Post on 05-Dec-2014
description
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang
dimiliki peserta didik sebagai kompetensi yang beragam dan unik (Faizah, 2008). Dengan
demikian penyelenggaraan pendidikan di sekolah seharusnya dapat menangani berbagai
potensi kecerdasan anak dalam sistem pembelajaran yang terintegrasi. Hal ini
memerlukan penyediaan tenaga pendidik yang berkualitas.
Guna meningkatkan kualitas tenaga pendidik, Kementrian Pendidikan Nasional
(Kemdiknas) telah mencanangkan program setifikasi guru, selain memberikan prasyarat
bahwa guru harus memiliki strata pendidikan yang cukup. Sertifikasi guru merupakan
program yang tidak mudah dilaksanakan, sehingga Kemdiknas hanya berani memasang
target 20% guru harus bersertifikat. Target yang minim itupun belum dapat dicapai di
hampir semua propinsi. Di propinsi DKI Jakarta pada tahun 2009 saja baru 17% guru
SMP yang bersertifikat (www.dikti.kemdiknas.go.id). Penelitian Balitbang Kemdiknas
memberikan hasil yang belum menggembirakan, guru-guru yang layak mengajar untuk
tingkat SMP negeri 54,12% dan swasta 60,99% (http://smkn1bongas-tkj.blogspot.com/).
Mutu guru yang ada seperti sekarang ini, menyebabkan siswa hanya berkembang
dalam aspek kecerdasan intelektual (IQ) saja padahal menurut hasil penelitian, IQ
bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seseorang, tetapi ada
banyak faktor lain yang mempengaruhi salah satunya adalah kecerdasan emosional
(Xyber, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Goleman pengaruh IQ hanyalah sebesar
20% saja, sedangkan 80% dipengaruhi oleh faktor lain termasuk di dalamnya kecerdasan
emosi (EQ) (Goleman, 2000). Kecerdasan emosional terkait dengan kemampuan
mengelola emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu
keadaan biologis dan psikologis yang merupakan serangkaian kecenderungan untuk
bertindak dengan adanya campuran, variasi, mutasi dan nuansanya yang berupa amarah,
kesedihan (Goleman, 2004). Karena dengan adanya emosi, maka seseorang dapat
2
mengendalikan amarah, kesedihan yang mempengaruhi individu terutama pada remaja,
level usia pelajar Sekolah Menengah. Pada remaja terjadi peningkatan emosional yang
terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm dan
stress yang merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada
masa remaja (http://rumahbelajarpsikologi.com).
Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja
berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya dimana pada masa ini
banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan
untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, remaja harus lebih mandiri dan
bertanggung jawab karena diharapkan remaja dapat mengarahkan ketertarikan pada hal-
hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain karena
remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama,
tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
Remaja adalah tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi
dewasa (Mar’at, 2005). Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescense yang
berarti to grow atau to grow maturity (Golinko dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang
memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan
remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.
Bagi remaja yang mempunyai potensi berupa minat, bakat, mempunyai
kemampuan bahasa yang baik, potensi berpikir, potensi merasa, potensi melakukan
sesuatu yang ada di dalam atau luar diri yang menjadikan remaja sebagai pribadi yang
kuat dalam mengembangkan dan mengaktualisasikan diri dalam memenuhi kebutuhan
hidup dan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya, potensi motivasi, potensi daya
fantasi yang tinggi sehingga dapat menciptakan sesuatu yang baru, untuk menunjang
potensi-potensi yang dimiliki remaja tersebut, dibutuhkan fasilitas pendidikan yakni
dengan adanya program kelas unggulan.
Namun, Mukti (2008) menyatakan bahwa penyelenggaraan kelas unggulan
melalui proses rekrutmen untuk melihat potensi siswa dilakukan secara multidimensional.
Rekrutmen dilakukan dengan mengembangkan konsep keberbakatan dari Renzulli, Reis
dan Smith (1978). Konsep itu menyebutkan bahwa anak berbakat mempunyai IQ
minimal 125 menurut skala Wechsler, selain itu harus mempunyai task commitment dan
3
creativity quotion di atas rata-rata. Mukti (2008) mengatakan siswa yang berbakat tidak
bosan di kelas yang sama dengan siswa lain, sehingga tidak mengganggu, mengacau
kelas, dan dapat terus maju dengan cepat dengan mengikuti kelas unggulan. Mukti (2008)
menyatakan dalam perdebatan soal pendidikan nasional, banyak dipersoalkan kurangnya
penanaman nilai-nilai di sekolah-sekolah baik dari SD sampai SMU karena kebanyakan
sekolah terlalu menekankan segi kognitif saja, tetapi kurang menekankan segi nilai
kemanusiaan termasuk pendidikan budi pekerti dan segi-segi kemanusiaan lain, seperti
emosionalitas, religiusitas, sosialitas, spiritualitas, kedewasaan pribadi, dan afektivitas.
Masalahnya, pendidikan dinilai tidak bisa dipercepat karena menanamkan pendidikan
tentang nilai kemanusiaan memerlukan latihan dan penghayatan yang membutuhkan
waktu yang cukup lama (Mukti, 2008).
Lebih lanjut Mukti menyatakan, penanaman nilai sosialitas perlu diwujudkan
dalam banyak tindakan interaksi antarsiswa dan kerja sama, penanaman nilai
penghargaan terhadap manusia lain membutuhkan latihan dan mungkin hidup bersama
orang lain, dan tidak cukup hanya dengan pengajaran pengetahuannya tetapi juga
memerlukan latihan dan penghayatan yang mendalam (Mukti, 2008). Mukti juga
mengatakan bahwa perkembangan intelektual dan moral anak yang baik juga tidak bisa
secara langsung, karena mereka harus dipaksa untuk melalui tahapan-tahapan
perkembangan yang tidak berjalan sebagaimana anak-anak pada umumnya. Memaksakan
diri siswa hanya untuk mengejar gengsi orang tua untuk mempunyai anak-anak cerdas
dan gengsi sekolah yang ingin dianggap sebagai sekolah unggulan, serta biaya
pendidikan di kelas unggulan tersebut memang agak mahal (Mukti, 2008). Diharapkan
dengan adanya kelas unggulan ini tidak hanya dapat meningkatkan IQ saja tetapi EQ
juga.
Akan tetapi, menurut Suyanto (2008) pengelompokan siswa secara homogen
berdasarkan kemampuan akademik menjadi kelas superbaik, amat baik, baik, sedang,
kurang, sampai ke kelas di bawah rata-rata. Yang ikut memprihatinkan (Suyanto, 2008),
pengelompokan itu disertai program promosi dan degradasi. Siswa yang tidak mampu
mempertahankan prestasi akademiknya dapat dikeluarkan dari kelas superbaik ke kelas
sedang, bahkan mungkin bisa dipindahkan ke kelas di bawah rata-rata. Kalau ini yang
terjadi, dunia pendidikan telah lepas dari lingkaran dan dinamika kehidupan kontekstual
4
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dengan adanya pengelompokan dalam
kelas superbaik, out-put yang dilahirkan oleh institusi pendidikan hanyalah generasi-
generasi berotak brilian dan cerdas intelektualnya, tetapi miskin kecerdasan hati nurani
dan spiritual. Yang pada akhirnya justru menjadikan remaja menjadi asing hidup di
tengah-tengah masyarakat serta tidak memiliki kepekaan dalam merasakan denyut nadi
kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya.
Menurut Goleman (dalam Wahyuningsih, 2004), individu yang memiliki
kecerdasan akademis tinggi cenderung memiliki rasa gelisah, terlalu kritis, rewel,
cenderung menarik diri, terkesan dingin serta cenderung sulit mengekspresikan kekesalan
dan kemarahannya secara tepat. Individu dengan kecerdasan emosi yang rendah seperti
ini sering menjadi sumber masalah. Apabila seorang remaja yang mengikuti kelas
unggulan memiliki kecerdasan emosi yang rendah maka cenderung akan keras kepala,
sulit bergaul, dan cenderung putus asa bila mengalami masalah, tidak mudah percaya
kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan sehingga membuat individu
menjadi asing hidup di tengah-tengah masyarakat serta tidak memiliki kepekaan dalam
merasakan denyut nadi kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya.
Di sisi lain, apabila siswa yang memasuki kelas unggulan memiliki kecerdasan
emosi akan dapat memahami lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri dan orang lain
(Howes & Herald dalam Mutadin, 2002), serta dapat mempengaruhi peningkatan potensi
keberhasilan dan prestasi belajar siswa yang mengikuti kelas unggulan.
Meski kelas unggulan menyebabkan siswa hanya berkembang dalam aspek
kecerdasan intelektual yang menekankan pada aspek multidimensional dengan
pendalaman materi secara khusus sehingga memungkinkan menjadikan siswanya
memiliki kecerdasan emosi yang rendah, namun ada beberapa siswa yang memiliki
kecerdasan emosi yang baik.
Dari pentingnya penulisan studi kasus ini, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian yang berjudul kecerdasan emosi pada remaja yang mengikuti
kelas unggulan di SMPN 103 Jakarta.
5
B. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran kecerdasan emosi remaja yang mengikuti kelas unggulan di
SMPN 103 Jakarta?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kecerdasan emosi pada remaja yang
mengikuti kelas unggulan di SMPN 103 Jakarta?
C. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada tujuan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran kecerdasan emosi, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosi pada remaja yang mengikuti kelas unggulan di SMPN 103 Jakarta.
D. Manfaat Penelitian
Terdapat dua manfaat dalam penelitian ini:
1. Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya Psikologi perkembangan, Psikologi
pendidikan, Psikologi belajar dan untuk penelitian selanjutnya terutama yang
berkaitan dengan kecerdasan emosi pada remaja yang mengikuti kelas unggulan
di SMPN 103 Jakarta.
2. Manfaat Praktis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
mahasiswa, orang tua dan pengajar untuk dapat mengetahui sejauh mana
kecerdasan emosi pada remaja yang mengikuti kelas unggulan di SMPN 103
Jakarta.