Post on 20-Sep-2019
ANALISIS YURIDIS KEWARISAN SAUDARA DALAM KASUS
MUNÂSAKHAH (Studi Putusan M.A. No. 30 PK/Ag/2013)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana (S.H.)
Disusun Oleh:
M. Fadillah Hakim
NIM : 11140440000028
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
M. Fadillah Hakim. NIM 11140440000028. ANALISIS YURIDIS KEWARISAN
SAUDARA DALAM KASUS MUNÂSAKHAH (Studi Putusan M.A. No: 30
PK/Ag/2013). Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. Ix + 75
halaman 3 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan norma hukum apa yang digunakan
majelis hakim judex factie (PTA. Mataram) dan judex juris (Mahkamah Agung)
dalam menetapkan sengketa kewarisan saudara pada putusan Mahkamah Agung No.
30 PK/AG/2013. Dalam putusan tersebut majelis hakim menetapkan bahwa sisa harta
HR bin H. IM setelah dikeluarkan bagian istri diberikan kepada saudara laki-laki
seibu, keturunan saudara perempuan seibu (sebagai ahli waris pengganti saudara
perempuan seibu), dan saudara laki-laki sekandung memperoleh 2:1 serta
menghalangi saudara laki-laki seayah dalam memperoleh tirkah.
Penelitian ini tergolong dalam penelitian yuridis normatif dengan
menggunakan pendekatan perbandingan hukum. Dalam perbandingan hukum penulis
membandingkan ketentuan yang mengatur kewarisan saudara yang terdapat dalam
fikih (Ahl al-Sunnah-Imamiyah), pemikiran Hazairin, dan Hukum Kewarisan Islam
Nasional guna melihat tendensi landasan yuridis apa yang digunakan dalam putusan
M.A. No. 30 PK/Ag/2013.
Hasil Penelitian ini menujukan bahwa telah terjadi pembaharuan dan
keberanjakan dalam menetapkan kewarisan saudara seibu dan sekandung mendapat
2:1. Sebab pada putusan tersebut majelis hakim judex factie (PTA. Mataram) dan
judex juris (Mahkamah Agung) cenderung merujuk pada Buku II Pedoman Pelaksana
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama yang tidak memiliki landasan pemikiran
manapun dalam fikih (Ahl al-Sunnah-Imamiyah), Pemikiran Hazairin, dan KHI.
Kata Kunci: Kewarisan Saudara, Pembaharuan, dan Keberanjakan.
Pembimbing : Sri Hidayati, M.Ag.
Daftar Pustaka : 1964-2013
vi
KATA PENGATAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa , atas izin-Nya
karya ilmiah (skripsi) dengan judul “ANALISIS YURIDIS KEWARISAN
SAUDARA DALAM KASUS MUNÂSAKHAH (Studi Putusan M.A. No: 30
PK/Ag/2013)” dapat terselesaikan. Latar belakang dari karya tulis ini pada dasarnya–
bagi penulis–bukanlah untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sebab gelar
dapat hilang dengan hilangnya Ijazah, hanya saja penulis tertarik dengan pola
penyelesaian ilmu faraid yang pelik dan memiliki beberapa argumen yang tahan uji,
serta penulis teringat kuliah umum yang disampaikan oleh Prof. Arskal Salim bahwa
di dalam memahami suatu angka janganlah dipahami secara secara definitif, lihatlah
kisah Nabi Ayub yang berjanji memukul istrinya sebanyak 100 kali, tetapi hanya
dilakukan satu kali dengan 100 buah lidi yang disatukan, sehingga membawa kesan
bahwa angka yang sudah terang-terang disebutkan pada realitasnya tidak ditunaikan
sebagaimana bunyi lahiriahnya.
Dengan telah selesainya karya ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak
kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S,H., M.H., M.A. sebagai Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah;
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. sebagai Ketua Program Studi Hukum Keluarga,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah;
3. Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. Sebagai Sekertaris Program Studi Hukum
Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah;
4. Sri Hidayati, M.Ag. sebagai Dosen Pembimbing yang telah mengajarkan
dasar-dasar berfikir logis terutama dalam menyistematisasikan perbedaan
pemikiran dalam ilmu faraid;
vii
5. Pimpinan dan Staf Mahkamah Agung R.I. yang telah mempermudah penulis
untuk memperoleh bahan penelitian, sehingga penulis tidak perlu jauh-jauh
pergi ke Lombok untuk memperoleh data;
6. Pimpinan dan pegawai Perpustakan Fakultas;
7. Hotnidah Nasution, M.Ag., Sri Hidayati, M.Ag., Drs. Sirril Wafa, dan Dr.
Muchtar Ali, M.Hum yang tidak lelah untuk mengajar Ilmu Faraid dan
Muqâranah Mazâhib Fil Mâwaris, sehingga tanpa keempat dosen tersebut
penulis tidak akan menggeluti bidang ini;
8. Bpk. Asri Mulyanto dan Ibu Wartiah selaku orang tua penulis, serta Siti Nur
Sholihah, Khofifah Indah Wati, Hasyim Azhari, dan Abdulah Syafei selaku
kakak dan adik penulis;
9. Bpk. M. Abdul Idris, Bpk. M. Kirzul Alim, Bpk. Husein Ilham Rosyadi, Bpk.
Umar Sena, Bpk, Faisal Amrin Bachtiar, Bpk. Ginda Susanto, Bpk. Alam
Hadi selaku mentor pada Yayasan MataAir Fondation;
10. Keluarga Besar Sanggar Nusantara terutama Amizar Isma, S.Sos., Habibi
Fahmi, S.Sos., Randi Hamdani, S.Sos., Nasrul Ma’arif, S.Sos, dll, yang telah
memberikan nasihat dan semangat terhadap aktifitas kemahasiswaan penulis
selama menempuh jenjang S1, serta kawan bersuka-duka yaitu Wahyu Febri
Saputra dan Afifudin Al-Amin;
11. Teman-Teman Program Studi Hukum Keluarga tahun 2014;
Jakarta, 28 Desember 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 5
D. Tinjauan Studi Terdahulu ............................................................... 5
E. Kerangka Teori............................................................................... 7
F. Metode Penelitian........................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan................................................................... 10
BAB II DASAR-DASAR HUKUM KEWARISAN ISLAM....................... 11
A. Pengertian Hukum, Fikih, dan Hukum Kewarisan Islam ........... 11
B. Dasar Hukum Kewarisan Islam ................................................... 12
C. Sebab, Syarat, Rukun, dan Penghalang Pewarisan ..................... 15
D. al-Hâjb dalam Hukum Kewarisan Islam...................................... 19
E. Munâsakhah ................................................................................ 20
BAB III AHLI WARIS PERSPEKTIF AHL AL-SUNNAH,
IMAMIYAH, HAZAIRIN, DAN HUKUM KEWARISAN
ISLAM NASIONAL ........................................................................ 21
A. Ahli Waris Perspektif Fikih Ahl al-Sunnah ................................ 21
B. Ahli Waris Perspektif Fikih Imammiyah .................................... 25
C. Ahli Waris Perspektif Hazairin .................................................. 29
D. Ahli Waris dalam Hukum Kewarisan Islam Nasional ................ 32
E. Persamaan, Perbedaan, dan Sebab Terjadinya Persamaan dan
Perbedaan Terhadap Macam-Macam Ahli Waris ....................... 35
ix
BAB IV KEWARISAN SAUDARA (PEMAKNAAN KALȂLAH DAN
PEROLEHAN FARD SAUDARA) PERSPEKTIF
AHL AL-SUNNAH, IMAMIYAH, HAZAIRIN, DAN HUKUM
KEWARISAN ISLAM NASIONAL ............................................. 37
A. Kewarisan Saudara (Pemaknaan Kalâlah dan Perolehan
Fard Saudara) Perspektif Fikih Ahl al-Sunnah ........................... 37
B. Kewarisan Saudara (Pemaknaan Kalâlah dan Perolehan
Fard Saudara) Perspektif Fikih Imamiyah ................................. 41
C. Kewarisan Saudara (Pemaknaan Kalâlah dan Perolehan Fard
Saudara) Perspektif Hazairin ...................................................... 43
D. Kewarisan Saudara Dalam Hukum Kewarisan Islam Nasional .. 45
E. Persamaan, Perbedaan, dan Sebab Terjadinya Persamaan dan
Perbedaan Terhadap Perbedaan Kewarisan Saudara
(Pemaknaan Kalâlah dan Perolehan Fard saudara) .................... 49
BAB V MUNȂSAKHAH DALAM PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NO. 30 PK/AG/2013 ......................................................... 53
A. Deskripsi Struktur Nasab Dalam Putusan M.A
No. 30 PK/Ag/2013 ...................................................................... 53
B. Munâsakhah Dalam Putusan M.A. No. 30 PK/Ag/2013 ............. 54
BAB VI ANALISIS PUTUSAN ....................................................................... 61
A. Kewarisan Saudara Dalam Putusan
M.A. No. 30 PK/Ag/2013 .............................................................. 60
B. Analisis Penyelesaian Harta Peninggalan HR bin H.IM
(w:2011) Pespektif Ahl al-Sunnah, Jafariah, Hazairin, dan
Hukum Kewarisan Islam Nasional ............................................... 63
C. Analisis Penulis ............................................................................. 70
BAB VII PENUTUP ........................................................................................... 71
A. Kesimpulan .................................................................................... 72
B. Saran .............................................................................................. 73
DAFTRA PUSTAKA ............................................................................................... 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Kewarisan Islam merupakan hukum yang telah ditentukan nasnya
oleh Allah S.W.T.. Sebagai suatu aturan yang berhubungan dengan harta, ia
termasuk dalam rumpun ilmu hukum keluarga (ahwâl al-syakhsiyyah) karena
berkaitan erat dengan hubungan kepersonaliaan dalam keluarga, berbeda halnya
dengan fiqh al-muʽâmalâh yang lebih berorientasi pada usaha memperoleh dan
mengembangkan harta, adapun ketentuan hukum waris itu disebut sebagai ilmu
faraid atau fikih mawâris. 1
Sebagai sebuah produk pemikiran–dalam fikih mawâris–terdapat ruang
ikhtilâf (pluralitas) karena merupakan hasil intepretasi nas yang lakukan oleh
mujtahid, sebagaimana dalam beberapa kasus seperti kasus al-gharâwâin, al-
musyarrakah, al-akdarîyyah, dan al-kharqâ‟.
Dalam kasus al-kharqâ‟ contohnya terdapat lima pandangan yang berbeda
dalam penyelesaiannya yang dilakukan oleh para sahabat, hal ini terjadi karena
pemaknaan yang mendalam terhadap asas-asas dan angka-angka yang terdapat dalam
nas al-Qur’an, namun patut disayangankan khazanah pluralitas tersebut tidak
mengikat umat muslim di Indonesia kecuali khazanah itu ditrasformasikan dalam
bentuk peraturan dan dipertegas oleh putusan hakim.
Dalam negara Indonesia, hukum kewarisan islam diatur dalam Inpres No. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebagai sebuah pranata hukum,
aturan-aturan yang ada dalam KHI terdapat sedikit perbedaan dengan ketentuan fikih
mawaris, sepertihalnya lembaga wasiat wajibah yang diberikan kepada anak angkat
dan ahli waris pengganti.2
1 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996), h. 71-82.
2 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 326.
2
Pranata wasiat wajibah terhadap anak angkat misalnya, ia dapat memperoleh
bagian 1/3 dari harta orang tua angkatnya apabila anak angkat tersebut tidak
menerima wasiat, hal ini berbeda sekali dengan ketentuan wasiat yang terdapat
dalam fikih yang memiliki beberapa syarat yaitu dilakukan oleh orang yang masih
hidup, adanya akad antara pemberi dan penerima, dan dapat ditunaikan setelah orang
yang memberi wasiat itu meninggal dunia.
Begitupula dengan pranata ahli waris pengganti, ketentuan tersebut
merupakan buah pikir dari Hazairin yang menggunakan ilmu sosial antropologi
untuk menafsirkan Surah al-Nisȃ‟ (4):33. Menurutnya al-Qur’an membagi ahli waris
menjadi tiga bagian yaitu: dzawu faraid, dzawu qarabat dan mawali.3
Selain menggunakan Kompilasi Hukum Islam, sumber hukum kewarisan
Islam di Indonesia menggunakan pula beberapa yurisprudensi seperti, putusan MA
No. 16 K/AG/2010, dalam yurisprudensi tersebut ahli waris terdiri dari ibu, Istri
(beda agama), 3 saudara perempuan kandung dan 1 saudara laki-laki kandung. dan
majelis hakim agung menetapkan kaidah bahwa: istri yang berbeda agama berhak
mendapatkan bagian waris istri yaitu ¼ dengan melalui wasiat wajibah. Hal ini
merupakan suatu kewajaran karena pada dasarnya ulama telah sepakat tentang
halalnya laki-laki muslim menikahi wanita al-kitâbiyah.4
Adapun terkadang hakim berpaling dari ketentuan atau kaidah hukum
sebagaimana dalam putusan No 30 PK/Ag/2013. Kasus tersebut bermula dari
penikahan Inaq SN alias Hj. RH dengan Amaq NN alias H. IM, sebelum keduanya
menikah H. IM (wafat tahun 2007) telah mempunyai anak laki-laki yang bernama
MH bin H. IM dari istri sebelumnya yang bernama Inaq NUN (wafat pada tahun
1963).
3 Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Warisan Dalam Hukum Islam dan
Implementasinya Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana,2015), h. 136
4 Soelman Soleh, “ Pembagian Harta Warisan untuk Ahli Waris Beda Agama.”, Jurnal
Mimbar Hukum dan Peradilan Edisi 76, (2013): h. 81.
3
Hj. RH (wafat tahun 2006) pun sebelum menikah dengan H. IM telah
mempunyai dua orang anak yaitu anak laki-laki yang bernama SL bin Mamiq SN
dan anak perempuan yang bernama NN binti Mamiq SN (wafat Tahun 2004). Anak
tersebut merupakan anak bawaan pernikahan sebelumnya dengan Mamiq SN yang
statusnya telah bercerai.
Dari hasil pernikahan Hj. RH dan H. IM, mereka memiliki tiga orang anak
laki-laki yang bernama JL bin H. IM, BI bin H. IM, dan HR bin H. IM (Wafat tahun
2011). Serta memiliki 6 (enam) point harta peninggalan yang statusnya adalah harta
bersama dan harta bawaan. Setelah Hj. RH dan H. IM meninggal, harta bersama dan
bawaan tersebut dikuasai oleh salah satu ahli warisnya yaitu MH.
JL bin H. IM sebagai ahli waris dari pasangan Hj. RH dan H. IM menggugat
MH bin H. IM ke Pengadilan Agama Selong dan pengadilan tersebut mengabulkan
gugatanya (Putusan No. 502/Pdt.G/2011/PA.SEL), tetapi pada putusan pengadilan
tersebut terjadi kejangalan dalam putusanya yaitu sisa harta peninggalan HR bin H.
IM–wafat 2011–yang tidak meninggalkan keturunan dan ayah (kalâlah) diberikan
kepada saudara laki-laki sekandung dan seayah setelah diambil bagian pasti oleh
bagian istri H R bin H. IM (MA binti TI). 5 hal ini sangatlah bertentangan, sebab
dalam prinsip hijab-majub saudara laki-laki seayah terhalang oleh saudara laki-laki
sekandung berdasarkan tarjih bil al-quatil qarabah dalam „asabah bi al-nafs.6
Namun pada tingkat banding, putusan sengketa waris tersebut diperbaiki oleh
PTA. Mataram (Putusan No. 55/Pdt.G/2012/PTA.MTR) dengan menggantikan
kedudukan saudara laki-laki seayah (MH bin H. IM) dengan saudara laki-laki seibu
(Mamiq SL bin H. IM), keturunan saudara perempuan seibu (sebagai ahli waris
penggati Inaq NN bin H.IM) atas harta peninggalan HR bin H. IM (w:2011) yang
merupakan anak laki-laki dari pasangan Hj. RH dan H. IM, dengan ketentuan
saudara laki-laki seibu, keturunan saudara perempuan seibu (ahli waris pengganti
5 Putusan Pengadilan Agama Selong No: 502/Pdt.G/2011/PA.SEL, h.27.
6 Facthur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Alma’arif, 1981), Cet. 2, h. 342
4
saudara perempuan ibu) mendapatkan bagian 2:1 bersama dengan saudara laki-laki
kandung pewaris yaitu JL bin H.IM dan BI bin H. IM setelah diambil bagian istri. 7
Penyelesaian kasus yang disebut diatas sangatlah bertentangan dengan
ketentuan normatif KHI Pasal 181 yang menyatakan saudara laki-laki dan
perempuan seibu bila mereka dua orang atau lebih maka mereka mendapatkan
sepertiga bagian dan apabila tunggal maka mereka mendapatkan seperenam.8 Pada
proses selanjutnya, MH bin H. IM (dulu tergugat) mengajukan permohonan PK dan
majelis hakim agung menolak permohonan tersebut (Putusan M.A. No.
30PK/AG/2013), serta menganggap bahwa Novum yang diajukan tidak bersifat
menentukan dan tidak terdapat kekhilafan hakim dalam memutus perkara tersebut
sebab semuanya telah dipertimbangkan dalam putusan PTA. Mataram
No55/Pdt.G/2012.9
Maka dari itu penulis tertarik untuk membahas kasus ini dengan judul
ANALISIS YURIDIS KEWARISAN SAUDARA DALAM KASUS
MUNÂSAKHAH (Studi Putusan M.A. No: 30 PK/Ag/2013)
B. Indentifikasi Masalah
Dari uraian diatas maka masalah yang dapat teridentifikasi yaitu:
1. Mengapa saudara laki-laki seayah dapat digantikan oleh saudara seibu ?
2. Mengapa saudara laki-laki seibu, saudara kandung, serta keturunan dari
saudara perempuan seibu yang telah wafat mendapatkan bagian 2:1 dari sisa
harta saudara sekandung, sedangkan menurut pasal 181 KHI ia mendapatkan
sepertiga harta?
3. Mengapa saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan bagian?
4. Apa landasan yuridis majelis hakim agung menolak permohonan PK ?
7 Putusan Pengadilan Tinggi Mataram No: 55/Pdt.G/2012/PTA. MTR, h.12, dan 17-19.
8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 2010),
h. 158. 9 Putusan Mahkamah Agung No:30 PK/Ag/2013, h.21.
5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas, sehingga masalahnya lebih jelas dan terarah.
Dalam penelitian ini penulis hanya memfokuskan pembahasan mengenai harta
peninggalan HR bin H.IM yang diberikan kepada saudara laki-laki seibu, keturunan
saudara perempuan seibu (sebagai ahli waris pengganti saudara perempuan seibu),
dan saudara sekandung seayah dengan ketentuan mendapat bagian 2:1, serta saudara
sekandung seayah terhalang oleh saudara laki-laki kandung, maka dari itu penulis
mengajukan pertanyaan penelitian yaitu: Apa ratio decidendi (landasan hukum)
majelis hakim judex factie (PTA. Mataram) dan judex juris (Mahkamah Agung)
dalam memutuskan harta peninggalan HR bin H.IM ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui landasan hukum apa yang digunakan hakim judex
factie (PTA. Mataram) dan judex juris (Mahkamah Agung) dalam
memutuskan harta peninggalan HR bin H.IM yang diberikan kepada
saudara laki-laki seibu, keturunan saudara perempuan seibu (sebagai ahli
waris pengganti saudara perempuan seibu), dan saudara sekandung seayah
dengan ketentuan mendapat bagian 2:1, serta saudara sekandung seayah
terhalang oleh saudara kandung seayah.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil Penelitian ini berguna untuk memberi pemahaman secara
komprehensif terkait kewarisan saudara. Serta menjelaskan ratio decidendi
(alasan hukum/landasan yurudis) dalam memutus kewarisan saudara pada
putusan Mahkamah Agung No. 30PK/Ag/2013.
6
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini yaitu mengetahui landasan
yuridis terkait kewarisan saudara pada putusan Mahkamah Agung No.
30PK/Ag/2013.
E. Tinjauan Studi Terdahulu
Tinjauan studi terdahulu yang penulis gunakan antara lain:
1. Karya Dede Umu Kulsum. “Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti
dan Munasakhah di Pengadilan Agama (Analisis Putusan
108/Pdt.P/2014/PA.J).” Skripsi Prodi Akhwalul Syaksiyah UIN Syarif
Hidayatullah, 2015. Penelitian ini membahas tentang permohonan
penetapan ahli waris yang diajukan oleh para pemohon yang berjumlah 67
orang kepada P.A Jakarta Barat. Para pemohon tersebut adalah anak dan
cucu dari saudara laki-laki dan perempuan sekandung baik yang masih
hidup maupun yang sudah meninggal serta istri dari saudara laki-laki dan
perempuan pewaris.
Metode penelitian pada skripsi tersebut adalah yuridis normatif.
Hasil temuan dari skripsi tersebut adalah majelis hakim P.A Jakarta Barat
tidak mengabulkan semua permohonan pemohon dan hanya mengabulkan
permohonanya sebagian, berdasarkan ketetuan Pasal 174 yang menyatakan
bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang hukum untuk menjadi ahli waris dan pasal 185
KHI tentang ahli waris pengganti.
2. Naila Nur Fitriah, “Kedudukan Waris Anak Perempuan Bersama Saudara
Pewaris (Studi Putusan MA No. 122 K/Ag/1995).” Skripsi Prodi Akhwalul
Syaksiyah UIN Syarif Hidayatullah, 2012. Penelitian ini membahas tentang
ahli waris yang terdiri dari: seorang anak perempuan, dua orang saudara
laki-laki kandung, satu orang saudara perempuan sekandung, serta seorang
7
anak perempuan dari saudara perempuan kandung yang wafat setelah
pewaris wafat.
Hasil temuan dalam skripsi tersebut adalah saudara laki-laki dan
perempuan sekandung serta keturunan dari saudara perempuan sekandung
terhijab oleh satu orang anak perempuan pewaris berdasarkan kepada
pendapat Hazairin dan Mazhab Syiah Jafa’riah karena lebih sesuai dengan
kondisi sosiologis masyarakat Indonesia.
Dari hasil studi terdahulu yang penulis kaji mengandung persamaan
penilitian yakni sama-sama membahas kasus munâsakhah dan kewarisan
saudara dalam memperoleh harta warisan namun yang dimaksud saudara
tersebut adalah saudara laki-laki dan perempuan sekandung.
Sementara perbedaan dalam penelitian yang penulis bahas adalah penulis
tidak hanya memfokuskan pada saudara sekandung dalam memperoleh harta
waris namun penulis mengkaji pemaknaan kalâlah, perolehan fard saudara
sekandung, seibu, dan seayah baik laki-laki maupun perempuan perspektif fikih
(Ahl al-Sunnah dan Imamiyah), Hazairin dan Hukum kewarisan Islam Nasional
untuk memecahkan masalah pada putusan M.A. No. 30 PK/AG/2013.
F. Kerangka Teori
Putusan hakim merupakan salah satu produk hukum, ia tidak dapat berdiri
sendiri tanpa adanya hak atau kewajiban yang telah diabaikan atau dilanggar
sehingga para pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan atau permohonannya
ke pengadilan. Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim tentunya
mempunyai argumentasi penalaran untuk memecahkan kasus yang ia hadapi
berdasarkan peristiwa hukum, fakta hukum, alat bukti, serta ketentuan peraturan
perundang-undangan atau norma hukum yang menjadi pedoman untuk menuntaskan
perkara yang ia hadapi, sehingga melahirkan putusan yang baik, sesuai, dan tepat.10
10
Edi Riadi, “Penalaran Hukum Dalam Penyelesaian Kasus Perdata Agama.” Majalah
Peradilan Agama, Edisi 1 (Mei 2013): h. 36.
8
Selain mengikuti peraturan perundang-undangan atau norma hukum yang menjadi
pedoman bagi hakim, hakim juga diberi peluang untuk melakukan trobosan hukum
apabila hukumnya tidak ada atau kurang jelas berdasarkan UU Kekuasaan
Kehakiman No. 48 tahun 2009 Pasal 5 ayat (1) menyatakan:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Serta Pasal 10 ayat (1) menyatakan:
“ Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”.
Maka dari itu untuk menilai terobosan hukum apa yang dilakukan oleh
hakim–terutama dalam hal ini putusan Peradilan Agama–maka penulis akan
mendeskripsikan dengan paradigma pembaharuan hukum keluarga di dunia muslim
modern yang dikelompokan menjadi empat metode yaitu: Talfiq, yakni
menggabungkan dua atau lebih pendapat mazhab dalam fikih; Kedua Takhayur,
yakni memilih dan menyeleksi salah satu pandangan imam mazhab yang lebih
sesuai dengan kebutuhan; Ketiga Siyasah Sar‟iyah, yakni kebijakan penguasa untuk
menerapkan aturan-aturan administratif yang bermanfaat dan tidak bertentangan
dengan syariah; Keempat Reintepretation, yakni menafsirkan ulang nas untuk
menyesuaikan dengan kebutuhan dan tututan modern.11
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam Penelitian ini menggunakan pendekatan perbandingan hukum.
Dalam pendekatan perbandingan hukum, penulis membandingkan beberapa
jenis pemikiran hukum kewarisan Islam terutama yang menyakut kewarisan
saudara yang berkembang dalam fikih (Ahl al-Sunnah dan Imamiyah), pemikiran
Hazairin dan produk Hukum Kewarisan Islam Nasional seperti KHI,
11
M. Atho Muzhar & Khoiruddin Nasution, et.al, ed, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 3.
9
Yurisprudensi M.A., dan Buku II Pedoman Pelaksana Tugas dan Teknis
Peradilan Agama Tentang Hukum Kewarisan guna menemukan ratio decidendi
majelis hakim judex factie (PTA. Mataram) dan judex juris (Mahkamah Agung)
dalam memutuskan harta peninggalan HR bin H.IM.
2. Jenis Penelitian.
Dalam penelitian ini penulis mengunakan jenis penelitian kualitatif
dengan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yang
hanya menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 12
3. Sumber Data dan Bahan Hukum
a. Data primer (basic data) yang penulis gunakan adalah putusan
Mahkamah Agung No. 30 PK/Ag/2013.
b. Data sekunder yang penulis gunakan terdiri dari:
1) Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah:
(a) Ayat-ayat hukum kewarisan;
(b) Inpres No 1 tahun 1991 Tentang KHI;
(c) Yurisprudensi MA Tentang Kewarisan Islam;
(d) Buku II Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama Tentang Hukum Kewarisan.
2) Bahan hukum Sekunder yang penulis gunakan yaitu buku atau kitab-
kitab fikih dan jurnal ilmiah yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer.
3) Bahan hukum tersier yang penulis gunakan adalah kamus atau
ensiklopedi yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan skunder
12
Amirudin & Zaini Askin, Pengatar Metode penelitian hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2006), h. 118.
10
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan studi dokumen atau studi
kepustakaan sebagai teknik pengumpulan datanya.
5. Metode Analisis Data
Dalam penganalisisan data dan pembahasan, penulis menggunakan
analisis kualitatif dan dijelaskan secara deskriptif.
6. Pedoman Penelitian
Dalam penulisan skripi ini penulis menggunakan “ Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2017.” yang di terbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
H. Sistematika Penulisan
Sebagai upaya untuk menjaga keutuhan pembahasan dan terarah maka
penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
BAB Pertama, yaitu bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah;
Pembatasan dan rumusan masalah; Tujuan dan manfaat penelitian; Tinjauan studi
terdahulu serta metode penelitian.
BAB Kedua, yaitu bab dasar-dasar hukum kewarisan Islam yang berisi:
Pengertian hukum, fikih, dan hukum kewarisan Islam; Sebab, syarat, rukun, dan
penghalang pewarisan; al-Hajb dan Munâsakah.
BAB Ketiga, yaitu bab ahli waris perspektif Ahl al-Sunnah, Imamiyah,
Hazairin dan Hukum Kewarisan Islam Nasional.
BAB Keempat, yaitu kewarisan saudara (pemaknaan kalâlah dan perolehan
fard saudara) perspektif Ahl al-Sunnah, Imamiyah, Hazairin dan Hukum Kewarisan
Islam Nasional.
BAB Kelima, yaitu bab munâsakhah dalam putusan M.A. No. 30PK/Ag/2013.
BAB Keenam, yaitu bab analisis putusan yang berisi: Kewarisan saudara
dalam putusan M.A. 30PK/Ag/2013, dan Analisis Penulis.
BAB Ketujuh, yaitu bab penutup yang berisi: kesimpulan dan saran.
11
BAB II
DASAR-DASAR HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian Hukum, Fikih, dan Hukum Kewarisan
Menurut KBBI kata “Hukum” mempunyai beberapa makna, yaitu: undang-
undang, ketetapan yang ditetapkan hakim (dalam pengadilan), kaidah, serta peraturan
atau adat yang secara resmi mengikat.1 Sedangkan menurut ilmu ushul fikih
“hukum” diindentikan dengan istilah hukum syâraʽ. Pengertian dari hukum syâraʽ
ialah:
ووضػاييرا ا
خ
وت
تضاء ا
فين إك
لي ال ػا
ف
ػلم بأ ت
اب هللا ال
خط
“Khitab (titah) syâraʽ yang berkaitan dengan tindakan mukalaf dalam
bentuk tuntutan, pilihan, atau ketentuan-ketentuan.”2
Maksud dari definisi hukum syâraʽ diatas adalah segala perintah yang berupa
tuntutan, pilihan, dan ketentuan-ketentuan yang tedapat dalam al-quran dan sunnah,
yang berkaitan dengan perbuatan manusia adalah hukum, selain dari hal tersebut
seperti percaya akan hari kebangkitan dan hal-hal yang berkaitan dengan eskatologis
merupakan pembahasan akidah. sehingga dalam penentuan kriteria ayat hukum
timbul suatu perbedaan pemahaman dikalangan ulama, karena perbedaan pemahaman
ayat yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf.
Sedangkan kewarisan dalam KBBI berasal dari kata waris, kata “kewarisan”
mempunyai arti yaitu: hal yang berhubungan dengan waris atau warisan. Kata
“waris” dan “warisan” dalam KBBI mempunyai makna yang berbeda. Secara bahasa
kata “waris” menunjukan kepada orang yang berhak menerima harta pusaka dari
orang telah meninggal. dan kata “warisan” menunjukan sesuatu yang diwariskan
seperti harta. Dalam bahasa Arab kata “kewarisan” merupakan sinonim
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta:
PT Gramedia, 2008), h. 510.
2 Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih: Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Cv. Pustaka Setia,
2010). h. 592.
12
dari kata (
,وازث
, إزث
dan ,ميراثت
,yang mempunyai arti yaitu: ahli waris, pusaka (تسه
peninggalan mayat, harta pusaka, atau harta peninggalan.3
Sementara pengertian fikih dari segi kebahasaan adalah pemahaman yang
mendalam (deep understanding) dan secara istilah ialah :
اػل
ب مل
ا
ح ل
امي
تيغسالش
تيلمػال
ال
ىم تبظت
دأ
تيليصفا التهتل
“Ilmu tentang hukum-hukum syâraʽ tentang perbuatan manusia yang diambil
dari dalil-dalil yang terperinci.”4
Makna dari pernyataan tersebut sesugguhnya senada dengan istilah hukum
syâraʽ perspektif ushul fikih, hanya saja fikih lebih berorientasi pada perbuatan
manusia yang disandarkan pada dalil-dalil tafsîli sedangkan ushul fikih berfungsi
sebagai alat penemuan hukum (rechtvinding) di mana seseorang hanya berhadapan
dengan nas. Dari dalil-dalil tafsîli tersebut, seseorang yang pada awalnya berhadapan
dengan nas akan menarik sebuah konklusi dari nas tersebut dan menerapkannya
sebagai bentuk amaliah, itulah yang dinamakan dengan fikih.
Adapun fikih memiliki beberapa ruang lingkupnya tersendiri, fikih yang
membahas tentang pernikahan dan perceraian disebut sebagai fiqh al-munâkahat dan
fikih yang membahas tentang peralihan harta setelah kematian pewaris, siapa saja
yang berhak terhadap harta peninggalan pewaris dan kadar penerimaan harta tersebut
dikenal sebagai hukum kewarisan Islam atau fiqh mawârits.5
B. Dasar Hukum Kewarisan Islam
1. Q.s al-Nisȃʽ (4): 11:
هلتين ف
يىق ٱج
ء ف
وظا
إن هيين ف
هث
ٱل
ل حظ
س مث
ه
للر
م
ده
ول
ه في أ
م ٱلل
ىصيى ا
ثل ج
ماحدة
ت و
اه
وإن و
سن
نهما ت حد م
ل و
ه لي بى
ول
صف ها ٱلى
لدض مم ف سن إن ٱلظ
ا ت
3.Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyerenggara
Penerjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1972), h,. 77., 496.
4 Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, h. 19.
5 Hasbi Ash-Shiddiqy, Fiqih Mawaris: Untuk Warisan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973). h. 17.
13
د
هۥ ول
ان ل
د و
هۥ ول
ل
ى م
إن ل
ف
له ٱلث م
ل
بىاه ف
هۥ أ
ووزج
ىة
هۥ إخ
ان ل
إن و
ف
ه ث م
ل
ف
مه
ؤ
بىا
م وأ
ه
ؤ
ءابا
و د
أ
ي بها ىص ت بػد وصي م
دض ٱلظ
هم أ ي
دزون أ
ت
م ل
ى
سب ل
ك
سضت
ف
فػا
ه ه
ه إن ٱلل
ٱلل
ان غليما حىيما م و
Artinya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagian masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat di atas mengandung aturan tentang kewarisan anak laki-laki dan
anak perempuan serta kedua orang tua (ibu-bapak) pewaris. Mereka berhak
menerima dengan kadar yang telah ditetapkan oleh Allah S.W.T.
2. Q.s al-Nisȃ’ (4): 12:
م جى
شو
سن أ
ما ت
م هصف
ى
ول
د
ول ه
ل
ى م
ا إن ل
إن و
دف
ول ه
ا ن ل بؼ مم م ٱلس
ى
لف
تمسه
ا ت بؼ مم ٱلس ه
ول
و د
أ
ىصين بها ت بػد وصي م
سه
ت
د
م ول
ى
ل
ى م
إن إن ل
ف
دم ول
ى
ان ل
ىصىن ب و
ت ت بػد وصي
تم مسه
ا ت مم م
ٱلث ه
لف
ان زجل ها
وإن و
و د
أ
ةو ٱمسأ
أ
ت
لل و
ىزث ت
خ
و أ
خ أ
هۥ أ
ول ل
ر م ذ
ثه
أ
ىا
اه
إن و
ف
دض نهما ٱلظ حد م
ل و
لي
ف
غ
و د أ
ى بها ىص ت بػد وصي م
ث
لء في ٱلث
اسو
هم ش
ٱلف
مت ز وصي
ه ير مضا
ه وٱلل
ل
٢١ غليم حليمArtinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
14
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Penyantun”.
Setelah Allah menetapakan kewarisan anak-anak dan orang tua
pewaris pada ayat sebelumnya. Maka dalam ayat ini Allah menetapkan aturan
kewarisan untuk suami, istri dan para saudara-saudara seibu pewaris.
3. Q.s al-Nisȃ’ (4): 176:
إن ٱمست
للي
م في ٱل
فتيى ه
ل ٱلل
ك
ظتفتىه يع ل
هلادؤ
هۥ ول
ت ل
خ
هۥ أ
ول
ها هصف
لف
سثه وهى
سنما ت
د
ها ول
ل
ى م
إن ل
ا
سن
ا ت ان مم
ثلهما ٱلث
لتين ف
يتا ٱج
اه
إن و
ف
ىا
اه
وإن و
ىة
إخ
ء زجال
ووظا يين
هث
ٱل
ل حظ
س مث
ه
للر
يء ف
ل ش
ه بي
وٱلل
ىا
ضل
ن ت
م أ
ى
ه ل
ن ٱلل بي
٦٧١غليم
Artinya: “ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalâlah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalâlah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat di atas merupakan ayat penutup Surat al-Nisȃ’ yang berisi
tentang pengertian kalȃlah yaitu seorang yang meninggal tidak meninggalkan
anak maka saudara laki-laki dan perempuan sekandung dan seayah berhak
mewarisi atas peninggalan harta pewaris.
15
C. Sebab, Rukun, Syarat, dan Penghalang Pewarisan
1. Pengertian Sebab dan Sebab-Sebab Pewarisan
Secara bahasa kata “sebab” merupakan serapan dari bahasa Arab yaitu al-
sabab ( السبب) yang berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada apa yang
dimaksud. Implikasi dari sebab tersebut dalam kata bahasa Arab adalah al-musabab
( ب ب س الم ).6
Secara istilah “sebab” dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:
ظ وجد ال لصم م م
حى
لى جىد ال
ما زة
از ع أ
ه الش
ري جػل
ال
ىضبط
اهس ال
مس الظ
ب لا ب
بب غدمه غدم الظ صم مل و
“ Sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai
tanda adanya hukum; lazim dengan adanya tanda itu ada hukum dan dengan
tidak adanya tidak ada hukum.”7
Dari definisi di atas dapat dicontohkan seperti halnya masuknya bulan
Ramadan menjadi pertanda datangnya kewajiban puasa Ramadhan. “Masuknya bulan
Ramadan” dapat diukur dengan mengunakan metode hisab dan ru’yah, hal ini
dinamakan dengan al-sabab ( السبب). Sedangkan “kewajiban berpuasa” pada saat bulan
Ramadan disebut al-musabab ( ب ب س الم ) atau hukum. Adapun di dalam fikih mawaris
terdapat beberapa sebab seseorang dapat saling mewarisi yaitu sebagai berikut:
a. Sebab hubungan Kerabat (سابت
(ك
Kaum kerabat ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dan
mewarisi, mereka adalah:
1) Ushul mayit (leluhur), yaitu orang tua garis lurus keatas, mereka adalah
bapak, ibu, kakek, dan nenek;
2) Furûʽ mayit (garis keturunan kebawah) mereka adalah anak laki-laki, anak
perempuan, cucu laki-laki, dan cucu perempuan;
6 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih: Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), h 395.
7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih: Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 395.
16
3) Hawasyi (garis keturunan menyamping) mereka adalah saudara-saudari
sekandung, saudara-saudari seayah, saudara-saudari seibu, anak laki-laki
dari saudara sekandung dan seayah, paman sekandung, paman seayah
serta saudara sepupu (anak paman sekandung dan seayah).
b. Sebab Pernikahan
Sebab pernikahan dapat saling mewarisi yaitu mereka yang melakukan
pernikahan yang sah, pernikahan secara mut’ah (kontrak) tidak dapat saling
mewarisi karena menurut beberapa ulama, ketentuan terkait nikah mut’ah telah
di-naskh oleh ayat waris.8 Mereka yang mendapatkan waris menurut sebab
pernikahan adalah suami atau istri.
c. Sebab berjasa memerdekakan hamba (
ءول )
Perempuan atau laki-laki yang memerdekakan hamba mereka berdua
dapat menerima warisan dari hamba yang pernah dimerdekakan jika walâ’
meninggal dunia.
2. Rukun Pewarisan
Rukun ( secara bahasa bermakna tiang, sudut, atau sandaran. Secara (زه
istilah rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagaian atas keberadaan
yang lain. Seperti halnya sujud dalam shalat, sujud dianggap sebagai rukun, karena
sujud merupakan bagian dari shalat, karena itu tidak dikatakan salat apabila tidak
sujud.9 Adapun rukun untuk mewarisi adalah sebagai berikut:
a. Al-muwarris, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati haqîqî
(sejati), mati hukmiy, dan mati taqdîri (dugaan). Mati hukmiy adalah
kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim seperti mafqud-nya
8 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Jilid II, (Jakarta:Lentera Hati, 2010), h. 154.
9 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, Penerjemah H. Addys
Aldizar, dkk (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 27.
17
seseorang, sedangkan mati taqdîri mati secara dugaan seperti adanya berita
pesawat atau kapal yang membawa jamaah haji jatuh atau tenggelam;
b. Al-Wâris, mereka adalah para ahli waris yang masih hidup pada saat pewaris
meninggal;
c. Al-Maurûts, yaitu harta peninggalan pewaris.
3. Syarat-Syarat Pewarisan
Syarat secara istilah yaitu:
صم مل م ,
حى
يه وجدال
غل
ف
تىك ري
مس ال
هى الا صم م
ل
م , ول
غدمه غدم الحى
محى
وجده وجدال
“Yaitu sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum, lazim dengan tidak
adanya, tidak ada hukum; tetapi tidaklah lazim dengan adanya syarat ada
hukum.”10
Contoh dalam melaksanakan shalat, seseorang harus bersih dari hadats dengan
melakukan wudhu’ sebagai syarat sahnya shalat, apabila seseorang tidak
melaksanakan wudhu’ ketika shalat, maka shalat tersebut tidak mempunyai
pengaruh hukum. Dalam fikih mawaris terdapat beberapa syarat terjadinya
pewarisan yaitu:
a. Meninggalnya pewaris, baik secara haqîqî (sejati), hukmiy (keputusan
hakim) dan taqdîri (dugaan);
b. Hidupnya ahli waris;
c. Dapat diketahui status atau kedudukan ahli waris dalam pembagian harta
peninggalan.
4. Penghalang Pewarisan
Penghalang atau mâniʽ (ماوؼ) dalam definisi ushul fikih adalah:
ما
م مصل مدغ هد جىو
حال
مى
ب وا
ط
نل ببالظ
“Sesuatu yang keberadannya menetapkan ketiadaan hukum atau batalnya
sebab”
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih: Jilid 1, h. 400.
18
Maksud dari definisi di atas ialah hukum faraid atau sebab pewarisan tidak
terjadi apabila perbuatan hukum yang dilarang (mani’) yang telah ditetapkan oleh
pembuat hukum (al-hâkim) dilakukan oleh subjek hukum. Seperti kadar ahli waris
anak perempuan (subjek hukum) yaitu ½ atau 2/3 tidak dapat diaplikasikan atau
ditetapkan (hukum) apabila ia keluar dari agama Islam (perbuatan hukum yang
telah dilarang oleh pembuat hukum) walaupun adanya hubungan darah (sebab
hukum). Adapun penghalang pewarisan adalah sebagai berikut:
a. Budak
Para ahli ilmu faraid telah sepakat untuk menetapkan perbudakan itu
adalah suatu hal yang menjadi penghalang pewarisan hal ini didasarkan pada
surat an-Nahl:75 yaitu:
يء
ى ش لدز غل
ا ل
ىو
مل غبدا م
ل
ه مث
ضسب ٱلل
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki
yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun .... dst.”
Secara mafhum ayat tersebut menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap
mengurusi hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Oleh karena itu
terhalangnya budak dalam pusaka-mempusakai dapat ditinjau dari dua sudut
yaitu:
1) Menerima harta peninggalan dari ahli warisnya
2) Mewarisi harta peninggalan kepada ahli warisnya
b. Pembunuh
Fuqaha berpendapat membunuh merupakan pengalang pewarisan, orang
yang membunuh tidak menerima waris dari orang yang dibunuh.
c. Perbedaan Agama
Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang mewarisi
(menerima waris) dalam hukum waris. Dengan demikian, seorang kafir tidak
bisa mewarisi harta orang Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta
orang kafir, sebagaimana sabda Nabi yaitu:
19
بي ن الىي هللا غنهما:أ شد زض ب
طامت
أ صلى هللا غ غ
: لم طه ويل ا
ظلم ك
ال
سث ل
افسي
و ال
افس ل
ي
ظلم ال
) زواه البخازي( ال
“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak
dapat mewarisi harta orang Islam.”11
Hukum ini merupakan ketetapan kebanyakan ahli fikih karena
berdasarkan keumuman hadits diatas. Namun sebagaian ahli fikih berpendapat
bahwa orang Islam dapat menerima waris harta peninggalan orang kafir dan
tidak sebaliknya.
D. al-Hajb
al-Hajb menurut istilah dalam ilmu faraid berarti terhalangnya menerima
sebagian atau seluruh bagian yang diterima, sebab ada ahli waris lain yang mendapat
prioritas. Hal ini berbeda dengan pengertian mani’ diatas, karena mani’ terhalangnya
bersifat abadi dan ia dapat disebut pula mahrum (orang yang diharamkan
mempusakai) sementara hajb terhalangnya karena ada ahli waris yang lebih dekat.12
Dalam ilmu faraid, hajb terdapat dua macam yaitu:
1. Hajb Nuqsân
Hajb Nuqsân ialah terhalangnya ahli waris untuk mendapatkan sebagian
kadarnya sebab ada ahli waris yang lain. Akibat dari hajb nuqsân ini bagian orang
yang terhijab menjadi lebih kecil mendapatkan bagian dari pada bagian semula.
Seperti ibu mendapat 1/3 apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan dan
mendapat 1/6 apabila pewaris meninggalkan keturunan.
2. Hajb Hirmân
Hajb Hirmân ialah terhalangnya ahli waris dalam memperoleh seluruh
bagian lantaran terdapat ahli waris lain yang kedudukannya lebih kuat. Seperti
terhijabnya saudara laki-laki dengan anak laki-laki pewaris.
11
Muhammad Bin Ismâʽîl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Jilid 2 (Lebanon: Dâr al-Kitab al-
ʽilmîyah, 2009), h. 1228.
12 Hasbi Ash-Shiddiqy, Fiqih Mawaris: Untuk Warisan dalam Syariat Islam, h.
20
A. Munâsakhah
Munâsakhah secara bahasa adalah al-naqlu atau al-tahwîl yang bermakna
memindah, maksudnya ialah memindahkan bagian ahli waris kepada ahli waris yang
lain, lantaran adanya kematian ahli waris sebelum pembagian harta pusaka.13
Contoh: Seorang pewaris meninggalkan dunia dan memiliki harta peninggalan
sebesar Rp. 48.000.000, ahli waris terdiri dari: istri dan dua orang anak laki-laki yang
masing-masing memiliki seorang anak laki-laki. Namun sebelum harta peninggalan
tersebut dibagikan, seorang anak laki-laki dari pewaris tersebut meninggal dunia
sebelum harta peninggalan pewaris dibagiakan, maka penyelesaianya adalah sebagai
berikut :
Harta Peninggalan: Rp. 48000.000 : 8 = 6.000.000
Ahli Waris FM AM 8 Bagian Masing-Masing
Isteri 1/8 1 6.000.000
2 anak laki-laki A 7 42.000.000
Dari penyelesaan di atas maka bagian untuk dua orang anak laki-laki masing-
masing mendapat bagian Rp. 21.000.000, selanjutnya bagian dari anak laki-laki yang
meninggal saat sebelum pembagian harta, dipindahkan kepada ahli warisnya yaitu:
Ibu, anak, dan saudara laki-laki.
Harta Peninggalan: Rp. 21.000.000 : 6 = 3.500.000
Ahli Waris FM AM 6 Bagian Masing-Masing
Ibu 1/6 1 3.500.000
1 anak laki-laki A 5 17.000.000
Saudara laki-laki Terhijab oleh anak lk
13
Facthur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Alma’arif, 1981), Cet. 2, h. 460
21
BAB III
AHLI WARIS PERSPEKTIF AHL AL-SUNNAH,
IMAMIYAH, HAZAIRIN, DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM NASIONAL
A. Ahli Waris Perspektif Fikih Ahl al-Sunnah
Ahli waris dari segi penerimaannya perspektif fikih Ahl al-Sunnah, terbagi
menjadi tiga macam yaitu: penerima bagian pasti (ashâb al-furûd), penerima bagian
sisa (ʻasabah), dan zawi al-arhâm. Berikut adalah penjelasannya:
1. Penerima Bagian Pasti (ashâb al-furûd)
Golongan penerima bagian pasti (ashâb al-furûd) adalah ahli waris yang
mendapatkan bagian atau kadar tertentu, yang telah ditetapkan oleh al-Qur‟an
atau hadis, mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah sebagai berikut:
a. Suami :
a) Mendapatkan ½ apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan
b) Mendapatkan ¼ apabila pewaris meninggalkan keturunan
b. Istri :
a) Mendapatkan ¼ apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan
b) Mendapatkan 1/8 apabila pewaris meninggalkan keturunan
c. Bapak :
a) Mendapatkan 1/6 apabila pewaris meninggalkan keturunan laki-laki
b) Mendapatkan 1/6 + sisa apabila pewaris meninggalkan keturunan
perempuan
d. Ibu :
a) Mendapatkan 1/6 apabila pewaris meninggalkan keturunan
perempuan/laki-laki dan pewaris mempunyai lebih dari satu
saudara/saudari
b) Mendapatkan 1/3 apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan
dan hanya memiliki seorang saudara/saudari
e. Anak Perempuan:
a) Mendapatkan ½ apabila seorang
22
b) Mendapatkan 2/3 apabila lebih dari satu
f. Cucu Perempuan apabila tidak ada anak laki-laki :
a) Mendapatkan ½ apabila seorang
b) Mendapatkan 2/3 apabila lebih dari seorang
c) Mendapatkan 1/6 apabila bersama dengan seorang anak perempuan
g. Saudara perempuan kandung apabila tidak bersama dengan ayah dan
keturunan pewaris laki-laki :
a) Mendapat ½ apabila seorang
b) Mendapatkan 2/3 apabila lebih dari seorang
h. Saudara perempuan seayah apabila tidak bersama dengan ayah,
keturunan pewaris laki-laki dan dua orang saudara perempuan kandung :
a) Mendapat ½ apabila seorang
b) Mendapatkan 2/3 apabila lebih dari seorang
c) Mendapat 1/6 apabila bersama seorang saudara perempuan kandung
i. Saudara laki-laki dan perempuan seibu apabila tidak bersama dengan
ayah/ kakek (ayahnya ayah) dan keturunan laki-laki :
a) Mendapatkan 1/6 apabila seorang
b) Mendapat 1/3 apabila lebih dari seorang
j. Kakek (ayahnya ayah) apabila tidak bersama ayah :
a) Mendapatkan 1/6 apabila pewaris meninggalkan keturunan laki-laki
b) Mendapatkan 1/6+sisa, apabila pewaris meninggalkan keturunan
perempuan
k. Nenek apabila tidak bersama dengan ibu :
a) Mendapatkan 1/6 apabia seorang atau lebih
23
2. Penerima bagian sisa ʻasabah, penerima bagaian sisa terdapat tiga macam
yaitu:
a. al-ʻAsabah bi al-Nafs
al-ʻasabah bi al-nafs adalah setiap laki-laki yang sangat dekat
hubungannya dengan pewaris, yang tidak diselingi oleh seorang perempuan.
ia terbagi dalam empat kelompok yang kedudukannya dapat menghalangi
ketika mereka saling berkumpul.1 Mereka ialah:
1) Golongan bunuwwah yaitu keturunan laki-laki dari pewaris mereka
adalah: Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan
keturunannya.
2) Golongan ubuwwah yaitu ushûl dari pewaris: bapak, bapaknya bapak
(kakek) dan keatas.
3) Golongan ukhûwwah mereka adalah saudara sekandung atau seayah,
serta anak dari saudara sekandung atau seayah.
4) Golongan ʻumûwwah mereka adalah saudara laki-laki ayah (paman)
sekandung atau seayah serta anak saudara laki-laki ayah (paman)
sekandung.
Dalam menentukan golongan ʻasabah bi al-nafs yang berhak
memperoleh harta peninggalan, harus memperhatikan beberapa prinsip.2
Yaitu:
1) Berdasarkan urutan kelompok mereka, seperti golongan ukhûwwah
dikalahkan dengan golongan bunuwwah dalam memperoleh bagian
sisa.
2) Berdasarkan kedekatan mereka, seperti cucu laki-laki terhalang oleh
anak laki-laki dalam memperoleh bagian sisa.
1 Hasbi Ash-Shiddiqy, Fiqih Mawaris: Untuk Warisan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973). h., 168.
2 Syuhada Syarkun, Menguasai Ilmu Faraid, (Jakarta: Pustaka Syarkun, 2012). h. 25-27.
24
3) Berdasarkan yang lebih kuat, seperti saudara seayah terhalang dengan
saudara kandung dalam memperoleh bagian sisa.
Adapun dasar hukum pemberian bagi al-ʻasabah bi al-nafs adalah:
ى رجل ول
هى ل
ما بقي ف
هلها ف
حقىا الفرائض با
ال رسىل هللا )ال
ال: ق
اس ق عن ابن عب
ر( ك
) رواه البخاري(ذ
“Dari Ibnu Abbas ia berkata: Telah bersabda Rasulluah SAW:
Berikanlah bagian-bagian kepada ahli warisnya, maka yang lebih adalah
yang utama bagi laki-laki .”3
b. al- ʻAsabah bi al-Ghair
al-ʻasabah bi al-ghair adalah setiap perempuan yang mempunyai
bagian tertentu, yang ada bersama laki-laki yang sederajat dengannya maka
perempuan tersebut tidak mendapatkan kadarnya namun ia mendapatkan sisa
bersama dengan laki-laki. Dalam hal ini mereka adalah:
1) Anak perempuan seorang atau lebih bersama dengan anak laki-laki
yang sederajat dengannya. Apabila anak perempuan tersebut bersama
dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki maka anak perempuan
tersebut mendapatkan kadarnya ½ atau 2/3 (tidak menjadi ʽasabah)
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki seorang atau lebih bersama cucu
laki-laki dari anak laki-laki yang sederajat dengannya. Cucu laki-laki
dalam hal ini bisa saudara cucu perempuan atau cucu laki-laki dari
anak laki-laki yang lain.
3) Saudari sekandung seorang atau lebih, apabila bersama saudara
sekandung dapat menjadi ʻasabah. Apabila bersama dengan saudara
seayah, saudari kandung mendapatkan kadarnya ½ atau 2/3 (tidak
menjadi ʻasabah)
4) Saudari seayah seorang atau lebih, apabila bersama dengan saudara
seayah maka saudari seayah tersebut mendapatkan ʽasabah. Apabila
3 Muhammad Bin Ismâʽîl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Jilid 2 (Lebanon: Dâr al-Kitab al-
ʽilmîyah, 2009) h. 1223.
25
saudari seayah tersebut bersama saudara kandung maka saudari
seayah tidak mendapatkan kadarnya.
c. al-ʻAsabah maʻa al-Ghair
al-ʻAsabah Maʻa al-Ghair adalah setiap perempuan yang
memerlukan orang lain (muʽasib) untuk menjadi ʽasabah, tetapi orang lain
itu tidak bergabung dalam menerima ʽasabah dan ia tetap memperoleh
ashȃb al-furûd-nya. Dalam hal ini yang menjadi ʽasabah maʽa al-ghair
hanya berjumlah dua orang yaitu saudari sekandung atau saudari seayah jika
bersama dengan keturunan perempuan waris (anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki).4 Kedua orang tersebut dapat menjadi
ʽasabah maʽa al-ghair dengan dua syarat yaitu: Pertama, berdampingan
dengan seorang atau beberapa orang anak perempuan atau cucu perempuan
dari anak laki-laki. Kedua, tidak berdampingan dengan dengan saudara yang
menjadi muʽasib-nya.
3. Zawi al-Arhâm
Zawi al-arhâm terdiri dari dua kata, yaitu zawi yang memiliki arti
pemilik dan al-arhâm yaitu jamak dari rahîm yang bermakna tempat
terbentuknya anak dalam kandungan. Kata tersebut digunakan untuk
menunjukan makna kerabat. Tetapi, menurut istilah ilmu faraid adalah orang
yang mempunyai hubungan keturunan dengan mayat. Golongan ini tidak
termasuk ahli waris bagian pasti dan penerima bagian ʽasabah.
B. Ahli Waris Perspektif Fikih Imamiyah
1. Ahli Waris dari Segi Penerimaannya Perspektif Fikih Imamiyah
Menurut Al Yasa Abubakar dalam Fikih Imamiyah ahli waris dari segi
penerimaannya dibagi menjadi dua kategori yaitu:
4 Facthur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Alma‟arif, 1981), Cet. 2, h. 347-348.
26
a) Zawî al-Sihâm adalah ahli waris yang menerima bagian pasti dalam al-
Qur´an yaitu: ayah, ibu, anak perempuan, saudara perempuan (seibu,
sekandung, dan seayah), suami, dan isteri.
b) Zawî al-Qarâbah adalah orang yang memperoleh bagian sisa setelah
dikeluarkannya bagian zawî al-sihâm seperti: keturunan skiranya terdiri
dari laki-laki dan perempuan, ayah jika tidak ada keturunan, serta saudara
sekandung dan seayah jika terdiri dari laki-laki dan perempuan.5
2. Sebab-Sebab Pewarisan dan Tingkatan Ahli Waris
Sebab-sebab pewarisan dalam hukum kewarisan Imamiyah serupa dengan
hukum kewarisan Ahl al-Sunnah, yaitu adanya hubungan kekerabatan,
perkawinan, dan memerdekakan budak. Tetapi, dalam hal hubungan kekerabatan
(hubungan darah) dalam hukum kewarisan Imamiyah berbeda dengan Ahl al-
Sunnah, perbedaan tersebut terletak pada tingkatan ahli waris yang didasarkan
pada Surah al-´Ahzâb (33): 6 yaitu:
ه ب ٱلل
ض في كت ى ببعأ
ل وأ
ضهمأ أ حام بعأ رأ
أ ٱل
ىا
ول
وأ
Artinya: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah (ulul al-arham)
satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) didalam kitab allah.”
Ayat di atas (menurut Imamiyah) menunjukan bahwa orang-orang yang
memiliki hubungan kekerabatan lebih dekat itu lebih berhak dibanding kerabat-
kerabat yang lain yang lebih jauh.6 Sehingga meyebabkan tingkatan ahli waris
yang tinggi derajatnya mengalangi derajat yang lebih rendah seperti anak
perempuan menghalani saudara laki-laki pewaris, adapun tingkatan ahli waris
dalam fikih Imamiyah dibedakan kepada tiga tingkatan yaitu:
5 Al- Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazirin dan Penalaran Fiqih Mazhab, (Jakarta: INIS, 1998), h.181-182.
6 Muhammad Abu Zahrah, al-Mirâts ʽinda Jaʽfari. Penerjemah: Muhammad Alkaf, Hukum
Waris: Menurut Imam Ja‟far Shadiq. (Jakarta: Lentera, 2001). h. 561.
27
a) Kedua orang tua dan anak
Kedua orang tua adalah ayah dan ibu, sedangkan anak adalah anak
laki-laki dan perempuan beserta keturunan dari anak laki-laki dan anak
perempuan, ketentuan tersebut berbeda dengan fikih Ahl al-Sunnah yang
menganggap keturunan dari anak perempuan bukan termasuk ahli waris inti
dan ia tergolong kepada zawi al-arhâm.
Menurut fikih Imamiyah, ahli waris peringkat yang lebih tinggi dari
mereka menghalangi peringkat yang lebih rendah seperti, apabila pewaris
meninggalkan ahli waris yaitu: anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu
perempuan dari anak laki-laki, maka kedua cucu dari anak laki-laki terhalang
oleh anak perempuan, dan anak perempuan tersebut mendapatkan 1/2 + sisa.7
Sementara apabila pewaris meninggalkan cucu laki-laki dan cucu perempuan
dari dua jalur anak laki-laki dan anak perempuan maka bagian dari anak laki-
laki (2/3) dan perempuan (1/3) diberikan kepada cucu laki-laki dan
perempuan dari kedua jalur anak laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan
laki-laki mendapat 2 dan perempuan mendapat 1.8
b) Kakek-Nenek dan Saudara
Kakek-Nenek dan Saudara dalam hukum kewarisan Imamiyah merupakan
ahli waris tingkat kedua, mereka tidak dapat mewarisi selama masih ada ahli
waris tingkat pertama. Misalnya saudara perempuan sekandung tidak
mewarisi selama masih ada anak perempuan atau keturunan dari anak
perempuan, karena para ulama´ Imamiyah menolak hadis Ibnu Masuʽud
tentang pemberian bagi saudara perempuan sekandung, hadis Ibnu abbas
tentang ʻasabah dan tidak menganggap sistem zawi al-arhâm. 9
7 Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris: Menurut Imam Ja‟far Shadiq. h. 129-130. 8 Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris: Menurut Imam Ja‟far Shadiq. h. 162 9 Al- Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah. h. 127.
28
1) Kakek dan Nenek
Pada tingkat ini kakek dan nenek dalam sistem kewarisan
Imamiyah berbeda dengan sistem kewarisan Ahl al-Sunnah, dalam
sistem kewarisan Ahl al-Sunnah kakek adalah bapaknya ayah,
sedangkan bapaknya ibu tidak termasuk kakek, sementara dalam fikih
Imamiyah kakek dari pihak ibu juga termasuk ahli waris (kakek).
Selanjutnya dalam fikih Ahl al-Sunnah “nenek” diakui
keberadaannya melalui jalur ayah dan ibu, ia memperoleh 1/6 bagian
selama ayah dan ibu tidak ada (untuk nenek dari ayah) dan selama ibu
tidak ada (untuk nenek dari jalur ibu). Sementara dalam sistem
kewarisan Imamiyah nenek adalah mereka yang dipertalikan melalui
ayah dan ibu.Untuk tata cara pembagian waris kakek dan nenek adalah
sebagai berikut:
(a) Kakek dan nenek dari jalur ayah: kakek mendapat 2/3 sementara
nenek mendapat 1/3 (2:1).
(b) Kakek dan nenek dari jalur ibu: Kakek dan nenek mendapat
1/3+raad dengan pembagian kakek mendapat 1 bagian dan
nenek mendapat 1 bagian.
(c) Kakek dan nenek dari kedua jalur bertemu: Kakek dan nenek
dari jalur ayah mendapat „asabah dan kakek dan nenek dari jalur
ibu mendapat 1/3, dengan ketentuan kakek dan nenek dari jalur
ayah mendapat 2:1 dan kakek dan nenek dari jalur ibu mendapat
1:1.10
(d) Kakek dari jalur ayah dan kakek dari jalur Ibu: kakek dari jalur
ayah mendapatkan 2/3 dan kakek dari jalur ibu mendapat 1/3.
10 Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris: Menurut Imam Ja‟far Shadiq. h. 186-187.
29
Ketentuan ini berlaku pula pada kewarisan nenek dari ayah dan
ibu.11
2) Saudara
Saudara dalam fikih Imamiyah adalah saudara sekandung,
seayah, dan seibu baik laki-laki atau perempuan, mereka menerima harta
waris selama tidak ada ahli waris pada tingkat pertama (orang tua dan
keturunan pewaris). Dalam sistem kewarisan Imamiyah, saudara yang
dapat menhijab nuqsan ibu adalah:
(a) Saudara sekandung dan seayah, sedangkan saudara seibu tidak
dapat meng-hijab nuqsan ibu.
(b) Ibu ter-hijab nuqsan apabila saudara laki-laki paling sedikit dua
orang dan saudara perempuan paling sedikit empat.
(c) Menyaratkan adanya ayah apabila saudara menghijab nuqsan
ibu.12
c) Keturunan Kakek dan Nenek (Paman/Bibi Serta Keturunannya)
Dalam Kewarisan Imamiyah, Paman adalah saudara laki-laki ayah/ibu
(ʻamm/khal), atau saudara laki-laki kakek/nenek (ʻam akhi jad atau khal akhi
jadah) dan Bibi adalah saudara perempuan ayah/ibu (ʻamah/khalah), mereka
mewarisi harta pewaris apabila tidak ada ahli waris tingkat yang lebih tinggi.
C. Ahli Waris Perspektif Hazairin
1. Biografi Hazairin
Prof. Dr. Hazairin, S.H., lahir di Bukit Tinggi, 28 Oktober 1906 dan
meninggal di Jakarta, 11 Desember 1975. Beliau merupakan putra tunggal dari
seorang ayah kelahiran Bengkulu dan ibu kelahiran Bukit Tinggi. Pendidikan
formalnya dimulai di HIS di Bengkulu tamat 1920, dilanjutkan dengan MULO
11
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „alȃ al-Mazȃhib al-Khamsah. Penerjemah:
Masykur A.B et.all, Fiqih Lima Mazhab: Ja´fari, Hanafi, Maliki, Syafi´i, Hambali, (Jakarta: Lentera,
1999), h. 628.
12 Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris: Menurut Imam Ja‟far Shadiq.h.145-146.
30
di Padang tamat 1926, kemudaian AMS di Bandung tamat tahun 1927 dan
akhirnya memasuki RHS Jakarta tamat tahun 1935 dan memperoleh gelar doktor
pada tahun 1936 pada lembaga yang sama. Menurut pihak keluarga, pendidikan
agama dan Bahasa Arab diperoleh dari kakeknya, yang menjadi pemuka agama
(manti) di daerah dan setelah itu dilanjutkan dengan belajar sendiri. Pihak
keluarga mengatakan bahwa Hazairin menguasai enam bahasa asing, Belanda,
Inggris, dan Perancis secara aktif serta Arab, Jerman dan Latin secara Pasif.13
Karier keilmuannya dimulai sebagai asisten dosen di RHS, segera setelah
dia menyelesaikan pendidikannya (1935-1938). Kegiatan ini terhenti karena dia
ditugaskan menjadi pegawai pengadilan di Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan
tahun 1938-1942. Setelah kemerdekaan, beliau memegang beberapa jabatan
politik, bahkan pernah menjadi Menteri Dalam Negeri (1953-1954, berhenti
karena meletakkan jabatannya, Kabinet Ali Sastromidjojo). Sedang dalam
bidang pendidikan dan keilmuan, beliau diangkat sebagai dosen dan akhirnya
Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan berbagai perguruan tinggi lainnya.14
2. Ahli Waris Perspektif Hazairin
a) Ahli Waris Dari Segi Penerimaannya Perspektif Hazairin
Hazairin membagi ahli waris menjadi tiga macam pengolongan yaitu:
1) Zawû al-Farâid
Zawû al-Farâid ialah ahli waris yang mendapatkan bagian pasti dan
angkanya tetap yang terdapat dalam al-Quran setelah ditunaikan wasiat dan
hutang-hutangnya.15
Mereka adalah anak perempuan, bapak, ibu, saudara,
suami, dan istri.
13
Al-Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, h. 3. 14
Al-Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, h. 4.
15 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadith. (Jakarta:
Tintamas,1982), h. 35.
31
2) Zawû al-Qarâbat
Mereka adalah penerima bagian terbuka seperti: anak laki-laki,
anak perempuan jika bersama anak laki-laki, ayah jika pewaris tidak
berketurunan, saudara laki-laki jika pewaris tidak berketurunan dan tidak
ada ayah, dan saudara perempuan jika bersama saudara laki-laki apabila
pewaris tidak berketurunan dan tidak ada ayah.16
Apabila memperhatikan ketentuan tersebut (zawû al-qarȃbah) maka
dapat ditarik kesimpuan contoh diatas seperti halnya ahli waris yang
mendapat „asabah bi al-ghair dan „asabah bi al-nafs dalam kewarisan Ahl
al-Sunnah, tetapi dalam hal ini Hazairin menggunakan zawû al-qarȃbah.
3) Mawali
Mawali ialah ahli waris pengganti yang menggantikan seseorang
untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya diperoleh orang yang
digantikan itu, karena orang yang digantikan itu adalah orang yang
seharusnya menerima warisan kalau dia masih hidup. Orang yang
digantikan ini hendaknya merupakan penghubung antara dia yang
menggantikan dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan.17
Menurut Hazairin ahli waris yang tidak dapat menjadi mawali adalah suami
dan isteri, hubungan antara keluarga orangtua angkat dan anak angkat, serta
hubungan kawan seperjanjian.18
b) Pengutamaan Ahli Waris Perspektif Hazairin
Menurut Hazairin, hukum kewarisan di dalam al-quran memiliki garis
pokok keutamaan berdasarkan Surah al-Nisȃ‟ (4): 11, 12, dan 176. Garis pokok
keutamaan tersebut bekerja dengan ketentuan selama masih ada garis pokok
keutamaan pertama maka garis pokok keutamaan kedua tidak dapat mewarisi
16 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadith, h. 35.
17 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), Cet.4,
h. 80. 18 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadith, h.31.
32
harta peninggalan pewaris, berikut adalah garis pokok keutamaan menurut
Hazairin:
1) Keutamaan pertama yaitu: keturunan pewaris dan mawali-nya, orang tua
(ayah-ibu), dan suami atau istri.
2) Keutamaan kedua yaitu: saudara (laki-laki dan perempuan) dan mawali-
nya, ibu, ayah (kalâlah: Surah al-Nisȃ‟ (4) :12), suami atau istri.
3) Keutamaan ketiga yaitu: ibu, ayah, suami atau istri.
4) Keutamaan keempat yaitu: suami atau istri, mawali bagi ayah, dan
mawali bagi ibu.
D. Ahli Waris Perspektif Hukum Kewarisan Islam Nasional
1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam Nasional
Hukum Kewarisan Islam Nasional adalah produk hukum yang dijadikan
pedoman oleh Hakim Peradilan Agama dalam memutuskan sengketa waris
dikalangan umat Islam di Indonesia, meskipun pedoman hukum tersebut belum
mendapat tempat dalam tata peraturan perundang-undangan, tetapi eksistensinya
diakui untuk mengisi kekosongan hukum dan memberi kepastian bagi para
pencari keadilan, serta dilegistimasi oleh UU Kekuasaan Kehakiman No. 48
tahun 2009 Pasal 5 ayat (1) menyatakan:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Serta, Pasal10 ayat (1) menyatakan:
“ Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”.
Adapun produk hukum kewarisan Islam yang biasanya digunakan oleh
Hakim Peradilan Agama dalam menangani perkara waris diantara orang-orang
Islam adalah Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, SEMA
No 2 tahun 1994 tentang Pengertian Pasal 177 KHI, Keputusan Ketua
Mahkamah Agung R.I. No: KMA/32/SK/IV/2006 Tentang Pemberlakuan Buku
33
II Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi dan Pengadilan, Serta
Yurisprudensi Pengadilan Agama.
2. Ahli Waris Dari Segi Penerimaannya Perspektif Hukum Kewarisan
Islam Nasional
Ahli waris berdasarkan penerimaannya dalam Hukum Kewarisan Islam
Nasional dibagi menjadi tiga kategori yang terdapat dalam Buku II Pedoman
Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama berdasarkan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung R.I. No: KMA/32/SK/IV/2006, adapun pembagiannya
adalah sebagai berikut:
a) Kelompok ahli waris zawi al-furûd (yang ditentukan bagiannya):
1) Ayah mendapat 1/6 bagian bila pewaris meninggalkan
anak/keturunan, mendapat ´asabah bila pewaris tidak meninggalkan
anak / keturunan;
2) Ibu mendapat 1/6 bagian bila pewaris mempunyai anak/keturunan,
atau pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih (sekandung,
seayah, seibu), mendapat 1/3 bagian jika pewaris tidak
meninggalkan anak / keturunan atau pewaris meninggalkan satu
orang saudara (sekandung, seayah, seibu);
3) Duda mendapat 1/2 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak /
keturunan dan mendapat 1/4 bagian;
4) Janda mendapat 1/4 bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak/keturunan dan mendapat 1/8 bagian bila pewaris
meninggalkan anak/keturunan;
5) Anak perempuan mendapat 1/2 bagian apabila sendirian, dua orang
anak perempuan atau lebih mendapat 2/3 bagian bila tidak ada anak
laki-laki atau keturunan dari anak laki-laki;
6) Seorang saudara laki-laki atau perempuan (baik sekandung, seayah
atau seibu) mendapat 1/6 bagian, apabila terdapat dua orang saudara
34
atau lebih (sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 bagian jika
saudara (sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bersama ibu
pewaris (yurisprudensi);
7) Seorang saudara perempuan (sekandung, seayah atau seibu)
mendapat 1/2 bagian, dua orang saudara perempuan sekandung atau
seayah atau lebih mendapat 2/3 bagian, jika saudara perempuan
tersebut mewaris tidak bersama ayah dan tidak ada saudara laki-laki
atau keturunan laki-laki dari saudara laki-laki.19
b) Kelompok ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya:
1) Anak laki-laki dan keturunannya;
2) Anak perempuan dan keturunannya bila mewarisi bersama anak
laki-laki.;
3) Saudara laki-laki bersama saudara perempuan bila pewaris tidak
meninggalkan keturunan dan ayah;
4) Kakek dan nenek;
5) Paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu dan
keturunannya.20
c) Kelompok ahli waris yang mendapat bagian sebagai ahli waris
pengganti:
1) Keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikan;
2) Keturunan dari saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah
atau seibu) mewarisi bagian yang digantikannya;
3) Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah,
masing-masing berbagi sama;
4) Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu.
19 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama: Buku II
(Jakarta:Dirjen Badilag, 2013), h. 161-162 20 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, h. 162
35
E. Persamaan, Perbedaan, dan Sebab Terjadinya Persamaan dan Perbedaan
Terhadap Macam-Macam Ahli Waris
Aspek persamaan, perbedaan, serta sebab terjadinya persamaan dan
perbedaan terhadap macam-macam ahli waris dari segi penerimaanya perspektif Ahl
al-Sunnah, Imamiyah, Hazairin dan Hukum Kewarisan Islam Nasional adalah
sebagai berikut:
1. Persamaan
Persamaan macam-macam ahli waris dari segi penerimannya perspektif
Ahl al-Sunnah, Imamiyah, Hazairin dan Hukum Kewarisan Islam Nasional ialah:
Menyepakati adanya penerimaan bagian pasti (ashab al-furûd) sebab
berdasarkan pada Surah al-Nisâ´ (4) ayat 11, 12, dan 176. Serta menyepakati
adanya penerima bagian terbuka (sewaktu-waktu dapat memperoleh fard atau
„asabah) seperti:
a) Ayah jika pewaris meninggalkan anak maka mendapat 1/6, serta
mendapat „asabah apabila pewaris tidak meninggalkan anak.
b) Ahli waris perempuan yang memiliki bagian tertentu bersama dengan
laki-laki yang sedarajat seperti:
1) Anak perempuan apabila seorang maka ia mendapat 1/2 dan apabila
anak perempuan bersama dengan anak laki-laki maka anak
perempuan dan anak laki-laki mendapat 2:1
2) Saudara perempuan sekandung atau seayah apabila seorang maka ia
mendapat 1/2 dan apabila saudara perempuan sekandung atau seayah
bersama dengan saudara laki-laki sekandung atau seayah maka
saudara perempuan dan saudara laki-laki mendapat 2:1.
36
2. Perbedan
Perbedaan macam-macam ahli waris dari segi penerimannya perspektif
Ahl al-Sunnah, Imamiyah, Hazairin dan Hukum Kewarisan Islam Nasional ialah:
a) Kedudukan keturunan (walad)
1) Keturunan perspektif fikih Ahl al-Sunnah adalah anak laki-laki, anak
perempuan, serta keturunan laki-laki dan perempuan dari anak laki-
laki. Keturunan dari anak laki-laki lebih diutamakan mewarisi harta
peninggalan jika tidak terdapat anak laki-laki pewaris. Sementara
keturunan dari anak perempuan baru dapat mewarisi harta
peninggalan pewaris ketika tidak terdapat ahli waris penerima ashab
al-furûd dan „asabah;
2) Keturunan perspektif fikih Imamiyah, Hazairin dan Hukum
Kewarisan Islam Nasional ialah anak laki-laki dan perempuan serta
keturunan dari keduanya, mereka dapat mewarisi dengan syarat:
(a) Keturunan dari kedua jalur anak laki-laki dan anak perempuan
berhak mewarisi harta peninggalan dengan syarat ketika tidak
terdapat anak laki-laki dan perempuan pewaris menurut
Imamiyah.
(b) Sementara Hazairin dan Hukum Kewarisan Islam Nasional
menganggap keturunan dari anak laki-laki dan perempuan berhak
mewarisi melalui sistem pegantian (mawali).
b) Tidak terdapatnya konsep ahli waris pengganti (mawali) dalam fikih Ahl
al-Sunnah;
c) Tidak terdapatnya ahli waris yang berkedudukan sebagai „asabah ma‟a al-
ghair, dan zawi al-arhâm dalam fikih Imamiyah, Hazairin dan Hukum
Kewarisan Islam Nasional.
37
BAB IV
KEWARISAN SAUDARA (PEMAKNAAN KALȂLAH DAN PEROLEHAN
FARD SAUDARA) PERSPEKTIF AHL AL-SUNNAH, IMAMIYAH,
HAZAIRIN, DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM NASIONAL
A. Kewarisan Saudara (Pemaknaan Kalâlah dan Perolehan Fard Saudara)
Perspektif Fikih Ahl al-Sunnah
1. Kalâlah Perspektif Fikih Ahl al-Sunnah
Ketentuan kewarisan saudara dalam al-Qur‟an tedapat pada dua ayat yaitu
Surah al-Nisȃ‟ (4): 12 dan 176, ayat tersebut memuat perolehan saudara apabila
pewaris meninggal dalam keadaan kalâlah, adapun makna kalâlah secara bahasa
merupakan bentuk masdar yang berasal dari akar kata كل yang memiliki arti penat,
lemah, letih, lesu.1
Menurut Al- Qurthubi pengertian kalâlah (ة للك) dari segi kebahasaan
merupakan bentuk masdar yang menunjukan hubungan nasab, disebut pula ل يلإكالإ
yaitu tempat beredarnya bulan, ia dapat pula menunjukan penutup kepala atau
serban yang menutup kepala.2 Adapun menurut Fachtur Rahman كلإيل adalah الإ
mahkota, maksudnya adalah ahli waris selain orang tua dan anak saling
mengelilingi dari samping bukan dari atas dan bawah seperti mahkota dikepala.3
Sedangkan kalâlah dari segi istilah adalah seseorang yang meninggal tanpa
meninggalkan anak tetapi pemahaman mayoritas ulama menambahkan pula ayah.4
1 Ahmad Wasron, Al- Munawir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), h.1226 2 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Al-Jâmiʽ Al-Ahkâm Al-Qur‟ân. Penerjemah Ahmad Rijali
Kadir, Tafsir Al-Qurthubi, Jil 5 (Jakarta Pustaka Azam, 2008), h. 187.
3 Facthur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Alma´arif, 1981), Cet. 2, h. 300.
4 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.
2. (Jakarta:Lentera Hati, 2002), h. 685.
38
a) Kedudukan Anak dan Ayah dalam Meng-hijab Saudara laki-laki dan
Perempuan Seibu
Fuqaha telah sepakat bahwa saudara-saudara seibu tidak bisa mewarisi
bila berkumpul dengan anak dan ayah. Anak dalam hal ini adalah anak laki-
laki, anak perempuan dan keturunan laki-laki dan perempuan dari anak laki-
laki, serta ayah dalam hal ini adalah ayah dan kakek dari ayah.5 Sebab
berdasarkan kepada surah al-Nisâ´ ayat 12 yaitu:
أوإ لةكل ي ىرث ل ۥ وله ٱمرأةوإإنكانرج ىه ما م د حإ و أ ختفلإك ل أو د س أخ فإإنٱلس
اأ فإيكثركاو ى ركا ء لإكفه مش هذ ٱلثل ثإ مإ
Artinya: “Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang secara
(kalâlah) tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”
b) Kedudukan Anak dan Ayah dalam Meng-hijab Saudara laki-laki dan
Perempuan Sekandung
Para ahli fikih telah sepakat bahwa anak laki-laki, kurunan laki-laki dari
anak laki-laki, dan ayah menghijab saudara laki-laki dan perempuan sekandung.
Selanjutnya fuqaha Ahl al-Sunnah telah sependapat bahwa saudara laki-laki
mewarisi bersama anak perempuan dan/atau keturunan perempuan dari anak
laki-laki.6
Tetapi terdapat selisih pandangan (diantara ahli fikih) tentang saudara-
saudara perempuan menjadi „asabah setelah dikeluarkannya fard anak
perempuan dan/atau keturunan perempuan dari anak laki-laki.
5 Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid, Penerjemah: M.A
Abdurahman & A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayat‟ul Mujtahid: Juz 3, (Semarang: Cv. Asy-
Syifa, 1990), h 474 6 M.A Abdurahman & A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayat‟ul Mujtahid: Juz 3. h. 476-
477.
39
Perselisihan pendapat tersebut terjadi diantara mayoritas ahli fikih
dengan Dawud bin Ali Azh-Zhahiri dan sebagaian ahli fikih lainnya. Mayoritas
ahli fikih beranggapan bahwa saudara perempuan tidak terhalang oleh anak
perempuan sementara Dawud bin Ali Azh-Zhahiri dan sebagaian ahli fikih
lainnya beranggapan bahwa anak perempuan menghalangi saudara perempuan.7
Adapun yang menjadi landasan mayoritas ahli fikih bahwa saudara
perempuan berhak mewarisi secara „asabah dengan anak perempuan atau
keturunan perempuan dari anak laki-laki ialah hadis Huzail bin Surahbil, yaitu :
ر
ى عن ابنة وعن هزيل بن ش بى مىس ال: شئل أ
قالحبيل، ق
ت، ف
خ
: ابنة ابن وأ
صئل إبن مصعىد، صيتابعني، ف
، وأت إبن مصعىد ف
صف ت الن
خ
ولأل
صف لالبنة الن
لت إقد ضل
قال: ل
بي مىس ف
بر بقىل أ
وأخ
قهتدين، أ
نا من امل
ي فيها بما ذا وما أ ض
بي ى الن ض ت ق
خ
لأل
لثين وما بقي ف
الث
ة
مل
ك
دس ث وألابنة ألابن الص
صف : لبنة الن
) رواه البخاري(
Artinya: “Dari Huzail bin Surahbil berkata: Abu Musa ditanya tentang kasus
kewarisan seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki dan
seorang saudara perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak perempuan ½,
untuk saudara perempuan ½. Datanglah kepada Ibnu Mas‟ud, tentu dia akan mengatakan seperti ini pula.” Kemudian ditanya kepada Ibnu Mas‟ud dan dia
menjawab:”Saya menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh
Nabi, yaitu untuk anak perempuan 1/2 , untuk cucu perempuan 1/6, sebagai
pelengkap 2/3, sisanya untuk saudara perempuan.” 8
Sementara ahli fikih lainnya berpegang pada lahiriah ayat 176 Surah al-Nisâ´
(4), yaitu:
ا ؤ تركماوإصف فلهاأ ختوله ۥ ولدله ۥليسهلكٱمر Artinya: “Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan , maka baginya seperdua dari harta yang
ditinggalkan.”
7 M.A Abdurahman & A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayat‟ul Mujtahid: Juz 3. h. 476 8 Muhammad Bin Ismâʽîl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Jilid 2 (Lebanon: Dâr al-Kitab al-
ʽilmîyah, 2009), h. 1224.
40
Menurut mereka (selain jumhur) menafsirkan saudara perempuan
terhalang oleh anak (laki-laki dan perempuan) berdasarkan lafadz walad diatas,
sementara masoritas ahli fikih menafsirkan lafaz walad di atas adalah anak
laki-laki bukan anak perempuan.9
2. Perolehan Fard Saudara Perspektif Ahl al-Sunnah
Para fuqaha Ahl al-Sunnah telah sepakat bahwa sudara laki-laki atau
perempuan berhak atas harta peninggalan dari pewaris berdasarkan Surah al-Nisȃ‟
(4): 12 dan 176, untuk ayat 176 Surah al-Nisȃ‟ diperuntukan bagi saudara
sekandung-seayah dan ayat 12 Surah al-Nisȃ‟ menunjukan perolehan saudara
seibu, dalil yang digunakan ulama dan mufassir dalam menetapan saudara pada
ayat 12 adalah saudara seibu saja adalah:
1. Didasarkan pada qiraat syâzzah (cara pembacaan al-quran yang ganjil) yang
bersumber dari sebagian salaf, diantaranya Sa‟d bin Abi Waqqash, terdapat
kata م : sesudah ayat ل
تخ
و أ
خ أ
هۥ أ
ول
ةو ٱمرأ
أ
ة
لل ك
ان رجل يىرث
م( وإن ك
)ل
“Bila seseorang diwarisi dalam keadaan kalâlah, baginya ada saudara
laki-laki dan saudara perempuan (seibu)“
2. Adanya kesamaan furud antara saudra dalam ayat ini yaitu 1/6 dan 1/3
dengan furud yang diterima oleh ibu dan tidak ada kesamaan dengan ahli
waris lain.10
B. Kewarisan Saudara (Pemaknaan Kalâlah dan Perolehan Fard Saudara)
Perspektif Fikih Imamiyah
1. Kalâlah Perspektif Imamiyah
9 M.A Abdurahman & A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayat‟ul Mujtahid: Juz 3. h. 477 10 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 60.
41
Kalâlah perspektif fikih Imamiyah adalah seorang yang meninggal tidak
meninggalkan orang tua (ayah dan ibu) serta keturunan pewaris (laki-laki atau
perempuan), maka saudara dapat mewarisi harta peninggalan pewaris. Menurut
Abu Zahrah, pemahaman Imamiyah terkait terhalangnya saudara oleh ayah-ibu
dan keturunan didasarkan pada terhalangnya saudara oleh keturunan (furûʽ)
pewaris (laki-laki dan perempuan) dalam Surah al-Nisâ´ (4) ayat 176, maka
berlaku pula terhalangnya saudara –secara mafhum– oleh usul pewaris yaitu
orang tua (ayah- ibu).11
2. Kewarisan Saudara Perspektif Imamiyah
Menurut Imamiyah saudara terbagi kepada tiga golongan yaitu saudara
(laki-laki dan perempuan) seibu, sekandung, dan seayah. Adapun penjelasannya
sebagai berikut:
a) Saudara Laki-Laki dan Perempuan Seibu
Menurut hukum kewarisan Imamiyah saudara laki-laki atau perempuan
seibu jika seorang maka mendapat 1/6 dan 1/3 jika saudara laki-laki dan
perempuan mewarisi secara bersama-sama.12
Namun dalam hal keterhijabannya
(saudara seibu) Imamiyah berbeda dengan ulama´ Ahl al-Sunnah, menurut
ulama Ahl al-Sunnah –semua sepakat– bahwa saudara seibu terhijab oleh, ayah,
kakek dari ayah, serta anak laki-laki dan anak perempuan dan keturunan dari
anak laki-laki.13
Menurut hukum kewarisan Imamiyah saudara seibu terhijab oleh ayah,
ibu, keturunan pewaris (laki-laki/perempuan berserta keturunan dari keduanya)
dan tidak terhijab oleh kakek dan nenek dari jalur ibu dan ayah sebab para
11
Muhammad Abu Zahrah, al-Mirâts ʽinda Jaʽfari. Penerjemah: Muhammad Alkaf,
Hukum Waris: Menurut Imam Ja‟far Shadiq. (Jakarta: Lentera, 2001). h. 167 12 Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris: Menurut Imam Ja‟far Shadiq, h. 179 dan 171.
13 M.A Abdurahman & A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayat‟ul Mujtahid: Juz 3 h. 474.
42
saudara (seibu, sekandung, dan seayah) sama-sama menduduki derajat kedua
bersama kakek dan nenek.14
b) Saudara (Laki-laki-Perempuan) Sekandung atau Seayah
Menurut hukum kewarisan Imamiyah, saudara laki-laki atau
perempuan berhak mewarisi harta peninggalan pewaris selama tidak ada ahli
waris pada tingkat pertama yaitu: ayah-ibu dan keturunan, hal ini berbeda
dengan hukum kewarisan Ahl al-Sunnah yang memberikan hak pada saudara
laki-laki atau perempuan mewarisi bersama ibu pewaris.
Selanjutnya dalam hukum kewarisan Imamiyah, saudara perempuan
sekandung atau seayah mendapatkan 1/2 apabila seorang dan mendapat 2/3
apabila lebih dari seorang, apabila pewaris meninggalkan saudara laki-laki dan
perempuan sekandung maka ia mendapat bagian 2:1.
Selanjutnya dalam hukum kewarisan Imamiyah apabila pewaris
meninggalkan saudara perempuan sekandung bersama 10 orang saudara laki-
laki seayah maka yang berhak mewarisi adalah saudara perempuan sekandung
ia memperoleh 1/2+raad sebab Imamiyah menolak hadis ʻasabah.15
Selanjutnya apabila saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki
seayah mewarisi secara bersama (menurut penulis) terdapat dua prinsip yaitu:
a) Saudara laki-laki sekandung dan saudara seayah mewarisi secara
bersama-sama, karena sistem hukum kewarisan Imamiyah menolak
hadis pemberian sisa kepada laki-laki yang terdekat.16
b) Saudara laki-laki seayah terhijab oleh saudara laki-laki sekandung sebab
ilhaq penulis dari terhalangnya anak-anak dari saudara seayah oleh
anak-anak dari saudara sekandung.17
14 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 555. 15 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 597.
16 Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris: Menurut Imam Ja‟far Shadiq, h.123.
17 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhabh. 600.
43
c) Saudara (Seibu, Sekandung, dan Seayah) Ketika Berkumpul Bersama
Menurut hukum kewarisan Imamiyah, Saudara laki-laki seibu tidak
bisa terkena hijab oleh saudara laki-laki sekandung, mereka tetap mewarisi
bersama saudara laki-laki sekandung, sedangkan saudara laki-laki dan
perempuan seayah tidak dapat mewarisi bersama saudara-saudara sekandung
baik saudara sekandung mewarisi secara fard maupun qarabah
(terbuka/‟asabah). Dalam hal ini saudara laki-laki ibu mendapat 1/6 dan sisanya
diberikan kepada saudara perempuan sekandung karena selama masih ada
saudara perempuan sekandung, saudara seayah tidak memperoleh apapun.18
C. Kewarisan Saudara (Pemaknaan Kalâlah dan Perolehan fard saudara)
Perspektif Hazairin
Pengertian kalâlah pada Surah al-Nisȃ‟ ayat 12 dan 176 menurut Hazairin
ialah seorang yang meninggal tidak memiliki keturunan baik laki-laki maupun
perempuan, dalam penentuan saudara Hazairin tidak membedakan perolehan
saudara seibu, sekandung, dan seayah karena tidak ada suatu perincian dalam ayat
tersebut mengenai arti akhun, ukhtun, ikhwah.19
Hal ini didasarkan pada
pernyataan Hazairin bahwa penentuan kadar 1/6 dan 1/3 itu berlaku dalam
keadaan khusus.
Menurut Hazairin keadaan khusus pada ayat 12 diberikan apabila pewaris
tidak meninggalkan keturunan (laki-laki dan perempuan) tetapi masih terdapat
ayah (karena tidak mungkin saudara terhijab oleh ayah karena ayah dan saudara
merupakan zawû al-farâid atau ashâb al-furûd) dan ibu masih hidup atau telah
meninggal. Selanjutnya pada ayat 176 keadaan khusus tersebut ialah apabila
pewaris tidak memiliki keturunan dan ayah sudah meninggal (ibu masih hidup
18 Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris: Menurut Imam Ja‟far Shadiq, h.170.
19 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadith, h. 50-51.
44
atau telah meninggal), maka semua bentuk saudara perempuan seibu, sekandung,
dan seayah mendapatkan ½ apabila seorang dan 2/3 apabila lebih.20
Dalam menyamakan kedudukan saudara pada Surah al-Nisȃ‟ ayat 12 dan
176 setidaknya terdapat dua hal yang membuat Hazairin berpendapat demikian,
yaitu:
a) Hazairin tidak menggunakan atau meragukan kualitas riwayat yang
menyatakan bahwa ayat 12 Surah al-Nisâ‟ merupakan penentuan kadar
saudara seibu karena dalam kitab fikih biasanya menyinggung qiraah
tersebut.
b) Hazairin telah terpaku dalam sistem keluarga bilateral yang tidak berkelas
untuk menafsirkan sistem hukum kewarisan Islam yang semestinya tidak
memberikan perbedaan antara saudara kandung, ibu, maupun seayah.
Atas dasar uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran
Hazairin terkait kalȃlah adalah seorang pewaris tidak berketurunan. Tetapi dalam
hal kewarisan saudara pada Surah al-Nisȃ´ ayat 12 diperlukan adanya ayah
sehingga semua saudara (seibu, sekandung, dan seayah) mendapatkan 1/6 jika
seorang, dan mendapat 1/3 jika lebih dari seorang.
Selanjutnya untuk kewarisan saudara pada Surah al-Nisȃ ayat 176
mensyaratkan ketiadaannya keturunan dan ayah, sehingga saudara perempuan
(seibu, sekandung, dan seayah) mendapatkan 1/2 jika seorang dan 2/3 jika lebih
dari seorang. Apabila saudara perempuan tersebut mewarisi bersama saudara laki-
laki, maka saudara laki-laki mendapat 2 bagian dan saudara perempuan mendapat
1 bagian.
20 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadith, h. 55-56.
45
D. Kewarisan Saudara Perspektif Hukum Kewarisan Islam Nasional
Kewarisan saudara dalam hukum kewarisan Islam nasional termuat dalam
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 181-182,
Yurisprudensi Peradilan Agama, serta Buku II Pedoman Pelaksana Tugas dan
Admistrasi Peradilan Agama yang didasarkan pada Keputusan Ketua Mahkamah
Agung N0: KMA/032/SK/IV/2006 Tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman
Pelaksana Tugas dan Administrasi Pengadilan, adapun penjelasan dari produk
hukum adalah sebagai berikut:
1. Kewarisan Saudara Dalam KHI:
Kewarisan saudara (konsep kalȃlah dan perolehan saudara) dalam KHI
terdapat dalam dua pasal yaitu Pasal 181 yang menyatakan:
“ Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapatkan sepertiga bagian.”
Serta Pasal 182 :
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat
separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan
saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut
bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian
saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.21
Apabila memperhatikan ketentuan norma hukum di atas, maka penulis
menarik kesimpulan bahwa konsep kalâlah dalam KHI cendrung mengikuti
padangan fikih Ahl as-Sunnah yang menganggap bahwa kalâlah adalah seorang
yang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, hal ini ditandai oleh syarat
saudara mewarisi harta peninggalan pewaris dengan ketentuan tidak terdapat
ayah dan anak. tetapi dalam penjelasan pasal demi pasal tidak memperluas dan
21 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 158.
46
mempertegas siapa ayah itu, apakah di dalamnya termasuk kakek dari ayah.
serta siapa anak itu, apakah anak laki-laki atau perempuan atau kedua-duanya.
Untuk kewarisan saudara KHI juga membedakan jenis saudara dan
bagiannya yaitu saudara seibu, sekandung, dan seayah. Saudara laki-laki dan
sudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 jika seorang dan 1/3 apabila mereka
dua orang atau lebih.
Selanjutnya untuk kewarisan saudara perempuan sekandung atau seayah
(dalam KHI) ia mendapatkan ½ bagian jika terdapat satu saudara perempuan
sekandung atau seayah, dan apabila saudara perempuan sekandung atau seayah
itu lebih dari satu maka ia mendapatkan 2/3 bagian. Terakhir, apabila saudara
laki-laki dan perempuan (sekandung atau seayah) berkumpul bersama, maka
bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan
(sekandung atau seayah) serta tidak terdapat ketentuan norma yang mengatur
apabila saudara seibu, sekandung dan seayah jika mewarisi secara bersamaan.
2. Kewarisan Anak Perempuan dan Saudara Kandung dalam
Yurisprudensi Peradilan Agama
Kewarisan anak perempuan dan saudara dalam Yurisprudensi Peradilan
Agama terdapat dalam tiga putusan yaitu: Purtusan MA No. 184K/AG/1995,
No. 86K/AG/1994 dan No. 122K/AG/1995 mengenai penjelasannya adalah
sebagai berikut:
Pada putusan yang pertama yaitu No.184K/AG/1995 ahli waris terdiri
dari istri, anak perempuan, empat orang saudara perempuan dan satu saudara
laki-laki. Sebagai benteng kekuasaan kehakiman terakhir di Indonesia,
Mahkamah Agung menetapkan kaidah yurisprudensi yaitu: “Dengan adanya
anak perempuan pewaris maka, saudara laki-laki dan perempuan pewaris ter-
hijab oleh anak tersebut.”22
22 MAHKAMAH AGUNG R.I., Yurisprudensi Mahkamah Agung Bidang Perdata Agama,
Jld 3, (Jakarta: PT Pilar Yuris Utama, 2009), h 528-530.
47
Selanjutnya pada putusan yang kedua, yaitu putusan No.86K/AG/1994
ahli waris terdiri dari anak perempuan dan keturunan dari saudara laki-laki
pewaris (laki-laki dan perempuan) yang ketika itu saudara laki-laki tersebut
masih hidup (kasus munâsakhah), Mahkamah Agung pun memutuskan bahwa
anak perempuan menghalangi saudara laki-laki.23
Terakhir adalah putusan No. 122K/AG/1995, ahli waris terdiri dari lima
orang yaitu: seorang anak perempuan, dua orang saudara laki-laki kandung,
seorang saudara perempuan kandung, dan seorang anak laki-laki dari saudara
perempuan kandung yang wafat setelah pewaris meninggal dunia. Mahkamah
Agung dalam mempertimbangkan perkara ini menetapkan bahwa saudara-
saudara dan anak laki-laki dari saudara perempuan kandung terhalang oleh anak
perempuan pewaris.24
3. Kewarisan Saudara Dalam Buku II Pedoman Pelaksana Tugas dan
Administrasi dan Pengadilan:
Kewarisan saudara terdapat dalam Buku II Pedoman Pelaksana Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama tentang Pedoman Khusus Teknis Peradilan sub-
bab Hukum Kewarisan, di dalamnya memuat tentang kewarisan saudara yang
menyatakan:
Pada Point 4 Tentang Kelompok Ahli Waris [sub-point nomer: (6) dan
(7)] menyatakan :
(6) Seorang saudara laki-laki atau perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu)
mendapat 1/6 bagian, apabila terdapat dua orang saudara atau lebih (sekandung,
seayah atau seibu) mendapat 1/3 bagian jika saudara (sekandung, seayah atau
seibu) mewarisi bersama ibu pewaris (yurisprudensi).
(7) Seorang saudara perempuan (sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/2
bagian, dua orang saudara perempuan sekandung atau seayah atau lebih
23 MAHKAMAH AGUNG R.I., Yurisprudensi Mahkamah Agung Bidang Perdata Agama,
h. 495-502.
24 Naila Nur Fitriah, “Kedudukan Waris Anak Perempuan Bersama Saudara Pewaris:
Studi Putusan MA No. 122 K/Ag/1995.(Skripsi Prodi Akhwalul Syaksiyah UIN Syarif
Hidayatullah, 2012), h. 53- 66.
48
mendapat 2/3 bagian, jika saudara perempuan tersebut mewarisi tidak bersama
ayah dan tidak ada saudara laki-laki atau keturunan laki-laki dari saudara laki-
laki.25
Pada Point 5 Tentang Prinsip Hijab-Mahjub (sub-point (a dan b)),
menyatakan:
(a) Anak laki-laki maupun perempuan serta keturunannya menghijab saudara
(sekandung, seayah, seibu) dan keturunannya, paman dan bibi dari pihak ayah
dan ibu serta keturunannya.
(b) Ayah menghijab saudara dan keturunannya, kakek dan nenek yang
melahirkannya serta paman / bibi pihak ayah dan keturunannya.26
Pada Point 6:
“ Kompilasi Hukum Islam membedakan saudara seibu dari saudara seayah
dan sekandung (Pasal 181 dan 182 KHI). Dalam perkembangannya,
yurisprudensi MARI menyamakan kedudukan saudara seibu dengan saudara
sekandung atau saudara seayah, mereka mendapat ashabah secara bersama-
sama dengan ketentuan saudara laki-laki mendapat dua kali bagian saudara
perempuan.”27
Berdasarkan uraian di atas maka kewarisan saudara dalam Buku II
Pedoman Teknis Adminsistrasi dan Peradilan Agama, menurut penulis memuat
kesimpulan yaitu:
a) Saudara berhak mewarisi harta peninggalan pewaris dengan ketentuan:
1) Ayah dan keturunan (laki-laki dan perempuan) menghalangi saudara
atau keturunan seibu, sekandung, dan seayah;
2) Saudara seibu, sekandung, dan seayah mendapatkan 1/6 jika seorang
dan 1/3 jika lebih dari seorang jika mewarisi bersama ibu;
25
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama:
Buku II (Jakarta:Dirjen Badilag, 2013), h. 162. 26
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, h.
163. 27
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, h.
163.
49
3) Saudara perempuan seibu, sekandung, dan seayah ia memperoleh ½
jika seorang dan 2/3 jika lebih dari seorang dengan syarat tidak ada
ayah dan saudara laki-laki dan keturunan dari saudara laki-laki.
4) Perolehan saudara (laki-laki dan perempuan) seibu dengan
sekandung atau seayah dalam perkembangannya mendapat 2:1
antara laki-laki dan perempuan.
5) Tidak terdapat ketentuan hijab-mahjub antara saudara sekandung
dan seayah.
E. Pesamaan, Perbedaan, dan Sebab Terjadinya Perbedaan dan Persamaan
Terhadap Kewarisan Saudara (Pemaknaan Kalâlah dan Perolehan Fard
Saudara)
Adapun aspek pesamaan, perbedaan, dan sebab terjadinya perbedaan dan
persamaan terhadap pemaknaan kalâlah dan perolehan fard saudara perspektif Ahl
Al-Sunnah, Imamiyah, Hazairin, dan Hukum Kewarisan Islam Nasional adalah
sebagai berikut:
1. Persamaan
Dari urian diatas maka penulis menarik kesimpulan bahwa kewarisan
saudara (pemaknaan kalâlah dan perolehan fard saudara) sedikit terjadinya
persamaan atau kesepakatan terhadap pemaknaan kalâlah dan perolehan
saudara, yaitu:
a) Pemaknaan kalâlah yaitu:
1) Antara Ahl Al-Sunnah dan Hukum Kewarisan Islam Nasional
(terutama dalam KHI) persamaan atau kesepakatannya yaitu sama-
sama menyepakati bahwa kalâlah ialah pewaris tidak meninggalkan
ayah dan anak, walaupun sebagian dari ulama´ Ahl al-Sunnah
berselisih tentang siapakah anak yang menghalangi saudara
sekandung atau seayah dalam memperoleh harta peningglan
pewaris;
50
b) Perolehan Fard Saudara yaitu:
2) Ahl Al-Sunnah, Imamiyah, dan Hukum Kewarisan Islam Nasional
(terutama dalam KHI) persamaan atau kesepakatannya yaitu
membedakan saudara menjadi tiga jenis yaitu saudara seibu,
sekandang dan seayah. Walaupun dalam KHI belum mengatur
secara jelas apabila saudara seibu, sekandung, dan seayah mewarisi
secara bersama.
2. Perbedaan
Dari uraian diatas, maka perbedaan pemaknaan kalâlah dan kewarisan
saudara diantara Ahl Al-Sunnah, Imamiyah, Hazairin, serta Hukum Kewarisan
Islam Nasional (KHI dan Buku II Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama), yaitu:
a) Menurut fikih Ahl al-Sunnah, kalâlah ialah pewaris tidak meninggalan
anak dan ayah sebab (menurut Toha JahJa Omar) berpegang pada „urf
makna kalâlah yaitu punah kebawah dan keatas, jadi apabila pewaris
meninggalkan ayah dan saudara laki-laki maka hal tersebut tidak
dinamakan kalâlah.28
Memang secara tersirat (menurut Toha JahJa Omar)
makna kalâlah adalah seorang yang tidak meninggalkan anak (Surah al-
Nisâ´ 4:176), tetapi datangnya ayah berasal dari qiyâs ayat terakhir Surah
al-Nisâ´ 4:11, yaitu:
مء ك ابا ؤ م ك ونلوأبىا ؤ مأقرب أيه متدر وفعا لك
Artinya: “orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.”
b) Menurut fikih Imamiyah kalâlah ialah seorang pewaris tidak meninggalkan
orang tua (ayah-ibu) dan keturunan (laki-laki/perempuan) sebab (menurut
Abu Zahrah) didasarkan pada terhalangnya saudara oleh keturunan (furûʽ)
pewaris (laki-laki dan perempuan) dalam Surah al-Nisâ´ (4) ayat 176, maka
28 Perdebatan Dalam Seminar Hukum Nasional 1963 Tentang Faraid Antara Prof.
Hazairin. S.H., Prof. H. Mahmud Yunus, dan H. Toha Jahya Omar, (Jakarta: Tintamas,1964), h. 23.
51
berlaku pula terhalangnya saudara–secara mafhum– oleh usul pewaris yaitu
orang tua (ayah- ibu). 29
c) Menurut Hazairin kalâlah pada dasarnya ialah seorang yang meninggal
tidak meninggalkan keturunan baik laki-laki maupun perempuan, sebab
berdasarkan pada ayat 176 Surah al-Nisâ´. Sehingga saudara laki-laki atau
perempuan (seibu, sekandung, atau seayah) berhak mewarisi harta
peninggalan pewaris, dengan ketentuan saudara laki-laki atau perempuan
(seibu, sekandung, atau seayah) mendapat 1/6 jika saudara laki-laki atau
perempuan tersebut hanya seorang, dan mendapat 1/3 jika saudara tersebut
lebih dari seorang, dengan syarat ayah masih hidup.
Serta apabila ayah tidak ada, maka saudara perempuan (seibu
sekandung, dan seayah) mendapatkan 1/2 jika seorang, dan mendapat 2/3
jika lebih dari seorang. serta mewarisi 2:1 jika bersama saudara laki-laki
(seibu sekandung, dan seayah).
Hazairin berpendapat demikian sebab (menurut penulis) ada dua faktor:
1) Ia tidak menggunakan qiraat syâzzah sebagai petunjuk (dalil/hujjah)
untuk menafsirkan kewarisan saudara seibu yang terdapat pada ayat 12
Surah al-Nisâ´;
2) Terkait perbedaan kedudukan ayah (ada atau ketiadannya) mewarisi
besama saudara, disebabkan oleh pemahaman Hazairin yang
mendudukan ayah menerima waris secara qarâbah (terbuka), artinya
apabila ayah masih hidup, (pada ayat 12) ayah dapat mewarisi bersama
saudara dengan ketentuan saudara mendapat 1/6 atau 1/3 dan sisanya
diberikan kepada ayah karena pewaris tidak meninggalkan anak
(kalâlah). Dan pada surah al-Nisâ´ 176 menurut Hazairin ayah tidak
ada, sebab apabila ayah masih hidup, maka ayah akan mewarisi
29 Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris: Menurut Imam Ja‟far Shadiq, h. 167
52
bersama saudara laki-laki dan perempuan dengan ketentuan 2:1 dan hal
itu mustahil bagi Hazairin.30
d) Kalâlah dalam Hukum Kewarisan Islam Nasional memang tidak disebut
secara tegas dalam KHI dan Buku II Pedoman Pelaksana Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama, tetapi dalam perkembangan yang terjadi
di pengadilan, setidaknya terdapat kaidah syarat kewarisan saudara yaitu:
Perwaris tidak meninggalkan ayah dan keturunan laki-laki atau
perempuan (Pasal 180-181 KHI, Yurisprudensi MA, dan Buku II).
Selanjutnya untuk kewarisan saudara KHI membedakan beberapa
jenis saudara yaitu seibu, sekandung atau seayah. Sementara dalam Buku
II Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Tentang
Hukum Kewarisan) hanya mengatur kewarisan saudara seibu dengan
sekandangun atau seayah (tidak mengatur kewarisan saudara apabila
berkumpul bersama saudara seibu, sekandung, dan seayah). 31
30 Perdebatan Dalam Seminar Hukum Nasional 1963 Tentang, h 84-85. 31
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,
h.163.
53
BAB V
MUNASȂKAH DALAM PUTUSAN M.A. No. 30 PK/AG/2013
A. Deskripsi Struktur Nasab Dalam Putusan M.A No. 30 PK/Ag/2013
Deskripsi Struktur Nasab pada putusan M.A. No. 30 PK/Ag/2013 bermula
dari penikahan Inaq SN alias Hj. RH (istri) dengan Amaq NN alias H. IM (suami),
sebelum keduanya menikah, H. IM (wafat tahun 2007) telah mempunyai anak laki-
laki yang bernama MH bin H. IM dari istri sebelumnya yang bernama Inaq NN
(wafat pada tahun 1963).
Hj. RH (wafat tahun 2006) pun sebelum menikah dengan H. IM telah
mempunyai dua orang anak yaitu anak laki-laki yang bernama SL bin Mamiq SN
dan anak perempuan yang bernama Inaq NEN binti Mamiq SN (wafat Tahun 2004).
Anak tersebut merupakan anak bawaan pernikahan sebelumnya dengan Mamiq SN
yang statusnya telah bercerai. Inaq NEN binti Mamiq SN selaku anak perempuan dari
Hj. RH telah berkeluarga dengan Amaq NE (suami) dan mempunyai empat orang
anak diantaranya adalah tiga anak perempuan yaitu AH, MH, FH, dan satu anak laki-
laki yang bernama KN.
Dari hasil pernikahan Hj. RH dan H. IM, mereka memiliki tiga orang anak laki-
laki yang bernama JL bin H. IM, BI bin H. IM, dan HR bin H. IM (wafat tahun
2011). Serta memiliki 6 (enam) point harta peninggalan yang statusnya adalah harta
bersama dan harta bawaan. Keenam point harta bersama dan bawaan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Tanah Sawah dengan luas 0,250 Ha;
2. Tanah Sawah dengan luas 2.559 M2;
3. Tanah Sawah dengan luas 1.100 M2;
4. Tanah Sawah dengan luas 1.350 M2
5. Tanah pekarangan seluas + 265 M2 are, dan di atasnya terdapat sebuah
bangunan rumah permanen ukuran 7 M x 6 M;
54
Inaq NN
(w:1963)
SL
Inaq NEN
(W: 2004)
JL
(Penggugat) BI
HR
(W: 2011) MA
MH
(Terguggat)
6. Tanah pekarangan seluas + 152 M2 are, dan di atasnya terdapat sebuah
bangunan rumah semi permanen ukuran 6 M x 5 M.
Lalu JL bin H.IM selaku anak dari pasangan Hj. RH dan H. IM menggugat MH
bin H.IM ke Pengadilan Agama Selong, sebab ia menguasai harta bersama dan
bawaan (poin a-e) Hj. RH dan H. IM yang belum dibagi wariskan selama 5 tahun
kepada ahli waris yang lain (munâsakhah). Dari uraian di atas maka dapat ditarik
gambaran struktur nasabnya adalah sebagai berikut:
Gambar 1: Struktur Nasab
B. Munâsakhah Dalam Putusan M.A. No. 30 PK/Ag/2013
Penyelesaian pembagian harta bawaan dan bersama Inaq SN alias Hj. RH dan
Amaq NN alias H. IM secara munâsakah kepada ahli warisnya dalam putusan M.A.
No. 30 PK/Ag/2013 diawali dengan putusan Pengadilan Agama Selong No.
502/Pdt.G/2011 yang pada pokok amarnya adalah sebagai berikut:
a. Menetapkan harta bersama dari pasangan Inaq SN alias Hj. RH dan Amaq NN
alias H.IM adalah poin: 1, 2, dan 6. 1
b. Menetapkan membagi harta bersama pada point a di atas, setengahnya menjadi
milik Amaq NN alias H. IM dan setengahnya lagi menjadi milik Inaq SN alias
Hj. RH
1 Putusan M.A No. 30 PK/Ag/2013, h-10-11
v
Inaq SN alias Hj. RH
(w:2006)
Amaq NN alias H. IM
(w:2007) Mamiq SN
v AH MH FH KN
AMAQ NE
cerai
55
c. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris Inaq SN alisa Hj. RH (wafat
2006) adalah sebagai berikut:
1) Amaq NN alias H. IM (suami) mendapat ¼ bagian = 9/36 bagian;
2) Mamiq SL bin Mamiq SN (anak laki-laki) mendapat 6/36 bagian;
3) Amaq JL bin Amaq NN alias H. IM (anak laki-laki) mendapat 6/36 bagian;
4) HR bin Amaq NN alias H. IM (anak laki-laki) mendpat 6/36 bagian;
5) BI bin Amaq NN alias H. IM (anak laki-laki) mendapat 6/36 bagian;
6) Ahli waris pengganti Inaq NEN yaitu AH binti Amaq NE, MH binti Amaq
NE, FH binti Amaq NE dan KN bin Amaq NE, semuanya mendapat 3/36
bagian.2
Tabel 1: Penyelesaian Harta Peninggalan Inaq SN alias Hj. RH.3
No AR Ahli Waris FM AM: 4 X 9
(AR) = 36 Bagian
1 H. IM (suami) ¼ 9/36 9/36
2 2 Mamiq SL (anak laki-laki)
A 27/36
27: 9 (AD) = 3
3x2= 6 bagian
untuk anak laki-
laki
3x1= 3 untuk
anak perempuan
6/36
3 2 Amaq JL (anak laki-laki) 6/36
4 2 HR (anak laki-laki) 6/36
5 2 BI (anak laki-laki) 6/36
6 1
ahli waris pengganti Inaq
NEN (anak perempuan )
yang memiliki 4 orang
anak
3/36
Jml 9 36/36 36/36
d. Menetapkan harta warisan Amaq NN alias H.IM (wafat 2007) adalah sebagai
berikut:
1) Setengah dari harta bersama sebagaimana tersebut pada poin c di atas;
2) ¼ bagian dari harta warisan Inaq SN alias Hj. RH;
3) Harta bawaan Amaq NN alias H.IM adalah poin: 3, 4, dan 5.
e. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris Amaq NN alias H. IM (wafat
2007) adalah sebagai berikut:
2 Putusan M.A No. 30 PK/Ag/2013, h. 12
3 Tabel ini dan tabel berikutnya merupakan hasil penafsiran penulis (tidak mewakili
pandangan lembaga peradilan terkait)
56
1) Amaq MH bin Amaq NN alias H. IM mendapat ¼ bagian;
2) Amaq JL bin Amaq NN alias H. IM mendapat ¼ bagian;
3) HR bin Amaq NN alias H. IM mendapat ¼ bagian;
4) BI bin Amaq NN alias H. IM mendapat ¼ bagian.4
Tabel 2: Penyelesaian Harta Peninggalan Amaq NN alias H. IM
No Ahli Waris FM Bagian
1 MH (anak laki-laki)
A
1/4
2 Amaq JL (anak laki-laki) 1/4
3 HR (anak laki-laki) 1/4
4 BI (anak laki-laki) 1/4
Jml 4/4
f. Menetapkan harta warisan HR bin H.IM (wafat 2011) adalah:
1) 6/36 dari harta peninggalan Inaq SN alisa Hj. RH (wafat 2006)
2) 1/4 dari harta peninggalan Amaq NN alias H. IM (wafat 2007)
g. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris HR bin H.IM (wafat 2011)
adalah sebagai berikut:
1) MA binti TR (istri) ¼ bagian = 3/12 bagian;
2) Amaq MH bin Amaq NN alias H. IM (saudara laki-laki sebapak) 3/12
bagian;
3) Amaq JL bin Amaq NN alias H. IM 3/12 bagian;
4) BI bin Amaq NN alias H. IM 3/12 bagian
Tabel 3: Penyelesaian Harta Peninggalan HR bin H.IM
4 Putusan M.A No. 30 PK/Ag/2013, h. 13
No AR Ahli waris FM
KPK: 4x3
(AR) = 12
saham
Saham
Masing-
Masing
1 MA (istri) ¼ 3/12 3/12
2 1 MH (saudara laki-laki seayah)
A 9/12
3/12
3 1 HR (saudara laki-laki seayah) 3/12
4 1 BI (saudara laki-laki kandung) 3/12
Jml 3 12/12 12/12
57
Setelah Pengadilan Agama Selong memutusakan secara faraid harta bawaan
dan bersama Inaq SN alias Hj. RH dan Amaq NN alias H. IM kepada ahli warisnya,
putusan Pengadilan Agama Selong atas permohonan terguggat (MH bin H.IM) telah
diperbaiki melalui putusan PTA. Mataram No.55/Pdt.G/2012 yang pada pokoknya
adalah sebagai berikut:
a. Tambahan pertimbangan:
1) Bahwa sebelum harta peninggalan Amaq NN alias H.IM (ayah penggugat
dan terguggat) dibagi wariskan harus dibayarkan kepada MH bin H.IM
(terguggat) sebesar Rp. 34.000.000 untuk keperluan perawatan jenazah
dan selametan atas meninggalnya H.IM dan Hj. RH (orang tua penggugat
dan terguggat). Sebab MH bin H.IM (terguggat) lah yang menebus harta
bawaan Amaq NN alias H.IM yaitu tanah pada point 3 dan 4, yang telah
digadai oleh JL bin H.IM untuk keperluan perawatan jenazah dan
selametan.5
2) Bahwa sebelum harta peninggalan HR bin H.IM dibagikan maka harus
dikurangi terlebih dahulu sebesar Rp. 45.000.000 yang diberikan kepada
JL bin H. IM, sebab sebelum dan sesudah almarhum HR bin H. IM
meninggal, Jl bin H. IM lah yang mencari pinjaman untuk keperluan
pengurusan kepulangan dari kalimantan, keperluan perawatan jenazah,
serta acara selametan almarhum HR bin H.IM.6
3) Bahwa dalam penetapan ahli waris HR bin H. IM yang telah diputus oleh
Pengadilan Agama Selong perlu diperbaiki lantaran Amaq MH bin H. IM
merupakan saudara sebapak yang terhalang oleh Amaq JL bin H. IM
selaku saudara sekandung (seibu sebapak). Berdasarkan hal ini Majelis
Hakim banding mempertimbangkan bahwa yang menjadi ahli waris dari
almarhum HR bin H. IM merupakan saudara seibu yaitu Mamiq SL dan
5 Putusan No. 55/Pdt.G/2012/PTA. Mataram, h. 11.
6 Putusan No. 55/Pdt.G/2012/PTA. Mataram, h. 11 dan 18.
58
Inaq NEN (digantikan oleh anaknya yaitu AH, FH, MH, dan KN) dan
saudara kandung pewaris yaitu Amaq JL bin H. IM dan BI bin H. IM
dengan perbandingan untuk laki-laki 2 (dua) dan untuk perempuan 1
(satu).7
b. Putusan PTA. Mataram terhadap harta peninggalan HR bin H. IM yaitu:
1) Menetapkan bagian masing-masing ahli waris HR bin H. IM, dengan
ketentuan bahwa harta warisan yang dibagikan adalah harta warisan
setelah dikurangai atau dibayarkan kepada Amaq JL bin H. IM atas biaya-
biaya keperluan pengurusan kepulangan dari kalimantan, keperluan
perawatan jenazah, serta acara selametan almarhum HR bin H.IM adalah
sebagai berikut :
a. MA binti TR (istri) mendapat 35/140 bagian;
b. Amaq JL bin Amaq NN alias H. IM (saudara laki-laki sekandung)
mendapat 30/140 bagian;
c. BI bin Amaq NN alias H. IM (saudara laki-laki sekandung) mendapat
30/140 bagian;
d. Mamiq SL bin Mamiq SN (saudara laki-laki seibu) mendapat 30/140
bagian;
e. Ahli waris pengganti Inaq NEN binti Mamiq SN (saudara perempuan
seibu), yaitu:
1) AH binti Amaq NE mendapat 3/140 bagian;
2) MH binti Mamiq NE mendapat 3/140 bagian;
3) FH binti Mamiq NE mendapat 3/140 bagian;
4) KN bin Mamiq NE mendapat 6/140 bagian.8
7 Putusan No. 55/Pdt.G/2012/PTA. Mataram, h. 12.
8 Putusan M.A. No. 30 PK/Ag/2013, h. 18
59
Tabel 4: Penyelesaian PTA. Mataram Yang Memperbaiki Pembagian Harta Peninggalan
HR bin H.IM dalam Putusan PA. Selong.
Setelah putusan PTA. Mataram berkekuatan hukum tetap MH bin H. IM mengajukan
Permohonan Peninjauan Kembali dengan beberapa alasan sebagai berikut:
a. Majelis Hakim telah melanggar syarat formal yaitu tidak mendudukan FH
(anak perempuan Inaq NEN) sebagai subjek hukum lantaran ia sudah berumur
18 yang tidak lagi dalam kekuasaan orang tuanya.
b. Pengadilan tingkat pertama dan banding telah memutus dari yang diminta yaitu
tentang ahli waris Inaq SN alias Hj. RH.
c. Pengadilan tingkat pertama dan banding tidak memeriksa ahli waris secara
menyeluruh dan tuntas.
d. Pemohon PK menemukan bukti baru tentang status tanah poin 2 yaitu atas
nama paman pemohon PK yang bernama Amaq SN.
No AR Ahli Waris FM
AM/KPK: 4x7
(AR) = 28
saham.
28 saham x 5
AR dari
keturunan NN
binti Mamiq
SN = 140
saham
Bagian
1 MA (istri) ¼ 35/140 35/140
2 2 SL bin Mamiq SN
(saudara laki-laki seibu)
Abg 105/140
105: 7 (AR) =
15
Laki-laki
dikali 2
Perempuan
dikali 1
30/140
3 1
NN binti Mamiq SN
(saudara perempauan
seibu)
*wafat tahun 2004 dan
memiliki empat orang
anak
15/140
4 2 Amaq JL (saudara laki-
laki kandung) 30/140
5 2 BI (saudara laki-laki
kandung) 30/140
6 - MH (saudara laki-laki
seayah) - - - -
Jml 7 140/140 140/140
60
Tetapi dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menolak permohonan pemohon
dengan amar:
“Dalam mempertimbangkan permohonan peninjauan kembali,
Mahkamah Agung menilai bahwa bukti baru yang diajukan oleh Amaq MH
(tergugat/pemohon peninjauan kembali) tidak bersifat menentukan, karena
bukan surat kepemilikan terhadap objek sengketa, selain itu tidak ada
kehilafan hakim judex facti dalam memutus perkara a quo karena semuanya
telah dipertimbangkan dalam putusan a quo.”9
9 Putusan M.A. No.30 PK/Ag/2013, h.21
61
BAB VI
ANALISIS PUTUSAN
A. Kewarisan Saudara Dalam Putusan M.A. No. 30PK/Ag/2013
Majelis Hakim Agung pada putusan No. 30PK/Ag/2013 telah memutuskan
bahwa tidak terdapat kekhilafan hakim judex facti (PTA. Mataram) dalam
memutuskan perkara No. 55/Pdt.G/2012 sebab semuanya telah dipertimbangkan
dalam putusan tersebut.1 Padahal dalam putusan PTA. Mataram tersebut memuat
pertimbangan: “bahwa sisa harta setelah dikeluarkan bagian istri diberikan kepada
saudara laki-laki seibu, keturunan saudara perempuan seibu (sebagai ahli waris
pengganti saudara perempuan seibu), dan saudara laki-laki sekandung. Dengan
ketentuan saudara-saudara seibu dan saudara sekandung mendapatkan 2:1 serta
saudara laki-laki seayah terhalang oleh saudara laki-laki kandung dalam memperoleh
tirkah”.2 Berikut adalah amar bagian masing-masing ahli waris HR bin H.IM :
1. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris HR bin H. IM adalah sebagai
berikut :
a) MA binti TR (istri) mendapat 35/140 bagian;
b) Amaq JL bin Amaq NN alias H. IM (saudara laki-laki sekandung)
mendapat 30/140 bagian;
c) BI bin Amaq NN alias H. IM (saudara laki-laki sekandung) mendapat
30/140 bagian;
d) Mamiq SL bin Mamiq SN (saudara laki-laki seibu) mendapat 30/140
bagian;
e) Ahli waris pengganti Inaq NEN binti Mamiq SN (saudara perempuan
seibu), yaitu:
1) AH binti Amaq NE mendapat 3/140 bagian;
1 Putusan Mahkamah Agung No:30 PK/Ag/2013, h.21. 2 Putusan Pengadilan Tinggi Mataram No: 55/Pdt.G/2012/PTA. MTR, h.12, dan 17-19.
62
2) MH binti Mamiq NE mendapat 3/140 bagian;
3) FH binti Mamiq NE mendapat 3/140 bagian;
4) KN bin Mamiq NE mendapat 6/140 bagian. 3
Berikut adalah tabel penyelesaian harta peninggalan HR bin H. IM:
a) Tabel Penyelesaian PTA. Mataram (Pada Proses PK Dianggap Tidak
Terdapat Kehilafan Hakim Oleh Mahkamah Agung) Terhadap Harta
Peninggalan HR bin H.IM (w:2011) Tabel 1
4
3 Putusan M.A. No. 30 PK/Ag/2013, h. 18
4 Tabel ini merupakan penafsiran penulis terhadap putusan (tidak mewakili lembaga peradilan
terkait). Untuk lebih lengkapnya lihat pada lembar lampiran.
No AR Ahli Waris FM
AM/KPK: 4x7
(AR) = 28 saham.
28 saham x 5
AR dari keturunan NEN
binti Mamiq
SN = 140 saham
Bagian
1 MA (istri) ¼ 35/140 35/140
2 2 SL bin Mamiq SN (saudara laki-laki seibu)
abg 105/140
105: 7 (AD) = 15
Laki-laki
dikali 2 Perempuan
dikali 1
30/140
3 1
NEN binti Mamiq SN
(saudara perempauan seibu) *wafat tahun 2004 dan
memiliki empat orang anak
15/140
4 2 Amaq JL (saudara laki-laki kandung)
30/140
5 2 BI (saudara laki-laki kandung)
30/140
6 - MH (saudara laki-laki
seayah) - - - -
Jml 7 140/140 140/140
63
B. Analisis Harta Peninggalan HR Bin H.IM (w:2011) Perspektif Ahl al-
Sunnah, Imamiyah, dan Hukum Kewarisan Islam Nasional
Penyelesaian harta peninggalan HR bin H.IM (w:2011) menurut Ahl al-Sunnah,
Imamiyah, Pemikiran Hazairin dan Hukum Kewarisan Islam Nasional adalah sebagai
berikut:
1. Analisis Penyelesaian Harta Peninggalan HR bin H.IM (w:2011)
Perspektif Fikih Ahl al-Sunnah
Tabel 2:
No AR Ahli Waris FM AM
(12)
Tashih al-Mas´alah
KPK: 12X 2 (AR) =
24
Bagian
1 MA (Istri) 1/4 3 8/24 8/24
2 SL bin Mamiq SN (saudara
laki-laki seibu) 1/6 2 4/24
4/24
3
NEN binti Mamiq SN
(saudara perempauan seibu)
*wafat tahun 2004 dan
memiliki empat orang anak
- - - -
4 1 Amaq JL (saudara laki-laki
sekandung ) A 7 12/24
6/24
5 1 BI (saudara laki-laki
sekandung) 6/24
6 MH (saudara laki-laki
seayah) - - - -
Jml 2 12 24/24 24/24
Berdasarkan tabel di atas istri mendapat 1/4 sebab pewaris tidak memiliki
anak, saudara laki-laki seibu mendapat 1/6 sebab hanya seorang, serta saudara
laki-laki sekandung mendapat „asabah.
Selanjutnya NEN binti Mamiq SN selaku saudara seibu (w:2004) dan MH
bin H.IM selaku saudara seayah terhalang mendapkan tirkah (menurut fikih Ahl
al-Sunnah) sebab:
a. NEN binti Mamiq SN (w:2004) terhalang mendapkan tirkah lantaran ia
wafat mendahului pewaris dan anak-anak dari NEN binti Mamiq SN yang
berkedudukan sebagai zawi al-arhȃm juga terhalang oleh ahli waris
penerima „asabah yaitu anak laki-laki pewaris.
64
b. MH bin H.IM selaku saudara seayah terhalang mendapatkan tirkah karena
ia tergolong sebagai „asabah bi al-nafs. Prinsip dari „asabah bi al-nafs
adalah ahli waris yang lebih dekat (BI bin H.IM dan Amaq JL bin H.IM,
selaku saudara kandung pewaris) menghalangi saudara seayah (MH bin
H.IM).5
2. Analisis Penyelesaian Harta Peninggalan HR bin H.IM (w:2011)
Perspektif Fikih Imamiyah
Penyelesaian Harta Peninggalan HR bin H.IM (w:2011) Perspektif Fikih
Imamiyah adalah sebagai berikut:
Tabel 3:
No AR Ahli Waris FM AM
(12)
Tashih al-Mas´alah
KPK: 12X 2 (AR) = 24
Bagian
1 MA (Istri) 1/4 3 8/24 8/24
2 SL bin Mamiq SN (saudara laki-laki seibu)
1/6 2 4/24 4/24
3
NEN binti Mamiq SN (saudara perempauan
seibu) *wafat tahun 2004 dan
memiliki empat orang anak
- - - -
4 1 Amaq JL (saudara laki-laki
sekandung ) A 7 12/24
6/24
5 1 BI (saudara laki-laki sekandung)
6/24
6 MH (saudara laki-laki seayah)
- -
Jml 2 12 24/24 24/24
Menurut fikih Imamiyah isteri mendapatkan bagian karena ia tergolong
sebagai ahli waris sebab hubungan perkawinan dan ia mendapatkan fard-nya
yaitu 1/4. Sedangkan saudara seibu mendapat 1/6 karena ia tergolong sebagai
ahli waris ashâb al-furûd/zawî al-sihâm.
5 M.A Abdurahman & A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayat‟ul Mujtahid: Juz 3, h.477.
65
Selanjutnya keturunan dari saudara perempuan seibu tidak dapat
mewarisi dan tidak dapat menggantikan fard saudara perempuan seibu sebab
terhalang oleh saudara laki-laki seibu (ahli waris derajat pertama).
Untuk kewarisan saudara sekandung dan saudara seayah dalam hal ini
terdapat dua prinsip dalam fikih Imamiyah yaitu:
a) Terhijab oleh saudara laki-laki sekandung sebab (ilhâq penulis) dari
terhalangnya anak-anak dari saudara seayah oleh anak-anak dari saudara
sekandung.6
b) Tidak terhijab karena dalam sistem kewarisan Imamiyah menolak hadis
terkait pemberian sisa kepada laki-laki yang terdekat. 7
Terkait dua ketetuan di atas penulis lebih cendrung menggunakan prinsip yang
pertama.
6 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja´fari, Hanafi, Maliki, Syafi´i,
Hambali, h. 600.
7 Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris: Menurut Imam Ja‟far Shadiq, h.123.
66
3. Analisis Penyelesaian Harta Peninggalan HR bin H.IM (w:2011)
Perspektif Hazairin
Penyelesaian Harta Peninggalan HR bin H.IM (w:2011) perspektif
Hazairin adalah sebagai berikut:
Tabel 4:
No AR Ahli Waris FM AM (4)
Tashih al-Mas´alah KPK: 4X 9 (AR) =
36 Bagian
1 MA (Istri) 1/4 1 9/36 9/36
2 2 SL bin Mamiq SN (saudara
laki-laki seibu)
Q
3 27/36
6/36
3 1
NEN binti Mamiq SN (saudara perempauan seibu)
*wafat tahun 2004 dan memiliki empat orang anak
3/36
4 2 Amaq JL (saudara laki-laki sekandung )
6/36
5 2 BI (saudara laki-laki
sekandung) 6/36
6 2 MH (saudara laki-laki
seayah) 6/36
Jml 9 4 36/36 36/36
Berdasarkan tabel di atas, penyelesaian harta peninggalan HR bin H.IM
(w:2011) perspektif Hazairin diberikan kepada istri, saudara laki-laki, dan
perempuan (seibu, sekandung, dan seayah) dengan ketentuan isrti mendapat 1/4
serta saudara laki-laki dan perempuan mendapat 2:1.
Saudara laki-laki dan perempuan (seibu, sekandung, dan seayah)
menerima 2:1 sebab termasuk kategori kalâlah pada Surah al-Nisȃ´ (4): 176 yang
menurut Hazairin seorang pewaris tidak meninggalkan ayah dan keturunan.8
Selanjutnya walaupun saudara perempuan seibu telah wafat mendahului
pewaris, keempat anaknya berhak menggantikannya melalui konsep mawali
dengan ketentuan laki-laki dan perempuan mendapatkan 2:1.9
8 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadith, h. 55-56. 9 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilatera Menurut Al-Quran dan Hadith , h. 33.
67
4. Analisis Penyelesaian Harta Peninggalan HR bin H.IM (w:2011)
Perspektif Hukum Kewarisan Islam Nasional
Hukum Kewarisan Nasional terdapat memiliki tiga produk hukum yang
mengatur tentang kewarisan saudara yaitu KHI, Yurisprudensi MA, dan Buku II
Pedoman Pelaksana Tugas Peradilan Agama Tentang Pedoman Khusus Teknis
Peradilan (sub-bab Hukum Kewarisan).
Tetapi dalam kasus ini hanya diperlukan dua produk hukum saja untuk
menganalisis harta peninggalan HR bin H.IM yaitu KHI dan Buku II Pedoman
Pelaksana Tugas Peradilan Agama sebab yurispudensi MA hanya mengatur
kewarisan saudara-saudara kandung bersama anak perempuan pewaris. Mengenai
penyelesaian harta peninggalan HR bin H.IM melalui kedua produk hukum
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Analisis Harta Peninggalan HR bin H.IM (w:2011) Berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam
Tabel 5
No AR Ahli Waris FM AM (12)
Tashih al-Mas´alah KPK: 12X 2 (AR) =
24 Bagian
1 MA (Istri) 1/4 3 7/24 8/24
2 SL bin Mamiq SN (saudara
laki-laki seibu)
1/3 4 8/24 4/24
3
NEN binti Mamiq SN (saudara perempauan seibu)
*wafat tahun 2004 dan memiliki empat orang anak
4 1 Amaq JL (saudara laki-laki
sekandung ) A 5 9/24
6/24
5 1 BI (saudara laki-laki
sekandung) 6/24
6 - MH (saudara laki-laki
seayah) - - - -
Jml 2 12 24/24 24/24
Berdasarkan tabel di atas penyelesaian harta peninggalan HR bin H.IM
(w:2011) perspektif KHI diberikan kepada istri yang mendapat 1/4 sebab pewaris
68
tidak meningglkan anak (Pasal 180 KHI) dan saudara (laki-laki dan perempuan)
seibu mendapat 1/3 sebab saudara (laki-laki dan perempuan) seibu berjumlah dua
orang (Pasal 181 KHI), serta anak laki-laki dan perempuan dari saudara perempuan
seibu menjadi ahli waris pengganti saudara perempuan seibu yang telah wafat
mendahului pewaris dengan ketentuan laki-laki dan perempuan mendapat 2:1.10
Untuk kewarisan saudara laki-laki kandung dan seayah ketika berkumpul
bersama belum diatur secara jelas dalam KHI, karena KHI hanya mengatur saudara
laki-laki kandung “atau” seayah, jika berkumpul bersama saudara perempuan
kandung “atau” seayah yang terdapat pada Pasal 182 KHI, berikut adalah kutipannya:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat
separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara
perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-
sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-
sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-
laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.11
Maka dari ketentuan pasal tersebut setidaknya (menurut penulis) akan timbul
penafsiran hukum yang dilakukan oleh Hakim Peradilan Agama yaitu saudara seayah
terhijab oleh saudara sekandung sebab melandasakan pada prinsip kewarisan Ahl al-
Sunnah yaitu saudara seayah terhijab oleh saudara sekandung.12
10 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 158.
11 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 158. 12 M.A Abdurahman & A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayat‟ul Mujtahid: Juz 3, h.477.
69
b) Analisis Harta Peninggalan HR bin H.IM (w:2011) Berdasarkan Buku II
Pedoman Pelaksana Tugas dan Admistrasi Peradilan Agama
Tabel 6
Berdasarkan tebel di atas, penyelesaian harta peninggalan HR bin H.IM
(w:2011) apabila merujuk pada Buku II Pedoman Pelaksana Tugas diberikan
kepada istri 1/4 sebab tergolong dalam penerima zawi al-furûd, serta saudara
laki-laki dan perempuan sebab saudara tergolong ahli waris yang tidak
ditentukan bagiannya.13
Selanjutnya terkait perolehan bagian saudara seibu, sekandung, dan
seayah dalam buku pedoman Buku II Pedoman Pelaksana Tugas Peradilan
Agama terdapat dua ketentuan yaitu:
1. Saudara seibu, sekandung, dan seayah (laki-laki atau perempuan)
mendapat 1/6 jika seorang dan 1/3 jika lebih dari seorang dengan
ketentuan mewarisi bersama ibu pewaris.
13 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, h. 162
No AR Ahli Waris FM AM (4)
Tashih al-Mas´alah KPK: 4X 7 (AR) =
28
Bagian
1 MA (Istri) 1/4 1 7/28 7/28
2 2 SL bin Mamiq SN (saudara laki-laki seibu)
Q 3 21/28
6/28
3 1
NEN binti Mamiq SN (saudara perempauan
seibu) *wafat tahun 2004 dan memiliki empat orang anak
3/28
4 2 Amaq JL (saudara laki-laki
sekandung ) 6/28
5 2 BI (saudara laki-laki sekandung)
6/28
6 - MH (saudara laki-laki seayah)
- - - -
Jml 7 4 21/28 21/28
70
2. Saudara seibu dengan saudara sekandung atau seayah mendapatkan
„asabah dengan ketentuan saudara laki-laki dan perempuan mendapat
(2:1). Berikut adalah kutipan normanya:
“ Kompilasi Hukum Islam membedakan saudara seibu dari saudara
seayah dan sekandung (Pasal 181 dan 182 KHI). Dalam
perkembangannya, yurisprudensi MARI menyamakan kedudukan
saudara seibu dengan saudara sekandung atau saudara seayah,
mereka mendapat ashabah secara bersama-sama dengan ketentuan
saudara laki-laki mendapat dua kali bagian saudara perempuan.”14
Berdasakan norma hukum pada ponit 2 di atas dan tabel penyelesaian harta
peninggalan HR. bin H. IM penulis menggolongkan suadara seibu dengan
saudara sekandung mendapat 2:1 sebab apabila saudara seibu, sekandung dan
seayah mendapatkan 1/6 atau 1/3 harus menyaratkan adanya ibu pewaris.
Selanjutnya untuk saudara laki-laki seayah terhalang oleh saudara laki-laki
sekandung berdasarkan prinsip „asabah bi al-nafs.
C. Analisis Penulis
Dari beberapa hasil analisis di atas penulis menganggap bahwa putusan
Mahkamah Agung No.30 PK/Ag/2013 yang menganggap tidak terapat kekhilafan
hakim PTA. Mataram cendrung mengikuti Buku II Pedoman Pelaksana Tugas
Pengadilan Agama yang menyamakan kewarisan saudara seibu dan saudara
sekandung (memperoleh bagian 2:1) setelah dikeluarkan bagian istri 1/4, serta
terhalangnya saudara laki-laki seayah oleh saudara laki-laki kandung didasarkan pada
prinsip tarjih biquati qarabah dalam pembahasan „asabah bi al-nafs perspektif Ahl
al-Sunnah.
Padahal penyamaan kewarisan saudara seibu dan sekandung dalam literatur
fikih Ahl al-Sunnah hanya terdapat dalam kasus musyarakah yaitu kasus yang diputus
oleh sahabat Umar bin Khatab R.A. yang menyatakan bahwa saudara seibu dan
sekandung berhak berserikat dalam 1/3 fard, walaupun sahabat nabi yang lain seperti
14 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, h. 163.
71
Ali dan Ibnu Mas‟ud berbeda pandangan dengan Umar. Sahabat Ali dan Ibnu mas‟ud
menyatakan bahwa saudara laki-laki sekandung tidak dapat berserikat dengan
saudara-saudara seibu, sebab saudara laki-laki sekandung tidak mendapatkan bagian
karena harta peninggalan telah habis dibagikan kepada ahli waris yang mempunyai
fard yaitu suami 1/2, Ibu 1/6, dan 2 orang saudari seibu 1/3.15
Walaupun demikian, sahabat Umar pun tetap mempertahankan saudara seibu
dan sekandung berserikat dalam 1/3 dengan menerapkan Surah al-Nisâ´ ayat 12
(tidak menerapkan Surah al-Nisâ´ ayat 176 sepertihalnya putusan PTA. Mataram
yang dianggap tidak terdapat kekhilafan oleh majelis hakim agung pada putusan M.A.
No. 30 PK/Ag/2013).
15 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 113-114.
72
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ratio decidendi majelis hakim judex factie (PTA. Mataram) dan judex juris
(Mahkamah Agung) dalam mentapkan harta peninggalan HR bin H.IMyaitu:
1. Istri mendapatkan 1/4 sebab termasuk dalam ahli waris yang telah ditentukan
bagiannya zawi al-furûd
2. Dalam terhalangnya saudara laki-laki seayah dengan saudara laki-laki
sekandung mengikuti pemikiran Ahl al-Sunnah yaitu prinsip tarjih biquatil
qarabah dalam pembahasan ‘asabah bi al-nafs.
3. Dalam hal saudara laki-laki seibu, keturuan saudara perempuan seibu (sebagai
ahli waris pengganti saudara perempuan seibu), dan saudara laki-laki kandung
mendapat 2:1 cendrung mengikuti ketentuan yang termuat dalam Buku II
Pedoman Pelaksana Tugas Peradilan Agama.
Tetapi norma yang terkandung di dalamnya mengandung pengertian
yang kabur sebab–menurut penulis– ketentuan yang terkandung dalam Buku
II hanya mengatur dua bentuk saudara saja, yaitu saudara seibu “dengan”
saudara sekandung “atau” saudara seibu dengan seayah saja. Artinya tidak
mengatur secara jelas apabila saudara seibu, sekandung, dan seayah mewarisi
secara bersama-sama.
B. Saran
1. Kepada Hakim Peradilan Agama:
Dalam mempertimbangkan suatu putusan terutama dalam hukum kewarisan
Islam yang terdapat ruang ikhtilâf perlu didukung dengan argumentasi ilmiah
mengapa memilih salah satu pandangan atau tidak memilih dan ber-ijtihâd,
sehingga julukan putusan adalah mahkota hakim tidak sirna dengan kewenangan
hakim untuk mengadili dan memutus suatu perkara.
73
2. Kepada Mahkamah Agung R.I.:
Untuk Mahkamah Agung R.I.perlu melakukan revisi dan meninjau ulang
Buku Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II)
BAB Pedoman Khusus Teknis Peradilan Tentang Hukum Kewarisan yaitu:
a) Revisi:
Yurisprudensi nomer berapa yang memuat tentang saudara laki-laki dan
perempuan seibu, sekadung, dan seayah mereka mendapat ashabah secara bersama-
sama dengan ketentuan saudara laki-laki mendapat dua kali bagian saudara.
b) Meninjau Ulang:
Ketentuan fardsaudara seibu, sekandung, dan seayah yang memperoleh
1/6 dan 1/3 dengan syarat jika saudara tersebut mewarisi bersama ibu.
74
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika
Presindo, 2010.
Abubakar, Al- Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan
Terhadap Penalaran Hazirin dan Penalaran Fiqih Mazhab. Jakarta: INIS,
1998.
Ahmad Wasron, Al- Munawir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997.
al-Bukhâri, Muhammad Bin Ismâʽîl, Sahîh al-Bukhâri. Jilid 2. Lebanon: Dâr al-
Kitab al-ʽilmîyah, 2009.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Al-Jâmiʽ Al-Ahkâm Al-Qur’ân. Penerjemah Ahmad
Rijali Kadir, Tafsir Al-Qurthubi, Jil 5 Jakarta Pustaka Azam, 2008),
Amirudin & Zaini Askin, Pengatar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006.
Ash-Shiddiqy, Hasbi, Fiqih Mawaris: Untuk Warisan dalam Syariat Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
Jakarta: PT Gramedia, 2008
Edi Riadi, “Penalaran Hukum Dalam Penyelesaian Kasus Perdata Agama.”
Majalah Peradilan Agama, Edisi 1, (2013): 36.
Euis Nurlaelawati, “ Menuju Kesetaraan Kewarisan Islam Indonesia: Kedudukan
Anak Perempuan versus Anak Kandung.”, Indo-Islamika, Vol. 2, (2012):
Fitriah, Naila Nur, “Kedudukan Waris Anak Perempuan Bersama Saudara
Pewaris: Studi Putusan MA No. 122 K/Ag/1995. Skripsi Prodi Akhwalul
Syaksiyah UIN Syarif Hidayatullah, 2012.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, Penerjemah H.
Addys Aldizar, dkk Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004.
MAHKAMAH AGUNG R.I., Yurisprudensi Mahkamah Agung Bidang Perdata
Agama, Jld 3, Jakarta: PT Pilar Yuris Utama, 2009.
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama: Buku II. Jakarta:Dirjen Badilag, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2010.
Muzhar , M. Atho dan Khoiruddin Nasution, et.al, ed, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
75
Perdebatan Dalam Seminar Hukum Nasional 1963 Tentang Faraid Antara Prof.
Hazairin. S.H., Prof. H. Mahmud Yunus, dan H. Toha Jahya Omar,
Jakarta: Tintamas, 1964.
Rahman, Facthur, Ilmu Waris, Bandung: PT Alma’arif, 1981.
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996.
Rusyd, Ibnu. Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid, Penerjemah: M.A
Abdurahman & A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayat’ul Mujtahid: Juz 3,
Semarang: Cv. Asy-Syifa, 1990.
Salihima, Syamsulbahri. Perkembangan Pemikiran Warisan Dalam Hukum Islam
dan Implementasinya Pada Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana, 2015.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Jilid II. Jakarta:Lentera Hati, 2010.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an, Vol. 2. Jakarta:Lentera Hati, 2002.
Soleh, Soelman. “ Pembagian Harta Warisan untuk Ahli Waris Beda Agama.”,
Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan. Edisi 76, (2013): 99.
Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih: Untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Cv.
Pustaka Setia, 2010.
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2004.
Syarkun, Syuhada, Menguasai Ilmu Faraid. Jakarta: Pustaka Syarkun, 2012.
Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2004.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyerenggara
Penerjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1972.
Zahrah, Muhammad Abu. al-Mirâts ʽinda Jaʽfari. Penerjemah: Muhammad
Alkaf, Hukum Waris: Menurut Imam Ja’far Shadiq. Jakarta: Lentera,
2001.
PUTUSAN
Putusan Mahkamah Agung No. 30 PK/Ag/2013
Putusan Pengadilan Agama Selong Nomor: 502/Pdt.G/2011/PA.Sel
Putusan Pengadilan Tinggi Mataram Nomor: 55/Pdt.G/2012/PTA. MTR
Tabel Penerapan Teori Tashih al-Mas´alah Dalam Putusan M.A. No: 30 PK/Ag/2013
Pada tabel di atas istri mendapatkan 1/4 dengan saham 1, saudara sekandung laki-laki dan perempuan seibu serta saudara laki-laki kandung mendapatkan
sisa dengan memperoleh 3 saham, ketika 3 saham dari saudara laki-laki dan perempuan seibu serta saudara laki-laki kandung tidak dapat dibagi kepada ‘adadu
al-ruʻus, maka diperlukan penyelesaian secara tashih al-masʻalah.
Pada tabel di atas tashih al-masʻalah menggunakan perbandingan mubayanah maka dari itu ‘adadu al-ruʻus langsung dikalikan dengan asal masalah,
sehingga AM 1 yaitu 4 harus dikali dengan ʻadadu al-ruʻus saudara yaitu 7 sehingga menghasilkan AM baru (AM 2) yaitu 28. Dari AM 2 yang berjumlah 28, di
berikan kepada istri 7 saham, saudara ibu dan sekandung mendapatkan 21 saham. Dari 21 saham itu dibagikan kepada ʻadadu al-ruʻus yang berjumlah 7, maka
bagian masing masing untuk saudara yaitu 6 untuk laki-laki dan 3 perempuan.
No AR Ahli Waris FM AM
1
= 4
Tashih al-
Mas´alah 1
Tashih al-
Mas´alah 1
AM 2 = Am
1 x AR
(4x7= 28)
28 menjadi
AM baru
(AM 2)
Bagian
masing-
masing
Tashih al-Mas´alah 2
AM/KPK: 4x7 (AD) =
28 AM 2.
28 AM 2 x 5 AR dari
keturunan NN binti
Mamiq SN = 140 AM
baru (AM 3)
Bagian
1 MA (istri) ¼ 1 7 7 35/140 35/140
2 2 SL bin Mamiq SN (saudara
laki-laki seibu)
Abg 3
AR dan SHM
7dan 3
Mubayanah
21
6
105/140
105: 7 (AR)
= 15
Laki-laki
dikali 2
Perempuan
dikali 1
30/140
3 1
NN binti Mamiq SN
(saudara perempuan seibu)
*wafat tahun 2004 dan
memiliki empat orang anak
(3 anak perempuan dan 1
anak laki-laki)
3
(AR dan
SHM)
5 dan 3
Mubayanah
15/140
4 2 Amaq JL (saudara laki-laki
kandung) 6 30/140
5 2 BI (saudara laki-laki
kandung) 6 30/140
6 - MH (saudara laki-laki
seayah) -
- - -
Jml 7 28 28 140/140 140/140
Setelah ditemukanya (AM 2) ternyata bagian saudara perempuan ibu yang mendapatkan 3 saham tidak dapat dibagikan kepada keturunan saudara seibu
yang jumlah ‘adadu al-ruʻus-nya 5 maka harus dilakukan tashih kembali.
Pada proses re-tashih perbandingnya adalah mubayanah, maka (AM 2) yaitu 28 harus dikali dengan 5 ‘adadu al-ruʻus keturunan saudara perempuan seibu
(yaitu 3 anak perempuan dan 1 anak laki-laki), sehingga menghasilkan AM baru yaitu 140 (AM 3). Am baru/AM 3 (140) diberikan kepada istri dengan saham 35
(35/140), saudara laki-laki seibu dan saudara laki-laki kandung mendapatkan saham 30 (30/140) serta saudara perempuan seibu mendapat 15 (15/140).
Dari saham saudara perempuan seibu yang mendapat 15 saham dibagikan kepada keturunan saudara seibu yang mempunyai 5 ‘adadu al-ruʻus . maka
caranya adalah saham saudara perempuan seibu (15) dibagi (5) adadu al-ruʻus keturunan saudara seibu (15:5= 3 saham). Dari dari hasil pembagian (15:5= 3
saham) diberikan kepada keturunan saudara seibu yaitu anak laki-laki dan anak peremepuan mendapat 2:1, Maka dari itu dalam putusan MA No. 30
PK/Ag/2013 keturunan saudara perempuan seibu mendapat 6 (6/140) saham untuk anak laki-laki dan untuk anak perempuan mendapatkan 3 (3/140) saham.