Post on 05-Jul-2015
description
Ayah Dan Aku
diterbitkan oleh:
dufix Publishing
Buku ini merupakan karya fiksi. Nama, karakter, tempat
dan kejadian merupakan rekayasa dari khayalan penulis.
Kesamaan kejadian atau tempat atau nama seseorang,
baik yang masih hidup atau sudah mati,
merupakan bentuk ketidaksengajaan.
Hak Cipta © oleh Ali Reza 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang
Desain Sampul: Ali Reza Penata Letak: Ali Reza
Editor: Ali Reza
Dufix Publishing
Kunjungi kami di:
http://neowerewolf.blogspot.com
Ayah dan Aku
Aku menulis ini untuk anakku yang belum lahir, untuk istri yang belum kunikahi,
untuk mobil yang belum kumiliki, untuk rumah yang belum kutempati. Anakku
akan menjadi dokter, itulah impianku.
Aku kenal betul kakekku. Tiga kali dalam setahun aku mengunjunginya, dan
tiap kali aku ke sana, kakek selalu cerita tentang ayah dan saudara-saudara ayah.
Ayah bangga pada kakek. Ayah bilang kakek adalah seorang pejuang, dan tiap kali
ayah menceritakannya, ayah selalu mengatakan betapa keras kakek mengajar
ayah waktu kecil dulu.
Kakek tinggal di rumah yang kecil walau tidak bisa dibilang sederhana. Tidak
ada TV, tidak ada radio, tidak ada lemari es karena memang tidak ada listrik.
Untuk mengambil air pun, kami harus menimba dari sumur. Jika malam datang
kami harus berhati-hati mengambil air, jika tidak, bisa-bisa terpeleset dan jatuh ke
dalam sumur. Kakek bercerita saat usia dua belas tahun kakek kerja di pelabuhan
dan berhenti kerja di usia empat puluh enam. Di sisa umurnya kakek berjualan
ikan bersama nenek. Kakek meninggal dua minggu lalu atau lebih kurang dua
tahun setelah nenek meninggal. Tidak banyak yang diwariskan kakek bahkan
rumahnya, karena rumahnya adalah milik pak Samin. Kakek menyewa sepanjang
hidupnya. Kakek hanya mewariskan semangat kerja keras pada ayah.
Ayah seorang buruh pabrik. Meski demikian ayah sangat menghargai
pekerjaannya hingga dua puluh enam tahun bekerja di sana seperti tak terasa.
Ayah rela berdesak-desakkan di bis saat berangkat dan pulang kerja. Ayah bilang,
“Kerja itu berjuang, dan untuk berjuang kamu harus menikmatinya.” Tidak jarang
ayah pulang malam atau masuk kerja di hari minggu karena lembur. Ayah harus
menafkahi istri dan empat anaknya. Aku adalah anak pertamanya.
Aku mewarisi wajah ayah namun hidungku lebih cenderung ke ibu sedangkan
karakterku menurun dari keduanya. Aku kerja seperti ayah, berangkat pagi dan
pulang malam. Kupikir mungkin inilah risiko menjadi anak pertama dan segalanya
mengalir seperti sungai: ayah dan aku kerja, ibu mengurus rumah tangga dan
ketiga adikku pergi sekolah.
Kami tidaklah miskin, setidaknya untuk ukuran enam orang dalam rumah tipe
21. Jika aku terus mengikuti pola hidupku maka akan berjalan seperti adanya; aku
kerja, aku menerima gaji, lalu empat atau lima tahun lagi, aku akan menikah,
menimang bayiku, melihat anakku menjadi remaja dan anakku menceritakan
kejadian yang sama seperti yang aku lakukan sekarang. Namun bila dibandingkan
dengan ayah, aku rasa, aku lebih beruntung darinya, setidaknya pakaianku tidak
kotor saat bekerja atau berpanas-panasan dengan mesin. Tugasku mengatur dan
menyusun file dan mencari file jika staf lain memerlukan.
Ibu menyiapkan sarapan jam lima. Aku dan ayah menjadi prioritas karena
kami harus berangkat jam lima tiga puluh, setelah itu adik-adikku menyusul.
Rumahku berjarak tiga kilometer dari stasiun, itu artinya berjarak lima menit jika
naik angkot atau lima belas menit jika berjalan cepat. Dan aku lebih memilih jalan
kaki.
***
Orang-orang yang ingin naik kereta berjejer di peron, menunggu kereta masuk,
yang di barisan depan berpeluang besar dapat tempat duduk. Mereka yang tidak
dapat tempat duduk akan berdiri berdesak-desakkan, dan tiap kali kereta
berhenti di stasiun, orang-orang akan terus bertambah hingga merasakan
dorongan dari empat sisi. Sebenarnya aku bisa berada di barisan depan saat
menunggu kereta masuk, lalu melompat lebih dulu dari yang lain sehingga dengan
cepat memilih tempat duduk, namun aku enggan melakukannya karena tidak
ingin celaka, setidaknya sebelum aku mengenal Erlin.
Erlin adalah wajah baru di stasiun ini karena aku hapal orang-orang yang biasa
naik kereta. Orang baru biasanya menanyakan di stasiun mana dia harus turun
dan aku senang Erlin bertanya padaku. Setelah beberapa hari mengenalnya, aku
harus berdiri di barisan depan dan kemudian memberikan tempat duduk buat
Erlin. Kasihan sekali jika Erlin harus terpaksa berdiri, bisa-bisa dandanannya rusak
karena keringat dan bajunya kusut karena berdesakkan.
Ayah selalu tiba di rumah lebih dulu dari aku. Aku biasa menemukannya saat
ayah sedang makan malam atau baca koran. Saat aku melihat ayah, aku melihat
putih rambutnya, keriputnya yang tebal dan urat-urat tangannya yang menonjol.
Aku berkata pada diriku, apakah aku akan menjadi seperti ayah? Lalu aku melihat
ibu yang tak beda jauh dari ayah dan berkata pada diriku lagi, apa yang membuat
ibu menikahi ayah? Lalu aku membayangkan wajah Erlin dan berkata pada diriku,
apa yang membuat Erlin akan menikahiku? Dan sabtu besok Erlin mengundangku
ke rumahnya, ke pesta ulang tahunnya. Sebuah undangan yang tidak bisa kutolak.
Di suatu malam ayah memanggilku.
Aku masih ingat harinya; hari senin, empat hari setelah ulang tahunku yang ke
dua puluh tiga. Ibu duduk di samping ayah, membaca majalah dua bulan lalu. Aku
duduk di hadapan ayah, membaca judul berita koran yang ayah letakkan di atas
meja. Beberapa saat kemudian ayah memulai pembicaraan. Aku tidak ingat apa
yang ayah ucapkan pertama kali karena aku terlanjur asik membaca judul-judul
berita lainnya. Ibu masih membaca majalah dan kurasa ibu juga tidak
memerhatikannya.
Ayah mengambil koran yang sedang kubaca, melipatnya dan meletakkan di
bawah meja. Itu tandanya pembicaraan mulai serius. Ibu bangkit berdiri,
meletakkan majalah di atas meja dan meninggalkan kami tanpa sepatah kata.
Sepertinya ibu tidak ingin mencampuri urusan laki-laki. Aku melihat sekilas iklan
komputer di majalah. Aku membayangkan sedang mengetik di komputer sendiri.
Ayah tidak pernah memulai dengan pembicaraan ringan. Ayah mengatakan
apa yang perlu ayah sampaikan dan setelah itu ayah membiarkanku berfikir. Kata
“Dengar ayah …,” adalah kata yang sering diucapkan agar aku mengerti. Aku
paham maksud ayah malam itu, aku mengerti sampai ke detailnya, sebuah
pembicaraan dari laki-laki ke laki-laki, dari ayah ke anak pertamanya. Aku paham
keadaan ayah dan aku tahu posisiku. Ayah tidak kerja lagi, ayah bilang karena
restrukturisasi perusahaan (aku ragu, aku dan ayah paham kata itu). Aku hanya
mengambil kesimpulan bahwa rumah ini, ibu, ketiga adikku bahkan ayah berada
di pundakku. Ayah memberi kepercayaan padaku sebagaimana ayah percaya
pada diri ayah. Bagi ayah, aku adalah cermin dirinya. Bagiku, aku adalah aku. Ya,
aku adalah aku. Aku bergaul dengan orang yang aku ingini, membeli barang yang
aku mau atau pergi ke mana saja, ke tempat yang aku suka. Dan aku akan pergi ke
rumah Erlin besok.
Erlin memiliki keluarga yang bahagia dengan rumah dan mobil yang bagus,
entah bagaimana aku menempatkan diriku di rumahnya.
Semua orang yang hadir bernyanyi “Happy birthday to you.” Seorang laki-laki
mencium kening Erlin dan sebuah kado besar diberikannya. Aku tahu laki-laki itu,
laki-laki yang membuatku cemburu, sedangkan aku hanya duduk sendiri di pojok
ruangan.
Aku menyimpan kado untuknya di tasku, sebuah buku dengan selembar puisi
yang kubuat sendiri disisipkan di tengah buku. Kado itu akan berada diantara
tumpukan kado-kado bagus, diantara HP, jam tangan mahal, perhiasan-perhiasan
indah dibungkus dengan cantik. Dan aku memutuskan tidak memberinya kado.
Aku tetap menyimpannya, barangkali aku akan memberikannya lain waktu.
Sejak ayah tidak kerja aku selalu menemukannya sedang menonton TV, baik
saat aku berangkat kerja maupun pulang kerja. Tidak jarang aku menemukan ayah
sedang melamun, entah ayah sedang merindukan pekerjaannya atau memikirkan
keluarga. Yang kulakukan hanya berusaha menjadi anak baik dan karena itulah
hampir seluruh gajiku untuk keperluan keluarga. Di tahun-tahun ke depan aku
tetap akan menjadi tulang punggung keluarga, setidaknya sebelum aku menikah
atau sambil menunggu adik-adikku lulus dan mendapatkan pekerjaan. Ibu pasti
bangga padaku karenanya.
Selanjutnya aku akan menceritakan tentang ayahku yang seharusnya tidak
kuceritakan. Aku menceritakan ini bukan untuk sesuatu yang jelak melainkan
untuk menunjukkan betapa aku peduli pada keluarga.
Sebelumnya, menonton TV bukanlah kebiasaan ayah. Ayah biasa memegang
kunci inggris atau menjalankan mesin di setengah hidupnya. Ayah seperti sedang
kehilangan semangat dan pegangan, tidak banyak dan tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Aku kecewa melihatnya. Aku tunjukkan sikapku dengan tidak banyak
bicara. Aku berharap semoga ayah mengerti maksudku. Dan Erlin? Erlin masih
seorang perempuan yang ingin kunikahi. Erlin memiliki apa yang kuanggap
menyenangkan dan tentu saja tiap laki-laki punya jalan untuk membahagiakan
perempuan. Aku punya tekad untuk membuatnya bahagia. Mungkin ini seperti
sebuah mimpi, mungkin ayah punya jalan sendiri saat mengenal ibu, tapi aku akan
melakukannya yang terbaik buat Erlin. Di jalan itu, aku akan menjadi penulis. Aku
akan menjadi penulis besar, lebih besar dari penulis abad ini dan mendapatkan
uang banyak, lalu aku akan menikah dengan Erlin dan kami akan bahagia. Aku
punya bakat dan ide-ide besar untuk tulisanku. Tapi aku tidak punya komputer,
padahal penulis jaman sekarang harus pakai komputer. Aku harus memilikinya.
Lagi-lagi ayah membuatku kesal. Kenapa ayah harus berhenti kerja di saat
yang tidak tepat? Bagaimana aku dapat beli komputer jika masih harus
mengeluarkan uang untuk keluarga? Ayah seharusnya mengerti aku. Tidakkah di
usianya ayah masih bisa mencari pekerjaan lain atau memulai usaha sendiri?
Haruskah aku melihatnya setiap hari sedang menonton TV? Apakah setiap anak
harus melalui sirkulasi seperti ini; ibu melahirkan aku, ayah mencari nafkah, ayah
membiayai sekolah dan untuk membalas jasa mereka maka aku harus menafkahi
mereka kemudian? Mungkin aku bukan anak baik, namun aku punya alasan
mematikan TV tiba-tiba saat ayah sedang menontonnya. Kejadiannya begitu
cepat, dan itu lebih baik dibandingkan dengan memecahkan layar TV atau
membantingnya.
Ayah sadar apa yang terjadi. Ayah tahu maksud sikapku ini dan ayah ingin
memperbaikinya. Ayah menghampiriku yang sedang baca koran (sebenarnya
hanya pura-pura baca) dan memintaku untuk mendengarnya. Kali ini aku tidak
mendengar kata “Dengar ayah!” dan sebagai penggantinya ayah lebih sering
minta ma’af hingga terkesan sedang menyalahkan dirinya. Ya, aku pikir memang
seharusnya demikian. Ayah berjanji akan mencari pekerjaan baru sepanjang ayah
mampu. Dan sekali lagi ayah minta ma’af telah mengorbankan keinginanku.
Sebenarnya hal itu membuatku merasa bersalah.
Hari berikutnya aku tidak pernah melihat ayah di depan TV. Aku lebih sering
melihatnya mengerjakan sesuatu seperti membuat kursi, membuat gantungan
baju, menyetrika, membaca atau apa pun itu asal bukan menonton TV. Dan hari-
hari berikutnya aku jarang menemukan ayah di rumah. Ibu bilang ayah sudah
kerja lagi, namun ibu belum tahu dimana ayah kerja.
Satu malam, menjelang tidur, aku memasang telinga untuk mengetahui jam
berapa ayah pulang. Aku mendengar seseorang membuka pintu pagar dan orang
yang kami cintai itu pulang disambut ibu. Aku melihat dari celah kunci pintu. Aku
melihat ibu sedang memijat ayah.
Dan sekali lagi itu membuatku merasa bersalah.
Satu bulan berlalu sejak kudengar ayah dapat pekerjaan baru. Saat itu bulan
Juni di musim panas. Aku dipromosikan dengan kenaikan dua kali gaji
sebelumnya, memiliki meja yang luas tepat di bawah AC, dan aku menggunakan
komputer. Tugasku membuat penawaran, artinya aku hanya duduk dan mengetik
kemudian mengirimkan penawaran ke calon klien.
Di suatu siang setelah jam istirahat aku melihat ayah di kantorku berdiri di
depan pintu masuk ruanganku. Aku tidak tahu sudah berapa lama ayah
memerhatikanku, tapi kurasa ayah datang bukan untuk melihatku. Namun apakah
arti tatapannya?
Ayah melambaikan tangannya padaku dan aku pun menangkap isyaratnya,
seperti sedang mengatakan: Ayah bangga anaknya kerja di ruangan yang nyaman.
Ayah kerja untuk perusahaan air minum dan ayah datang mengantarkan air ke
kantorku. Ayah memegang empat galon air kosong. Tak lama kemudian ayah pun
berlalu. Kutinggalkan meja dan berlari menyusul ayah. Aku memanggilnya dan
melabrak tubuhnya yang berkeringat dan memeluknya erat.
Ayah berkata, “Hei, anak laki-laki nggak boleh cengeng.”
Dan aku pun tersenyum padanya.
Ijinkan aku menyampaikan pesan kepada diriku yang masih memimpikan istri
cantik, rumah indah dan mobil bagus. Aku menulis ini di komputer baruku, di
samping ayah yang sedang nonton TV. Dan aku berkata pada diriku, “Anakku akan
menjadi dokter, dan aku harus lebih baik dari anakku.”
***
Profil Penulis Ali Reza, dilahirkan di Subang, 25 Mei 1980 dan besar di Bekasi. Sudah menulis puluhan cerpen yang tersebar di berbagai media online. Ali Reza bisa dihubungi melalui: Email & google+ : bekasiconnection@gmail.com facebook: duniafiksi@yahoo.com fb. fanpage: All About Fictions twitter : @alirezabekasi