Post on 11-Jul-2019
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kanker Ovarium
2.1.1 Epidemiologi
Sampai saat ini, angka insiden kanker ovarium masih tinggi dan cenderung
meningkat. Di dunia, angka insiden kanker ovarium pada tahun 2008 adalah 9,4%
dengan angka kematian sebesar 5,1% (Jemal, dkk., 2011). Angka insiden kanker
ovarium menempati urutan ketujuh di antara kanker pada wanita setelah kanker
payudara, kolorektal, serviks, paru-paru, lambung, dan korpus uteri, serta kanker
terbanyak ketiga di antara kanker ginekologi setelah kanker payudara dan serviks
(Ferlay, dkk., 2010).
Di beberapa negara dilaporkan bahwa angka insiden kanker ovarium
bervariasi. Di Amerika Serikat berdasarkan data the Surveillance, Epidemiology, and
End Results (SEER) dari the U.S. National Cancer Institute (NCI) jumlah kasus
kanker ovarium pada tahun 2008 adalah 21.650 kasus (Jemal, dkk., 2008), sementara
di Inggris pada tahun yang sama terdapat 6.500 kasus kanker ovarium. Jumlah kasus
kanker ovarium di Inggris menempati urutan kedua di antara kanker ginekologi
setelah kanker korpus uteri dan menempati urutan keenam di antara kanker pada
wanita melampaui jumlah kasus kanker serviks (Office for National Statistics, 2010).
Pada tahun 2008, angka insiden kanker ovarium di Eropa bervariasi dari 12 per
100.000 wanita di Eropa Selatan sampai 19 per 100.000 wanita di Eropa Utara.
11
Negara-negara Eropa dengan angka insiden kanker ovarium tertinggi adalah Latvia
dan Lithuania (sekitar 19 per 100.000 wanita), sedangkan negara-negara Eropa
dengan angka insiden kanker ovarium paling rendah adalah Cyprus dan Portugal
(sekitar 7 per 100.000 wanita) (GLOBOCAN, 2008).
Di Asia, angka insiden kanker ovarium secara umum lebih rendah
dibandingkan dengan populasi Eropa dan Amerika Utara. Di Jepang, angka insiden
kanker ovarium meningkat sejak tahun 1970, tetapi tetap lebih rendah dibandingkan
dengan negara-negara barat (Niwa, dkk., 2005). Ushijima (2009) melaporkan angka
insiden kanker ovarium di Jepang pada usia 60 tahun sebanyak 10 per 100.000 wanita
dan terus meningkat setelah usia tersebut.
Di Indonesia, angka insiden kanker ovarium secara pasti tidak diketahui.
Berdasarkan laporan dari Badan Registrasi Kanker Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2003) yang diperoleh dari 13 Laboratorium Pusat Patologi Anatomi di
Indonesia menunjukkan bahwa angka insiden kanker ovarium adalah 4,9%. Angka
insiden kanker ovarium menempati urutan keenam di antara sepuluh kanker tersering
pada pria dan wanita setelah kanker serviks, payudara, kulit, nasofaring, dan
kolorektal, serta menempati urutan ketiga di antara kanker pada wanita setelah kanker
serviks dan payudara (Lubis, dkk., 2003). Hal yang sama ditemukan di Rumah Sakit
Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta, di mana angka proporsi kanker ovarium
pada tahun 2002 menempati urutan ketiga di antara sepuluh kanker tersering pada
wanita yaitu sebanyak 178 kasus (32,5%) (Aziz, 2009). Di RSUP Sanglah Denpasar
12
dilaporkan angka proporsi kanker ovarium sebanyak 35% dari seluruh kanker
ginekologi dan hanya 10% terdiagnosis pada stadium dini (Karyana, 2005).
Angka insiden kanker ovarium juga cenderung meningkat. Di Inggris, angka
insiden kanker ovarium meningkat dari 15 per 100.000 wanita pada tahun 1975
menjadi 19 per 100.000 wanita pada akhir tahun 1990 (Office for National Statistics,
2010). Di Australia, jumlah kasus kanker ovarium meningkat sebanyak 47% dari
tahun 1982 sampai 2006, yaitu dari 833 kasus menjadi 1.226 kasus. Diperkirakan
jumlah kasus baru akan terus meningkat menjadi 1.434 kasus kanker ovarium pada
tahun 2015 (Australia Institute of Health and Welfare, 2010). Di Rumah Sakit Umum
Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta, angka proporsi kanker ovarium antara tahun
1989-1992 sebesar 13,6% (Aziz, 1995) menjadi 32,5% pada tahun 2002 (Aziz, 2009).
Meskipun angka insiden kanker ovarium menempati urutan ketiga akan tetapi
kanker ini merupakan penyebab kematian nomor satu di antara kanker ginekologi. Di
Amerika Serikat (2002) terdapat 23.300 kasus kanker serviks dan sebanyak hanya
51,5 % di antaranya meninggal. Berbeda dengan kanker ovarium di mana ditemukan
16.200 kasus dan angka kematiannya mencapai 85,7%. Di Indonesia, penelitian yang
dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta menemukan
angka harapan hidup selama lima tahun penderita kanker ovarium stadium I sebesar
94,3%, stadium II 75%, stadium III 31%, dan stadium IV 11,7% (Aziz, 2009). Hal ini
terkait dengan hampir 90% diagnosis kanker ovarium ditegakkan pada stadium III ke
atas (Karyana, 2005; Sihombing dan Sirait, 2007). Faktor terpenting yang
mempengaruhi tingginya angka kematian kanker ovarium adalah sebanyak 70-75%
13
kasus terdiagnosis pada stadium lanjut bahkan terminal di mana angka harapan hidup
5 tahun secara keseluruhan adalah 20-30%. Namun, bila ditemukan pada stadium I
maka angka harapan hidup 5 tahun mencapai 90-95 % (ACOG Committee Opinion,
2002). Gambaran ini menunjukkan kemungkinan adanya peluang untuk
meningkatkan angka harapan hidup penderita kanker ovarium bila terdeteksi pada
stadium awal.
Sebagian besar (90%) tumor ovarium adalah tipe epitel dan berasal dari epitel
coelom. Sisanya berasal dari sel-sel germinal atau sel-sel stromal (Karst dan Draphin,
2010). Komponen herediter pada kanker ovarium yang berasal dari sel-sel germinal
atau sel-sel stromal sangat jarang, tetapi termasuk herediter dari tipe ini adalah tumor
sel granulosa pada pasien-pasien dengan sindrom Peutz-Jeghers dan pada kanker
ovarium tipe sel kecil yang diturunkan secara autosomal dominan (Jinawath dan Shih,
2010).
Terdapat banyak faktor predisposisi yang berpengaruh terhadap
perkembangan kanker ovarium. Karakteristik individu seperti umur, ditemukan
bahwa kanker ovarium sangat jarang terjadi pada usia muda dan kemungkinannya
meningkat sejalan dengan peningkatan umur sampai mencapai kejadian yang stabil
dalam rentang usia 50-55 tahun. Beberapa penelitian menemukan risiko kanker
ovarium tipe epitel lebih tinggi pada wanita-wanita dengan status sosial ekonomi
yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan sedikitnya wanita-wanita ini mempunyai anak
(Berek, 2010). Faktor lain yang berperan sebagai faktor risiko kanker ovarium tipe
epitel adalah indeks massa tubuh (IMT). Suatu penelitian menemukan bahwa pada
14
wanita dengan IMT di atas 30 kg/m2 atau obesitas memiliki risiko relatif sebesar 1,59
untuk terjadinya kanker ovarium dibandingan wanita dengan IMT normal (Lahmann,
2009). Faktor reproduksi lain yang berpengaruh terhadap perkembangan kanker
ovarium adalah multiparitas. Multiparitas berkaitan dengan penurunan risiko terkena
kanker ovarium, di mana multiparitas mempunyai risiko relatif terkena kanker
ovarium sebesar 0,6-0,8 dibandingkan dengan wanita nuliparitas (Pelucchi, dkk.,
2007). Faktor lain yang turut berperan dalam penurunan risiko kanker ovarium adalah
menyusui. Wanita-wanita yang menyusui selama 1-2 bulan mempunyai risiko relatif
terjadinya kanker ovarium sebesar 0,6 dibandingkan dengan wanita-wanita yang tidak
pernah menyusui (Jinawath dan Shih, 2010), sedangkan faktor lain yang berperan
meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium adalah infertilitas. Wanita-wanita
infertil mempunyai risiko tinggi terkena kanker ovarium. Beberapa peneliti
menemukan hal ini berkaitan dengan seringnya pasien-pasien infertil terpapar atau
diterapi dengan obat-obat untuk induksi ovulasi (Ness, dkk., 2002; Rossing, dkk.,
2004). Penelitian lainnya menemukan efek proteksi dari kontrasepsi oral terhadap
perkembangan kanker ovarium. Penurunan risiko kanker ovarium pada pemakai
kontrasepsi oral diperkirakan sekitar 30-60% tergantung dari lamanya pemakaian
(Berek, 2010). Suatu penelitian kohort dan kasus kontrol menemukan efek proteksi
sebesar 40% pada wanita-wanita pemakai kontrasepsi oral dan efek proteksinya
meningkat mencapai 50% pada pemakaian selama lima tahun atau lebih (La Vecchia,
2006).
15
Efek proteksi terhadap perkembangan kanker ovarium seperti multiparitas,
menyusui, dan pemakaian kontrasepsi oral mendukung konsep incessant ovulation
merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan terjadinya kanker ovarium.
Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Fathalla (Fathalla, 1971). Peneliti-peneliti
berikutnya menemukan bahwa proses yang terlibat pada upaya mereparasi epitel
permukaan ovarium yang rusak akibat trauma ovulasi, suatu ketika mengalami
perubahan ke arah keganasan. Semakin banyak jumlah total siklus ovulasi sepanjang
hidup wanita, semakin tinggi wanita itu mempunyai risiko terkena kanker ovarium
tipe epitel (Zweemer dan Jacobs, 2000; Purdie, dkk., 2003).
2.1.2 Kanker ovarium dalam keluarga
Kanker ovarium dalam keluarga pertama kali dilaporkan pada tahun 1929
yang terjadi pada 2 saudara kembar. Selama 15 tahun kemudian tidak ada laporan,
tetapi penemuan itu memulai penelitian yang lebih sistematik tentang kemungkinan
kanker ovarium diturunkan secara genetik (Zweemer dan Jacobs, 2000). Meskipun
kanker ovarium dalam keluarga sangat jarang, sekitar 5-10% dari semua kasus kanker
ovarium (Jinawath dan Shih, 2010), banyak peneliti tertarik untuk menemukan kaitan
kemungkinan perubahan genetik dengan kanker ovarium tipe epitel. Kanker ovarium
dalam keluarga dapat muncul sebagai suatu fenomena lokasi spesifik, dalam
kombinasi dengan kanker payudara atau dalam kombinasi dengan kanker
endometrium dan kanker kolon yang diturunkan (sindroma Lynch) (Pal, dkk., 2005).
16
Dalam upaya untuk menemukan gambaran kanker ovarium yang diturunkan,
selama 10 tahun Piver, dkk., (1993) mengumpulkan data 1.568 kasus kanker ovarium
yang berasal dari 658 keluarga. Dalam laporannya, hubungan yang paling sering
terjadi antara ibu dengan anak perempuan, diikuti kemudian antara saudara
perempuan. Hubungan antara ibu dan anak perempuan yang menderita kanker
ovarium dalam keluarga terbukti sekitar 49,5% sementara hubungan antara saudara
terjadi sekitar 38,5%. Penelitian itu juga melaporkan bahwa wanita yang mempunyai
riwayat keluarga di mana ibunya menderita kanker ovarium mempunyai rasio odds
40,73 untuk menderita kanker ovarium, sedangkan wanita dengan riwayat keluarga di
mana saudaranya menderita kanker ovarium mempunyai rasio odds sebesar 34,51.
Penelitian ini secara umum menunjukkan gambaran penurunan secara autosomal
dominan dengan penetrasi yang bervariasi, di mana setiap wanita mempunyai risiko
sepanjang hidupnya lebih dari 50% untuk menderita kanker ovarium. Risiko yang
dihubungkan dengan adanya riwayat keluarga yang menderita kanker ovarium juga
banyak diteliti dengan menggunakan rancangan kasus kontrol. Rasio odds yang
dikaitkan dengan adanya riwayat kanker ovarium dalam keluarga setidaknya pada
generasi pertama, mempunyai rentang 2,5 sampai tak terhingga (Zweemer dan
Jacobs, 2000).
Penelitian-penelitian selanjutnya mendukung peranan genetik pada
perkembangan kanker ovarium. Penelitian sitogenetik kanker ovarium menemukan
karyotyping aneuploid kompleks dengan sejumlah kelainan struktural, yang paling
sering mengenai kromosom 1, 3, 6, 11, 17, dan 19. Meskipun tidak ada kelainan
17
sitogenetik secara spesifik, perubahan yang paling sering adalah deletion pada lengan
pendek kromosom 6 yang menghasilkan mutasi pada sejumlah gen seperti gen
BRCA1 (Buller, dkk., 2001; Deng dan Wang, 2003; Pal, dkk., 2005).
Abnormalitas gen-gen yang berperan pada regulasi siklus sel, proliferasi sel,
proses perbaikan terhadap kerusakan gen, dan apoptosis sering ditemukan dan
merupakan bukti lebih lanjut keterlibatan faktor genetik pada kanker ovarium (Bai
dan Zhu, 2006). Banyak literatur membahas tentang peran penting gen p53 pada
proses karsinogenesis. Mutasi gen p53 sejauh ini merupakan perubahan genetik yang
paling sering dijelaskan pada kanker ovarium tipe epitel (Legge, dkk., 2005).
Penelitian in vitro menunjukkan p53 wild-type berperan sebagai gen penekan tumor.
Protein 53 mutant berperan sebagai onkogen transformasi dominan di dalam kultur
sel dan menunjukkan hubungan dengan p53 wild-type, mungkin melalui ikatan
dengan p53. Karena gen mutant p53 mengkode protein dengan waktu paruh yang
panjang, mutasi gen p53 selalu memungkinkan ekspresi relatif protein p53. Hampir
50% kanker ovarium stadium lanjut memperlihatkan ekspresi p53 mutant, sementara
itu ekspresi p53 mutan pada kanker ovarium stadium awal hanya 15% (Bast dan
Mills, 2000).
2.2 Protein 53 (p53)
2.2.1 Protein penekan tumor p53
Protein 53 (p53) pertama kali diidentifikasi pada tahun 1979 sebagai
transformation-related protein dan protein sel yang terakumulasi pada inti sel kanker
18
dan berikatan kuat dengan simian virus 40 (SV40) large T antigen (Lane dan
Crawford, 1979). Akan tetapi, hampir 10 tahun kemudian para peneliti menemukan
bahwa ternyata protein tersebut merupakan bentuk mutasi dari p53 yang pada
awalnya diistilahkan sebagai p53 wild-type (p53 wt), dan sifat onkogenik dari p53
sebenarnya berasal dari mutasi p53 (Bai dan Zhu, 2006).
Pada masa lalu, p53 diyakini berperan sebagai onkogen karena ditemukan
pada sel-sel yang mengalami perubahan keganasan. Hal ini berdasarkan beberapa
penelitian, di mana beberapa klon p53 dapat diisolasi dan terbukti dapat memelihara
sel-sel kultur tetap hidup melalui kolaborasi dengan c-ras. Tetapi kemudian,
penelitian-penelitian mencatat bahwa p53 pada sel-sel yang mengalami perubahan
keganasan adalah bentuk mutant p53. Penelitian selanjutnya menyatakan bahwa p53
mampu menekan perubahan sel-sel ke arah keganasan yang disebabkan oleh onkogen
di dalam jaringan yang dikultur dan dapat menghambat potensi sel-sel menjadi tumor
pada binatang (Suryohusodo, 2000). Karena alasan tersebut, saat ini p53
diklasifikasikan sebagai protein penekan tumor.
Protein 53 (p53) merupakan penekan tumor yang multifungsi dan sering
mengalami perubahan pada kanker ovarium dan jenis kanker lainnya. Protein 53
dalam kondisi normal berinteraksi dengan berbagai jenis protein yang terlibat dalam
regulasi transkripsional, perbaikan kerusakan DNA, progresi siklus sel, dan apoptosis
(Havrilesky, dkk., 2003). Protein 53 dikenal dengan sebutan beragam seperti p53 atau
TP53. Protein 53 merupakan salah satu molekul terpenting dalam dunia biologi.
Berbagai peran dari p53 yang berhubungan dengan kanker terus berusaha diteliti.
19
Sejauh ini fungsi p53 yang telah diketahui mencakup pengaturan siklus sel, kematian
sel/apoptosis, perbaikan kerusakan DNA yang disebabkan oleh bahan genotoksik,
angiogenesis, dan regulasi stres oksidatif. Relevansi fungsi yang sangat luas
menempatkan p53 pada posisi pengendali yang bertanggung jawab terhadap berbagai
proses terkait dengan kanker. Begitu pula mengingat banyaknya mitra interaksi,
tidaklah mengherankan jika penyimpangan pada p53 sangat sering ditemukan pada
kanker (Foulkes, 2007).
Protein penekan tumor p53 bertindak sebagai simpul utama dari jalur sinyal
kompleks yang terlibat dalam berbagai respon stres seluler seperti kerusakan DNA,
aktivasi onkogen, infeksi virus, dan deplesi ribonukleotida. Pada keadaan normal, p53
dalam jaringan berada pada kondisi yang tidak aktif (switched off). Protein 53
biasanya diaktifkan oleh semacam stres seluler yang dapat mengubah siklus
perkembangan sel normal atau menginduksi mutasi genome yang kemudian
mengarah pada perubahan keganasan. Protein 53 aktif dapat menghentikan siklus sel,
atau pada banyak kasus, mengaktifkan (switched on) program jalur kematian sel
(apoptosis) dan memaksa sel-sel rusak dan mengandung mutasi melakukan bunuh diri
sehingga mencegah perbanyakan dan pertumbuhan selular yang abnormal. Oleh
karena itu, p53 dikenal sebagai penjaga genome (guardian of genome), berperan
menghambat perkembangan tumor sehingga protein ini paling sering mengalami
mutasi pada penyakit kanker (Bourdon, dkk., 2003).
Banyak penelitian melaporkan bahwa patogenesis kanker ovarium saat ini
makin luas dengan ditemukannya peranan berbagai onkogen. Salah satu teori
20
menjelaskan progresivitas kanker ovarium invasif berdasarkan interaksi yang
kompleks antara latar belakang genetik pasien dengan pengaruh lingkungan yang
memicu mutasi berbagai onkogen. Perkembangan keganasan memerlukan kerusakan
berbagai protein. Hal ini dapat memicu kerusakan gen penekan tumor akibat adanya
delesi atau mutasi (Bai dan Zhu, 2006).
2.2.2 Struktur p53
Gen yang menyandi protein 53 terletak pada bagian lengan pendek dari
kromosom 17 (17p13.1), merupakan suatu fosfoprotein nukleus yang memiliki berat
molekul sebesar 53 kilo Dalton (kDa). Protein 53 ini dikode oleh 20 kilobasa (kb)
yang terdiri dari 11 ekson dan 10 intron (Bai dan Zhu, 2006; Maximov dan Maximov,
2008). Protein p53 wild type (p53 wt) mengandung sebanyak 393 asam amino yang
secara fungsional dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu bagian N-terminal, bagian
inti, dan bagian C-terminal (Bai dan Zhu, 2006). Tiga bagian utama ini terbagi lagi
menjadi 5 bagian penting, yaitu: N-terminal transactivation, rantai spesifik pengikat
DNA, C-terminal yang terlibat pada regulasi pengikat DNA, bagian pengatur yang
kaya prolin, dan bagian oligomerization (Gambar 2.1) (Bai dan Zhu, 2006).
2.2.2.1 Bagian N-terminal
Sebagai faktor transkripsi, p53 memiliki bagian transaktivasi ganda (asam
amino 1-42 dan 43-73) yang bersama-sama dengan bagian yang kaya prolin (asam
amino 61-94) membentuk bagian N-terminal. Oleh karena kaya akan residu acidic
seperti Asp dan Glu menjadikan domain ini suatu bagian transaktivasi acidic (bagian
transaktivasi yang bersifat asam) (Jung, 2007). Bagian ini tidak memiliki struktur
21
tersier dan sebagian besar memerlukan elemen struktural sekunder yang merupakan
ciri khas dari kebanyakan transaktivasi ganda acidic. Potongan kecil dari transaktivasi
ganda p53 dapat membentuk sub-struktur lokal, seperti induced helices, dengan
formasinya yang tergantung pada sifat pasangan protein pengikatnya, misalnya
murine double minute 2 (MDM2) (Reles, 2001). Suatu rangkaian pengekspor inti
(nuclear export sequence=NES) terletak pada bagian N-terminal (asam amino 11-27)
dan berkolaborasi dengan C-terminal NES untuk melaksanakan ekspor inti p53.
Inaktivasi sinyal ekspor oleh modifikasi pasca-translasi terhadap bagian N-terminal
terjadi saat aktivasi p53 (Jung, 2007; Meek dan Anderson, 2009).
Gambar 2.1 Struktur p53
Protein p53 terdiri dari 393 asam amino, terbagi menjadi tiga domain
fungsional; N-terminal activation domain, DNA binding domain dan C-
terminal tetramerization domain (Bai dan Zhu, 2006).
22
2.2.2.2 Bagian pengikat DNA
Central sequence-specific DNA binding domain (DBD) dari p53 umumnya
disebut sebagai core domain (bagian inti; asam amino 102-292) sangat penting dalam
kapasitas faktor transkripsi p53 untuk mengikat DNA. Ikatan p53 dengan DNA
terjadi melalui kerjasama dengan empat bagian inti yang menempati satu elemen
respon DNA. Berdasarkan data dasar internasional, lebih dari 90% mutasi p53 pada
berbagai tumor terjadi pada bagian inti (Jung, 2007).
2.2.2.3 Bagian C-terminal
Bagian C-terminal dianggap memiliki peran regulasi. Residu pada bagian C-
terminal mengalami modifikasi pasca-translasi termasuk fosforilasi dan asetilasi.
Bentuk fungsional p53 terdapat dalam bentuk tetramer (Bai dan Zhu, 2006). Bagian
C-terminal p53 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian oligomerisasi atau bagian
tetramerisasi (residu 324 sampai 355) dan bagian regulator pada terminal karboksil
(residu 363 sampai 393) (Bai dan Zhu, 2006). Suatu nuclear export sequence (NES;
asam amino 350-351) terletak di dalam bagian tetramerisasi dan melakukan mediasi
hubungan sitoplasma-inti. Saat bagian ini terpapar pada permukaan protein dan ketika
p53 berada dalam bentuk monomernya, NES tertanam di bawah permukaan saat
oligomerisasi p53 dan akan menimbulkan retensi inti. Bagian auto-regulatory negatif
pada bagian C-terminal dari p53 dihubungkan dengan bagian tetramerisasi melalui
bagian penghubung utama, yang mengandung suatu sinyal lokalisasi inti ganda
(bipartite nuclear localization signal) yang memediasi impor inti dari p53. Bagian
23
auto-regulatory negatif berimplikasi pada auto-inhibisi terhadap fungsi bagian
pengikat DNA p53 (Jung, 2007). Bagian C-terminal juga berfungsi sebagai bagian
regulasi negatif yang memiliki fungsi menginduksi proses kematian sel atau apoptosis
dan mengatur kemampuan bagian pengikat DNA untuk mempertahankan dalam
bentuk laten. Jika interaksi antara bagian C-terminal dan bagian pengikat inti diputus
atau dihilangkan oleh modifikasi pasca-translasi, seperti proses fosforilasi dan
asetilasi, bagian pengikat inti akan menjadi teraktivasi, sehingga dapat menginduksi
terjadinya transkripsi (Bai dan Zhu, 2006).
2.2.3 Peran p53
Protein 53 berperan utama sebagai faktor transkripsi dengan bermacam-
macam target. Hal ini berarti p53 mengontrol berbagai jenis protein dengan fungsi
yang berbeda-beda (Foulkes, 2007). Sebagai protein penekan tumor, p53 sangat
penting untuk mencegah proliferasi sel yang menyimpang serta mempertahankan
integritas genome akibat stres genotoksik. Sebagai akibat dari berbagai stimulus
intraseluler dan ekstraseluler, seperti kerusakan DNA (termasuk radiasi pengion,
radiasi ultraviolet, pengunaan obat-obat sitotoksik atau obat-obat kemoterapi, dan
infeksi virus), syok akibat pemanasan, hipoksia, dan ekspresi onkogen yang
berlebihan, p53 wt diaktifkan dan hadir sebagai protein regulator yang penting untuk
memicu respon biologis yang beragam, baik di tingkat sel tunggal maupun pada
semua organisme.
24
Protein-protein yang diaktifkan oleh p53 wt memiliki fungsi yang beragam
dan merupakan efektor hilir (downstream) pada jalur penyampaian sinyal yang
memperoleh tanggapan beragam seperti cell-cycle checkpoints, reparasi kerusakan
DNA, dan apoptosis. Sebagian dari berbagai fungsi p53 termasuk peran utama p53
dalam menekan pertumbuhan tumor, dapat dikaitkan dengan kemampuannya untuk
bertindak sebagai faktor transkripsi – suatu rangkaian spesifik yang mengatur
ekspresi protein-protein seluler yang berbeda dalam mengatur berbagai proses seluler,
meskipun interaksi protein-protein lain juga mungkin memainkan peranan.
Menanggapi berbagai jenis stres, p53 diakumulasikan di dalam inti dan berikatan
pada tempat tertentu di daerah pengaturan dari gen responsif p53, dan kemudian
mendorong dengan kuat transkripsi dari gen-gen tersebut. Target hilir p53 secara
berbeda diaktifkan tergantung pada jenis sel, tingkat kerusakan yang telah
mempengaruhi aktivasi p53, dan berbagai parameter lain yang belum teridentifikasi
(Bai dan Zhu, 2006).
2.2.3.1 Regulasi siklus sel dan perbaikan kerusakan DNA
Berbagai respon seluler yang ditimbulkan oleh p53 yang merupakan kontrol
terhadap pertumbuhan meliputi penghentian siklus sel (cell cycle arrest), reparasi
kerusakan DNA, dan apoptosis (Reles, 2001; Bai dan Zhu, 2006). Tampak bahwa
kemampuan p53 untuk menghambat pertumbuhan sel sangat penting mengingat
fungsinya sebagai penekan tumor. Hambatan terhadap siklus sel terjadi apabila timbul
rintangan di dalam siklus pembelahan sel. Induksi penghentian siklus sel oleh p53
25
dapat memberikan tambahan waktu bagi sel untuk memperbaiki kerusakan genome
sebelum memasuki tahapan penting sintesis DNA dan mitosis. Sel-sel yang
sebelumnya tertahan akan dikembalikan ke kondisi proliferasinya melalui fungsi
biokimia p53 yang memfasilitasi perbaikan DNA termasuk di antaranya nucleotide
excision repair dan base excision repair (Bai dan Zhu, 2006).
Mekanisme p53 dalam proses transformasi ke arah keganasan dapat melalui
beberapa mekanisme. Bila terjadi kerusakan DNA, p53 memperantarai berhentinya
fase G1 melalui pengaktifan gen-gen yang bertanggungjawab pada respon kerusakan
gen seperti WAF1 yang mengkode p21Waf1/Cip1
, suatu penghambat yang poten dari
cyclin-dependent kinase (cdk)-dependent phosphorylation dari protein retinoblastoma
Gambar 2.2 Mekanisme p53 Menghentikan Siklus Sel pada Fase G1-S
(Rose, 2007)
Gambaran skematik penghentian siklus sel pada fase G1-S oleh p53 yang
mengaktifkan p21, CAK, dan PC3. Tanda panah warna hijau menunjukkan
aktivasi target dan garis merah menunjukkan penghambatan target
26
(pRb) (Gambar 2.2). Protein retinoblastoma yang terhipofosforilasi mengikat faktor
transkripsi E2F-1 yang mengakibatkan berhentinya siklus sel. Protein 53 dapat juga
menghambat siklus G1 melalui pengaturan aktivitas transkripsi RNA polymerase II
dengan menghambat kompleks cdk-activating kinase (CAK) cdk7/cyclin H1/Mat1
(Rose, 2007). Selain itu, berhentinya siklus G1 dapat juga diakibatkan oleh
kemampuan p53 menginduksi PC3, gen yang menurunkan kadar cyclin D1, yang
menghambat cdk4 dan hipofosforilasi pRb (Guardavaccaro, dkk., 2000). Hal ini
menunjukkan bahwa checkpoint pada fase G1-S dari siklus sel merupakan fase yang
sangat kritis dari mekanisme perbaikan kerusakan DNA.
Gambar 2.3 Mekanisme p53 Menghentikan Siklus Sel pada Fase G2-M
(Rose, 2007)
Gambaran skematik penghentian siklus sel pada fase G2-M oleh p53 yang
mengaktifkan p21, GADD45, dan 14-3-3σ. Tanda panah warna hijau menunjukkan
aktivasi target dan garis merah menunjukkan penghambatan target.
27
Seperti terlihat pada Gambar 2.3, protein 53 juga menghambat siklus sel pada
fase transisi G2-M. Aktivasi p53 dapat menghambat secara efektif aktivitas B1/cdc2
yang sangat penting bagi sel-sel memasuki fase mitosis. Protein 21Waf1/Cip1
juga
berperan pada berhentinya fase G2 melalui penghambatan secara langsung kompleks
cyclin B1/cdc2 (Flatt, dkk., 2000). Selain itu, p53 menginduksi GADD45 yang dapat
mengikat cdc2 dan mengakibatkan ketidakmampuannya membentuk kompleks
dengan cyclin B1 (Jin, dkk., 2000; Rose, 2007). Protein 53 menginduksi 14-3-3-σ
yang tidak hanya mengikat dan menghancurkan cdc2 di dalam sitoplasma, tetapi juga
mengikat dan menghancurkan cdc25 yang bertanggungjawab terhadap defosforilasi
dan aktivasi kompleks cyclin B/cdc2 (Rose, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa p53
dikenal sebagai guardian of the genome karena peranannya menghambat
pertumbuhan sel-sel dengan kerusakan DNA.
2.2.3.2 Apoptosis
Selain melalui mekanisme tersebut di atas, p53 juga mengontrol proliferasi sel
dan integritas genome dengan menginduksi apoptosis melalui aktivasi transkripsi gen-
gen target p53. Sebagai penjaga integritas keutuhan selular, salah satu peranan p53
adalah memonitor stres selular dan menginduksi apoptosis apabila lesi DNA
irreversible atau tidak dapat diperbaiki. Apoptosis merupakan proses multi-step yang
diregulasi dengan ketat, ditandai dengan penyusutan sel, kondensasi kromatin, serta
fragmentasi sel dan inti (Bai dan Zhu, 2006; Miettinen, 2009). Dalam
perkembangannya apoptosis juga sering disebut dengan kematian sel yang
28
terprogram, yang berlangsung terus selama proses kehidupan dengan maksud untuk
menjaga homeostasis jaringan, yaitu keseimbangan antara proliferasi dengan
kematian sel.
Apoptosis merupakan barrier utama onkogenesis dan protein penekan tumor
p53 merupakan kunci utama regulasi apoptosis dan karsinogenesis (Maximov dan
Maximov, 2008). Seperti diuraikan di atas, apoptosis dimediasi oleh dua jalur
apoptosis utama, yaitu jalur ekstrinsik dan intrinsik. Apapun jalur aktivasi yang
diinduksi, masing-masing jalur tersebut menimbulkan aktivasi protease selektif yang
disebut sebagai caspase. Jalur ekstrinsik dikenal sebagai death receptor pathway dan
jalur intrinsik sebagai mitochondrial pathway. Baik jalur ekstrinsik dan intrinsik
diaktifkan oleh gen penekan tumor p53 (Miettinen, 2009).
A. Jalur Ekstrinsik
Protein p53 dapat mengaktivasi jalur apoptosis ekstrinsik melalui induksi gen
yang mengkode tiga protein transmembran: FAS, DR5/KILLER (the death-domain-
containing receptor for TNF-related apoptosis-inducing ligand/TRAIL), dan PERP.
Reseptor permukaan sel FAS (CD95/APO1) merupakan komponen kunci dari jalur
apoptosis ekstrinsik (Haupt, dkk., 2003). Jalur apoptosis ekstrinsik diinisiasi oleh
anggota keluarga tumor necrosis factor (TNF) termasuk TNFα, FAS/CD95 ligand
(FASL), dan APO2 ligand (APO2L). Mereka mengaktifkan death receptor dari
keluarga TNF/NGF seperti TNFR1, FAS (CD95/APO1), dan APO2 (Maximov dan
Maximov, 2008).
29
Fatty acid synthetase (FAS) diaktifkan dengan ikatan pada ligand-nya
(FASL), yang dominan diekspresikan oleh sel T. Protein 53 menginduksi ekspresi
FAS mRNA dengan berikatan pada elemen yang terdapat pada promoter dan intron
pertama dari gen FAS (Haupt, dkk., 2003). Fatty acid synthetase (FAS) berhubungan
dengan protein FADD (Fas associated death domain) untuk membentuk suatu
kompleks yang disebut DISC (Death-inducing signaling complex), kemudian DISC
mengaktifkan procaspase-8 dan caspase-8 yang pada gilirannya menginduksi aktivasi
caspase-3 dan caspase-7 sehingga menyebabkan apoptosis. TNFR1 dan APO2 yang
terinduksi juga mempromosikan kematian sel melalui caspase-8. Caspase-8 dapat
mengaktifkan protein proapoptosis BID yang merupakan penghubung antara jalur
apoptosis ekstrinsik dan intrinsik (Maximov dan Maximov, 2008).
Protein 53 berperan baik pada jalur ekstrinsik maupun jalur intrinsik dari
mekanisme apoptosis. Reseptor kematian sel pada membran plasma seperti Fas, DR4,
dan DR5 diatur oleh p53 melalui jalur ekstrinsik (Yu, dkk., 2005). Protein 53
menginduksi caspase-8 yang mengaktifkan Bid. Bid memasuki membran
mitokondria, yang selanjutnya mengaktifkan Bax dan Bak. Bax dan Bak
menstimulasi pembentukan apoptosome dalam mitokondria. Protein 53 mengatur
mekanisme jalur intrinsik apoptotik melalui induksi langsung keluarga Bcl-2 seperti
Bax, PUMA (p53-upregulated modulator of apoptosis), dan Noxa, yang terletak pada
membran mitokondria dan menstimulasi pelepasan sitokrom-c dan mengaktifkan jalur
caspase (Schuler, dkk., 2000; Haupt, dkk., 2003). Pembentukan apoptosome
tergantung pada sitokrom-c, Apaf-1, dan caspase-9. Dengan demikian, p53 tidak
30
bekerja sendiri dalam mekanisme transaktivasi, tetapi memerlukan kerjasama banyak
protein yang secara bersama-sama menimbulkan efek pada mekanisme apoptosis.
B. Jalur Intrinsik
Jalur apoptosis intrinsik juga disebut mitochondrial pathway karena dikaitkan
dengan pelepasan protein sitokrom-c dan protein lain dari ruang antar-membran
mitokondria ke dalam sitoplasma sebagai akibat dari aktivasi anggota keluarga
protein proapoptosis Bcl-2 yang merupakan regulator permeabilitas membran luar
mitokondria. Jalur apoptosis intrinsik didominasi oleh keluarga protein Bcl-2, yang
terbagi menjadi tiga kelas: protein pro survival seperti Bcl-2, Bcl-XL; protein pro-
apoptosis seperti Bax, Bak, dan Bcl-X1; protein pro-apoptosis BH3-only seperti Bid,
Bad, Noxa, Puma (p53-up-regulated modulator of apoptosis), p53AIP1 (Haupt, dkk.,
2003; Bai dan Zhu, 2006). Anggota keluarga pro-apoptosis Bcl-2 yang telah
diaktifkan dapat menetralkan anggota anti-apoptosis dari keluarga yang sama, yang
jika tidak, akan dapat menghambat kematian sel dengan mencegah pelepasan
sitokrom-c dari mitokondria. Setelah dilepaskan ke sitoplasma, sitokrom-c mengikat
protein adaptor Apaf-1 (Apoptotic protease-activating factor-1) untuk membuat
apoptosome, sebuah kompleks yang akan mengaktifkan procaspase-9. Dengan adanya
dATP/ATP nukleotida caspase-9 diaktifkan, yang pada gilirannya mengaktifkan
caspase-3 dan caspase-7, menyebabkan aktivasi luas terhadap caspase lain (caspase
cascade) dan kematian sel. Beberapa protein inhibitor dari IAPs (proteins-inhibitors
of caspases) seperti DIABLO/Smac dan Omi/HtrA2 juga dirilis, serta protein penting
31
lainnya seperti AIF (apoptosis-inducing factor) dan endonuklease G (Endo G).
Protein-protein ini dapat berkontribusi pada proses apoptosis, bahkan tanpa adanya
aktivasi caspase, menciptakan jalur kematian sel caspase-independent (Maximov dan
Maximov, 2008).
2.2.4 Protein 53 mutan dan kanker ovarium
Pada kanker, mutasi p53 sebagian besar adalah missense mutations yang
menimbulkan substitusi asam amino pada protein wild-type (Bai dan Zhu, 2006).
Mutasi ini selalu berakibat terjadinya sintesis protein mutant yang dapat
meningkatkan stabilitas seluler akan tetapi cacat secara fungsi. p53 mutant
terakumulasi di dalam sel, mencapai level hingga 10 sampai 100 kali lipat lebih tinggi
daripada protein wild type (Miettinen, 2009). Terdapat hubungan yang erat antara
missense mutations dengan ekspresi protein 53 (Havrilesky, dkk., 2003).
Selama perkembangan kanker, p53 dapat mengalami perubahan oleh karena
terjadi mutasi. Sejauh ini, missense mutation pada p53 sangat sering terjadi pada sel
kanker. Non-sense mutation, insersi, dan delesi pada p53 juga dijumpai. Mutasi pada
gen p53 terdeteksi pada 10% hingga 80% pasien kanker ovarium. Pada beberapa
penelitian, mutasi p53 berhubungan dengan prognosis yang buruk. Prevalensi mutasi
p53 sangat bergantung pada subtipe histologik kanker ovarium. Mutasi p53 terjadi
pada lebih dari dua pertiga kanker ovarium tipe epitel stadium lanjut (Havrilesky,
dkk., 2003).
32
Mutasi p53 lebih sering terjadi pada primary serous ovarian cancer yaitu
58% dari kasus. Persentase mutasi p53 dilaporkan rendah pada tumor ovarium tipe
endometrioid, musinus, dan clear-cell, berturut-turut 28%, 16%, dan 10% tetapi
sedikit lebih tinggi jika menggunakan teknik imunohistokimia, yaitu 37% pada
endometrioid dan 31% pada tipe tumor musinus (Schuijer dan Berns, 2003). Insiden
mutasi sangat tinggi khususnya pada highgrade serous carcinoma.
Gambar 2.4 Mekanisme Apoptosis yang Dimediasi oleh p53
(Maximov dan Maximov, 2008)
Jalur Intrinsik
Jalur Ekstrinsik
33
Status ekspresi p53 juga berkaitan dengan prognosis kanker ovarium. Pasien
dengan p53 aberrant, misalnya, ekspresi positif atau status p53 yang benar-benar
negatif, mempunyai 5-year overall survival 26%, sedangkan pasien dengan p53
normal memiliki 5-year overall survival 79%. Frekuensi ekspresi p53 lebih tinggi
secara bermakna pada penyakit stadium lanjut yakni stadium III dan IV (40%-60%)
dibandingkan pada stadium I dan II (10%-20%). Dengan kata lain, sangat mungkin
jika p53 berkaitan dengan fenotip yang agresif, yang juga berarti bahwa penyakit
tersebut menyebar lebih cepat (Havrilesky, dkk., 2003).
Akumulasi mutasi p53 pada sel ganas membangkitkan respon imun humoral
terhadap protein p53 pada lingkungan di sekitar tumor. Seperti adanya autoantibodi
anti-p53 dalam cairan asites pasien kanker ovarium, yang berhubungan dengan
disease free survival yang buruk (Miettinen, 2009). Selain itu, perubahan pada p53
diketahui berhubungan dengan respon atau resistensi terhadap kemoterapi. Hal ini
mengindikasikan bahwa hilangnya fungsi p53 dapat memberikan fenotif berupa sifat
kanker yang kemoresisten, karena p53 berperan dalam apoptosis yang diinduksi oleh
kemoterapi. Berdasarkan hasil penelitian in vitro, status p53 sangat penting
khususnya dalam hal sensitivitas sel kanker ovarium terhadap cisplatin (Havrilesky,
dkk., 2003).
2.3 Protein Bcl-2
Telah diketahui bahwa regulasi sel diatur oleh keseimbangan antara laju
proliferasi sel dan kematian sel. Hal ini berarti pertumbuhan sel-sel secara tidak
34
terkontrol tidak hanya disebabkan oleh meningkatnya proliferasi sel tetapi dapat juga
disebabkan oleh karena adanya hambatan terhadap proses kematian sel, yang
mengakibatkan kegagalan mekanisme fisiologis kematian sel yang terprogram
(apoptosis). Protein Bcl-2 merupakan salah satu anggota keluarga Bcl-2 yang terlibat
pada mekanisme apoptosis dan berperan sebagai anti-apoptosis (protectors) yang
memungkinkan sel-sel tetap tumbuh (Marx dan Meden, 2001; Raspollini, dkk., 2006).
Protein ini pertama kali ditemukan sebagai proto-onkogen pada limfoma sel B. Gen
yang menyandi protein ini terletak pada kromosom nomer 18q21 sebagai hasil
translokasi t(14;18)q (Pollard, dkk., 2008).
Keluarga Bcl-2 dapat dibagi menjadi kelompok protectors (anti-apoptotis)
yaitu Bcl-2, Bcl-xl, Bcl-W, Mcl-1, A1, Boo/Diva, C. elegans ced-9, Adenovirus
E1B19K, Epstein-Barr virus BHFR1. Kelompok killers (pro-apoptosis) antara lain
Bax, Bak, Bok/Mtd, Bcl-xs, serta kelompok regulators seperti Bad, Bid, Bim, BmF,
Hrk, C. elegans Egl-1, Bik/Nbk, HRK, Puma, dan Noxa (Pollard, dkk., 2008). Protein
Bcl-2 memiliki berat molekul 25 kD. Gugusan C-terminal 21 asam amino dikode
menjadi asam amino hidrofobik yang penting dalam pertahanan membran. Protein
Bcl-2 terdapat dalam permukaan sitoplasma membran luar mitokondria, envelop inti
sel, dan dalam retikulum endoplasma (Pollard, dkk., 2008).
Proses apoptosis pada tingkat yang lebih tinggi melibatkan p53 seperti telah
diuraikan di atas. Protein 53 akan menghambat aktivitas anti-apoptosis dan
mengaktifkan gen-gen pro-apoptosis dari membran mitokondria. Hal ini
mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran mitokondria. Meningkatnya
35
permeabilitas membran mitokondria akan melepaskan molekul pro-apoptosis
sitokrom-c yang akan berikatan dengan apoptotic protease-activating factor-1 (Apaf-
1). Ikatan ini kemudian akan mengaktifkan kaskade caspase yang menimbulkan
apoptosis (Kumar, dkk., 2005).
Suatu protein yang mencegah sel-sel dari kematian menyebabkan organisme
multiseluler berhadapan dengan potensi yang berbahaya, di mana keseimbangan
antara proliferasi dan kematian sel menjadi terganggu. Peningkatan transkripsi Bcl-2
secara langsung bertanggungjawab terhadap stimulasi perubahan ke arah keganasan.
Tidak seperti onkogen-onkogen lainnya, ekspresi berlebihan dari Bcl-2 tidak
menyebabkan proliferasi sel. Sebaliknya, hal itu menyebabkan terganggunya
pengaturan keseimbangan antara kehidupan dan kematian dari sel-sel yang terkena.
Sel-sel yang memperlihatkan ekspresi Bcl-2 berlebihan akan mengalami pertumbuhan
terus dan sangat resisten terhadap berbagai rangsangan yang secara normal
menstimulasi kematian sel (Pollard, dkk., 2008).
Telah diketahui bahwa ekspresi protein Bcl-2 sangat lemah pada sel-sel epitel
ovarium yang normal atau pada tumor ovarium jinak dan borderline, tetapi sangat
kuat pada kanker ovarium (Chan, dkk., 2000; Anderson, dkk., 2009). Hal ini
menunjukkan bahwa aktivitas apoptosis menurun sebagai akibat peningkatan aktivitas
protein Bcl-2 pada kanker ovarium (Tas, 2001). Baekelandt, dkk., (1999) menemukan
ekspresi protein Bcl-2 pada kanker ovarium sebesar 39%, sementara Chan, dkk.,
(2000) menemukan ekspresi protein Bcl-2 pada kanker ovarium sebesar 33%.
36
Gambar 2.5 Protein-Protein yang Termasuk Keluarga Bcl-2 (Pollard, dkk., 2008)
Anggota keluarga Bcl-2 dikenali dengan adanya satu sampai empat kotak pendek
rangkaian protein yang disebut BH (Bcl-2 homology). Kelompok anti-apoptosis Bcl-2
(protectors) mempunyai empat bagian. Kelompok pro-apoptosis (killers) mempunyai
tiga bagian, sedangkan kelompok regulators hanya mempunyai satu bagian BH3.
2.4 CASPASE-3
Caspase termasuk keluarga protease interleukin-1β-converting enzyme, yang
sangat mirip dengan protein kematian dari sel Caenorhabditis elegans (CED-3).
Sampai saat ini telah diketahui sebanyak 14 caspase, yang semuanya merupakan
protease dengan kandungan sistein asam asetat (caspase=cysteine aspartic acid
protease) (Bai dan Zhu, 2006). Caspase terdapat di setiap sel sebagai prekursor tidak
KELUARGA Bcl-2
PROTECTORS KILLERS REGULATORS
37
aktif yang disebut procaspase. Bagian N-terminal dari procaspase mengandung
struktur yang sangat bervariasi yang diperlukan untuk aktivasi caspase. Semua
anggota caspase mampu mengaktivasi dirinya sendiri (autoactivation) seperti halnya
mengaktivasi caspase lainnya untuk menghasilkan suatu heterodimer dengan sebuah
subunit besar dan sebuah subunit kecil, serta dua heterodimer membentuk suatu
enzim aktif heterotetramer (Fan, dkk., 2005).
Di antara 14 anggota procaspase, hanya procaspase-14 yang bersifat unik
untuk proses proteolisis yang secara prinsip berkaitan dengan differensiasi sel-sel
epitel dibandingkan dengan apoptosis atau inflamasi. Semua bentuk procaspase dari
caspase yang memediasi inflamasi dan caspase aktivator apoptosis mempunyai long
prodomain. Bagian long prodomain mengandung death effector domain (DED) pada
procaspase-8 dan procaspase-10 atau caspase activation and recruitment domain
(CARD) pada procaspase-2 dan procaspase-9. DED dan CARD anggota dari keluarga
death domain terlibat pada aktivasi procaspase dan regulasi kaskade caspase melalui
interaksi protein-protein. Ketiga bagian tersebut mengandung struktur 3-D yang
dikenal sebagai death domain fold, yang tersusun oleh enam α-heliks antiparalel.
Namun, prodomain yang lebih pendek pada procaspase dari caspase executioner
apoptosis tidak terlibat pada interaksi antar protein (Yuan dan Ding, 2002).
Ketika teraktivasi, caspase aktivator apoptosis seperti caspase-2, caspase-8,
dan caspase-10 akan mengaktifkan caspase executioner apoptosis seperti caspase-3,
caspase-6, dan caspase-7. Selanjutnya caspase-8 dapat mengikat Bid ke tBid yang
berpindah ke membran mitokondria dan memicu pelepasan sitokrom-c dan
38
mengaktifkan jalur apoptosis mitokondria (jalur intrinsik) (Kuwara, dkk., 2002).
Caspase executioner yang teraktivasi selanjutnya mengikat protein seluler yang
berbeda seperti PARP [poly(ADP-ribose) polymerase], lamin, fodrin, dan Bcl-2 yang
menyebabkan perubahan bentuk morfologis. Pengaktifan caspase mediator inflamasi
seperti caspase-1, caspase-4, dan caspase-5, termasuk pro-IL-1β, pro-IL-18, IL-1F7b,
dan keluarga NOD-LRR (nucleotide-binding oligomerization domain-leucine-rich
repeat) seperti Ipaf (interleukin-1β-converting-enzyme protease-activating factor),
LRR dan protein pyrin (Gaggero, 2004; Martinon dan Tschopp, 2004).
Tabel 2.1
Pengelompokan Keluarga Caspase (Fan, dkk., 2005)
KELOMPOK CASPASE ANGGOTA
1. Caspase Initiator/activator Caspase-2
Caspase-8
Caspase-9
Caspase-10
2. Caspase Executioner Caspase-3
Caspase-6
Caspase-7
3. Caspase mediator inflamasi Caspase-1
Caspase-4
Caspase-5
Caspase-11
Caspase-12
Caspase-13
Caspase-14
39
Caspase-3 adalah faktor kunci dari apoptosis executioner yang merupakan
bentuk aktif dari procaspase-3. Procaspase-3 dapat diaktifkan oleh caspase-3,
caspase-8, caspase-10, CPP32 activating protease, granzyme B (Gran B), dan lain-
lain. Pengaktifan substrat caspase-3 dilakukan oleh procaspase-3, procaspase-6,
procaspase-9, DNA-PK, PKCγ, PARP, D4-GDI (D4GDP-dissociation inhibitor),
steroid response element-binding protein, U1-70kD, inhibitor of caspase activated
deoxyribonuclease (ICAD), dan lain-lain. Kecuali untuk α-fodrin dan topoisomerase
I, semua substrat dapat melekat pada caspase-3 selama apoptosis (Yuan dan Ding,
2002). Caspase-6 dan caspase-7 sangat homolog dengan caspase-3. Procaspase-6
dapat diaktifkan oleh caspase-3 tetapi bukan Gran-B. Caspase-6 juga dapat
mengaktifkan procaspase-3 melalui suatu jalur umpan balik positif. Substrat caspase-
6 meliputi PARP, lamin, dan procaspase-3. Procaspase-7 yang substratnya meliputi
PARP, procaspase-6, dan steroid response element-binding protein dapat diaktifkan
oleh Gran B (Cowling dan Downward, 2002; Sattar, dkk., 2003).
Seperti diuraikan di atas, caspase-3 adalah salah satu kunci executioner dari
apoptosis yang bertanggungjawab secara sebagian atau secara keseluruhan terhadap
melekatnya beberapa protein kunci seperti nuclear enzyme poly (ADP-ribose)
polymerase (PARP) yang melekat pada beberapa sistem berbeda selama apoptosis.
Dengan menggunakan potongan DNA yang mengkode lokasi aktif dari caspase-1 dan
CED-3 untuk mencari suatu potongan yang mengekspresikan tanda data dasar, suatu
rangkaian telah teridentifikasi, diklon, dan dikode oleh suatu protease sistein 32kDa
yang disebut CPP32. Caspase-3 merupakan anggota dari keluarga CED-3 secara luas
40
didistribusikan dengan ekspresi yang sangat tinggi dalam cell lines yang berasal dari
limfosit. Hal ini menunjukkan bahwa caspase-3 mungkin berperan sebagai mediator
apoptosis yang penting pada sistem imun (Fan, dkk., 2005).
Gambar 2.6. Struktur Caspase-3 (Pollard, dkk., 2008)
A. Caspase-3 mempunyai komponan subunit besar (warna biru) dan subunit kecil
(warna kuning) serta bagian kecil dari prodomain (warna abu-abu). B. Struktur 3-D
caspase-3 menunjukkan residu katalisis terutama berasal dari subunit besar (warna
biru). Subunit kecil (warna kuning) membentuk suatu tudung yang membatasi akses
ke lokasi yang aktif. Struktur ruang kosong (warna merah) menunjukkan suatu
peptida inhibitor yang terikat secara kovalen pada lokasi yang aktif.
Pada kanker ovarium, beberapa penelitian menemukan ekspresi caspase-3
lebih rendah dibandingkan dengan ekspresinya pada tumor ovarium jinak atau pada
ovarium normal. Duo, dkk., (2004) menemukan bahwa ekspreasi caspase-3 pada
kanker ovarium sebesar 44.4%, lebih rendah dibandingkan dengan ekspresi caspase-3
pada tumor jinak sebesar 81,8%. Ekspresi caspase-3 pada kanker ovarium
B A
41
berhubungan dengan derajat diferensiasi sel, stadium penyakit, dan adanya metastasis
pada kelenjar limfe. Ditemukan juga bahwa terdapat hubungan antara ekspresi
caspase-3 dengan apoptosis yang berperan pada perubahan keganasan dan untuk
memprediksi prognosis.
Gambar 2.7 Skema Aktivasi Caspase-3 dan Caspase Executioner Lainnya
(Fan, dkk., 2005)