Post on 28-Aug-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya-karya sastra Jawa sejak dahulu terkenal karena selalu menyertakan
ajaran-ajaran adi luhung dan luhur. Karya-karya sastra Jawa Kuno misalnya
Ramayana Kakawin dan Mahabarata, kitab Purwa Kitab Pararaton dan
Negarakertagama. Karya-karya sastra Jawa Tengahan meliputi: tembang gede,
sastra suluk, babad manuskrip (tulisan tangan) berhuruf Jawa. Karya sastra Jawa
modern meliputi serat, novel, roman sejarah, dongeng, hikayat, cerbung, cerkak,
drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan
daerah, keterlibatan para sastrawan Jawa, sangatlah berarti. Saat ini penelitian dan
pengkajian terhadap kesusastraan daerah telah banyak dilakukan, bukan hanya
oleh sastrawan dari etnis Jawa sendiri, namun juga para sastrawan dari etnis lain,
bahkan oleh orang-orang luar negeri yang tertarik terhadap kebudayaan daerah,
khususnya sastra Jawa.
Sastra daerah merupakan bagian dari kebudayaan nasional aset bangsa
yang perlu ditumbuh kembangkan keberadaannya, terutama dalam menghadapi
era globalisasi karena sastra daerah terdapat berbagai ajaran, baik moral, etika,
filosofi, maupun nilai-nilai budaya yang telah dikembangkan oleh masyarakat di
sepanjang sejarah kebudayaan. Hal ini turut mewarnai kepribadian bangsa. Salah
satu daerah yang kaya akan warisan kebudayaan, khususnya di bidang sastra
adalah Jawa. Pada dasarnya masyarakat Jawa menganut sistem budaya terbuka
terhadap pengaruh budaya luar atau budaya asing. Pengaruh budaya asing itu
1
2
tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sastra Jawa, dan pengaruh tersebut telah
berlangsung lama, dari satu fase ke fase berikutnya, yakni dari sastra Jawa Kuna,
sastra Jawa Pertengahan sampai dengan sastra Jawa Modern, sejalan dengan
waktu masuknya pengaruh asing yang mewarnainya (Pardi, 1996:10). Salah satu
sastrawan Jawa yang merupakan seorang pengarang, yang tertarik pada sastra
Jawa, khususnya guritan.
Guritan merupakan yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang
bersifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena
pada zamannya dibuat seorang penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya
dianggap milik bersama. Kata guritan dalam kamus Bali – Indonesia berasal dari
kata “gurit” artinya gubah, karang, sadur (Depdikdas Prop. Bali, 1991:254), dan
dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan “guritan” itu berasal dari kata „gurit‟
artinya sajak atau syair” (Poerwadarminta, 1976:161). Sedangkan dalam Kamus
Kawi Indonesia diungkapkan “gurit” artinya goresan, dituliskan (Tim Penyusun,
1996:118). Ciri yang kental di dalam sebuah guritan adalah adanya pupuh-
pupuh yang membentuk guritan tersebut seperti: Pupuh Pucung, Durma, Sinom,
Pangkur, Asmaradhana, Dandhanggula. Oleh karena itu, membaca guritan tidak
sama halnya seperti membaca prosa.
Guritan sebagai salah satu jenis karya sastra tulis hasil budaya manusia
dan banyak menampilkan hal-hal yang menyangkut kehidupan masyarakat. Maka
dari itu penelitian ini akan diambil dengan objek kajian guritan yang didalamnya
terdapat nilai-nilai budaya lokal khususnya Jawa dalam buku kumpulan guritan
yang berjudul Medhitasi Alang-Alang karya Widodo Basuki. Dasar ketertarikan
3
untuk menggunakan objek kajian ini di dasarkan pada beberapa pertimbangan
atau alasan sebagai berikut.
Berdasarkan segi pengarang, Widodo Basuki termasuk pengarang yang
sangat produktif, karya-karyanya bukan saja merupakan bacaan yang memberikan
kesenangan pembaca, sesuai dengan pendapat Horace bahwa seni selayaknya
bersifat dulce at utile, artinya menyenagkan dan berguna. Seni sastra ini
menyenangkan karena bersifat seimbang (harmonis), berirama, kata-katanya
menarik hati, mengharukan, mengandung konflik dan sebagainya. Berguna di
sebabkan karena seni sastra itu memancarkan pengalaman yang tinggi dan hebat,
sehingga penikmat akan mendapatkan manfaat serta pengalaman jiwa yang di
kemukakan sastrawan itu (Pradopo, 1994:47).
Berdasarkan penjelasan diatas antologi guritan Medhitasi Alang-Alang
terbitan Sanggar Zuhra Gupita, cetakan pertama pada tahun 2004 merupakan
karya sastra yang menarik selain ditinjau dari pengarang yang sangat produktif
dan terkenal karya sastra guritan ini juga mengundang ketertarikan karena
mencerminkan keadaan masyarakat dan gambaran suasana yang mudah dinikmati
oleh pembaca. Dimana realitas atau kenyataan, dalam bahasa sehari-hari berarti
hal yang nyata yang benar-benar terjadi. Realitas yang terjadi seperti pengalaman-
pengalaman pribadi, rasa ingin tahu, pencarian, kebiasan orang-orang desa, mata
pencaharian di desa dan penggambaran tradisi budaya serta hal-hal yang lainya
yang sangat nyata terjadi dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang karya
Widodo Basuki. Hal ini berarti guritan tersebut betul-betul menggambarkan
pengalaman hidup ataupun hal yang dilihat dari pengarang dan menuangkan ide
dalam karyanya khususnya dalam sepuluh guritan berdasarkan tema yang sama
4
yaitu kebudayaan masyarakat khususnya Jawa, yang secara langsung didalamnya
terdapat nilai-nilai budaya lokal khususnya Jawa yang digambarkan melalui kata-
kata yang estetik oleh pengarang.
Nilai sendiri memiliki pengertian yaitu alat yang menunjukkan alasan
dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara
sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai
memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seorang individu mengenai
hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan. Setiap manusia tentu melakukan suatu
aktivitas dan tindakan untuk mencapai tujuan yang ia harapkan. Pada
kenyataannya tidak sedikit orang yang melakukan segala tindakan untuk
mencapai tujuannya, baik itu berupa tindakan baik maupun tindakan buruk. Hal
terpenting ia mampu mencapai tujuan yang ia harapkan. Perlu adanya suatu
patokan atau tolak ukur untuk mengatur tindakan manusia. Antara norma dengan
nilai itu saling berkaitan, yang mana dalam nilai terdapat norma dan aturan yang
berfungsi sebagai pedoman untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan
yang dilakukan oleh seseorang. Sehingga kedepannya kita dapat mengidentifikasi
bentuk-bentuk dari nilai.
Kehidupan sehari-hari manusia selalu berkaitan dengan nilai. Misalkan
kita mengatakan bahwa orang itu baik atau lukisan itu indah. Berarti kita
melakukan penilaian terhadap suatu objek. Baik dan indah adalah contoh nilai.
Manusia memberikan nilai pada sesuatu. Sesuatu itu dikatakan adil, baik, cantik,
anggun, dan sebagainya. Seperti halnya guritan karya Widodo Basuki juga
memiliki nilai-nilai yang terkandung didalamnya khususnya nilai budaya lokal
jawa, misal pada salah satu guritan terdapat tanda atau makna yang menunjukan
5
nilai budaya dalam suatu daerah tertentu seperti kata kembang mayang binukak ini
menunjukan adanya nilai budaya dalam guritan karya Widodo Basuki.
Koentjaraningrat (2004:9) mendefinisikan bahwa kebudayaan sebagai
keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar,
beserta keseluruhan gagasan dari hasil budi dan karyanya itu. Akan tetapi, tidak
mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal. Menurut
Irwan Abdullah, definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada batas-batas fisik
dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Jawa yang merujuk pada suatu tradisi
yang berkembang di Pulau Jawa. Oleh karena itu, batas geografis telah dijadikan
landasan untuk merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal. Namun, dalam
proses perubahan sosial budaya telah muncul kecenderungan mencairnya batas-
batas fisik suatu kebudayaan. Hal itu dipengaruhi oleh faktor percepatan migrasi
dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya lokal
suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli.
Berdasarkan dari penelitian lain yang sejenis banyak tersimpan di
perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
diantaranya penelitian berjudul “Analisis puisi-puisi St. Iesmaniasita” (Prapto
Yuwana) pada tahun 1985 yang meneliti berdasarkan analisis struktur untuk
menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam puisi. Lestari Emi. 2013. Analisis
Semiotik dalam Antologi Warisan Geguritan Macapat Karya Suwardi. Skripsi.
Purworejo. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Bahasa dan Sastra Jawa.
Universitas Muhammadiyah Purworejo. 2013, dan aspek tematis dalam geguritan
karya Handaya Wibawa (Oei Tjhian Hwat). Analisis Struktur dan Semiotik tahun
2005.
6
Antologi guritan Medhitasi Alang-Alang memberikan gambaran tentang
kondisi kebudayaan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya.
Selain itu keunggulan lainya karya ini tidak hanya menggambarkan satu tema saja
namun menggambarkan berbagai unsur-unsur yang ada di lingkungan masyarakat
seperti: kehidupan masyarakat, alam, politik, dan religius. Namun, peneliti
memilih tema yang mendominasi dalam guritan tersebut. Hal ini dapat diketahui
melalui tanda-tanda dan makna dalam karya antologi guritan Medhitasi Alang-
Alang melalui pendekatan yang mampu mengungkapkan tanda dan makna
tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
strukturalisme yang berdasarkan konsep semiotik karena dengan menggunakan
konsep ini dapat diketahui bagaimana struktur yang membangun terdapat dalam
guritan karya Widodo Basuki. Peneliti dalam meneliti harus tepat dalam
melakukan pendekatan. Pendekatan adalah cara memandang suatu hal, dan
pendekatan (approach) sastra pada dasarnya adalah memahami jenis sastra
tertentu sesuai dengan sifatnya (Satoto, 1991:9).
Semiotik adalah menganalisis karya berdasarkan satuan-satuan tanda yang
bermakna dengan tidak melupakan hubungan fungsi satuan tanda tersebut
(Pradopo,1995:118). Strukturalisme dinamik, memandang, karya sastra tidak
lepas dari konvensi-konvensi masyarakat, baik masyarakat sastra, bahasa maupun
masyarakat pada umumnya, dan dipandang sebagai suatu sistem tanda yang
bermakna. Penelitian ini menggunakan teori semiotik Michael Riffaterre dalam
(Pradopo, 1995:318) yang menyoroti tiga hal antara lain penggantian arti
(displancing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning) dan
7
penciptaan arti (creating of meaning). Konsep tersebut untuk menganalisis
struktur yang membangun dalam guritan tersebut.
Terlepas dari permasalahn di atas dari sinilah wawasan tentang bagaimana
karya sastra yang diciptakan oleh pengarang itu tidak hanya semata-mata menjadi
hiburan saja, namun karya sastra seperti guritan juga terdapat nilai-nilai yang ada
di dalamnya khususnya nilai budaya. Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas, peneliti ini mengambil judul Nilai Budaya Jawa dalam Guritan
Medhitasi Alang-Alang Karya Widodo Basuki (Suatu Tinjauan Semiotika).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka perumusan masalah yang
diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah struktur yang membangun (meliputi: penggantian arti,
penyimpangan arti, penciptaan arti, matriks, model dan varian) sepuluh
guritan dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang karya Widodo
Basuki sesuai teori semiotika Michael Riffaterre?
2. Bagaimanakah makna sepuluh guritan dalam antologi Medhitasi Alang-
Alang karya Widodo Basuki sesuai teori semiotika Michael Riffaterre?
3. Bagaimanakah bentuk nilai budaya Jawa beserta relevansinya dalam
antologi guritan Medhitasi Alang-Alan karya Widodo Basuki?
8
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan struktur yang membangun (meliputi: penggantian arti,
penyimpangan arti, penciptaan arti, matriks, model, dan varian) sepuluh
guritan dalam antologi Medhitasi Alang-Alang karya Widodo Basuki
sesuai teori semiotika Michael Riffaterre.
2. Mendeskripsikan makna sepuluh guritan dalam antologi Medhitasi
Alang-Alang karya Widodo Basuki sesuai teori semiotika Michael
Riffaterre.
3. Mendeskripsikan bentuk nilai budaya Jawa beserta relevansinya dalam
guritan Medhitasi Alang-Alangkarya Widodo Basuki.
D. Pembatasan Masalah
Berdasarkan urian latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka
batasan masalah dalam penelitian ini ditinjau dengan kajian semiotika dan
membatasi permasalahanya pada (1) Struktur yang membangun (meliputi:
penggantian arti, penyimpangan arti, penciptaan arti, matriks, model, dan varian)
sepuluh guritan dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang karya Widodo
Basuki; (2) makna sepuluh guritan dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang
karya Widodo Basuki; dan (3) bentuk nilai budaya lokal Jawa beserta
relevansinya dalam Antologi Guritan Medhitasi Alang-Alang karya Widodo
Basuki.
9
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada secara
teoritis dann praktis.
1. Manfaat Teoretis
Secara Teoritis, hasil pengkajian ini diharapkan dapat memperkaya
khasanah kajian puisi dalam hal ini guritan melalui analisis semiotika
Michael Riffaterre.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis dapat menambah refrensi penelitian
karya sastra Jawa dan menambah wawasan kepada pembaca mengenai nilai
budaya Jawa dalam guritan Medhitasi Alang-Alang Karya Widodo Basuki.
F. Landasan Teori
Landasan teori menampilkan dasar-dasar teori ilmiah yang relevan dengan
pokok permasalahan dalam penelitian. Landasan teori digunakan sebagai bekal
untuk menganalisis objek kajian. Dalam penelitian ini teori-teori yang diperlukan
yaitu mengenai pengertian puisi dan guritan, struktural yang dilanjutkan dengan
semiotika Michael Riffaterre, dan nilai budaya lokal Jawa. Berikut ini akan
dijelaskan tentang teori tersebut.
1. Puisi dan Geguritan
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani „Poeima‟ yang
berarti „membuat‟ atau Poeisis yang berarti „pembuatan‟, dan dalam bahasa
Inggris disebut dengan Poem atau Poetry. Puisi diartikan membuat dan
10
pembuatan, karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan dunia
tersendiri, yang mungkin berisikan pesan atau gambaran-gambaran suasana
tertentu, baik fisik maupun batiniah (Aminudin, 1991:134). Menurut
Purwodarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan
puisi adalah karangan kesusastraan yang berbentuk sajak (syair, pantun dan
sebagainya).
Penciptaan puisi sebagai suatu kreasi seni itu bertolak dari kompleksitas
suatu masalah dalam kehidupan itu sendiri, dari segala yang ada dan yang
mungkin ada. Puisi pada dasarnya mampu menggambarkan problematik manusia
yang bersifat universal, yakni yang berhubungan dengan masalah hakekat
manusia, kematian juga ketuhanan (Aminudin, 1991:191).
Puisi adalah salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan
perasaan seorang penyair secara imajinatif dan disusun dengan konsentrasi
apapun yang ada yaitu struktur yang membangun puisi. Semuanya saling
mengikat dengan unsur-unsurnya membentuk suatu totalitas makna yang utuh.
Pada dasarnya yang disebut struktur fisik puisi terdiri dari diksi, pengimajian serta
majas, kata konkret, verifikasi dan tipografi puisi. Sedangkan struktur batin adalah
sebagai pengungkap dari perasaan dan semua pengalaman jiwa dari seorang
penyair (Waluyo, 1991:28). Pihak lain puisi dipandang sebagai suatu tindak
komunikasi, yaitu sebagai wacana puitik dari penyair yang diperuntukan bagi
khalayak dengan sentuhan yang khas, di dalam naungan konteks dan kode budaya
(Wiryatmaja, 1987:4).
Pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi adalah ungkapan
perasan dan pikiran penyair atas dasar pengalamannya, yang bersifat imajinatif
11
atau rekaan yang dituangkan atau disusun dengan mengkonsentrasikan semua dari
kekuatan bahasa serta dikemas secara khas dalam konteks dan kode budaya yang
ada pada masyarakat.
Guritan merupakan nama yang diberikan kepada semua bentuk puisi Jawa
modern (Subalidinata, 1981:47). Pengertian guritan atau puisi Jawa Modern
adalah puisi yang pengungkapannya menggunakan media bahasa Jawa Modern.
Guritan tradisional memiliki aturan yang ketat, misalnya menyangkut jumlah
suku kata dan bunyi pada akhiran larik. Pada tahap awal perkembangannya,
biasanya guritan diawali kata sun gegurit „saya membuat guritan‟. Guritan
sekarang disebut puisi bebas, karena tidak terikat oleh konvensi-konvensi
tersebut.
Berbagai pendapat para ahli di atas dapat digunakan sebagai landasan
dalam memberi pengertian puisi dan guritan. Puisi adalah karya sastra yang
menggunakan kata ataupun bahasa yang ringkas namun padat akan makna sebagai
media untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair. Sedangkan guritan
adalah puisi Jawa modern yang menggunakan bahasa Jawa sebagai medianya.
Sama halnya dengan puisi berbahasa Indonesia, guritan juga digunakan sebagai
media untuk menyampaikan gagasan dan perasaan penyair.
12
2. Struktur Puisi
Puisi memiliki struktur yang terdiri unsur-unsur pembangun yang bersifat
padu karena tidak dapat dipisahkan tanpa mengkaitkan unsur-unsur lainnya
(Waluyo, 1991:25). Menghadapi sebuah puisi, kita tidak hanya berhadapan
dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga
merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak
diucapkan penyair. Menurut Sayuti Suminto (1985:15), unsur-unsurnya adalah
kata-kata, bentuk, pola, rima, ritme, ide dan makna atau masalah yang diperoleh
penyair dalam hidup dan kehidupannya yang hendak disampaikan kepada
pembacanya, melalui teknik dan aspek-aspek tertentu.
Plat menambahkan (dalam Teeuw, 1983:2-3), bahwa dalam menganalisis
puisi hendaknya diperhatikan tiga aspek utama yakni :
(1) Aspek struktur luar karya puisi (eksterne strukturrelation)
(2) Aspek struktur batin (interne strukturrelation)
(3) Aspek dunia sekunder yang kompleks dan bersusun-susun
Struktur batin dan struktur fisik puisi bersifat padat karena keduanya
saling berhubungan dan berkaitan. Pada dasarnya puisi adalah konsentrasi dan
intensifikasi, dengan konsentrasi dimaksudkan pada pemusatan segala kesan,
perasaan, pikiran, dan persoalan. Intensifikasinya yang menimbulkan kesan
emosional sehingga tercipta suatu suasana puitis. Segenap struktur puisi berusaha
untuk membentuk tercapainya kedua proses itu (Murshal Esten, 1989:24).
Menurut Rene wellek dan Austin Warren, unsur-unsur yang membangun
sebuah puisi adalah citra, simbol, mitos dan tema (Wellek, 1983:235). Pengertian
dari masing-masing unsur struktur tersebut adalah :
13
a. Citraan
Menikmati (membaca atau mendengarkan) suatu karya sastra dalam hal
puisi, pentingnya salah satu unsur puisi yang menyentuh atau menggugah
indera perlu disadari. Dapat disebut sebagai kesan yang terbentuk dalam
angan-angan yang disebabkan oleh sebuah kata. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran yang jelas, dan untuk menimbulkan suasana yang
khusus, untuk membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan
dan untuk bisa menarik perhatian di samping sebagai alat kepuitisan yang lain.
Kesan yang terbentuk dalam angan-angan itulah yang disebut dengan citraan
atau imajinasi, dalam bahasa Inggrisnya adalah image (s) dan imagery.
Sedangkan dalam istilah perpuisian di Indonesia dikenal dengan istilah citra.
Istilah citraan sering dipakai dalam dua pengertian yang sebenarnya
berlainan. Pertama merupakan pengalaman dari indera yang terbentuk dalam
rongga imajinasi yang ditimbulkan oleh sebuah kata atau rangkaian kata.
Kedua merupakan bentuk bahasa (kata atau rangkaian kata) yang dipergunakan
oleh penyair untuk menyampaikan pengalaman estetiknya atau untuk
menyampaikan pengalaman inderanya. Jadi jelaslah bahwa citra itu bisa datang
dari penyairnya dan penikmat puisi (Pradopo, 1995:107).
Pradopo menyatakan bahwa gambaran-gambaran angan itu disebut citraan
atau imagery. Gambaran-gambaran angan itu ada beberapa macam, antara lain
: citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery),
citraan rabaan (factile/thermal imagery), citraan penciuman (olfactory imagery)
dan citraan gerak atau movement (kinaesthetic/movement imagery) (1995:81).
14
Pencitraan adalah topik yang termasuk di dalam bidang psikologi dan
studi sastra. Renne Wellek mengatakan: “Ahli-ahli psikologi dan estetika
menyusun berbagai macam jenis pencitraan. Ada pencitraan yanng berkaitan
dengan suhu dan tekanan (kinaesthetic „gerak‟, haptic „sentuhan‟, empatic „
rasa simpati‟), ada pula yang berkaitan dengan penciuman” (Wellek,
1983:236).
Ezra Pound menggambarkan bahwa citra bukan sebagai gambaran fisik,
melainkan sebagai sesuatu yang rumit atau sesuatu dalam waktu sekejap dapat
menampilkan suatu kaitan pikiran dan juga emosi yang rumit (that wich
presentsan intelectual and emotional complex in an instan of time). Suatu cara
dari penggabungan ide-ide yang berlainan (Ezra Pound dalam Wellek,
1983:237).
Dari pengertian citra di atas dapat disimpulkan bahwasanya citra adalah
kata atau serangkaian kata-kata yang digunakan sebagai ungkapan kesan yang
terbentuk di dalam imaji, yang merupakan gambaran angan-angan. Citra ini
oleh penyair adalah bentuk pengungkapan segala kesan perasan atau
pengalaman dari inderanya.
b. Simbol
Simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk
berbagai tujuan. Simbol bersifat mewakili terhadap sesuatu yang lain, tetapi
dalam kata simbol berasal bahasa Yunani yang berarti mencampurkan serta
membandingkan dan membuat analogi antara tanda dan objek yang lainnya
seperti apa yang diacu. Menurut teori sastra, simbol itu sebaiknya dipakai
dalam pengertian yang adanya sebagai berikut : objek yang mengacu pada
15
objek lain, yang juga menuntut perhatian pada diri sendiri sebagai suatu
perwujudan (Wellek, 1983:239-140).
Simbol dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1) Simbol universal, berkaitan dengan artikepos, misalnya tidur lambang
dari suatu kematian.
2) Simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh suatu dari kebudayaan
tertentu, misalnya keris dalam budaya Jawa.
3) Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks
keseluruhan dari karya seorang pengarang (Hartoko & B. Rahmanto,
1984:133).
Ada pendapat yang menyatakan bahwa simbol dicirikan oleh nampaknya
sifat-sifat yang mencirikan spesies pada individu, atau sifat-sifat umum
(genus) pada khususnya, akhirnya oleh nampaknya hal-hal yang bersifat
pribadi abadi pada hal-hal yang sementara (Coleridge dalam Wellek,
1983:240).
Uraian tentang simbol tersebut bermanfaat untuk bisa memberikan
gambaran secara umum bahwa simbol adalah suatu pemakaian dari bentuk
baru yang harus menampakan sifat-sifat yang lebih umum dan abadi dari sifat-
sifat objek yang diacu.
Puisi perlu digunakan simbol karena penyair merasa bahwa katakata dari
kehidupan sehari-hari itu belumlah rasanya mencukupi untuk mengungkapkan
makna yang hendak disampaikan oleh diri penyair kepada pembaca. Penyair
merasa bahwasannya dengan simbol itu maknanya akan lebih hidup.
16
c. Mitos
Mitos adalah suatu cara pengungkapan yang cenderung bersifat irasional
dan intuitif, meliputi bidang-bidang agama, folklor, antropologi, sosiologi, dan
lain-lain dengan tujuan sebagai dasar menghidupkan narasi. Secara umum,
suatu ciri mitos adalah sifatnya yang sosial, komunal, dan anonim. Mitos
menurut sejarahnya, mengikuti dan berkaitan erat dengan ritual. Mitos adalah
bagian ritual yang diucapkan, cerita yang diperagakan oleh ritual. Suatu
masyarakat, ritual yang sering dilakukan oleh pemuka-pemuka agama untuk
menghindarkan bahaya dan mendatangkan keselamatan. Pengertian yang luas,
mitos berarti cerita-cerita anonim mengenai asal mula alam semesta dan nasib
serta tujuan hidup, penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh suatu masyarakat
kepada anak-anak mereka mengenai dunia tingkah laku manusia, citra alam
dan tujuan hidup manusia. Penjelasan ini bersifat mendidik (Wellek & Waren,
1983:243).
Mitos dapat juga dikatakan sebagai alusio yang diperjelas yang
menceritakan tentang dewa atau pahlawan yang mengisahkan tentang
keyakinan masyarakat mengenai persoalan yang berhubungan dengan
penciptaan dewa, sifat alam semesta, dan nasib suatu bangsa dengan tujuan
sebagai dasar untuk menghidupkan narasi.
d. Tema
Sebuah karya sastra dapat diangkat atau diambil ajaran moral maupun
yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar, hal
demikian disebut dengan tema (Sujiman, 1988). Tema, amanat, pesan, message
17
adalah merupakan rangkaian pengertian yang sama, karena menunjukan
dengan singkat inti atau peristiwa yang merupakan bahan suatu cerita.
Tema adalah hal yang menjadi inti cerita. Tema diisi dengan pengalaman
yang intens, yaitu pengalaman yang sudah mengandung interpretasi dan
penafsiran serta penilaian pengarang. Jadi, tema merupakan suatu ide, gagasan
atau pikiran di dalam suatu karya sastra, baik yang terungkap secara tersirat
maupun tersurat.
Tema atau amanat dapat dikatakan sebagai latar belakang kelahiran suatu
karya sastra. sebab kristalisasi ide, gagasan, pikiran pengarang menjadi dasar
penciptaan karya sastra, baik yang berhubungan dengan pendidikan,
pengobatan, ajaran agama, ajaran moral, maupun pesan-pesan lainnya. Pesan
atau amanat yang disampaikan pengarang berkait erat dengan makna karya
sastra. tema, amanat atau tendens dalam karya sastra akan menunjukan ciri-ciri
berikut : kias, subjektif dan impretatif, maka penafsiran pada suatu karya sastra
oleh seseorang dengan orang lain akan menunjukan suatu perbedaan.
3. Teori Semiotika
Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya : cara fungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,
pengirimnya, penerimanya oleh mereka yang menggunakannya (Sudjiman dan
Zoest, 1990:5). Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti, penelitian semiotik ini meliputi analisis sastra sebagai sebuah
18
penggunaan bahasa yang bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan
bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger dkk,
dalam Pradopo 1995:980)
Definisi tentang semiotik juga dikemukakan Sutadi Wiryatmaja (1987:3)
bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda dan maknanya yang
luas di dalam masyarakat, baik yang lugas (literal) maupun yang kias (figuratif),
baik yang menggunakan bahasa dan non bahasa.
Dari beberapa definisi tentang semiotika, Santoso (1993:4-6) memberi
kesimpulan bahwa ada tiga komponen dasar semiotik, yaitu :
a. Tanda merupakan bagian ilmu semiotika yang menandai suatu hal atau
keadaan untuk menerangkannya atau memberikan obyek kepada subyek.
Dalam hal ini tanda selalu menunjukkan pada sesuatu hal yang nyata
misalnya benda, kejadian, tulisan, bahasa, peristiwa dan bentuk-bentuk
tanda yang lain.
b. Lambang adalah sesuatu hal yang memimpin pemahaman si subjek kepada
objek. Suatu lambang selalu berkaitan dengan tanda-tanda yang sudah diberi
sifat-sifat kultural, situasional, dan kondisional.
c. Isyarat adalah sesuatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si subjek yang
diberikan isyarat pada waktu itu. Jadi isyarat selalu bersifat temporal
(Santoso, 1993:4-6).
19
4. Semiotik Riffaterre (Semiotik Puisi)
Penulis dalam penelitian ini menggunakan teori Semiotik Riffaterre. Studi
semiotik adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena
itu menentukan konvensikonvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai arti (Preminger dalam Pradopo, 1995:109). Selanjutnya dikemukakan
pula bahwa konvensi-konvensi apa yang mendasari timbulnya makna dieksplisit
dalam konkretisasi (pemberian makna). Pemberian makna melibatkan peranan
teks dan pembaca.
a. Peranan Pembaca dalam Puisi
Peranan pembaca dalam puisi sangat penting. Pembaca juga merupakan
kritikus dalam mengkrotisasi makna karya sastra. Terjadi hubungan antara teks
karya sebagai sistem tanda dan pembaca yang memiliki horison sendiri
terhadap karya sastra yang dibacanya.
Analisis semiotik adalah sejauh mana peran pembaca dalam menentukan
makna suatu karya sastra. Pemberian makna oleh pembaca berarti pembaca
telah berkomunikasi dengan pengarang melalui tanda-tanda yang ditimbulkan,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Melakukan komunikasi dengan
karya sastra, pembaca dituntut untuk menemukan makna yang terkandung
secara kreatif dan dinamis. Hal ini disebabkan pembaca merupakan satu-
satunya pelaku yang menciptakan pertalian, teks, penafsiran, dan interteks.
Peranan pembaca dalam penelitian karya sastra dengan menggunakan
pendekatan semiotik tidak dapat dikesampingkan. Pembaca puisi amat
menentukan sebab pembaca bertindak sebagai subyek, yaitu satu-satunya
pelaku yang menciptakan pertalian teks, panafsiran dan interteks. Pembaca
20
juga bertindak sebagai obyek yaitu dalam batin pembaca berlangsung transfer
semiotik dari satu tanda ke tanda yang lain (proses interpretasi).
Pada awal intepretasinya, Riffaterre sudah memperkenalkan apa yang
disebut sajak sebagai jawaban, karena pada dasarnya karya sastra merupakan
jawaban terhadap rahasia kehidupan manusia. Pembaca adalah petugas garda
depan untuk membongkar makna karya sastra, mencari jiwa, mencari respon,
kemudian menafsirkan (Pradopo, 1995:20).
Mengingat pembaca mempunyai horison harapan sendiri, maka tiap
pembaca akan memberikan makna yang berbeda dengan pembaca lain. Hal ini
mengacu pada apa yang dikatakan Jauss, bahwa apresiasi pembaca pertama
terhadap sebuah karya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari
generasi ke generasi (Jauss dalam Pradopo, 1995:116). Setiap kali puisi dibaca
akan memberikan arti yang baru.
Pembaca sebagai pembongkar makna harus mempunyai bekal yang
cukup. Kebiasaan individual yang selalu menyertai, suasana dan persiapan diri
dalam menerima bacaan turut menentukan. Pendidikan kepribadian yang
meliputi latar belakang religi, filosofis, iklim budaya, serta wawasan
kebahasaan yang luas juga mempengaruhi daya tangkap pembaca teradap
makna puisi. Seorang pembaca yang tidak berpengalaman hanya menghasilkan
distorsi dan pemahaman yang dangkal (Wellek, 1983:180).
b. Peranan Penulis dalam Puisi
Kedudukan penulis dalam penafsiran karya sastra dikemukakan oleh Juhl
melalui tiga dalih. Pertama, ada kaitan logik antara sebuah arti karya sastra dan
niat penulisnya. Kedua, penulis yang nyata terlibat bertanggung jawab atas
21
proposisi yang diajukan dalam karyanya, jadi karya sastra tidak otonom, ada
kaitannya antara sastra dan kehidupan. Ketiga, karya sastra mempunyai satu
dan hanya satu arti saja. Apa yang diniatkan oleh kata-kata dipergunakan
penulis dalam karya sastranya adalah sesuatu yang dipikirkan sebelum
penciptaan, niat justru terwujud dalam proses perumusan kalimat-kalimat yang
dipakai dalam karya (Teeuw, 1984:177). Karya sastra merupakan luapan
penjelmaan perasaan, pikiran dan pengalaman (dalam arti luas) pengarangnya.
Oleh sebab itu, faktor pengarang tidak boleh diabaikan meskipun tidak harus
mutlak (Pradopo, 1995:144).
Pembaca secara sadar atau tidak sadar, dalam membaca karya sastra
adalah komunikasi dengan sesama manusia (pengarang) yang mencipta karya
sastra yang diminatinya.
c. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang berdasarkan pada struktur
bahasanya secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem simiotik tingkat
pertama. Pembacaan ini karya sastra dibaca secara linier, sesuai dengan
struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik tingkat pertama. Untuk
menjelaskan arti bahasa bilamana perlu susunan kalimat dibalik seperti
susunan bahasa secara normatif, di beri tambahan kata sambung (dalam
kurung), kata-kata dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif.
Bilamana perlu, kalimat karya sastra diberi sisipan-sisipan arti kata atau
sinonimnya, ditaruh dalam tanda kurung supaya artinya menjadi jelas
(Pradopo, 1995:295).
22
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir
dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan
konvensi sastra (puisi) (Pradopo, 1995:297).
d. Intertektualitas Puisi
Pengertian atau paham intertektualitas berasal dari bahasa Prancis yang
dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, Jaques Derrida dan dikembangkan
oleh Julia Kristeva. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dengan
latar belakang dari teks-teks lain, tidak ada sebuah tekspun yang sungguh-
sungguh mandiri, dalam arti bahwa dalam penciptaan dan pembacaannya tidak
dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka;
tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain atau mematuhi
kerangka yang telah diberikan lebih dulu, tetapi dalam arti bahwa dalam
penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan
peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan
adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi; dan pemahaman
teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang
mendahuluinya (Kristeva dalam Teeuw, 1984 :146).
Intertektualitas berlaku dalam karya sastra, termasuk puisi. Sebuah puisi
merupakan tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Tanggapan ini berupa
penyimpangan atau menerusnya tradisinya. Penyair meresapi, menyerap dan
kemudian mentransformasikannya ke dalam puisi-puisinya. Mentransformasi
adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain, yang pada
hakikatnya sama (Pradopo, 1995:300).
23
Ada istilah khusus yang dikemukakan Riffaterre yaitu hipogram.
Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau puisi yang
menjadi latar penciptaan puisi lain. Perlu diingat bahwa dalam prinsip
pemahaman dan pemberian makna teks itu merupakan peresapan, penyerapan
dan transformasi teks lain (Riffaterre dalam Pradopo, 1995:229). Dapat
diketahui bahwa intertekstualitas mempunyai peran yang penting dalam
mengkaji puisi terutama dari pendekatan semiotik sastra.
Prinsip intertekstualitas ini merupakan salah satu sarana pemberian makna
kepada sebuah teks sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa sastrawan
menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Menanggapi teks-teks lain
penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik
sendiri yang ditentukan oleh horison harapannya, yaitu pikiran-pikiran konsep
estetik dan pengetahuan sastra yang dimilikinya (Pradopo, 1995:228).
Hal yang paling penting dalam prinsip intertekstualitas adalah prinsip
pemahaman dan pemberian makna teks sendiri, tidak mempersoalkan saduran
atau turunan, melainkan setiap teks itu merupakan peresapan, penyerapan, dan
transformasi dari teks lain.
Teeuw (1983:69) menjelaskan bahwa prinsip intertekstualitas itu jauh
lebih luas jangkauannya dari pada hanya perkara pengaruh atau saduran
ataupun pinjaman dan jiplakan. Hakiki adalah untuk interpretasi sajak secara
tuntas dan sempurna, sebuah sajak baru mendapatkan makna penuh sebagai
sistem tanda (semiotik) dalam kontrasnya dengan hipogramnya.
24
e. Wacana Puitik
Wacana puitik adalah kesepadanan yang ditentukan diantara kata dan
teks, atau antara sebuah teks dengan teks lain. Seperti telah diungkapkan
sebelumnya, sastra (puisi) merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua
yang mempergunakan bahasa sebagai sistem tanda tingat pertama. Jadi dalam
karya sastra tidak ada konvensi sastra sendiri yang disebut konvensi tambahan
(di luar konvensi bahasa) (Preminger dalam Pradopo 1995:209). Konvensi
tambahan dalam sastra antara lain konvensi bahasa kiasan, persajakan,
pembaitan, enjambemen dan tipografi.
Dikemukakan oleh Riffatrre bahwa ketidaklangsungan pernyataan puisi
itu disebabkan oleh tiga hal yang penting yaitu penggantian arti (displacing of
meaning),penyimpangan arti (distoring of meaning) dan penciptaan arti (creating
ofmeaning) (Pradopo, 1995:318).
1. Penggantian Arti (Displacing of Meaning)
Umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain,
lebih-lebih metafora dan metonimi. Dalam penggantian arti ini suatu kata
(kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya) (Pradopo,
1995:210).
Metafora adalah maksud pemakainya yang sangat terasa, terencana
dan diperhitungkan untuk mengefektifkan efek emotif darinya (Wund dalam
Wellek, 1983:251). H. Konrad mengkontraskannya antara metafora estetis.
Metafora linguistis (misal kaki meja)menggarisbawahi dari kecendrungan
umum objeknya “memandikannya dengan suasana yangbaru” (Konrad
dalam Wellek, 1983:251). Metafora biasanya mengumpamakan atau
25
menggantikan sesuatu hal dengan tidak menggunakan kata pembanding :
bagi, bak, ibarat, seperti, laksana, dan sebagainya.
Metafora dianggap sebagai struktur penentu dari dua macam tipe
puisi, tipe yang pertama adalah membuat asosiasi berdasarkan perbandingan
yaitu puisi yang mengacu pada dunia wacana. Tipe yang kedua ialah
menggabungkan dari sebuah dunia yang berbeda (Wellek, 1983:250).
Penyebab munculnya metafora banyak disebabkan oleh rasa takut
dan segan. Memberinya sebutan metafora, kita dapat melihatnya dari sudut
pandang tertentu, karena melalui itulah objeknya dapat dicerminkan dalam
fokus tertentu oleh objeknya yang difokuskan tersebut. Ada beberapa unsur
sebagai dasar yaitu bahwa ada empat unsurnya yang mendasar di dalam
pengertian tentang apa itu metafora, adalah metafora (1) sebagai analogi (2)
sebagai visi ganda (3) sebagai citra indrawi yang mengungkapkan hal-hal
yang tak dapat dilihat dan (4) sebagai proyeksi animistis (Wellek,
1983:253).
Penggunaan metafora merupakan salah satu ciri khas dari puisi,
akan tetapi pemakaian dan penggunaan kiasan itu harus spontan, langsung
keluar dari sanubari penyair dan hendaknya ada persejajaran dengan adanya
apa yang dilukiskan oleh penyair dengan apa yang dimaksudnya.
Berbagai pendapat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa
metafora adalah pergeseran dari suatu sifat tertentu ke dalam sifat lain
berdasarkan asosiasi kaitan atau asosiasi perbandingan. Metafora
memindahkan sifat tertentu ke dalam suatu objek yang dipersamakan oleh
suatu metafora.
26
Metonimi dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai kiasan
pengganti nama. Bahasa ini berarti penggunaan sebuah atribut, sebuah objek
atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk
menggantikan objek tersebut (Altenbernd dalam Pradopo, 1995:77).
Penggunaan metonimi ini untuk membuat lebih hidup dengan menunjukan
hal yang kongkrit. Penggunaan hal tersebut lebih dapat menghasilkan imaji-
imaji yang nyata. Namun, tidak menutup kemungkinan bentuk pengganti
arti ini juga dibangun oleh bentuk-bentuk kiasan yang lain seperti
personifikasi, sinekdok, dan sebagainya.
2. Penyimpangan Arti (Distorting of Meaning)
Penyimpangan arti dalam karya sastra disebabkan oleh tiga hal
yaitu, ambigius, kontradiksi dan nonsense (Riffaterre, dalam Pradopo
1995:213).
a. Ambiguitas
Ambiguitas adalah keragu-raguan atau ketidakpastian dalam
menafsirkan makna kata atau ungkapan dalam karya sastra karena adanya
beberapa kemungkinan (Panuti, 1990:50). Suatu puisi sering dijumpai
arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsiran atau ambiguitas.
Ambiguitas puisi, dapat memberi kesempatan kepada pembaca untuk
memberikan arti sesuai dengan asosiasinya. Asosiasi dalam puisi
berperan utama untuk memberikan efek atau pengaruh kepada pembaca.
Efek yang ditimbulkan berbeda-beda bagi setiap orang. Perbedaan itu
disebabkan perbedaan pengalaman batin pembaca. Kata yang sama
dalam sebuah puisi belum tentu menghasilkan asosiasi yang sama, bisa
27
jadi satu kata menghasilkan bermacam-macam asosiasi. Jadi, setiap kali
puisi dibaca akan menimbulkan arti baru.
b. Kontradiksi
Kontradiksi adalah salah satu cara menyampaikan sesuatu dengan
menggunakan pertentangan atau secara berlawanan. Hal ini disebabkan
oleh paradoks dan ironi. Paradoks adalah pernyataan yang tampaknya
berlawanan dalam dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat
umum, akan tetapi kalau dilihat lebih dalam, sesungguhnya mengandung
sesuatu kebenaran, contoh kalimat : Walaupun bergelimang harta tetap
dalam kesedihan (Sudjiman, 1990:59).
Ironi yaitu majas yang menyatakan makna yang bertentangan
dengan makna sesungguhnya, misalnya mengemukakan makna yang
berlawanan dengan makna yang sebenarnya, ketidaksesuaian antara
harapan dan kenyataan, ketidaksesuaian antara suasana yang
diketengahkan (Sudjiman, 1990:38).
c. Nonsense
Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak
mempunyai arti, sebab tidak terdapat pada kosa kata, karena hanya
berupa rangkaian bunyi yang tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi
dalam puisi mempunyai makna sesuai arti sastra berdasarkan konvensi
sastra (Pradopo, 1995:219).
3. Penciptaan Arti (Creating of Meaning)
Terjadinya penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) adalah ruang teks
berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar
28
dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada
artinya, misalnya simetri, rima, enjabemen, atau ekuivalensi makna diantara
persamaan-persamaan posisi di dalam bait (homologues) dan tipografi.
a. Rima
Pengulangan bunyi dalam puisi untuk musikalitas atau orkestrasi.
Untuk mengulang bunyi ini penyair juga mempertimbangkan lambang
bunyi. Cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana
puisi (Waluyo, 1991:90). Menurut Wellek (dalam Santoso, 1993:38),
rima dibedakan menjadi rima akhir, rima tengah, rima awal. Ketiga rima
ini diperhatikan menjadi rima terus (a a a a), rima berpasangan (a a b b),
rima bersilang (a b a b). rima berpeluk (a b b a), rima putus (a a a b atau a
b a c).
Rima dalam larik diperinci menjadi : aliterasi, asonansi, desonansi,
dan anafora.
1) Aliterasi dimaksudkan sebagai runtutan konsonan dalam larik
seperti : desir, hari, lari, berenang.
2) Asonansi ialah runtutan paroh suku kata terakhir dalam larik
seperti: berjulang, datang, berkembang.
3) Desonansi yaitu runtun ragangan konsonan kata dalam larik seperti
: bolak-balik, compang-camping.
4) Anafora yaitu runtun suku awal kata yang sama dalam larik seperti
:bernyanyi, beria, berlupa.
Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi) : a, i, u, e, o, bunyi-bunyi
konsonan bersuara (voiced) : b, d, g, j, bunyi liquida : r, l, dan bunyi
29
sengau : m, n, ng, ny, menimbulkan bunyi merdu dan berirama yang
disebut eufoni. Bunyi yang merdu itu dapat mendukung suasana yang
mesra, kasih sayang, gembira, dan bahagia (Pradopo, 1995:29).
Rene Wellek dkk (dalam Santoso, 1993:37) mendefinisikan eufoni
sebagai daya guna bunyi.
Sebaliknya kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh
bunyi k, p, t, s, ini disebut kakofoni. Kakofoni ini cocok untuk
memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serba tak
teratur, bahkan memuakan (Pradopo, 1995:30).
b. Homologues
Homologues itu misalnya tampak dalam sajak pantun. Semua tanda di
luar kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan
kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralellisme (Pradopo,
1995:220). Pada penciptaan arti telah mencakup adanya aspek formal
puisi. Aspek formal puisi berfungsi untuk menilai kepuitisan suatu puisi,
yaitu lewat estetik setiap unsur yang ada dalam puisi. Contoh
homologues adalah bentuk sajak pantun yang berisi baris-baris yang
sejajar, baik bentuk visualnya atau bentuk kata-katanya, persejajaran
suara itu menyebabkan timbulnya arti yang sama.
c. Enjambemen
Enjambemen adalah pemutusan kalimat untuk diletakkan pada
baris berikutnya. Pemutusan atau pelompatan kalimat ke baris berikutnya
pada puisi ini berfungsi untuk membangun satuan kata atau kalimat yang
menunjukan satu kandungan tertentu, atau untuk memberi tekanan makna
30
baris tersebut. Menurut Riffaterre, enjambemen termasuk dalam
penciptaan arti, yang merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk
visual secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna
dalam puisi (Riffaterre, 1978:2).
d. Tipografi
Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan
prosa. Ciri yang demikian menunjukan eksistensi sebuah puisi. Cara
sebuah teks ditulis sebagai larik-larik yang khas menciptakan makna
tambahan. Kata-kata yang disusun larik-larik yang panjang dan pendek
sedemikian bervariasi secara harmonis menimbulkan ritma yang padu
(Waluyo, 1991:97).
f. Matriks, Model, dan Varian
Puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi model dan
ditransformasikan menjadi varian-varian. Matriks diabstrasikan berupa satu
kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana.
Michael Riffaterre terkenal dengan pengibaratan puisinya sebagai sebuah
donat. Menurut Michael Riffaterre (1978: 13) signifikansi terbentuk seperti kue
donat. Ridha Al Qadri (2010: 175) menjelaskan adapun kue yang tampak
merupakan teks yang terbaca, sedangkan bagian tengah yang kosong tau
berlubang merupakan matriks dan hipogram. Bagian kosong ditengah-tengah
daging kue inilah pusat makna, inti puisi dan justru jadi tumpuan seluruh
produksi tanda dan teks puisi. Matriks tidak hadir secara langsung dalam puisi,
namun aktualisasinya berupa kata atau kalimat yang menjadi model dan
kemudian mengalami perluasan menjadi teks.
31
Menurut Michael Riffaterre (1978: 19) matriks bersifat hipotesis dan di
dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa
saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks.
Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian
tersebut di atur oleh aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai
model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang
sama.
Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan
bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model
menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud
senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian
itu ditentukan oleh model. Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang
akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna
yang utuh dan menyeluruh dalam guritan karya Widodo Basuki
5. Nilai Budaya Jawa
Kehidupan sehari-hari kita tidak akan bisa terlepas dari yang dinamakan
budaya. Budaya memiliki bentuk yang abstrak namun dimanapun kita berdiri
di dunia ini maka secara langsung maupun tidak langsung kita akan terllibat
dalam suatu kebudayaan yang menjadi ciri khas suatu tempat atau daerah.
Adanya budaya disuatu tempat maka daerah tersebut dapat dengan mudah
untuk diketahui secara luas oleh orang lain, karena budaya juga merupakan ciri
khas yang pasti dimiliki oleh setiap daerah atau tempat di dunia.
32
Kebudayaan sendiri diartikan sebagai hal-hal bersangkutan dengan akal
atau budi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarjono Soekanto (2006:150)
bahwa budaya beralas dari bahasa Sansekerta yaitu “buddayah”, yang
merupakan bentuk jamak dari kata “budhi” yaitu budi atau akal. Kebudayaan
itu tumbuh karena adanya suatu masyarakat, kebudayaan dan masyarakat
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Suatu kebudayaan akan bisa
berkembang dan bertahan jika masyarakat masih memandang kebudayaan
tersebut berguna bagi kehidupanya, namun sebaliknya kebudayaan tersebut di
pandang tidak berguna bagi mereka sehingga kebudayaan tersebut perlahan
dilupakan. Eksistensi suatu budaya dalam masyarakat sangat bergantung pada
keberadaan masyarakat itu sendiri. Koentjaraningrat (2004:9) mendefinisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus
dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan gagasan dari hasil budi dan
karyanya itu. Karena seperti yang disebutkan oleh Van Peursen (1988:144)
seluruh kebudayaan merupakan satu proses belajar yang besar.
Sekarang ini kebudayaan yang telah menjadi sistem pengetahuan, secara
terus menerus dapat digunakan untuk memahami berbagai peristiwa dan gejala
yang ada dalam lingkungan sehingga kebudayaan itu menjadi milik semua
masyarakat dimana budaya itu ada. Karena dalam kehidupan sosial masyarakat
harus menghasilkan sesuatu yang harus saling mereka pahami agar keteraturan
sosial dan kelangsungan hidup mereka sebagai makhluk sosial dapat
dipertahankan.Berdasarkan pengertian kebudayaan menurut para ahli, dapat
disimpulkan bahwa budaya merupakan hasil dari pemikiran manusia yang
dituangkan baik dalam bentuk gagasan, nilai, norma, dan benda yang berlaku
33
dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari serta dijadikan pedoman hidup
dalam bertingkah laku di masyarakat. Kehidupan bermasyarakat, budaya kerap
kali dijadikan pengetahuan dasar secara menyeluruh untuk memahami
lingkungan yang dihadapi danmendorong terciptanya kelakuan yang sesuai
dengan tata kehidupan bermasyarakat.
Sifat budaya nasional akan menyangkut masalah kepribadian nasional, dan
masalah kepribadian nasional itu tidak hanya langsung mengenai identitasi kita
sebagai bangsa, tetapi juga menyangkut soal tujuan kita bersama untuk hidup
sebagai bangsa, menyangkut soal tujuan kita bersama untuk dengan susah
payah mengeluarkan tenaga banyak untuk membangun, dan menyangkut soal
motivasi kita untuk membangun. Sebagai negara yang multikultur, Indonesia
merupakan negara yang sangat menghargai kebudayaan meskipun terdapat
keragaman budaya yang tersebar di seluruh pelosok negeri, akan tetapi tidak
terjadi perpecahan di dalam masyarakat yang ada di wilayah Indonesia. Rangka
mewujudkan kebudayaan nasional, di Indonesia terdapat sebuah perlindungan
terhadap keragaman budaya yang ada di masyarakat, dengan adanya
pengakuan tersebut setiap daerah akan diberi kebebasan dalam berbudaya
sesusai dengan kebudayaan masing-masing.
Hubungan kebudayaan menyangkut semua kegiatan manusia, untuk itu
unsur-unsur dalam kebudayaan perlu dikaji lebih dalam. Menurut
Koentjrooningrat (2004:2) unsur-unsur kebudayaan bersifat universal dan
dapaat ditemukan didalam kebudayaan semua bangsa yang tersebar diberbagai
penjuru dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah:
34
1. Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sarana bagi seluruh manusia untuk memenuhi
kebutuhan sosialnya untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamnya.
2. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam hal kultural universal berkaitan dengan
sistem peralatan hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat
abstrak dan berwujud di dalam ide manusia. Batasan sistem pengetahuan
sangatlah luas karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai
unsur yang digunakan dalam kehidupanya.
3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Kekerabatan yang berkaitan dengan tentang pengertian tentang
perkawinan dalam suatu masyarakat karena perkawinan merupakan inti atau
dasar pembentukan suatu komunitas atau organisai sosial.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Sistem teknologi dan peralatan merupakan produksi dari manusia
sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas serta dibantu
dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat, manusia
dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat. Dengan alat-alat
ciptaannya itu, manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya.
5. Sistem mata pencaharian hidup
Merupakan produk-produk dari manusia sebagai homo economicus
menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat.
Dalam tingkat sebagai food gathering, kehidupan manusia sama dengan
hewan. Tetapi dalam tingkat food producing terjadi kemajuan yang pesat.
35
Setelah bercocok tanam, kemudian beternak yang terus meningkat (rising
demand) yang kadang-kadang cenderung serakah. Sistem mata pencaharian
hidup ini meliputi jenis pekerjaan dan penghasilan.istem Ekonomi/Mata
Pencaharian Hidup
6. Sistem Religi
Usaha untuk memecahkan pertanyaaan mendasar yang menjadi
penyebab lahirnya asal mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi
bahwa religi suku-suku bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk
religi kuno yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu
ketika kebudayaan mereka masih primitif.
7. Kesenian
Kesenian merupakan hasil dari manusia sebagai homo esteticus.
Setelah mencukupi kebutuhan fisiknya, manusia perlu dan selalu mencari
pemuas untuk memenuhi kebutuhan psikisnya. Semuanya itu dapat dipenuhi
melalui kesenian. Kesenian ditempatkan sebagai unsur terakhir karena enam
kebutuhan sebelumnya, pada umumnya harus dipenuhi lebih dahulu.
Tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979: 186-187).
Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua
wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam
masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia. Wujud pertama berbentuk absarak, sehingga tidak dapat dilihat
dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat.
Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan itu selalu
berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya.
36
Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat
mengemukaan bahwa kata „adat‟ dalam bahasa Indonesia adalah kata yang
sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide
atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat
istiadat (1979: 187).
Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial
(Koentjaraningrat, 1979: 187). Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat
sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia
yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu
dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut
sebagai sistem sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit
karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan.Kemudian
wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik (Koentjaraningrat,
1979: 188). Wujud kebudayaan ini bersifat konkrit karena merupakan benda-
benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan
manusia dalam masyarakat.
Kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat adalah berbeda, tetapi
kebudayaan memiliki ciri dan sifat yang sama. Sifat itu tidak diartikan secara
spesifik melainkan suatu universal. Sifat-sifat kebudayaan memiliki ciri yang
sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras,
lingkungan alam atau pendidikan.
37
G. Sumber Data dan Data
1. Sumber Data
Sumber data merupakan sumber di mana data dapat diperoleh. Menurut
sudaryanto (1993: 35) sumber data adalah hal-hal yang dapat dijadikan data dan
mampu menghasilkan data yang lengkap, benar, dan sahih. Sumber data
penelitian ini adalah sepuluh guritan dalam antologi guritan Medhitasi Alang-
alang karya Widodo Basuki yang bertemakan kebudayan masyarakat yang
terdapat nilai budaya. Dibawah ini merupakan daftar judul dari kesepuluh guritan
yang bertemakan kebudayaan.
a. Ziarah „Ziarah‟ tertanggal 13 Mei 1989
b. Tancepna Maneh „Tancapkan Lagi‟tahun 1995
c. Guritan Pari Sawuli„Puisi Padi Seikat‟ bulan Juli 1996
d. Riyayan „Lebaran‟bulan Pebuari 1997
e. Tembang Lemah Ngare „Lagu Tanah Pegunungan‟tahun 1997
f. Medhitasi Godhong Suruh „Medhitasi Daun Sirih‟ tertangal 11 Maret 2001
g. Medhitasi Alang-Alang 1„Medhitasi Alang-Alang 1‟ tahun 2001
h. Cengkir Gadhing „Cengkir Gadhing‟ tertanggal 14-20 Juli 2002
i. Dongeng Mistis tertanggal „Dongeng Mistis‟ 3 November 2003
j. Panen „Panen‟ tertanggal 3 Juli 2004
2. Data
Data yang dikumpulkan dan dianalisis berupa data primer sebagai data
utama dan data sekunder sebagai data pendukung. Data primer penelitian ini yakni
teks sepuluh guritan dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang karya
Widodo Basuki yang bertemakan nilai kebudayaan masyarakat Jawa sebagai
38
gambaran kebiasaan hidup masyarakat jawa. Data sekunder yakni informasi lain
yang mendukung dari buku-buku teori dan penelitan terdahulu seperti banyak
tersimpan di perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia diantaranya penelitian yang berjudul “Analisis puisi-puisi St.
Iesmaniasita” (Prapto Yuwana) pada tahun 1985 yang meneliti berdasarkan
analisis struktur untuk menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam puisi.
Lestari Emi. 2013. Analisis Semiotik dalam Antologi Warisan Geguritan Macapat
Karya Suwardi. Skripsi. Purworejo. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Bahasa dan sastra Jawa. Universitas Muhammadiyah Purworejo. 2013, dan aspek
tematis dalam geguritan karya Handaya Wibawa (Oei Tjihian Hwat) analisis
Struktur dan Semiotik tahun 2005.
H. Metode dan Teknik
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskreptif kualitatif. H.B. Sutopo (2006:48) mengemukakan bahwa penelitian
kualitatif menekankan pada makna, lebih memfokuskan pada data kualitas dengan
analisis kualitatifnya. Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong (2007:3)
mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitan yang
menghasilkan data deskriptif dan perilaku yang dapat diamati. Metode kualitatif
yang digunakan dalam peenelitian ini dinilai sesuai dengan teori yang diterapkan
yakni semiotika sastra. Makna karya sastra sebagai tanda adalah makna
semiotikanya. Yaitu makna yang bertautan dengan dunia nyata. Bentuk penelitian
39
deskriptif kualitatif diharapkan mampu memperoleh deskripsi dari objek yang
sedang diteliti yakni sepuluh guritan karya Widodo Basuki.
2. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data
ke dalam bentuk yang lebih mudah dipahami yang dimulai dengan menelaah
seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber (Moleong, 2007: 247) analisis
data dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga komponen yaitu reduksi data,
sajian data, dan penarikan kesimpulan (Sutopo, 2006: 94). Adapun tahapanya
sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah merampingkan dengan memilih data yang dipandang
penting, menyederhanakan, dan mengabstrasikannya (Sangidu, 2007:73).
Analisis ini dimulai setelah mengumpulkan data-data dari struktur guritan
Medhitasi Alang-alang karya Widodo Basuki yang menggunakan struktur yang
membangun berupa ketidaklangsungan ekspresi yang meliputi penggantian
arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti serta matriks, model dan varian.
Data yang lainnya diperoleh dari mencari refrensi dari buku, artikel dan
sebagainya yang terkait dengan masalah yang akan diangkat. Hasil dari
pencarian refrensi tersebut dijadikan sebagai data semiotika sastra. Setelah
semua data diperoleh, selanjutnya dilakukan reduksi data yang sesuai dan tepat.
b. Sajian Data
Tahap selanjutnya setelah melakukan reduksi data atu pemilihan data yaitu
penyajian data. Sajian data adalah menyajikan data secara analitis dan sintetis
dalam bentuk uraian dari data-data yang terangkat disertai dengan bukti-bukti
40
tekstual yang ada (Sangidu, 2007:74). Sajian data mengenai unsur struktural
antologi guritan Medhitasi Alang-Alang karya Widodo Basuki yang meliputi
struktur yang membangun, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan semiotika
yang diterapkan di dalam penelitian ialah pendekatan semiotika yang
menggunakan teks sastra sebagai dasar penelitian. Setelah strukturalisme di
pahami, selanjutnya menafsirkan guritan menggunakan pembacaan semiotik.
Terdapat dua proses pembacaan semiotik yaitu pembacaan heuristik dan
pembacaan hermeneutik.
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Tahap selanjutnya setelah melakukan proses reduksi dan sajian data yang
terkumpul adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan yang sudah diperoleh,
selanjutnya adalah melakukan verivikasi. Verifikasi dan simpulan adalah
melihat kembali (diverivikasi) pada catatan-catatan yang telah dibuat oleh
peneliti dan selanjutnya membuat simpulan-simpuln (Sangidu, 2007: 74).
Verifikasi dan kesimpulan adalah mengecek kembali pada catatan yang
telah dibuat oleh peneliti dan selanjutnya membuat kesimpulan sementara
(Sangidu, 2004:178). Melalui data strukturalisme dan pengungkapan makna
yang diperoleh maka dapat digunakan untuk mengungkapkan nilai budaya
lokal Jawa dalam guritan Medhitasi Alang-Alang karya Widodo Basuki.
Kesimpulan diperoleh secara siklus, adapun bentuknya:
41
(Milles Huberman dalam H. B. Sutopo 2002:96)
3. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan data yang digunakan maka teknik pengumpulan yang
dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Content Analysis/ Analisis
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
content analysis atau analisis isi. Teknik analisis ini dilakukan dengan cara
membaca berulang-ulang karya sastra hingga menemukan berbagai hal yang
hendak diungkap dalam penelitian. Menurut Lexy J. Moleong (2007:163)
content analysis „analisis isi‟ merupakan prosedur baku di dalam penelitian ini
untuk menarik sebuah kesimpulan akhir yang sahih dari sumber buku, naskah
atau dokumen. Berbeda dengan studi pustaka dan telaah buku yang hanya
mengambil data, dengan content analysis setelah diambil data-data yang
diperlukan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan dari fakta-fakta maupun teori-
teori yang didapat. Melalui content analysis, data yang diperoleh berupa
struktur yang membangun sepuluh guritan dalam antologi guritan Medhitasi
Alang-Alang karya Widodo Basuki. Guritan dikaji secara cermat untuk dapat
mengambil kesimpulan mengenai data yang dapat digunakan dalam penelitian
Penyajian data Pengumpulan data
Kesimpulan Reduksi data
42
ini serta point-point penting yang menjadi pokok persoalan yang kemudian
dianalisis secara struktural.
b. Teknik Wawancara
Wawancara merupakan cara untuk memperoleh data dengan percakapan,
yaitu antara pewawancara dengan yang diwawancarai (Lexy J.Moleong,
2001:135). Tujuan utama melakukan wawancara adalah; pertama, menyajikan
konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai pribadi, peristiwa,
aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan, tingkat dan bentuk
keterlibatan dan sebagainya. Kedua, untuk merekonstruksi beragam hal seperti
itu sebagai bagian dari pengalaman masa lampau. Ketiga, memproyeksikan
hal-hal itu dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan
datang (Sutopo, 2002:58). Wawancara dilakukan dengan pengarang guritan
yaitu Widodo Basuki secara terstruktur. Kegiatan tersebut dilakukan dengan
wawancara secara mendalam (in depth interviewing) guna menggali informasi.
Penggunaan teknik ini bertujuan agar informan dapat lebih leluasa dan terbuka
dalam memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga diperoleh data yang
lengkap mengenai objek penelitian.
c. Teknik Studi Pustaka
Penelitian dalam guritan ini juga menggunakan teknik studi pustaka, yaitu
mengumpulkan data-data dengan bangunan pustaka yang meliputi naskah, buku-
buku, skripsi dan media masa. Teknik studi pustaka ini dimaksudkan untuk
memperoleh data-data yang dapat menunjang penelitian. Data yang diperoleh
dari penelitian perpustakaan ini di jadikan pondasi dasar dan alat utama bagi
praktek penelitian.
43
4. Vaditas Data
Ada empat macam teknik trianggulasi menurut Patton yang diungkapkan
Sutopo (2003: 78), yaitu (1) trianggulasi data, (2) trianggulasi peneliti, (3)
trianggulasi metode, dan (4) trianggulasi teori. Penelitian terhadap karya sastra
yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan triangulasi data. Teknik
triangulasi merupakan teknik yang didasari oleh pola pikir femenologi yang
bersifat multiperspektif, artinya untuk menarik simpulan yang mantap, diperlukan
tidak hanya satu cara pandang (Sutopo, 2003:78). Karena hal itu berkaitan dengan
hasil yang diperoleh, maka diperlukan beberapa cara pandang untuk menguji
keabsahan data agar data yang diperoleh benar-benar teruji kebenarannya. Teknik
yang digunakan dalam penelitianan ini adalah teknik triangulasi sumber data.
Teknik triangulasi sumber data dilakukan dengan cara menggali sumber yang
berupa catatan atau arsip dan dokumen yang memuat catatan yang berkaitan
dengan data yang dimaksud dan dapat berupa sumber dari informan atau
narasumber.
I. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini menurut pola penelitian ilmiah, maka penulisan skripsi
ini perlu dibuat dengan penulisan sistematik sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Terdiri darilatar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, Tinjauan pustaka, Kerangka Teori, Metode
Penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: PEMBAHASAN
44
Berisi tentang sajian data dan pembahasan dari hasil penelitian berdasarkan
hasilpembahasan mengenai Nilai Budaya Lokal Jawa dalam Antologi
guritanMedhitasi Alang-Alang.
BAB III.: PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Meliputi buku-buku refrensi sebagai acuan dalam penelitian
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Meliputi riwayat hidup pengarang, bukti wawancara dengan pengarang disertai
foto, surat keterangan wawancara serta sepuluh guritan karya Widodo Basuki
dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang.