Post on 25-Feb-2018
10
BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1. Latar Belakang Pendidikan Inklusif
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
merupakan disiplin ilmu yang masih muda dengan
akar yang sudah tua, yang membentang dari
kebudayaan kuno Mediterania hingga sejarah modern
Eropa. Akar pendidikan inklusif ini dimulai dari sejarah
sekolah dasar biasa. Sejarah pendidikan kebutuhan
khusus tidak memperoleh banyak perhatian selama
beberapa dekade yang lalu, tetapi minat orang terhadap
bidang ini muncul lebih kuat selama beberapa tahun
terakhir ini. Tentu saja individu yang berkebutuhan
khusus dan menyandang kecacatan mempunyai
berbagai sisi sejarahnya sendiri di seluruh bagian
dunia ini. Namun, kebanyakan yang didokumentasikan
di dalam literatur barat berasal dari “dunia barat”.
(Widyastono, 2004)
Dalam konteks Eropa, sekolah dasar di Norwegia
mempunyai sejarah yang panjang sejak pengesahannya
secara resmi oleh Raja Christian VI pada tahun 1739.
Fondasi sekolah ini, yaitu “untuk semua dan setiap
orang”, Merupakan upaya utama dalam bidang
pendidikan pada waktu itu, yang dilaksanakan oleh
monarki otokratik, dan sangat dipengaruhi oleh ideologi
Kristen pietism dan cameralism. Sekolah merupakan
elemen kunci dalam proyek melek huruf keagamaan
yang dikembangkan untuk memfasilitasi tanggung
11
jawab individual setiap orang kepada Tuhan Kristen di
samping untuk alasan-alasan praktis. Membutuhkan
seratus tahun sejak ditetapkannya undang-undang ini
hingga terlembagakannya sekolah dasar sebagai
institusi pendidikan permanenbagi semua orang di
seluruh bagian Norwegia. Isi pelajaran pada awal
sejarah sekolah dasar ini adalah membaca dan
penjelasan tentang bagian-bagian tertentu dari doktrin
Kristen. Akan tetapi, sejak didirikannya, sekolah dasar
Norwegia ini telah memperluasisinya, dan sekarang
telah mencakup sepuluh mata pelajaran wajib, dengan
mata pelajaran “Pengetahuan Kristen, Pendidikan
agama dan Etika” sebagai mata pelajaran minor.(KUF
1997/1999, dalam http://www.idp-europe.org)
Erik Pontoppidan (1698-1764) adalah penggagas
utama sekolah baru ini. Atas perintah Raja, dia
membuat buku pelajaran pertama, yang disebut
Penjelasan Pontoppidan (1739), yang menjadi buku
teks yang paling banyak digunakan sepanjang sejarah
sekolah dasar Norwegia. Di samping itu, dia juga
menulis tentang pendidikan dalam banyak teks
lainnya. Sebagai Uskup Bergen, dia telah berusaha
keras untuk menerapkan undang-undang baru tentang
sekolah untuk semua orang, di antaranya dengan
mendirikan lembaga pendidikan guru yang pertama di
seluruh Norwegia (yang sayangnya hanya bertahan
dalam waktu yang singkat). Dalam tulisannya tentang
pendidikan, Pontoppidan (1739) menunjukkan bahwa
dia menyadari bahwa anak-anak belajar dengan cara
yang berbeda-beda dan dengan kecepatan yang
12
berbeda-beda. Penjelasan Pontoppidan adalah buku
tebal, dan parasiswa diharapkan mampu menghafalnya
di luar kepala. Akan tetapi, dia menandai beberapa
bagian buku teks itu dengan menggarisi bagian
tepinya, untuk menunjukkan bahwa bagian tersebut
tidak penting dipelajari oleh siswa yang mempunyai
kesulitan karena alasan internal atau eksternal. Buku
teks pendidikan yang dirancang oleh Pontoppidan
(1739) itu mengandung sejumlah contoh tentang
kesadarannya akan perbedaan individual dalam hal
peluang belajar serta berisikan sejumlah rekomendasi
tentang metode pengajaran yang tepat untuk
menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan individu
yang berbeda-beda. Sejumlah kecil contoh gagasan
semacam ini ditemukan dalam teks pendidikan selama
sejarah pendidikan dasar di abad ke-18 dan ke-19.
Teks-teks ini juga menunjukkan adanya pertukaran
gagasan antara Norwegia dan negara-negara Nordik
serta beberapa bagian Eropa lainya. Pemikiran-
pemikiran para ahli seperti Johan Amos Comenius dari
Cekoslowakia (1592-1670), Francke dari Halle di
Jerman, dan kemudian John Locke dari Inggris (1632-
1704), Jean-Jaques Rousseau (1712-1778) dari
Perancis dan Johann H. Pestalozzi dari Swiss (1746-
1827) ditafsirkan dan dibahas. (Johnsen, dalam
http://www.idp-europe.org)
Walaupun demikian, namun terdapat juga cerita-
cerita yang menunjukkan ketakutan dan kebencian
terhadap anak dan remaja dengan kesulitan belajar
dan kecacatan. Dalam tradisi Lutheran di Eropa Utara,
13
yang disebut sebagai konfirmasi adalah bentuk ujian
yang besar, yang membukajalan bagi hak-hak orang
dewasa. Mungkin kerugian yang paling besar bagi
mereka yang tidak berhasil lulus dari ujian konfirmasi
itu adalah bahwa mereka tidak diperkenankan untuk
menikah. Menurut undang-undang yang berlaku saat
itu, anak muda yang karena berbagai alasan tidak
bersekolah dan tidak berhasil dalam belajar
pengetahuan dasar yang diwajibkan untuk lulus dari
ujian konfirmasi, dapat dimasukkan ke “rumah
rehabilitasi” dan bahkan di penjara, di mana mereka
dipaksa untuk belajar. Ada dua jenis kecacatan yang
tidak dapat diterima untuk konfirmasi, yaitu gila
(mungkin yang kini kita sebut psikosis parah atau
tunagrahita) dan tunarungu prabahasa. Sesungguhnya,
apakah orang yang menjadi tuli sebelum belajar bahasa
itu dapat dididik atau tidak, telah menjadi bahan
perdebatan selama beberapa abad, yang jejak
argumentasinya ditemukan sejak awal era Protestan
Lutheran hingga dekade terakhir abad kesembilan
belas. Pontoppidan ada di antara mereka yang
menentang edukabilitas orang tunarungu prabahasa
itu .(Johnsen,www.idp-europe.org).
Perkembangan pendidikan anak berkebutuhan
khusus berkembang di Eropa, perkembangan dari
upaya-upaya pendidikan yang sporadis, ke
keingintahuan filosofis, hingga didirikannya sekolah-
sekolah khusus serta lembaga khusus lainnya.
Di Amerika sejak tahun 1960-an presiden
Kennedy mengirimkan pakar-pakar pendidikan luar
14
biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming
dan last restrictive environment yang ternyata cocok
untuk diterapkan di Amerika Serikat. (Yusuf dan
Indianto, 2010).
Walaupun demikian ternyata pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus yang dijalankan melalui
sekolah-sekolah luar biasa belum dapat memenuhi
kebutuhan anak akan pendidikan. Hal tersebut
bermula dari ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan
pendidikan segregatif, yang menyebabkan anak-anak
membutuhkan layanan pendidikan khusus mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam kehidupan
masyarakat normal, meskipun mereka telah memiliki
kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk
hidup layak di masyarakat. Alasan inilah yang memicu
hadirnya pendidikan inklusif, pendidikan yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di
sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama
teman-teman seusianya.
(http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_
BIASA)
Tuntutan akan pendidikan inklusif ini mengacu
pada instrumen internasional yang melandasi
pendidikan inklusif, yaitu: a) Deklarasi Hak Asasi
Manusia (1948) termasuk hak atas pendidikan dan
partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang.
Dalam Deklarasi ini menegaskan bahwa: “Setiap orang
mempunyai hak atas pendidikan.”
(http://www.komnasperempuan.or.id). Hal ini didasari
atas pandangan bahwa penyandang cacat bukanlah
15
sebagai manusia yang utuh, oleh karena itu seringkali
haknya direnggut. Melalui deklarasi ini maka
dihasilkanlah suatu keputusan yaitu bahwa semua
penyandang cacat, tanpa memandang jenis dan tingkat
keparahannya, memiliki hak atas pendidikan.
(UNESCO, 1994). b) Konvensi Hak Anak 1989 (PBB,
diumumkan tahun 1991), Konvensi PBB tentang Hak
Anak tahun 1989, yang telah ditandangani oleh semua
negara di dunia, kecuali Amerika Serikat dan Somalia;
menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib
dan bebas biaya bagi semua (pasal 28). Konvensi
tentang Hak Anak PBB memiliki empat prinsip umum
yang menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal
mengenai pendidikan, yaitu: (1) non-diskriminasi
(pasal2) yang menyatakan secara spesifik tentang
penyandang kebutuhan khusus/penyandang cacat; (2)
kepentingan terbaik anak; (3) hak untuk kelangsungan
hidup dan perkembangan (pasal 6); dan (4) menghargai
pendapat anak (pasal 12). Kesemua hak tersebut tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, dan saling
berhubungan. Meskipun dalam memenuhi hak atas
pendidikan bagi anak berkelainan/berkebutuhan
khusus atau penyandang cacat telah disediakan
pendidikan di sekolah khusus/sekolah luar biasa,
tetapi hal ini dapat melanggar hak mereka
“diperlakukan secara non-diskriminatif”, dihargai
pendapatnya dan hak untuk tetap berada dalam
lingkungan keluarga dan masyarakatnya.
(http://www.unicef.org). c) Pendidikan untuk semua
(1990): Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk
16
Semua di Jomtien, Thailand (UNESCO, diumumkan
tahun 1991 dan 1992), dalam Deklarasi Dunia tentang
Pendidikan untuk semua di Thailand pada tahun 1990,
melangkah lebih jauh dari pada Deklarasi Universal
dalam pasal III tentang universalisasi akses dan
mempromosikan kesetaraan. Dalam deklarasi tersebut
dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan
dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan
diskriminasi dan eksklusi. Hal ini mencakup anak
perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak
pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil,
etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan
secara khusus disebutkan para penyandang cacat.
Istilah inklusi tidak digunakan dalam Deklarasi
Jomtien, tetapi terdapat beberapa pernyataan yang
mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-
orang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke
pendidikan umum (Sue Stubbs, 2002). Dalam Deklarasi
Jomtien juga dinyatakan bahwa langkah-langkah yang
diperlukan perlu diambil untuk memberikan akses ke
pendidikan yang sama kepada setiap kategori
penyandang cacat/kelainan sebagai bagian integral dari
sistem pendidikan (Pasal II ayat 5 ). (UNESCO, 1990).,d)
Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi
Penyandang Cacat, 1993(PBB, diumumkan tahun
1994), Peraturan ini telah dikembangkan atas dasar
pengalaman yang diperoleh selama Dekade Penyandang
Cacat PBB (1983 - 1992). Piagam Internasional Hak-
hak Asasi Manusia, yang terdiri dari Deklarasi Hak
Azazi Manusia Universal, Perjanjian Internasional
17
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan
Perjanjian Intemasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik, Konvensi tentang Hak-hak Anak, dan Konvensi
tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita, maupun Program Aksi Dunia
mengenai Penyandang Cacat, merupakan landasan
politik dan moral bagi peraturan ini. Meskipun
peraturan ini tidak wajib, tetapi dapat menjadi
peraturan keluaran internasional jika ditetapkan oleh
sejumlah besar Negara dengan tujuan menghormati
suatu aturan dalam hukum internasional. Prinsip-
prinsip penting untuk bertanggungjawab, berbuat dan
bekerja sama terkandung pula di dalamnya. Bidang-
bidang yang sangat penting bagi kualitas kehidupan
dan demi tercapainya partisipasi penuh dan persamaan
pun termuat. Peraturan ini dapat dipergunakan sebagai
suatu instrumen bagi pembuatan kebijaksanaan dan
pengambilan tindakan bagi para penyandang cacat
serta organisasi-organisasinya. Peraturan ini dapat
pula dipergunakan sebagai dasar bagi kerja sama
teknik dan ekonomi di antara negara-negara,
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi organisasi
internasional lainnya. Peraturan ini bertujuan untuk
menjamin agar para penyandang cacat anak-anak
maupun dewasa, laki-laki ataupun perempuan,
memperoleh hak dan kewajiban yang sama seperti
orang-orang lain sebagai warga masyarakatnya.
(Peraturan Standar tentang Persamaan kesempatan
bagi Para penyandang cacat, Resolusi PBB No. 48/96
Tahun 1993). Penyataan Salamanca tentang
18
Pendidikan inklusif, 1994 (UNESCO diumumkan
pertama tahun 1994, laporan akhir tahun 1995).
Konsep pendidikan inklusif mulai mewujud dalam
sebuah kerangka kerja yang jelas pada saat UNESCO
menyelenggarakan The Salamanca World Conference on
Special Needs Education pada tahun 1994. Pada
paragraf ketiga dari The Salamanca Statement and
Framework for Action on Special Needs Education yang
dihasilkan dari konferensi tersebut dinyatakan bahwa:
“… schools should accommodate all children regardless of their physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other conditions. This should include disabled and gifted children, street and working children, children from remote or nomadic populations, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and children from other disadvantaged or marginalised areas or groups.”
Jelas bahwa pendidikan inklusif adalah suatu
sistem pendidikan yang ditujukan untuk mampu
mengakomodasi semua anak tanpa memandang
kondisi mereka. Sistem pendidikan ini tidak hanya
sekadar untuk mengakomodasi kaum difabel, tetapi
juga kelompok-kelompok anak lainnya, seperti anak
jalanan, pekerja anak, anak-anak dari daerah terpencil
dan sebagainya. Jadi, konsep pendidikan inklusif
dimunculkan untuk menjamin akses pendidikan bagi
semua anak. Model pendidikan ini diyakini sebagai alat
yang paling efektif untuk memerangi diskriminasi,
menciptakan masyarakat yang bisa menerima
perbedaan, dan menjamin berjalannya konsep
pendidikan untuk semua sebagaimana yang dicita-
citakan oleh UNESCO sejak konferensi Jomtien
19
sebagaimana telah disebut di atas. (Yusuf dan Indianto,
2010)
Di Indonesia, proses menuju pendidikan inklusif
dimulai pada awal tahun 1960-an oleh beberapa orang
siswa tunanetra di Bandung dengan dukungan
organisasi pada tunanetra sebagai satu kelompok
penekan. Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras
untuk memperoleh tingkat pendidikan lebih tinggi
dengan mencoba masuk SMA biasa meskipun ada
upaya penolakan dari pihak SMA itu. Pada akhir tahun
1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian
terhadap pentingnya pendidikan integrasi, dan
mengundang Hellen Keller International, Inc, untuk
membantu mengembangkan sekolah integrasi.
Keberhasilan proyek ini menyebabkan diterbitkannya
Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor:
002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu Bagi Anak
Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi
itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi
semakin kurang dipraktikkan. Menjelang akhir tahun
1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk
mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek
kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia
di bawah manajemen Brailo Norway dan Direktorat PLB
(Pendidikan Luar Biasa). Agar tidak mengulangi
kesalahan di masa lalu dengan program integrasi yang
nyaris mati, perhatian diberikan pada sustainabilitas
program pengimplementasian pendidikan inklusif.
(Firdaus,2010).
20
2.2. Pengertian Pendidikan Inklusif
Inklusif berasal dari kata bahasa Inggris yaitu
inclusion. Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini
dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam
usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki
hambatan dengan cara-cara yang realistik dan
kompeherensif dalam kehidupan pendidikan yang
menyeluruh. (Smith, 2006).
Sedangkan, Pendidikan inklusif Menurut
UNESCO(1994) :
“ At the core of inclusive education is the human right to education, pronounced in the Universal Declaration of Human Rights in 1949. Equally important is the right of children not to be discriminated against, stated in Article 2 of the Convention on the Right of the Child (UN, 1989). A logical consequence of this right is that all children have the right to receive the kind of education that does not discriminate on grounds of disability, ethnicity, religion, language,
gender, capabilities, and so on.
Artinya bahwa Pendidikan inklusif merupakan inti dari
hak azazi manusia untuk memperoleh pendidikan. Hal
ini telah dinyatakan dalam Deklarasi Universal tentang
hak azazi manusia di tahun 1949. Kesamaan
kepentingan adalah hak anak untuk tidak
didiskriminiasikan, dinyatakan dalam pasal 2 dari
Konvensi tentang hak anak. Konsekuensi logik dari
hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak
untuk menerima jenis pendidikan yang tidak
mendiskriminasikan pada latar dari ketidakmampuan,
etnik, agama, bahasa, jender, kapabilitas dan lain
sebagainya.
21
Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan
pendidikan yang inovatif dan strategis untuk
memperluas akses pendidikan bagi semua anak
berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang
cacat. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan
inklusi juga dapat dimaknai sebagai satu bentuk
reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti
diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan
kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan
bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya
strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun,
serta upaya merubah sikap masyarakat terhadap anak
berkebutuhan khusus. (Sunaryo, 2009).
Alimin (2005) menjelaskan bahwa pendidikan
inklusi adalah sebuah proses dalam merespon
kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui
peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan
masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam
pendidikan. Pendidikan inklusif mencakup perubahan
dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan,
struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi
kebutuhan semua anak seseuai dengan kelompok
usianya.
Selain itu, pendidikan inklusif sendiri menurut
Sapon-Shevin (O’Neil, 1994) yaitu bahwa Pendidikan
inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di
sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama
teman-teman seusianya.( Widyastono, 2004).
22
Disamping itu, Staub dan Peck (2005) menyatakan
pendidikan inklusi adalah penempatan anak
berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara
penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa
kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan
bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan
bagaimanapun gradasinya.
Selanjutnya, Menurut Smith (2006)Pendidikan
Inklusif adalah program yang mengakomodasikan
seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya, termasuk didalamnya
siswa yang berlainan. Bagi sebagian besar pendidik,
istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif
dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang
memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistik dan
kompeherensif dalam kehidupan pendidikan yang
menyeluruh. (Smith, 2006).
Berdasarkan pengertian tentang pendidikan
inklusif, bahwa pendidikan inklusif merupakan
pendidikan yang terbuka bagi semua, yang menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaan. Dalam
pendidikan inklusif setiap anak yang memiliki kelainan
serta potensi kecerdasan dan bakat istimewa diberikan
kesempatan untuk belajar bersama, tanpa
membedakan satu dengan yang lainnya, memahami
perbedaan, serta bekerjasama melengkapi kekurangan
yang ada.
Sedangkan,untuk sekolah inklusif sendiri menurut
Sapon-Shevin (O’Neil, 1994) Sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif adalah sekolah yang menerima
23
semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini
menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan
dan kebutuhan setiap siswa maupun bantuan dan
dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar
peserta didik berhasil. Sekolah inklusi merupakan
tempat setiap anak diterima, menjadi bagian dari suatu
kelas dan saling membantu dengan guru dan teman
sebayanya, maupun dengan anggota masyarakat lain
agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi
(Stainback dan Stainback, 1990).
Sejalan dengan itu, Choate (dalam Dyah, 2008)
mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah
yang mengijinkan peserta didik yang berkebutuhan
khusus untuk dapat belajar dikelas pendidikan umum.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif harus
memenuhi beberapa persyaratan yang sudah
ditentukkan antara lain keberadaan siswa
berkebutuhan khusus, komitmen terhadap pendidikan
inklusif, manajemen sekolah, sarana-prasarana, dan
ketenagaan. (Suparno,2007)
Dalam penerimaan siswa di sekolah inklusi perlu
diadakannya identifikasi ABK oleh guru terutama oleh
guru kelas. Identifikasi adalah usaha untuk mengenali
atau menemukan anak berkebutuhan khusus
berdasarkan ciri yang ada. Dalam mengidentifikasi
terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan antara
lain: observasi, wawancara, dan tes psikologi. Setelah
diidentifikasi dilakukan assesmen yang bertujuan
untuk: menyaring kemampuan anak, pengklasifikasian,
24
penempatan dan penetuan program, penentuan arah
dan tujuan pendidikan, pengembangan program
pendidikan individual, penentuan strategi (Suparno
2007).
Sekolah umum/reguler yang menerapkan program
pendidikan inklusif akan berimplikasi secara
manajerial di sekolah, diantaranya adalah:
a. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman, dan
menghargai perbedaan. b. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang
heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran dengan pendekatan individual.
c. Guru di kelas umum/reguler harus menerapkan
pembelajaran yang interaktif. d. Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi. e. Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif dituntut melibatkan orang tua secara
bermakna dalam proses pendidikan (Direktorat PLB, 2007).
2.3. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Inklusi
Menurut Mujito (2012) Hakikat pendidikan
adalah memanusiakan manusia, mengembangkan
potensi dasar peserta didik agar berani dan mampu
menghadapi masalah hidup yang dihadapi tanpa rasa
tertekan, mampu, dan senang meningkatkan fitrahnya
sebagai khalifah di muka bumi.
Sedangkan Hakikat pendidikan inklusi terdiri
dari 2, yaitu:
25
a. Pendidikan inklusi adalah penggabungan
pendidikan regular dan pendidikan khusus ke
dalam satu sistem persekolahan yang dipersatukan
untuk mempertemukan perbedaan kebutuhan
semua.
b. Pendidikan inklusi bukan sekedar metode atau
pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk
implementasi filosofi yang mengakui kebhinekaan
antar manusia yang mengemban misi tunggal
untuk membangun kehidupan bersama yang lebih
baik.(dalam,http://id.shvoong.com/social-
sciences/education/).
Selain itu pendidikan inklusi bertujuan, untuk
mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar juga
untuk menyamakan hak dalam memperoleh
pendidikan antara anak normal dengan anak
berkebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan
khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik
yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat dasar dan menengah. Hal ini menunjukkan
bahwa keberadaan anak berkelainan dan anak
berkebutuhan khusus lainnya di Indonesia berhak
untuk mendapatkan pendidikan yang layak
sebagaimana anak-anak normal lainnya. (Padriastuti,
2010).
26
Gargiulo dalam Mudjito,2012 bahwa tujuan
pendidikan inklusif adalah memberikan intervensi bagi
Anak Berkebutuhan Khusus sedini mungkin agar :
a. Meminimalkan keterbatasan kondisi pertumbuhan
dan perkembangan anak berkebutuhan khusus dan
untuk memaksimalkan kesempatan anak terlibat
dalam aktifitas yang normal;
b. Memungkinkan untuk mencegah terjadinya kondisi
yang lebih parah dalam ketidakteraturan
perkembangan sehingga menjadi anak yang tidak
berkemampuan.
c. Mencegah berkembangnya keterbatasan
kemampuan lainnya sebagai hasil utama
diakibatkan oleh ketidakmampuan utamanya.
2.4. Peran dan Tanggung Jawab dalam
Pelaksanaan LIRP (Lingkungan Inklusi Ramah terhadap Pembelajaran) Dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang
sudah diamandemen memberikan jaminan seperti yang
tercantum pada pasal 31, ayat (1) menyatakan bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan,
ayat (2) setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Termasuk untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
dan yang memiliki potensi kecerdasan atau bakat
istimewa. Hal ini sejalan dengan seruan International
Education for All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO
sebagai sebuah kesepakatan global.
Dalam pelaksanaannya tentulah melibatkan
banyak pihak. Oleh karena itu, setiap pihak yang
27
memainkan perannya dalam pendidikan inklusif perlu
memahami peran serta tanggung jawabnya. Peran dan
tanggung jawab tersebut mengacu padakeputusan
Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, 2009, antara lain :
A. Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah.
Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah (2009) menyatakan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan Lingkungan
Inklusi Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP) antara lain :
1. Menyusun, mensosialisasikan, menerapkan pendidikan, dan kebijakan pendidikan inklusi seperti sumber daya manusia, dana, kurikulum
dan perangkat pembelajaran lainnya. 2. Memfasilitasi proses pelaksanaan pendidikan
inklusi di lingkungan inklusi di semua lingkungan pembelajaran.
3. Memperluas akses pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
4. Membuka peluang pada pihak terkait untuk
berkontribusi dalam LIRP.
B. Peran dan Tanggung Jawab Guru.
Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah (2009) menyatakan bahwa peran dan
tanggung jawab guru dalam mendukung pelaksanakan
Lingkungan Inklusi Ramah terhadap Pembelajaran
(LIRP) antara lain :
1. Berkomunikasi secara berkala dengan keluarga, yaitu orang tua wali tentang kemajuan anak mereka dalam belajar dan berprestasi
2. Bekerja dengan masyarakat untuk menjaringanak yang tidak bersekolah.
28
3. Menjelaskan manfaat dan tujuan LIRP kepada orang tua peserta didik
4. Mempersiapkan anak agar berani berinteraksi dengan masyarakat sebagai bagian dari kurikulum,
seperti mengunjungi museum, memperingat hari-hari besar keagamaan dan nasional.
5. Mengajak orang tua dan anggota masyarakat terlibat dalam kelas.
6. Mengkomunikasikan LIRP kepada orang tua wali
peserta didik, komite sekolah serta pemimpin dan anggota masyarakat.
7. Bekerja sama dengan para orang tua untuk menjadi penyuluh LIRP dilingkungan sekolah maupun
masyarakat.
C. Peran dan Tanggung Jawab Orang Tua
Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah (2009) menyatakan peran dan tanggung
jawab orang tua dalam mendukung pelaksanakan
Lingkungan Inklusi Ramah terhadap Pembelajaran
(LIRP) antara lain :
1. Mendukung pelaksanaan LIRP 2. Berpartisipasi aktif dalam mensosialisasikan LIRP di
berbagai komunitas 3. Bersedia menjadi narasumber sesuai keahlian dan
profesi yang dimiliki. 4. Menginformasikan nilai-nilai positif dari
pelaksanaan LIRPkepada masyarakat secara luas
5. Bekerjasama dengan anggota komite sekolah atau pihak lain dalam pengadaan sumber belajar.
6. Aktif bekerjasama dengan guru dalam proses pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus.
7. Aktif dalam memberikan ide atau gagasan dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran.
Pendidikan inklusif akan berjalan secara efektif
apabila setiap pihak yang terlibat dapat memahami
29
peran serta tanggung jawabnya secara baik. Oleh
karena itu hal ini penting untuk dipahami mengingat
bahwa hal ini merupakan salah satu aspek penting
dalam pencapaian tujuan pendidikan inklusif.
2.5. Anak Berkebutuhan Khusus
2.5.1. Pengertian Slow Learner
Anak lamban belajar atau slow learner adalah
mereka yang memiliki prestasi belajar rendah atau
sedikit di bawah rata-rata dari anak pada umumnya,
pada salah satu atau seluruh area akademik. Jika
dilakukan pengetesan pada IQ (Intelegence Question),
skor tes IQ mereka menunjukkan skor antara 70-90
(Wiley, 2007).
Dijelaskan dalam “Dictionary of Psychology” slow
learner is a non technical variously applied to children
who are some what mentally retarted or are developing
at a slower that normal rate. (Hillgrad,1962)
Yusuf (2005) mengemukakan bahwa anak yang
prestasi belajarnya rendah tetapi IQ nya sedikit
dibawah rata-rata disebut anak yang lamban belajar
atau slow learner.
Endang (2005) Menyatakan pembahasan tentang
Borderline atau garis perbatasan taraf kecerdasan yang
menjadi kelompok tersendiri, sering disebut sebagai
kelompok lamban belajar.
Sedangkan, Toto (2005) dalam makalah
seminarnya menyatakan siswa lamban belajar ialah
siswa yang intelegensinya berada pada taraf perbatasan
30
(borderline) dengan IQ 70-85 berdasarkan tes
intelegensi baku.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Purwandari
(1993) ternyata anak lamban belajar (slow learner)
mempunyai ciri-ciri emosi sebagai berikut :
a. Daya konsentrasi rendah
Daya konsentrasi hanya sebentar, seperti terikat
dalam kegiatan belajar di kelas, anak hanya
dapat mengikuti pelajaran denganbaik ± 20
menit, lebih dari itu anak kelihatan gelisah, dan
kadang-kadang mengganggu teman-temannya
yang sedang belajar.
b. Mudah lupa dan beralih perhatian
Hal ini sangat berkaitan dengan daya ingat dan
rangsangan dari luar.
c. Eksplosif
Anak sering menampakan sikap cepat bereaksi
terhadap rangsangan tanpa ada pertimbangan
pemikiran lebih dulu. Bila tidak diberi tugas akan
nampak kecewa.
Ciri-ciri anak dalam kategori slow learner:
1. Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah
(kurang dari KKM),
2. Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik
sering terlambat dibandingkan teman-teman
seusianya,
3. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat,
4. Pernah tidak naik kelas.
31
2.5.2 Faktor Penyebab Anak Lamban Belajar
4 faktor yang menyebabkan terjadinya anak slow
learner atau lamban belajar. Faktor tersebut antara
lain:
1. Faktor Genetik dan Prenatal (Sebelum lahir).
Perkembangan seorang anak dimulai dari sejak
konsepsi sampai pembuahan. Seluruh bawaan
biologis seorang anak yang berasal dari kedua
orang tuanya (berupa kromosom yang memecah
diri menjadi partikel kecil yang disebut dengan
gen), akan menjadi apa anak tersebut. Terjadinya
kelainan kromosom dapat menyebabkan terjadi
pula kelainan yang berhubungan dengan fisik
maupun fungsi-fungsi kecerdasan.
Selain dari kelainan pada kromosom, anak
lamban belajar atau slow learner juga dapat
disebabkan adanya gangguan biokimia dalam
tubuh, seperti galactosemia dan phenylketonuria.
Galactosemia adalah suatu gangguan biokimia
karena defisiensi enzim yang dibutuhkan untuk
metabolisme galaktosa yang layak. Sedangkan
phenylketonuria adalah suatu gangguan
metabolisme genetik, dimana oksidasi yang tidak
lengkap dari asam amino yang menyebabkan
kerusakan pada otak.
2. Faktor Biologis Non Keturunan
Lamban belajar atau slow learner tidak hanya
terjadi karena faktor genetik tetapi juga ada
beberapa hal non genetik, antara lain: Obat-
32
obatan, keadaan Gizi Ibu yang buruk saat hamil,
radiasi sinar x, faktor Rhesus, golongan darah.
3. Faktor Natal (Saat Proses kelahiran)
Kondisi kekurangan oksigen karena proses
kelahiran yang lama atau bermasalah dapat
menyebabkan transfer oksigen ke otak bayi
menjadi terhambat.
4. Faktor Postnatal (sesudah lahir) dan lingkungan.
Malnutrisi dan trauma fisik akibat jatuh atau
kecelakaan, trauma pada otak atau beberapa
penyakit seperti meningitis dan encephalis harus
juga diperhatikan. Begitu juga dengan
lingkungan. Lingkungan dapat berperan sebagai
penyebab terjadinya anak lamban belajar atau
slow learner. Karena stimulasi yang salah,
sehingga anak tidak dapat berkembang secara
optimal. Lingkungan yang dimaksud dapat
lingkungan sekolah dapat pula lingkungan
rumah. Interaksi dari beberapa faktor dapat
mempengaruhi fungsi mental anak.
2.6. Model Pembelajaran
2.6.1. Model-model Pembelajaran
Pembelajaran dapat difenisikan sebagai suatu
sistem atau proses membelajarkan subjek
didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain,
dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar
sbjek didik/pembelajar dapat mencapai kompetensi
yang dirumuskan secara efektif dan efisien.
(Komalasari,2011).
33
Gunter et al (1990) mendefinisikan model
pembelajaran sebagai an instructional model is a step-
by-step procedure that leads to specific learning
outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model
pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran
merupakan kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dasar.
Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang
relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An
instructional strategy is a method for delivering
instruction that is intended to help students achieve a
learning objective (Burden & Byrd, 1999).
Model pembelajaran yang di kembangkan dengan
pendekatan Konstruktivistik adalah Model
pembelajaran berdasarkan Masalah (Problem based
Learning) dan pembelajaran kooperatif (cooperative
learning). Model pembelajaran ini mencakup
pendekatan pembelajaran luas, dan menyeluruh
(Areunds,1997).
A. Pembelajaran kooperatif/Cooperative Learning
Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning)
adalah suatu strategi belajar mengajar yang
menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam
bekerja atau membantu di antara sesama dalam
struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang
terdiri dari dua orang atau lebih. Dalam tiap kelompok
terdiri dari siswa-siswa berbagai tingkat kemampuan,
34
melakukan berbagai kegiatan belajar untuk
meningkatkan pemahaman mereka tentang materi
pelajaran yang sedang dipelajari. Setiap anggota
kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar
apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan
belajar, sehingga bersama-sama mencapai
keberhasilan. Semua siswa berusaha sampai semua
anggota kelompok berhasil memahami dan
melengkapinya. Semua siswa berusaha sampai semua
anggota kelompok berhasil memahami dan
melengkapinya. (Lie,2000). Model pembelajaran
kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-
tidaknya tiga tujuan pembelajaran yaitu Hasil belajar
akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu
dan pengembangan keterampilan sosial. Prinsip model
pembelajaran kooperatif yaitu 1) saling ketergantungan
positif; 2) tanggung jawab perseorangan; 3) tatap muka;
4) komunikasi antar anggota; dan 5) evaluasi proses
kelompok.
Belajar kooperatif secara teoretik dipandang
mampu mengembangkan bukan saja capaian
akademik, tapi juga capaian non-akademik seperti
hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok.
Menurut Arends (2007) belajar kooperatif
dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga
tujuan penting; yaitu prestasi akademik, toleransi dan
penerimaan terhadap keanekaragaman, serta
pengembangan keterampilan sosial. Marning dan
Lucking (1991) mengatakan bahwa belajar kooperatif
selain memberikan kontribusi secara positif terhadap
35
prestasi akademik, juga meningkatkan keterampilan
sosial dan self-esteem siswa.
Pembelajaran kooperatif terdiri atas beberapa tipe
antara lain :
1. Tipe Jigsaw
Dari sisi etimologi jigsaw berasal dari bahasa
inggris yaitu gergaji ukir dan ada juga yang
menyebutnya dengan istilah fuzzle, yaitu sebuah teka-
teki yang menyusun potongan gambar. Pembelajaran
kooperatif model jigsaw ini juga mengambil pola cara
bekerja sebuah gergaji (jigsaw), yaitu siswa melakukan
sesuatukegiatan belajar dengan cara bekerja sama
dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama.
Model pemebelajaran kooperatif model jigsaw adalah
sebuah model belajar kooperatif yang menitik beratkan
kepada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok
kecil bersama. (Lie,2000)
Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata
atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu
siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran
menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama
dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong
dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah
informasi dan meningkatkan keterampilan
berkomunikasi. (Arends, 2007)
2. Three Minute Review
Model pembelajaran kooperatif tipe three-step
review efektif untuk digunakan saat guru berhenti pada
saat-saat tertentu selama sebuah diskusi atau
presentasi berlangsung, dan mengajak siswa mereviu
36
apa yang telah mereka ungkapkan saat diskusi di
dalam kelompok mereka. Siswa-siswa dalam kelompok-
kelompok itu dapat bertanya untuk mengklarifikasi
kepada anggota lainnya atau menjawab pertanyaan-
pertanyaan dari anggota lain. Misalnya setelah diskusi
tentang proses-proses kompleks yang terjadi di dalam
tubuh manusia misalnya pencernaan makanan, siswa
dapat membentuk kelompok-kelompok dan mereviu
proses diskusi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
untuk mengklarifikasi.
3. Tipe Group Investigazion
Menurut Winataputra (1992) model GI atau
investigasi kelompok telah digunakan dalam berbagai
situasi dan dalam berbagai bidang studi dan berbagai
tingkat usia. Pada dasarnya model ini dirancang
untuk membimbing para siswa mendefinisikan
masalah, mengeksplorasi berbagai cakrawala mengenai
masalah itu, mengumpulkan data yang relevan,
mengembangkan dan mengetes hipotesis.
Sifat demokrasi dalam kooperatif tipe GI ditandai
oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan atau
setidaknya diperkuat oleh pengalaman kelompok
dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral
kegiatan belajar. Guru dan murid memiliki status yang
sama dihadapan masalah yang dipecahkan dengan
peranan yang berbeda. Jadi tanggung jawab utama
guru adalah memotivasi siswa untuk bekerja secara
kooperatif dan memikirkan masalah sosial yang
berlangsung dalam pembelajaran serta membantu
siswa mempersiapkan sarana pendukung. Sarana
37
pendukung yang dipergunakan untuk melaksanakan
model ini adalah segala sesuatu yang menyentuh
kebutuhan para pelajar untuk dapat menggali berbagai
informasi yang sesuai dan diperlukan untuk
melakukan proses pemecahan masalah kelompok.
Model pembelajaran kooperatif tipe investigasi
kelompok ini dikembangkan oleh John Dewey dan
Herbert A Thelen. (Winataputra, 1992)
4. Think Pair Share (TPS)
TPS merupakan metode yang menempatkan guru
sebagai motivator, fasilitator, mediator, evaluator dan
pembimbing, sedangkan siswa dalam kegiatan
pembelajaran di dalam kelas memiliki peran aktif.
(Kusuma dan Aisah, 2012)
TPS menghendaki siswa untuk bekerja sendiri
danbekerja sama saling membantu dengan siswa lain
dalam suatu kelompok kecil. Denganmetode klasikal
yang memungkinkan hanya satu siswa yang maju dan
membagikan hasilnyauntuk seluruh kelas, teknik Think
Pair Share memberi sedikitnya delapan kali kesempatan
lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan
menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain
(Anita Lie, 2008).
Pelaksanaan pembelajaran TPS ini diawali dari
berpikir (think) sendiri mengenai pemecahan suatu
masalah. Tahap berpikir menuntut siswa untuk lebih
tekun dalam belajar dan aktif mencari referensi agar
lebih mudah dalam memecahkan masalah atau soal
yang diberikan guru. Siswa kemudian diminta untuk
mendiskusikan hasil pemikirannya secara berpasangan
38
(pair). Tahap diskusi merupakan tahap menyatukan
pendapat masing-masing siswa guna memperdalam
pengetahuan mereka. Diskusi dapat mendorong siswa
untuk aktif menyampaikan pendapat dan
mendengarkan pendapat orang lain dalam kelompok,
serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Setelah
mendiskusikan hasil pemikirannya, pasangan-
pasangan siswa yang ada diminta untuk berbagi (share)
hasil pemikiran yang telah dibicarakan bersama
pasangannya masing-masing kepada seluruh kelas.
Tahap berbagi menuntut siswa untuk mampu
mengungkapkan pendapatnya secara bertanggung
jawab, serta mampu mempertahankan pendapat yang
telah disampaikannnya. (Kusuma dan Aisah, 2012)
5. CIRC (Cooperative Integrated Reading Composition)
Pembelajaran CIRC dikembangkan oleh Stevans,
Madden, Slavin dan Farnish. Pembelajaran kooperatif
tipe CIRC dari segi bahasa dapat diartikan sebagai
suatu model pembelajaran kooperatif yang
mengintegrasikan suatu bacaan secara menyeluruh
kemudian mengkomposisikannya menjadi bagian-
bagian yang penting.
Model pembelajaran CIRC memiliki lima
komponen. Kelima komponen tersebut antara lain:
(1)Teams, yaitu pembentukan kelompok heterogen yang
terdiri atas 4 atau 5 siswa; (2)Placement test, misalnya
diperoleh dari rata-rata nilai ulangan harian
sebelumnya atau berdasarkan nilai rapor agar guru
mengetahui kelebihan dan kelemahan siswa pada
bidang tertentu;(3) Student creative, melaksanakan
39
tugas dalam suatu kelompok dengan menciptakan
situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau
dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya; (4)Team
study, yaitu tahapan tindakan belajar yang harus
dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan
bantuan kepada kelompok yang membutuhkannya;
(5)Team scorer and team recognition, yaitu pemberian
skor terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan
kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil
secara cemerlang dan kelompok yang dipandang
kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas.
(suyitno,2005)
6. Reciprocal teaching
Tipe pengajaran timbal-balik (reciprocal teaching)
merupakan salah satu tipe dari pembelajaran koperatif
yang dirancang dengan metode-metode tertentu,
sehingga siswa dapat belajar lebih serius dan
menumbuhkan rasa tanggung jawab, kerjasama,
berfikir kritis, keaktifan dalam bertanya dan
keterlibatan dalam proses belajar. Strategi pengajaran
reciprocal teaching adalah salah satu strategi dalam
pembelajaran kooperatif, dalam pelaksanaannya, siswa
dibentuk kelompok-kelompok yang beranggotakan 4
siswa dengan tugas masing-masing sebagai predictor,
clarifier, questioner, dan summarizer, dan dalam proses
pembelajaranya siswa dituntut untuk berinteraksi,
ketergantungan, dan bekerjasama dengan kelompoknya
dalam mengerjakan tugasnya. (http://library.um.ac.id)
40
7. STAD(Student Teams Achievement Divisions).
Salah satu metode pembelajaran kooperatif yang
efektif adalah STAD (Student Teams Achievement
Divisions). STAD terdiri dari rangkaian pembelajaran
yang sederhana, belajar kooperatif dalam memadukan
kemampuan kelompok-kelompok dan kuis-kuis disertai
penghargaan yang diberikan kepada kelompok-
kolompok yang anggotanya paling sukses melampaui
nilai mereka sendiri sebelumnya.
Kelebihan dalam penggunaan pembelajaran
kooperatif metode STAD sebagai berikut:
a. Mengembangkan serta menggunakan keterampilan
berpikir secara kritis dan kerja sama kelompok.
b. Menyuburkan hubungan antar pribadi yang positif
diantara siswa yang berasal dari ras yang berbeda.
c. Menerapkan bimbingan oleh teman.
d. Menciptakan lingkungan yang menghargai nilai-nilai
ilmiah.
Kelemahan dalam penggunaan pembelajaran
kooperatif metode STAD adalah sebagai berikut:
a. Sejumlah siswa mungkin bingung karena belum
terbiasa dengan perlakuan seperti ini.
b. Guru pada permulaan akan membuat kesalahan-
kesalahan dalam pengelolaan
kelas. Akan tetapi usaha sungguh-sungguh yang
terus menerus akan dapat terampil menerapkan
model ini.
Langkah-langkah dalam penerapan pembelajaran
kooperatif metode STAD adalah sebagai berikut :
41
a. Guru menyampaikan materi pembelajaran kepada
siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai
dengan menggunakan berbagai pilihan dalam cara
dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada
siswa, antara lain dengan metode penemuan
terbimbing, tanya jawab atau metode ceramah.
Langkah ini tidak harus dilakukan dalam satu kali
pertemuan, tetapi dapat lebih dari satu.
b. Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa
secara individu sehingga akandiperoleh nilai awal
kemampuan siswa.
c. Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap
kelompok terdiri dari 4-5 anggota, dimana anggota
kelompok mempunyai kemampuan akademik yang
berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah). Jika
mungkin, anggota kelompok berasal dari budaya
atau suku yang berbeda serta memperhatikan
kesetaraan gender.
d. Guru memberikan tugas kepada kelompok berkaitan
dengan materi yang telah diberikan, mendiskusikan
secara bersama-sama, saling membantu antar
anggota lain, serta membahas jawaban tugas yang
diberikan guru. Tujuan utamanya adalah
memastikan bahwa setiap kelompok dapat
menguasai konsep dan materi.
B. Model Pembelajaran Berbasis Masalah/ Problem
Based Learning
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau
Problem Based Learning (PBL) didasarkan pada hasil
42
penelitian Barrow and Tamblyn (1980, Barret, 2005)
dan pertama kali diimplementasikan pada sekolah
kedokteran di McMaster University Kanda pada tahun
60-an. PBM sebagai sebuah pendekatan pembelajaran
diterapkan dengan alasan bahwa PBM sangat efektif
untuk sekolah kedokteran dimana mahasiswa
dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut
untuk memecahkannya. PBM lebih tepat dilaksanakan
dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran
tradisional. Hal ini dapat dimengerti bahwa para dokter
yang nanti bertugas pada kenyataannya selalu
dihadapkan pada masalah pasiennya sehingga harus
mampu menyelesaikannya. Walaupun pertama
dikembangkan dalam pembelajaran ilmu kedokteran
tetapi pada perkembangan selanjutnya diterapkan
dalan pembelajaran ilmu yang lain.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah
satu model pembelajaran inovatif yang dapat
memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBM
adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan
siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui
tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat
mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan
masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan
untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien,
dkk.,1993). Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997),
Fogarty(1997) menyatakan bahwa PBM adalah suatu
pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi
kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-
masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open
43
ended melalui stimulus dalam belajar. PBM memiliki
karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar
dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa
masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia
nyata siswa/mahasiswa, (3) mengorganisasikan
pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin
ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar
kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan
secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5)
menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut
pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah
mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau
kinerja. (Fogarty,1997).
Berdasarkan penjelasan tentang PBM tampak
jelas bahwa pembelajaran dengan model PBM dimulai
oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa
atau guru), kemudian siswa memperdalam
pengetahuannya tentang apa yang mereka telah
ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk
memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih
masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan
sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam
belajar.
C. Program Pembelajaran Individual
Istilah Program Pembelajaran individual (PPI)
merupakan terjemahan dari Individualized Educaional
Program (IEP). Mercer and Mercer (1989) dalam
Rochyadi dan Alimin (2003), mengemukakan bahwa
program individual merujuk kepada suatu program
44
pengajaran dimana siswa bekerja dengan tugas –tugas
yang sesuai dengan kondisi dan motivasiya.
Lynch (1994), menyatakan bahwa IEP merupakan
suatu kurikulum atau merupakan suatu kurikulum
atau merupakan suatu program belajar yang
didasarkan kepada gaya, kekuatan dan kebutuhan-
kebutuhan khusus anak dalam belajar. Dengan
demikian pada dasarnya Program Pembelajaran
Individual (PPI) merupakan suatu program yang
didasarkan kepada kebutuhan setiap individu.
Program Pembelajaran Individual (PPI) disusun
pada hakekatnya adalah mengacu pada pandangan
bahwa inividu itu unik bahkan tidak ada seorang
manusiapun yang akan sama sekalipun kembar. (Triani
dan Amir,2013). Dengan demikian setiap anak memiliki
potensi masing-masing yang perlu dikembangkan
sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya. Begitu juga
dengan kebutuhannya, setiap peserta didik tentunya
memiliki kebutuhan masing-masing yang mungkin
akan berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Dalam Program Pembelajaran Individual (PPI)
terdapat prosedur dalam penyusunannya menurut
Rochyadi dan Alimin (2003) yang menyebutkan bahwa
Program Pembelajaran Individual disusun dengan
maksud untuk memenuhi kebutuhan tiap peserta
didik. Prosedur ideal dalam pengembangan Program
Pembelajaran Individual dikemukakan Kitano dan
Kirby (1986) memiliki lima aspek yaitu :pembentukan
tim PPI, menilai kebutuhan khusus anak,
mengembangkan tujuan jangka panjang dan jangka
45
pendek, meancang metode dan prosedur pembelajaran
dan menentukan evaluasi kemajuan anak.
a. Membentuk Tim PPI
Tim PPI bertugas merencanakan dan menyusun
program pembelajaran. Anggota tim sebaiknya
terdiri dari berbagai disiplin ilmu, seperti guru kelas
atau guru mata pelajaran, kepala sekolah, orang
tua dan tim ahli (jika memungkinkan). Tim ahli
yang dimaksu adalah tim ahli yang terkait dengan
masalah yang dihadapi atau pengembangan dari
potensi peserta didik seperti : konselor, instruktur
orientasi mobilitas, speech therapist, fisio therapist,
pediatris atau psikolog. Namun jika sekolah belum
memungkinkan menyertakan tim ahli, maka tim PPI
tetap dapat terbentuk dengan melibatkan guru atau
kepala sekolah dan orang tua.
Tim PPI ini akan duduk bersama mendiskusikan
tentang rancangan program pembelajaran yang akn
diberikan kepada peserta didik. Dengan demikian
antara pihak sekolah dengan pihak orang tua
memiliki persepsi yang sama tentang program yang
akan dilaksankan. Dengan demikian orang tua dan
pihak sekolah sama-sama aktif dalam memberikan
informasi atau melakukan treatment atau program-
program pembelajaran yang dianggap perlu.
b. Menilai Kebutuhan Khusus Anak
Menentukan kebutuhan khusus apa yang peserta
didik perlukan, terlebih dahulu tim PPI melihat
informasi yang dperoleh dari hasil assesmen
tentang kelemahan-kelemahan dan kekuatan-
46
kekuatan yang dimiliki peserta didik. Berdasarkan
dari data atau informasi tersebut tim baru
memutuskan kebutuhan khsus seorang peserta
didik.
c. Mengembangkan Tujuan Pembelajaran
Jangka Panjang dan Jangka Pendek
Tujuan pembelajaran dilakukan dengan
melakukan penyelarasan antara target yang
diharapkan dari kurikulum dengan kemampuan yag
dimiliki peserta didik berdasarkan hasil assesmen
yang telah dilakukan. Tujuan pembelajaran jangka
panjang adalah tujuan yang hendak dicapai pada
waktu yang relatif lama, seperti capaian yang
tertera pada SK (Standar Kompetensi). Sedangkan
tujuan pembelajaran jangka pendek adalah tujuan
yang hendak dicapai dalam waktu yang relatif
singkat, seperti capaian pada KD (Kompetensi
Dasar). Untuk mempermudah pengukuran
kebehasilannya, satu kompetensi dasar tentunya
disusun menjadi indikator-indikator dengan
menggunakan kata kerja operasional dalam
penyusunannya.
d. Menyusun Metode dan Prosedur
Pembelajaran
Metode dan Prosedur Pembelajaran yang
dirancang dalam Program Pembelajaran Individual
ini, tentunya disusun secara jelas dan sistematis
sehingga memudahkan dalam proses penilaiannya.
Proses pembelajaran dapat dirancang secara
berkelompok namun tetap dikelola secara
47
individual. Banyak metode dan pendekatan yang
dapat dilakukan seorang guru dengan berprinsip
pada Pembelajaran yang Aktif Inovatif Kreatif dan
menyenangkan (PAIKEM). Dengan demikian
pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik.
e. Menentukan Evaluasi Kemajuan Anak
Evaluasi kemajuan belajar anak henaknya dapat
mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran
yang telah dirumuskan. Dalam melakukan evaluasi
sedapat mungkin mampu menggambarkan kondisi
peserta didik bukan membandingkan dengan
peserta didik yang lain yang ada dikelasnya. Karena
ketuntasan belajar yang dimaksud adalah
ketuntasan belajar individual sesuai dengan potensi
yang dimilikinya.
Banyak ragam jenis evaluasi, tentunya jenis dna
bentuk tes yang diberikan disesuaikan dengan
kondisi anak serta tujuan dari pelaksanaan evaluasi
itu sendiri. Dalam pelaksanaan evaluasi ini
sebaiknya dilakukan baik evaluasi proses maupun
product atau hasil. Dengan demikian dapat
diperoleh informasi tentang kemajuan peserta didik
baik dalam proses pelaksanaan pembelajarannya
serta tingkat pencapaian keberhasilan tujuan
pembelajaran.
2.7. Model Pengembangan Pembelajaran
Model ialah suatu abstraksi yang dapat
digunakan untuk membantu memahami sesuatu yang
tidak bisa dilihat atau dialami secara langsung. Model
adalah representasi realitas yang disajikan dengan
48
suatu derajat struktur dan urutan (Seels &
Richey,1994).
Gustafson (1981) mengajukan 4 kategori
model,yakni (1) classroom ID model, (2) product
development models, (3) systems development
models, dan (4) organization development models. Model
yang berpusat pada kelas atau classroom ID
model berpijak pada asumsi bahwa telah ada seorang
pembelajar, beberapa pebelajar, suatu kurikulum, dan
suatu fasilitas. Sasaran pembelajar adalah untuk
melakukan peningkatan pembelajaran. Pembelajar
bukanlah bagian dari suatu tim peningkatan mutu
kelas, tetapi hanya sepanjang memilih untuk
menggunakan model yang dihasilkan. Model yang
berpusat pada produk atau product fokus, product
development models bertujuan untuk menghasilkan
suatu produk yang bersifat spesifik yang menjadikan
pembelajaran lebih efektif dan lebih efisien. Produk
model pembelajaran yang dihasilkan diharapkan sesuai
dengan karakteristik pebelajar yang telah ada
sebelumnya. Model ini digunakan dalam bidang
pendidikan, di mana keputusan atas “ya atau tidaknya”
pengembangan harus dilaksanakan oleh seseorang
selain dari pengembang itu sendiri. Model yang
berfokus pada sistem atau systems development models
berbeda bila dibandingkan dengan pengembangan
model yang berorientasi pada produk. Model yang
berfokus pada sistem mempunyai tujuan bahwa
masukan dan keluaran dianggap sebagai suatu sistem.
Keluaran pengembangan meliputi material, peralatan,
49
suatu rencana manajemen, dan barangkali suatu
pelatihan instruktur. Ini berarti bahwa ”sistem”
kemudian bisa ditempatkan sebagai target. Sistem
menuntut analisis yang luas: (a) lingkungan
penggunaan, (b) karakteristik tugas, dan (c) ya atau
tidaknya pengembangan perlu berlangsung. Ini
merupakan suatu masalah yang perlu dipecahkan
dengan menggunakan pendekatan menuntut
pengumpulan data secara alamiah. Sedangkan model
yang berpusat pada organisatoris atau organization
development models tujuannya tidak hanya
meningkatkan pembelajaran, tetapi juga memodifikasi
atau mengadaptasi organisasi itu dan personilnya
kepada suatu lingkungan baru. Akhir-akhir ini, model
yang berorientasi pada pengembangan ini digunakan
untuk pengembangan fakultas, pengembangan
organisasi, dan pengembangan pembelajaran sebagai
tiga komponen yang terpisah tetapi aktivitasnya
berhubungan.
Penelitian ini termasuk dalam kategori system
development models yang menuntut analisis yang luas
antara lain : a) lingkungan penggunaan, b) karakteristik
tugas, dan c) ya atau tidaknya pengembangan perlu
berlangsung. Model pengembangan pendidikan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan
model penelitian yang dikembangkan oleh Borg dan
Gall. Menurut Borg and Gall (Borg and Gall, 1983) :
“education research and development (R & D) is a
process used to develop and validate educational products. The steps of this process are usually referred to as the R & D cycle, which consists of
50
studying research finding pertinent to the product to be developed, developing the product based on the finding, field testing it in the setting where it will be used eventually, and revising it to correct the deficiencies found in the field testing stage. In indicate that product meets its behaviorally defined objectives. (Borg and Gall, 1983)”
Artinya riset dan pengembangan pendidikan (R&D)
adalah suatu proses yang digunakan untuk
mengembangkan dan memvalidasi atau mengesahkan
produk bidang pendidikan. Langkah–langkah dalam
proses ini pada umumya dikenal sebagai siklus R&D,
yang terdiri dari: pengkajian terhadap hasil-hasil
penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan validitas
komponen-komponen pada produk yang akan
dikembangkan, mengembangkannya menjadi sebuah
produk, pengujian terhadap produk yang dirancang,
dan peninjauan ulang, dan mengoreksi produk tersebut
berdasarkan hasil uji coba. Hal itu sebagai indikasi
bahwa produk temuan dari kegiatan pengembangan
yang dilakukan mempunyai objektifitas. Rangkaian-
rangkaian penelitian dan pengembangan dilakukan
sesuai dengan siklus dan pada setiap langkah yang
akan dilalui selalu mengacu pada hasil dari langkah
sebelumnya hingga akhirnya akan diperoleh suatu
sistem pendidikan yang baru.
Dalam teknologi pembelajaran, deskripsi
tentang prosedur dan langkah-langkah penelitian
pengembangan sudah banyak dikembangkan. Borg
dan Gall (1983) menyatakan bahwa prosedur
penelitian pengembangan pada dasarnya terdiri dari
dua tujuan utama, yaitu: 1) Mengembangkan produk,
51
dan 2) Menguji keefektifan produk dalam mencapai
tujuan. Tujuan pertama disebut sebagai fungsi
pengembangan sedangkan tujuan kedua disebut
sebagai validasi. Dengan demikan, konsep penelitian
pengembangan lebih tepat diartikan sebagai upaya
pengembangan yang sekaligus dsertai dengan upaya
validasinya.
Borg dan Gall menjelaskan serangkaian tahap
yang harus ditempuh dalam penelitian dan
pengembangan yaitu: Research and information
collecting, planning, develop preliminary form of product,
preliminary field testing, main product revision, main
field testing, final product revision, and, dissemination
and implementation. Secara konseptual, pendekatan
penelitian dan pengembangan mencakup 10 langkah
umum, sebagaimana diuraikan borg and Gall (1983),
dalam model dibawah ini :
(Gbr. 2.1. Alur Prosedur pengembangan Borg dan Gall ,1983)
Keterangan gambar:
1. Research and information collecting; termasuk dalam langkah ini antara lain studi literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, dan
Research &
Information Collecting Planning Develop preliminary
form of prduct Preliminary
Field testing
Main Product
Revision
Main field Testing Operational Product Revision
Operational Field testing
Final Product
Revision
Dissemination &
Implementation
52
persiapan untuk merumuskan kerangka kerja penelitian;
2. Planning; termasuk dalam langkah ini merumuskan kecakapan dan keahlian yang berkaitan dengan
permasalahan, menentukan tujuan yang akan dicapai pada setiap tahapan, dan jika
mungkin/diperlukan melaksanakan studi kelayakan secara terbatas;
3. Develop preliminary form of product, yaitu
mengembangkan bentuk permulaan dari produk yang akan dihasilkan. Termasuk dalam langkah
ini adalah persiapan komponen pendukung, menyiapkan pedoman dan buku petunjuk, dan
melakukan evaluasi terhadap kelayakan alat-alat pendukung;
4. Preliminary field testing, yaitu melakukan ujicoba lapangan awal dalam skala terbatas. Pada langkah ini pengumpulan dan analisis data dapat dilakukan
dengan cara wawancara, observasi atau angket; 5. Main product revision, yaitu melakukan perbaikan
terhadap produk awal yang dihasilkan berdasarkan hasil uji coba awal. Perbaikan ini sangat mungkin
dilakukan lebih dari satu kali, sesuai dengan hasil yang ditunjukkan dalam uji coba terbatas, sehingga
diperoleh draft produk (model) utama yang siap diuji coba lebih luas;
6. Main field testing, uji coba utama.
7. Operational product revision, yaitu melakukan perbaikan/penyempurnaan terhadap hasil uji coba
lebih luas, sehingga produk yang dikembangkan sudah merupakan desain model operasional yang
siap divalidasi; 8. Operational field testing, yaitu langkah uji validasi
terhadap model operasional yang telah dihasilkan; 9. Final product revision, yaitu melakukan perbaikan
akhir terhadap model yang dikembangkan guna menghasilkan produk akhir (final);
53
10. Dissemination and implementation, yaitu langkah menyebarluaskanproduk/modelyang
dikembangkan. Skema tersebut dirujuk dari the major steps in the
R&D cycle Borg dan Gall (1983). Pengadaptasiannya
diwujudkan dalam bentuk perencanaan teknis sasaran
dan jenis kegiatan yang akan dilakukan dalam tiap
tahapnya. Sukmadinata (2010) menjelaskan ”Jika
kesepuluh langkah penelitian dan pengembangan
diikuti dengan benar, maka akan dapat menghasilkan
suatu produk pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan”. Langkah-langkah tersebut
bukanlah hal baku yang harus diikuti, langkah yang
diambil bisa disesuaikan dengan kebutuhan peneliti.
2.8. Penelitian Yang Relevan
Dalam penelitian tentang Pengembangan Model
Pendidikan Inklusif ini, penelitian yang relevan sebagai
bahan pendukung penelitian ini yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Dyah S (2008), “Pengkajian Pendidikan
Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah”, Pengkajian
Pendidikan Inklusif ini adalah untuk mengetahui
efektifitas penyelenggara pendidikan inklusif yang
sudah berjalan selama ini. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa efektifitas penyelenggaraan
pendidikan inklusif dapat dilihat dinamikanya, seperti
ketiadan Guru Pendamping Khusus (GPK), tenaga ahli,
serta belum memiliki sarana – prasarana khusus untuk
menangani ABK, atau jika mempunyai pun tak bisa
menggunakan sarana yang ada.
54
Penelitian yang dilakukan oleh Lomban (2012),
yang meneliti tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusi Pada Sekolah Menengah Pertama di Kota
Ambon, hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi di Kota
Ambon, dalam kategori buruk yakni 26% bila mengacu
pada kriteria yang ditetapkan.
Martuti (2011), tentang “Pelaksanaan
Pembelajaran Model Modifikasi Bahan Ajar Pendidikan
Inklusi Siswa Tuna Netra Di SMP Negeri 4 Wonogiri”,
hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
pelaksanannya kendala-kendala yang dialami yaitu
faktor ekonomi orang tua, proses belajar mengajar,
kesiapan ketrampilan dan kemampuan guru yang
kurang variatif cenderung membosankan dan membuat
pasif, keterbatasan guru untuk mengikuti pelatihan
dan perbedaan kemampuan individu dalam hal
pelayanan antara siswa regular dengan siswa
berkebutuhan khusus.
Penelitian yang dilakukan oleh Barokah (2008)
yang meneliti moralitas peserta didik pada pendidikan
inklusif, hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta
didik antara usia 6-12 yang sederajat dengan peserta
didik sekolah dasar yang memiliki kecenderungan
untuk menjadi manusia yang bermoral baik terhadap
orang tua, guru dan teman sebayanya.
Penelitian tentang inklusi juga dilakukan oleh
Istiningsih (2005) yang meneliti Manajemen Inklusi di
Sekolah Dasar Negeri Klego 1 Kabupaten Boyolali
menyimpulkan bahwa manajemen sekolah inklusi
55
sudah cukup bagus, dan pemahaman konsep inklusi
perlu untuk ditingkatkan.
Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, yang
menjadi kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif antara lain: ketiadan Guru Pendamping
Khusus (GPK), tenaga ahli, serta belum memiliki sarana
– prasarana khusus untuk menangani ABK, atau jika
mempunyai pun tak bisa menggunakan sarana yang
ada serta pemahaman serta pengetahuan konsep
pendidikan inklusif, hal-hal ini yang menjadi
kelemahan dalam pelakasanaan pendidikan inklusif.
Padahal, komponen-komponen ini merupakan hal
penting dalam penerapan pembelajaran inklusif.
Penelitian yang hendak peneliti teliti saat ini lebih
mengkhususkan pada pengembangan model
pembelajaran inklusif di salah satu sekolah inklusif
jenjang sekolah menengah pertama. Adapun yang
menjadi fokus penelitian ini adalah desain model
pengembangan pembelajaran inklusif.