Post on 05-Feb-2018
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Theory of Planned Behavior
Menurut Feld & Frey (2007) penelitian mengenai kepatuhan pajak, dapat
dilihat dari sisi psikologi wajib pajak. Pendekatan melalui aspek psikologi
dilakukan mengingat dalam suatu negara yang menganut demokrasi, hubungan
antara pembayar pajak dengan otoritas pajak dapat dilihat sebagai suatu kontrak
psikologi. Suatu kontrak psikologi menuntut adanya hubungan yang setara antara
pembayar pajak tergantung dari seberapa besar kedua belah pihak saling
mempercayai dan mematuhi atau memenuhi komitmen dalam kontrak psikologi
(Hidayat, 2010)
Kajian dalam bidang psikologi mengenai faktor yang mempengaruhi
perilaku kepatuhan pajak, salah satunya adalah melalui Theory of Planned
Behavior (TPB) (Ajzen, 1991) dalam (Hidayat, 2010). Berdasarkan model TPB,
menurut Ajzen (1991), dapat dijelaskan bahwa perilaku individu untuk patuh
terhadap ketentuan perpajakan ditentukan oleh niat (intention). Niat untuk
berperilaku dipengaruhi oleh tiga factor sebagai berikut.
1) Behavioral belief
Keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku (outcome belief) dan
evaluasi terhadap hasil dari keyakinan tersebut. Keyakinan dan evaluasi
terhadap hasil ini akan membentuk variabel sikap (attitude).
2
2) Normatif belief
Keyakinan individu tentang harapan normatif orang lain yang menjadi
rujukannya, seperti keluarga, teman, dan konsultan pajak serta motivasi
untuk mencapai harapan tersebut. Harapan normatif ini membentuk
veriabel norma subjektif (subjective norm).
3) Control belief
Keyakinan individu tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau
menghambat perilakunya dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal
tersebut mempengaruhi perilakunya. Control belief membentuk variabel
kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control).
Menurut Ajzen (1991) sikap yang mendorong perilaku (attitude toward
behavior) merupakan derajat dimana seseorang memiliki evaluasi atau penilaian
positif atau negatif terhadap perilaku yang akan ditampilkan. Respon positif atau
negatif itu adalah hasil proses evaluasi (outcome evaluation) terhadap keyakinan
(behavioral belief strength) individu yang mendorong perilaku.
Pengertian norma subjektif (subjective norm) adalah persepsi tekanan
sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu. Norma
subjektif merupakan fungsi dari harapan yang dipersepsikan (injunctive normative
beliefs) individu dimana satu atau lebih orang di sekitarnya (misalnya, saudara,
teman sejawat) menyetujui perilaku tertentu dan memotivasi individu (motivation
to comply) tersebut untuk mematuhi mereka (Ajzen, 1991). Penelitian ini
menggunakan satu indikator yang digunakan sebagai motivasi wajib pajak untuk
berperilaku patuh yaitu pengaruh akuntabilitas pelayanan publik.
3
Pengertian kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control)
Ajzen (1991) mendefinisikan sebagai persepsi kemudahan atau kesulitan untuk
melakukan perilaku. Semakin besar (power of control) semakin besar pula niat
seseorang untuk melakukan perilaku yang sedang dipertimbangkan. Indikator
yang digunakan sebagai kontrol pada penelitian ini adalah sanksi perpajakan.
Sanksi pajak dibuat adalah untuk mendukung agar wajib pajak mematuhi
peraturan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak akan ditentukan berdasarkan
persepsi wajib pajak tentang seberapa kuat sanksi pajak mampu mendukung
perilaku wajib pajak untuk taat pajak.
Behavioral beliefs, normative beliefs, dan control beliefs sebagai tiga
faktor yang menentukan seseorang untuk berperilaku. Setelah terdapat tiga faktor
tersebut, maka seseorang akan memasuki tahap intention, kemudian tahap terakhir
adalah behavior. Tahap intention merupakan tahap dimana seseorang memiliki
maksud atau niat untuk berperilaku, sedangkan behavior adalah tahap seseorang
berperilaku (Mustikasari, 2007).
2.1.2 Pengertian Pajak
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga atas UU No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Soemitro dalam Resmi (2007:1), pajak
adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
4
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum (Mardiasmo, 2009:1).
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
unsur–unsur pajak adalah sebagai berikut:
1) iuran masyarakat kepada negara
2) berdasarkan undang-undang ( yang dapat dipaksakan )
3) tanpa jasa timbal (prestasi) dari negara yang dapat langsung di tunjuk
4) untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum
Rusyadi (2009), mengatakan pajak merupakan sumber pendanaan bagi
Pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawab Negara untuk mengatasi
masalah sosial, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran serta menjadi
kontrak sosial antara warga negara dengan Pemerintah.
2.1.3 Fungsi Pajak
Pajak bagi Negara mempunyai fungsi yang sangat penting karena pajak
merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi Negara dalam menjalankan roda
pemerintah. Terdapat dua fungsi pajak (Mardiasmo, 2011:1) yaitu.
1) Fungsi anggaran (budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya. Misalnya, pajak dimasukkan dalam APBN
sebagai penerimaan dalam negeri.
5
2) Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Misalnya, pajak yang tinggi
dikenakan pemerintah dalam bidang sosial untuk mengurangi konsumsi
minuman keras di masyarakat, tarif pajak yang tinggi dikenakan pada
kepemilikan kendaraan pribadi seperti mobil yang dikenakan pajak
progresif untuk mengurangi kepemilikan mobil agar mengurangi
kemacetan lalu lintas, serta tarif 0% dikenakan pada ekspor untuk
meningkatkan ekspor produk dalam negeri.
2.1.4 Pengelompokkan Pajak
Pada dasarnya pajak dikelompokkan karena setiap pajak yang dipungut
memiliki kriteria sifat dan kegunaan yang berbeda-beda. Menurut Mardiasmo
(2009:5), pajak dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu.
1) Menurut Golongannya
(1) Pajak Langsung adalah pajak yang bebannya harus dipikul oleh wajib
pajak yang bersangkutan dalam pengertian administratif, pajak
langsung adalah pajak yang dipungut secara berkala, seperti pajak
penghasilan.
(2) Pajak Tidak Langsung adalah pajak-pajak yang bebannya dapat
dilimpahkan kepada pihak ketiga atau konsumen. Pajak tidak
langsung dalam pengertian administratif adalah pajak yang dipungut
atas peristiwa atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak,
6
misalnya terjadi penyerahan barang-barang pembuat akta, seperti
pajak Pertambahan Nilai dan Bea Materai.
2) Menurut Sifatnya
(1) Pajak Subjektif (bersifat perorangan) adalah pajak yang
memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak, untuk menetapkan
pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang objektif yang
berhubungan erat dengan keadaan materialnya yaitu yang disebut
daya pikul, seperti pajak penghasilan.
(2) Pajak Objektif (bersifat kebendaan) adalah pajak yang melihat kepada
objeknya baik itu berupa benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan,
atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar,
kemudian baru dicari subjeknya, seperti Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3) Menurut Lembaga Pemungutnya
(1) Pajak Negara (Pajak Pusat), adalah pajak yang dipungut pemerintah
pusat yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Departemen
Keuangan dan hasilnya akan digunakan untuk membiayai rumah
tangga negara pada umumnya, seperti Pajak Penghasilan, Pajak Bumi
dan Bangunan, Bea Materai, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh daerah seperti Provinsi,
Kabupaten, maupun Kotamadya berdasarkan peraturan daerah masing-
7
masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga
daerah masing-masing, seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak
Reklame, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Penerangan Jalan dan Pajak Parkir.
2.1.5 Cara Pemungutan Pajak
Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tiga stelsel (Mardiasmo,
2011:6) yaitu.
a) Stelsel nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata),
sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak,
yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
b) Stelsel anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan
tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
c) Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,
kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan
yang sebernarnya.
8
2.1.6 Syarat Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak harus memenuhi beberapa syarat agar tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan (Mardiasmo, 2011:2). Syarat
pemungutan tersebut antara lain sebagai berikut.
1) Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang
dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam undang-undang
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam
pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk
mengajukan keberatan, penundaan dalam membayar dan mengajukan
banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2) Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis).
Di Indonesia, pajak harus diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara
maupun warganya.
3) Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran produksi maupun
perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat.
4) Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan
sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
9
5) Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah
dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
2.1.7 Sistem Pemungutan Pajak
Dalam sistem perpajakan dikenal official assessment system, self assessment
system dan with holding system. Rahayu (2010:101) dalam bukunya menguraikan
sistem tersebut sebagai berikut.
a. Official Assessment System merupakan sistem perpajakan dimana
inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus.
Jadi dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat pasif sedangkan fiskus
bersikap aktif. Menurut sistem ini utang pajak timbul apabila telah ada
ketetapan pajak dari fiskus.
b. Self Assessment System adalah sistem pemungutan pajak dimana Wajib
Pajak harus menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan jumlah pajak yang terutang. Aparat pajak hanya bertugas
melakukan penyuluhan dan pengawasan untuk mengetahui kepatuhan
Wajib Pajak. Upaya untuk mensukseskan sistem tersebut dibutuhkan
beberapa prasyarat Wajib Pajak antara lain.
1. Kesadaran Wajib Pajak
2. Kejujuran dan kedisiplinan Wajib Pajak
3. Kemauan membayar pajak dari Wajib Pajak
10
c. With Holding System adalah sistem pemungutan pajak yang mana
besarnya pajak terutang dihitung dan dipotong oleh pihak ketiga. Pihak
ketiga yang dimaksud disini antara lain pemberi kerja, dan
bendaharawan pemerintah.
Sebagaimana telah diketahui bahwa dengan reformasi perpajakan tahun
1983, sistem perpajakan di Indonesia menganut self assessment system. Dari
sistem tersebut yang paling utama yaitu adanya kewajiban Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Harapan agar
sistem perpajakan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan adanya
kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak serta penegakan hukumnya.
2.1.8 Pengertian Wajib Pajak
Wajib pajak menurut Pasal 1 Ayat 2 UU KUP No. 28 Tahun 2007 adalah
orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan
pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib pajak merupakan
orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subyektif dan syarat-syarat
obyektif. Orang yang memenuhi syarat subyektif merupakan subyek pajak, tetapi
belum tentu merupakan wajib pajak sebab untuk menjadi wajib pajak, subyek
pajak tersebut harus memenuhi syarat-syarat obyektif yaitu menerima atau
memperoleh penghasilan kena pajak.
11
2.1.9 Pajak Daerah
Pajak daerah dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang Nomor 18 Tahun
1997 tersebut mengalami perubahan menjadi Undang-undang Nomor 34 Tahun
2000 dan kini telah diubah kedua kalinya menjadi Undang-undang 28 Tahun
2009.
Berdasarkan Undang-undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah iuran wajib
yang dilakukan oleh orang pribadi atau kepala daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang dan dapat dipaksakan berdasarkan peraturan Perundang-undangan
yang berlaku, serta digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah
daerah dan pembangunan daerah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 28
Tahun 2009 tersebut, Pajak Daerah dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu.
1) Pajak Daerah Tingkat I (Provinsi), meliputi:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan;
e. Pajak Rokok.
2) Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), meliputi:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
12
d. Pajak Reklama;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir.
2.1.10 Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
Menurut Undang- undang Nomor 34 Tahun 2000, pajak kendaraan
bermotor merupakan bagian dari pajak daerah jenis pajak provinsi yang dipungut
melalui instansi Kantor Bersama SAMSAT tiap Kabupaten/ Kota. Definisi Pajak
Kendaraan Bermotor yang disingkat PKB menurut Peraturan Gubernur Bali
Nomor 31 Tahun 2006 adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan
kendaraan bermotor. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 menguraikan
dalam:
1) Pasal 1 butir 2 bahwa Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan
beroda dua atau lebih serta gandenganya yang digunakan disemua jenis
jalan darat, dan digerakan oleh peralatan teknik berupa motor atau
peralatan lainya yang berfungsi mengubah suatu sumber daya energi
tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan,
termasuk alat- alat berat dan alat- alat besar yang bergerak.
2) Pasal 3 butir 1 bahwa Subyek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang
pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan
bermotor.
3) Pasal 3 butir 2 bahwa Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang
pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor.
13
4) Pasal 2 butir 1 bahwa Obyek Pajak Kendaraan Bermotor adalah
kepemilikan dan/atau penguasa kendaraan bermotor.
5) Pasal 2 butir 2 bahwa dikecualikan sebagai Obyek Pajak Kendaraan
Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasa kendaraan bermotor oleh:
a) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
b) Kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing, dan perwakilan lembaga-
lembaga internasional dengan asas timbal balik;
c) Subyek Pajak lainya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
2.1.11 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
Pemungutan PKB di Indonesia saat ini didasarkan pada dasar hukum yang
jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait.
Dasar hukum pemungutan PKB pada suatu provinsi adalah sebagai berikut.
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
3. Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
4. Peraturan Gubernur Bali Nomor 28 Tahun 2012 tentang Penghitungan Dasar
Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor Dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor.
2.1.12 Objek dan Subjek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
Obyek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) menurut Peraturan Gubenur Bali
Nomor 28 Tahun 2005 Bab II Pasal 3 dan 4, menyebutkan obyek Pajak
14
Kendaraan Bermotor (PKB) adalah pemilik dan atau penguasaan kendaraan
bermotor. Dikecualikan dari obyek pajak antara lain.
1) Kendaraan Bermotor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemerintah
Kabupaten/ Kota, Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Desa atau
Pemerintah Kelurahan.
2) Kendaraan Bermotor Kedutaan, Konsulat Perwakilan Negara Asing dan
Perwakilan Lembaga-lembaga Internasional dengan asas timbal balik
sebagaimana berlaku untuk pajak negara.
3) Kendaraan bermotor wisata mancanegara yang berada di wilayah Provinsi
Bali untuk jangka waktu 60 hari berturut- turut.
4) Kendaraan bermotor yang digunakan sebagai pemadam kebakaran.
5) Kendaraan bermotor yang disegel atau disita oleh Negara atau tersangkut
perkara pidana.
Subyek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) menurut Pasal 5 Peraturan
Gubenur Bali Nomor 28 Tahun 2005 disebutkan:
1) Subyek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang
memiliki dan atau menguasai kendaraan bermotor.
2) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan
bermotor.
3) Yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak adalah :
a) Untuk orang pribadi adalah orang yang bersangkutan, kuasanya atau
ahli warisnya.
b) Untuk badan adalah penguasa atau kuasanya.
15
2.1.13 Tarif dan Dasar Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
Tarif pajak yang berlaku pada Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) adalah
tarif sebanding/proposional yaitu suatu tarif berupa persentase yang tetap terhadap
berapapun jumlah yang dikenakan pajak sehingga besarnya pajak yang terutang
proposional terhadap nilai yang dikenakan pajak. Peraturan Gubernur Bali Nomor
31 Tahun 2006 menyatakan bahwa perhitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB) berdasarkan perkalian nilai jual kendaraan bermotor dan bobot
yang mencerminkan serta relatif kadar kerusakan jalan dan pencemaran
lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Bobot untuk menghitung
dasar pengenaan PKB, dihitung berdasarkan faktor- faktor yang meliputi.
1) Tekanan gandar;
2) Jenis bahan bakar kendaraan bermotor; dan
3) Jenis, penggunaan, tahun pembuatan dan ciri- ciri mesin dari kendaraan
bermotor.
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut.
1) Sedan, Sedan Station, Jeep, Station Wegon, Minibus, Microbus, Bus,
Sepeda Motor dan sejenisnya serta alat- alat berat dan alat- alat besar,
sebesar 1,00;
2) Mobil Barang/ Beban, sebesar 1,30.
Dasar pengenaan PKB untuk kendaraan umum ditetapkan 40% (empat puluh
persen) sampai 60% (enam puluh persen) dari dasar pengenaan PKB sebagai
tercantum dalam kolom 8 Lampiran 1 Peraturan Gubernur Bali Nomor 31 Tahun
2006 tersebut.
16
2.1.14 Ketentuan Kewajiban Membayar Pajak, Tata Cara Perpajakan dan Persyaratan Membayar Pajak pada Kantor SAMSAT
Adapun ketentuan mengenai kewajiban membayar pajak menurut Pasal 10
UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara disebutkan
bahwa:
1) Wajib pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas
Negara melalui Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau
Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak dan pelaporan serta tata cara
mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
Adapun persyaratan untuk membayar pajak kendaraan bermotor adalah
sebagai berikut.
1) Mengisi formulir Surat Pendaftaran dan Pendataan Kendaraan
Bermotor (SPPKB) yang sekaligus berfungsi sebagai pernyataan tidak
terjadi perubahan sepesifikasi kendaraan bermotor.
2) Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) asli.
3) Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) asli.
4) Kartu Tanda Penduduk (KTP) sesuai alamat pada STNK.
5) Bukti pelunasan PKB dan Surat Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
(SWDKLLJ) atau Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) yang telah
divalidasi tahun terakhir.
17
2.1.15 Sosialisasi Perpajakan
Menurut Hendarsyah (2009) sosialisasi adalah sebagai suatu proses dimana
orang-orang mempelajari sistem nilai, norma dan pola perilaku yang diharapakan
oleh kelompok sebagai bentuk transformasi dari orang tersebut sebagai orang luar
menjadi organisasi yang efektif.
Sosialisasi perpajakan merupakan suatu upaya dari Dirjen Pajak untuk
memberikan pengertian, informasi dan pembinaan kepada masyarakat dan wajib
pajak mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan dan
perundang-undangan perpajakan (Adiyati, 2009).
Dari pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sosialisasi
perpajakan merupakan upaya Dirjen Pajak khususnya kantor SAMSAT untuk
memberikan pengertian, informasi dan pembinaan kepada masyarakat pada
umumnya dan khususnya wajib pajak mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan peraturan dan perundang-undangan perpajakan. Dengan adanya sosialisasi
perpajakan diharapkan dapat terciptanya partisipasi yang efektif di masyarakat
dalam memenuhi hak dan kewajiban sebagai wajib pajak dalam memenuhi hak
dan kewajibannya.
Menurut Adiyati (2009) dalam melakukan sosialisasi perlu adanya strategi
dan metode yang tepat yang dapat diaplikasikan dengan baik yaitu, publikasi,
kegiatan, pemberitahuan, keterlibatan komunitas, pencantuman identitas dan
pendekatan pribadi.
18
(1) Publikasi (Publication)
Adalah aktivitas publikasi yang dilakukan melaui media komunikasi
setempat, baik media cetak seprti surat kabar, majalah maupun media
audio visual seperti radio ataupun televisi.
(2) Kegiatan (Event)
Institusi pajak dapat melibatkan diri pada penyelenggaraan aktivitas-
aktivitas tertentu yang dihubungkan dengan program peningkatan
kesadaran masyarakat akan perpajakan pada momen-momen tertentu,
misalnya kegiatan olahraga, hari-hari libur nasional dan lain sebagainya.
(3) Pemberitaan (News)
Pemberitaan dalam hal ini mempunyai pengertian khusus yaitu menjadi
bahan berita dalam arti positif, sehingga menjadi sarana promosi yang
efektif. Pajak dapat disosialisasikan dalam bentuk berita kepada
masyarakat, sehingga masyarakat dapat lebih cepat menerima informasi
tentang pajak.
(4) Keterlibatan Komunitas (Community Involvement)
Melibatkan komunitas yang pada dasarnya adalah cara untuk mendekatkan
institusi pajak dengan masyarakat dimana iklim budaya indonesia masih
menghendaki adat ketimuran untuk bersilaturahmi dengan tokoh setempat
sebelum institusi pajak dibuka.
(5) Pencantuman Identitas (Identity)
Berkaitan dengan pencantuman logo otoritas pajak pada berbagai media
yang ditujukan sebagai sarana promosi.
19
(6) Pendekatan Pribadi (Lobbying)
Pengertian lobbying adalah pendekatan pribadi yang dilakukan secara
informal untuk mencapai tujuan tertentu.
Berdasarkan cara penyampaiannya, metode sosialisasi perpajakan dibagi
menjadi dua yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung
berarti sosialisasi perpajakan dilakukan dengan berhadapan atau bertatap muka,
maupun tanpa tatap muka dimana penyuluh dan yang disuluh terjadi suatu
komunikasi interaktif pada waktu yang bersamaan. Bentuk sosialisasi perpajakan
secara langsung, misalnya sosialisasi dalam bentuk ceramah, diskusi, seminar,
wawancara, tanya jawab, ataupun siaran interaktif di media elektronik (Vivien,
2005). Adapun metode sosialisasi perpajakan tidak langsung dilaksanakan dengan
menggunakan media cetak maupun elektronik, dimana antara penyuluh dan yang
disuluh tidak terjadi komunikasi interaktif. Misalnya melalui iklan layanan
masyarakat yang disiarkan di radio-radio dan televisi,serta koran atau majalah.
Tujuan sosialisasi perpajakan secara khusus adalah mendorong kesediaan
dan kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak. Melalui sosialisasi perpajakan
diharapkan pula pengetahuan dan kesadaran masyarakat wajib pajak untuk
memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban perpajakan semakin meningkat.
2.1.16 Sanksi Perpajakan
Terdapat undang-undang yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata
cara perpajakan. Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan
kepada orang yang melanggar peraturan. Sanksi diperlukan agar peraturan atau
20
undang-undang tidak dilanggar. Agar peraturan perpajakan dipatuhi, maka harus
ada sanksi perpajakan bagi para pelanggarnya.
Definisi sanksi pajak menurut Mardiasmo (2008:57) adalah sebagai
berikut: “Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau bisa
dengan kata lain sanksi pajak merupakan alat pencegah (preventif) agar wajib
pajak tidak melanggar norma perpajakan.”
Dengan diberikannya sanksi terhadap wajib pajak yang lalai maka wajib
pajak pun akan berfikir dua kali jika dia akan melakukan tindak kecurangan atau
dengan sengaja lalai dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, sehingga wajib
pajak pun akan lebih memilih patuh dalam hal pemenuhan kewajiban
perpajakannya daripada dia harus menanggung sanksi yang diberikan. Hal serupa
juga dikemukakan oleh M.Zain (2007:35) yaitu. ”Sesungguhnya tidak diperlukan
suatu tindakan apapun, apabila dengan rasa takut dan ancamam hukuman (sanksi
dan pidana) saja wajib pajak sudah akan mematuhi kewajiban perpajakannya.
Perasaan takut tersebut merupakan alat pencegah yang ampuh untuk mengurangi
penyelundupan pajak atau kelalaian pajak. Jika hal ini sudah berkembang
dikalangan para wajib pajak maka akan berdampak pada kepatuhan dan kesadaran
untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.”
Dalam Mardiasmo (2008:57) undang-undang perpajakan dikenal ada dua
macam sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi administrasi. Sanksi pidana
merupakaan siksaan atau penderitaan, suatu alat pencegah atau banteng hukum
yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Sedangkan sanksi
21
administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara khsususnya yang
berupa bunga dan kenaikan.
Mardiasmo (2008:57) menjelaskan bahwa menurut ketentuan dalam
undang-undang perpajakan ada 3 macam sanksi pidana antara lain sebagai berikut.
1. Denda pidana merupakan sanksi yang dikenakan kepada tindak pidana
yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan.
2. Pidana kurungan merupakan sanksi yang hanya dikenakan kepada
tindak pidana yang bersifat pelanggaran.
3. Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman
perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap
kejahatan.
Selanjutnya Devano dan Rahayu (2006:58) menjelaskan bahwa menurut
ketentuan dalam undang-undang perpajakan ada 3 macam sanksi administrasi
yaitu:
1. Denda merupakan sanksi administrasi yang dikenakan terhadap
pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan.
2. Bunga merupakan sanski administrasi yang dikenakan terhadap
pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran pajak.
3. Kenaikan merupakan sanksi yang berupa kenaikan jumlah pajak yang
harus dibayar, terhadap pelanggaran berkaitan dengan kewajiban yang
diatur dalam ketentuan material.
Pandangan tentang sanksi perpajakan tersebut diukur dengan indikator
(Yadnyana, 2009 dalam Muliari dan Setiawan, 2010) sebagai berikut :
22
a. Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat.
b. Sanksi adminstrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat
ringan.
c. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana mendidik
wajib pajak.
d. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi.
e. Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan.
2.1.17 Persepsi Tentang Akuntabilitas Pelayanan Publik
Kamus besar bahasa Indonesia (1995) dalam Devi dan Kautsar (2011)
mendefinisikan persepsi sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu
atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indera. Dapat
disimpulkan persepsi merupakan pemikiran seseorang terhadap apa yang dialami
secara langsung yang juga dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya.
Menurut Agus Nugroho Jatmiko (2006) Persepsi seseorang kepada orang
lain sangat dipengaruhi kondisi eksternal dan internal. Penentuan kondisi
eksternal maupun internal dipengaruhi tiga faktor (Robbins dalam Agus Nugroho
Jatmiko;2006) yaitu kekhususan, konsensus dan konsistensi. Kekhususan
merupakan persepsi seseorang mengamati perilaku individu lain secara berbeda
dalam situasi yang berlainan. Kekhususan yang luar biasa akan dianggap sebagai
faktor internal dan sebaliknya bila perilaku individu dianggap biasa maka
dianggap sebagai faktor eksternal.
Konsensus adalah kesamaan pandangan seseorang satu dengan yang lain
dalam mengamati perilaku individu lain dalam situasi yang sama. Konsensus yang
23
tinggi dianggap sebagai faktor internal sedangkan konsensus yang rendah
dianggap sebagai faktor eksternal. Faktor terakhir yaitu konsistensi yang
merupakan respon seseorang terhadap individu lain yang selalu sama dari waktu
ke waktu. Semakin konsisten sikap orang lain tersebut maka hal tersebut
dianggap sebagai faktor-faktor internal. Namun pada kenyataannya seseorang
menganggap jika dalam kesuksesan maka persepsi mereka dipengaruhi hal-hal
internal. Sebaliknya bila mengalami kegagalan hal-hal tersebut dipengaruhi secara
eksternal.
Secara sederhana pelayanan publik dapat diartikan pelayanan yang
ditujukan pada orang banyak (masyrakat/publik). Secara teoritis sedikitnya
terdapat tiga fungsi utama yang harus dijalankan pemerintah tanpa memandang
tingkatnya yaitu public service function (fungsi pelayanan masyarakat),
development function (fungsi pembangunan), dan protection function (fungsi
perlindungan).
Akuntabilitas pada dasarnya adalah kewajiban pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan tugas-tugas pada publik karena pemerintah
dibentuk/dibuat oleh publik dan untuk publik (Armunanto, 2005). Akuntabilitas
Publik terdiri dari 2 macam yaitu:
a) Pertanggungjawaban Vertikal (Vertical Accountability) adalah
pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih
tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada
pemerintah daerah, pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat.
24
b) Pertanggungjawaban Horizontal (Horizontal Accountability) adalah
pertanggungjawaban masyarakat luas.
Dalam konteks organisasi pemerintah, akuntabilitas publik adalah
pemberian informasi dan pernyataaan atas aktivitas dan kinerja keuangan
pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut.
Pemerintah pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi
dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Tuntutan akuntabilitas publik
mengharuskan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekankan pada
pertanggungjawaban horizontal dan bukan hanya pertanggungjawaban vertikal.
Penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan,
baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instansi
pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik
dibagi atas empat dimensi yang meliputi.
1) Fasilitas fisik yakni berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik,
perlengkapan, dan material yang digunakan kantor Samsat.
2) Daya tangkap yakni keinginan dan kesiapan para pegawai Samsat untuk
membantu para wajib pajak dan merespon permintaan mereka serta
menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan
layanan secara tepat.
3) Pelayanan yakni komitmen untuk merealisasikan konsep yang
berorientasi pada wajib pajak, menetapkan suatu standar kinerja pelayanan
dengan memberikan perilaku teladan kepada wajib pajak setiap saat dalam
upaya kewajiban membayar pajak.
25
4) Hubungan komunikasi yakni bagaimana kantor Samsat memahami
masalah wajib pajak dan bertindak demi kepentingan wajib pajak.
2.1.18 Kepatuhan Perpajakan
Menurut kamus umum bahasa Indonesia (Jatmiko, 2006), kepatuhan
berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam hal pajak, aturan yang
berlaku adalah aturan perpajakan. Wajib pajak merupakan orang pribadi atau
badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungutan pajak yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (Mardiasmo, 2011). Dalam hubungannya dengan
kepatuhan perpajakan, Rahayu (2010) mengatakan bahwa “pada prinsipnya
kepatuhan perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban
perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara”.
Kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak Kendaraan
Bermotor menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 1
Tahun 2011 adalah sebagai berikut:
1) Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak
Kendaraan Bermotor (SPPKB), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
Daerah (SPTPD).
2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk Pajak Kendaraan Bermotor
(PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
3) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindakan pidana
dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
26
Pengertian kepatuhan wajib pajak menurut Chaizi Nasucha yang dikutip
oleh Rahayu (2010:139), menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak dapat
didefinisikan dari:
a. kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri;
b. kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT);
c. kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang; dan
d. kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
Kepatuhan wajib pajak dapat dibedakan menjadi kepatuhan formal dan
kepatuhan material (Rahayu, 2010:138).
a. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
perpajakan.
b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara
hakekatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan yaitu sesuai
isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material juga dapat
meliputi kepatuhan formal.
Nowak ( 2007) mengemukakan kepatuhan perpajakan sebagai suatu iklim
kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam
situasi dimana.
1) wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan;
2) mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas;
3) membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
27
2.2 Pembahasan hasil penelitian sebelumnya
Penelitian-penelitian sebelumnya menjadi suatu acuan bagi penelitian ini
untuk dilakukan, antara lain penelitian yang dilakukan Indah (2012) yang berjudul
“Pengaruh kesadaran wajib pajak, pemeriksaan pajak, sanksi perpajakan dan
kualitas pelayanan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara”. Penelitian ini menyatakan kesadaran
wajib pajak berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang
pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara. Pemeriksaan pajak
berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara. Sanksi perpajakan berpengaruh positif
pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Badung Utara. Kualitas pelayanan berpengaruh positif pada kepatuhan
pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung
Utara. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama
menggunakan variabel kesadaran wajib pajak dan sanksi perpajakan sebagai
variabel bebas dan menggunakan kepatuhan wajib pajak sebagai variabel terikat.
Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada variabel bebas ( penambahan
variabel akuntabilitas pelayanan publik ), objek penelitian, tahun serta lokasi
penelitian.
Penelitian oleh Christina dan Kepramarini (2012) dengan judul “Pengaruh
kewajiban moral, kualitas pelayanan dan sanksi perpajakan pada kepatuhan wajib
pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) di Kantor Bersama
Samsat Denpasar” menggunakan teknis analisis data regresi linear berganda. Hasil
28
penelitian ini adalah kewajiban moral berpengaruh positif signifikan terhadap
tingkat kepatuhan wajib pajak, kualitas pelayanan berpengaruh positif signifikan
terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak, dan variabel sanksi perpajakan juga
berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB) di Kantor Bersama Samsat Denpasar. Persamaan
dengan penelitian ini terletak pada salah satu variabel bebas yang digunakan yaitu
sanksi perpajakan, dan variabel terikat, sedangkan perbedaannya terdapat pada
lokasi, waktu penelitian, variabel bebasnya kewajiban moral dan kualitas
pelayanan.
Prasmini (2012) meneliti tentang pengaruh kualitas pelayanan, sosialisasi
perpajakan dan persepsi tentang sanksi perpajakan terhadap kepatuhan pelaporan
wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Denpasar Barat. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa kualitas pelayanan
berpengaruh positif terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi yang
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Barat, sosialisasi
perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak orang
pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Barat, dan
persepsi tentang sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan
pelaporan wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Denpasar Barat. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumya
adalah sama-sama menggunakan variabel kepatuhan wajib pajak sebagai variabel
terikat. Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada variabel bebas
29
(penambahan kesadaran wajib pajak), objek dan tahun penelitian serta lokasi
penelitian.
Penelitian oleh Pancawati dan Nila (2011) dengan judul “Faktor-faktor yang
mempengaruhi kemauan membayar pajak di KPP Pratama Jepara khususnya di
dua kecamatan yaitu di Kecamatan Tahunan dan Kecamatan Jepara”. Variabel
yang diteliti adalah kesadaran membayar pajak, pengetahuan peraturan
perpajakan, pemahaman peraturan perpajakan, persepsi efektivitas sistem
perpajakan, dan kualitas pelayanan. Teknis analisis yang digunakan regresi linear
berganda. Hasil penelitian ini adalah kesadaran membayar pajak signifikan
berpengaruh positif terhadap kemauan membayar pajak, pengetahuan peraturan
pepajakan, pemahaman peraturan perpajakan dan persepsi efektifitas sistem
perpajakan tidak berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak sedangkan
kualitas pelayanan signifikan berpengaruh positif terhadap kemauan membayar
pajak. Persamaan dengan penelitian ini adalah terletak pada variable bebas yaitu
kesadaran membayar pajak sedangkan perbedaannya terletak pada variable terikat,
variable bebas, objek penelitian, lokasi penelitian serta waktu penelitian.
2. 3 Hipotesis penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian (Sugiyono, 2013:93). Hipotesis dalam penelitian ini terbagi menjadi
tiga yaitu hipotesis variabel, sosialisasi perpajakan, sanksi perpajakan dan
akuntanbilitas pelayanan publik.
30
2.3.1 Pengaruh sosialisasi perpajakan pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak kendaraan bermotor (PKB)
Menurut Hendarsyah (2009:12), sosialisasi adalah sebagai suatu proses
dimana orang-orang mempelajari sistem nilai, norma dan pola perilaku yang
diharapakan oleh kelompok sebagai bentuk transformasi dari orang tersebut
sebagai orang luar menjadi organisasi yang efektif yang nanti dikaitkan terhadap
pemenuhan kewajiban perpajakan dalam hal ini untuk kepatuhan wajib pajak
PKB. Alifa (2010) dalam penelitiannya menyatakan secara penyuluhan
perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan hal
tersebut, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
H1: Sosialisasi perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak
dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pada Kantor Bersama
SAMSAT Tabanan.
2.3.2 Pengaruh sanksi perpajakan pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak kendaraan bermotor (PKB)
Undang-undang dan peraturan secara garis besar berisikan hak dan
kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh
masyarakat. Agar undang-undang dan peraturan tersebut dipatuhi, maka harus ada
sanksi bagi pelanggarnya, demikian halnya untuk hukum pajak. Dalam undang-
undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan
sanksi pidana. sanksi administrasi dapat berupa bunga, denda, dan kenaikan.
Menurut Nugroho (2006), wajib pajak akan memenuhi kewajiban
perpajakannya apabila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak
merugikannya. Di samping itu, menurut Faisal (2009: 37) menyatakan bahwa
31
walaupun ada potensi penerimaan negara pada setiap sanksi, namun motivasi
penerapan sanksi adalah agar wajib pajak patuh melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Hasil penelitian Yadnyana (2009), Muliari dan Ery (2010), dan
Arabella (2013) mengungkapkan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh positif
terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak. Berdasarkan hal tersebut maka
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2: Sanksi perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak dalam
membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pada Kantor Bersama
SAMSAT Tabanan.
2.3.3 Pengaruh persepsi tentang akuntabilitas pelayanan publik pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak kendaraan bermotor (PKB)
Pelayanan yang akuntabel sangat diperlukan karena Pajak Kendaraan
Bermotor merupakan kontribusi terbesar untuk Pendapatan Asli Daerah. Atas
dasar konsep pemikiran tersebut SAMSAT Tabanan mempunyai kepentingan
dalam penelitian ini untuk mengetahui apakah pelayanan yang diberikan telah
memberikan kepuasan terhadap wajib pajak sehingga dapat meningkatkan
kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor.
Evi (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa akuntabilitas pelayanan
publik berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut.
H3: Akuntabilitas pelayanan publik berpengaruh positif pada kepatuhan wajib
pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pada Kantor
Bersama SAMSAT Tabanan