterkaitan, akan tetapi antara keduanya tidak identik (Ali, dkk, 1994 : 33).
Rumusan pendapat pertama diungkapkan oleh Jarsid, dkk (dalam Ali,
dkk, 199 : 34). Bahwa antara berbahasa dan berpikir tidak terdapat hubungan
kausal. Bahasa hanyalah merupakan alat untuk membantu pikiran, membedakan,
dan mempertajam konsep-konsep. Oleh karena itu perkembangan berpikir
seseorang tidak terkait dengan kemampuan berbahasanya.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh Laird (dalam Ali, dkk, 199:34)
bahwa manusia tidak hanya berpikir dengan otaknya, tetapi juga dengan
bahasanya. Laird menambahkan lagi untuk memisahkan kegiatan berpikir dengan
kegiatan berbahasa merupakan sesuatu yang mustahil. Tidak ada penalaran tanpa
bahasa dan tidak ada bahasa tanpa penalaran karena keduanya identik.
Pendapat yang mendukung bahwa antara berbahasa dan berpikir memiliki
keterkaitan timbal balik, tetapi keduanya tidak identik adalah oleh para ahli
psikologi dan psikolinguistik. Fyle (dalam Ali, dkk 1994:36) yang merujuk pada
hasil penelitian Bullock pada tahun 1975 menyimpulkan bahwa bahasa
merupakan faktor utama dalam proses pembelajaran dan pengembangan
kemampuan kognitif. Bahasa dipandang sebagai sarana aktivitas simbolik.
Dengan bahasa manusia dapat merefleksikan kehidupannya, menerjemahkan, dan
mentransformasikan pengalamannya.
31
2.3 Kajian Penelitian yang Relevan
2.3.1 Zubaidah Nur tahun 2012 penelitian yang berjudul “Penerapan Pendekatan
Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk meningkatkan
Keterampilan Berbicara Pada Siswa Kelas III. Ditemukan bahwa penerapan
pendekatan komunikatif kelas III SDN Pisang Candi 2 Malang berhasil. Hal ini
dapat dilihat dari meningkatnya nilai rata-rata pada indikator keberanian siswa
3,17% siklus 1 menjadi 3,93% pada siklus II, nilai rata-rata pada indikator
keaktifan 2,82% siklus I, menjadi 3,27% pada siklus II, nilai rata-rata pada
indikator kelancaran 2,75% siklus I, menjadi 3,27% pada siklus II nilai rata-rata
pada indikator intonasi 3,37% sikjlus I, meningkat menjadi 3,69% pada siklus II,
nilai rata-rata pada indikator keruntutan 3,62% siklus I, meningkat menjadi 3,68%
pada siklus II dan nilai rata-rata pada indikator pemilihan kata 3,17% siklus I,
menjadi 3,41% pada siklus II. pendekatan komunikatif untuk meningkatkan
keterampilan berbicara siswa kelas III SDN Pisang Candi 2 Malang dapat
tercapai..
2.3.2 Penelitian yang berjudul “Pendekatan komunikatif dalam Meningkatkan
kemampuan mendengarkan dan berbicara anak Tunagrahita Ringan” oleh Rentina
Simanjuntak yang menggunakan metode komunikatif dengan teknik bermain
ternyata dapat meningkatkan keterampilan mendengarkan dan berbicara anak tuna
grahita ringan. Dalam penelitian ini pendekatan komunikatif disimpulkan dapat
meningkatkan kemampuan mendengarkan dan berbicara bagi anak tunagrahita.
2.3.3 Pendekatan komunikatif berdasarkan penelitian yang berjudul
“Kemampuan Berbicara dengan Menggunakan Pendekatan Komunikatif” ini
32
dapat meningkatkan kemampuan berbahasa Arab siswa setelah belajar bahasa
Arab dengan menggunakan pendekaatan komunikatif.
Berdasarkan hasil ketiga penelitian di atas peneliti terinspirasi untuk
melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan komunikatif dalam
meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas III SD. Berbeda dengan
penelitian di atas, pada penelitian ini subjek penelitian adalah siswa kelas III
bukan yang berkemampuan khusus, tetapi siswa normal. Selain itu fokus
penelitian adalah pada kemampuan berbicara dalam bahasa Indonesia melalui
pembelajaran bahasa Indonesia. Sementara dengan penelitian Zubaidah Nur, yang
memfokuskan pada penerapan Pendekatan Komunikatif, maka penelitian ini lebih
pada upaya peningkatan kemampuan berbicara siswa kelas III SDN 1 Kabila.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian-
penelitian terdahulu.
2.4 Hipotesis Tindakan
Adapun yang menjadi hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah, “Jika
guru menggunakan pendekatan komunikatif maka kemampuan berbicara siswa di
kelas III SDN I Kabila Kab. Bone Bolango akan meningkat”.
2.5 Indikator Kinerja
Yang menjadi indikator keberhasilan pada penelitian ini adalah apabila
anak yang menjadi subjek penelitian, kemampuan berbicara dapat ditingkatkan
melalui pendekatan komunikatif mengalami peningkatan dari 42 % hingga
mencapai 75 % dalam kategori baik sesuai dengan aspek yang diamati melalui
proses pembelajaran.