Post on 07-Nov-2021
1
ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA
PADA BEBERAPA KONDISI KAWASAN MANGROVE
DI KECAMATAN SINJAI TIMUR DAN SINJAI UTARA
KABUPATEN SINJAI
Analysis on Bivalvia Community Structure of Several
Conditions of Mangroves Areas at East Sinjai and
North Sinjai Districts Sinjai Regency
ANNITA SARI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
2
ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA
PADA BEBERAPA KONDISI KAWASAN MANGROVE
DI KECAMATAN SINJAI TIMUR DAN SINJAI UTARA
KABUPATEN SINJAI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Disusun dan diajukan oleh
ANNITA SARI
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
3
ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA
PADA BEBERAPA KONDISI KAWASAN MANGROVE
DI KECAMATAN SINJAI TIMUR DAN SINJAI UTARA
KABUPATEN SINJAI
Disusun dan diajukan oleh :
ANNITA SARI
Nomor Pokok P0304209001
Menyetujui
Komisi Penasihat,
Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA. Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.SiKetua Sekretaris
Ketua Program Studi,Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Prof. Dr. Ir. Ngakan Putu Oka, M.Sc
4
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Annita SariNomor Mahasiswa : P0304209001Program Studi : Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis/disertasi yang saya
tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan
merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila
dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan tesis/disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 05 Agustus 2011
Yang menyatakan,
Annita Sari
5
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil‘alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya tesis ini.
Gagasan yang melatar belakangi tesis ini muncul karena
banyaknya kegiatan rehabilitasi mangrove namun dampak ekologis dari
kegiatan tersebut belum banyak diteliti, padahal manfaat ekosistem ini
secara langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap
keberlanjutan pengelolaan suatu wilayah pesisir. Untuk itu maka penelitian
mempelajari mengenai keberhasilan ekologi dari beberapa kondisi
mangrove terhadap bivalvia.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka
penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka
tesis ini selesai pada waktunya.
Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA. sebagai Ketua Komisi Penasihat dan
Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M. Si. sebagai Anggota Komisi Penasihat
atas bantuan dan bimbingannya sejak awal penelitian sampai
penyusunan tesis ini.
2. Dr. Ir. M. Farid Samawi, M. Si., Prof. Dr. Ir. Niartiningsih, M.Si., dan
Dr. Ir. Ali Hamzah, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Penguji atas
saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan tesis ini.
6
3. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Syahrir Sutarman, SE. dan
Ibunda Hj. Sitti Aminah, atas limpahan kasih sayang, do’a,
perhatian dan dukungan baik secara spiritual maupun materiil, serta
Saudara-saudaraku atas dukungan dan perhatiannya.
4. Tim penelitian Restu Sirante, Andi Chadijah, K’ Rhido Alam Syah,
Syamsul Syarif, Arman, Andi Hikmah Adria, Andi Mutia Tungke atas
kerjasama dan kebersamaannya selama penelitian.
5. Teman-teman PLH’09 : Restu Sirante, Yuliana Ulfah, K’ Ade
Widyasari, K’ Asmidar, K’ Nova monika, K’ Rudy Syam, atas
kebersamaanya selama menimba ilmu di Pasca Sarjana UNHAS.
6. Teman-temanku yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu,
terima kasih atas bantuannya.
Makassar, 05 Agustus 2011
Penulis
7
ABSTRAK
Annita Sari. Analisis Struktur Komunitas Bivalvia Pada Beberapa Kondisi
Kawasan Mangrove di Kecamatan Sinjai Timur dan Sinjai Utara Kabupten Sinjai.
(dibimbing oleh Ambo Tuwo dan Chair Rani)
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) struktur komunitas;
(2) struktur komunitas bivalvia pada beberapa ekosistem mangrove diKecamatan Sinjai Timur dan Sinjai Utara; (3) Dampak ekologi usaharehabilitasi mangrove terhadap stuktur komunitas bivalvia; (4) pengaruhfaktor lingkungan terhadap struktur komunitas bivalvia.
Sebaran dan kerapatan mangrove diukur dengan metode kuadarat 10x10
m2. Sampling bivalvia menggunakan sekop (20x20 cm2) dalam transek kuadrat
ukuran 1x1 m2. Analisis data yang digunakan adalah One-Way Anova untuk
melihat tingkat perbedaan kerapatan mangrove, jumlah jenis dan kepadatan
bivalvia. Keterkaitan lingkungan dengan bivalvia menggunakan metode
Canonical Correspondence Analysis.
Hasil penelitian menunjukkan ada empat jenis mangrove (Avicennia alba,
R.mucronata, R.stylosa dan Ceriops spp.). Hasil identifikasi bivalvia ditemukan
13 jenis dari 8 famili sebanyak 252 ind. Jumlah jenis dan kepadatan bivalvia yang
memiliki sebaran tertinggi, yaitu A.antiquata dan G.tumidum. Indeks ekologi
mengindikasikan mangrove yang relatif masih alami lebih baik dibandingkan
dengan mangrove hasil rehabilitasi. Mangrove rehabilitasi secara nyata
mempengaruhi jumlah jenis bivalvia namun tidak pada kepadatan bivalvia.
Kata Kunci : Mangrove, Bivalvia
8
ABSTRACT
Annita Sari. Analysis on Bivalvia Community Structure of Several Conditions of
Mangroves Areas at East Sinjai and North Sinjai Districts Sinjai Regency
(supervised by Ambo Tuwo and Chair Rani)
The Research aimed to : (1) elaborate the mangrove community structrue
at East Sinjai and North Sinjai Districts; (2) Analyse bivalvia community structure
on several mangrove ecosystems at East Sinjai and North Sinjai Districts; (3)
affect the ecology of effort rehabilitating mangrove to bivalvia community
structure; (4)investigate the impact of the environment factor towards bivalvia
community structure.
Mangrove distribution and density were measured by a quadratic method
of 10x10m2. Bivalvia sampling used a spade (20x20 cm2) in the quadratic
transect of 1x1m2 size. Data analysis used was One-Way anova to perceive the
difference level of the mangrove density, the number, type and density of
bivalvia. The environment relationship with bivalvia used the Canonical
Correspondence Analysis Method.
During the research, four types of mangroves (Avicennia alba,
R.mucronata, R.stylosa dan Ceriops spp.) are obtained. The result of bivalvia
identification produces 13 types and 8 families as many as 252 ind. The number
of bivalvia types and densities which has the highest spreading is A.antiquata
and G.tumidum. The ecology index indicates that the mangroves which are still
natural are better than the rehabilitation result mangroves. The rehabilitation
mangroves factually influence the number of bivalvia types, but not on the
bivalvia density.
Key-word : Mangrove, Bivalvia
9
DAFTAR ISI
halaman
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xii
I. PENDAHULUANA. Latar Belakang 1B. Rumusan Masalah 4C. Tujuan Penelitian 4D. Kegunaan Penelitian 5E. Lingkup Penelitian 5
II. TINJAUAN PUSTAKAA. Mangrove
a. Definisi Mangrove 6b. Penyebaran Mangrove 7c. Zonasi Mangrove 8d. Fungsi dan Peranan Hutan Mangrove 10e. Kerusakan Kawasan Mangrove 12
B. Bivalviaa. Morfologi Bivalvia 15b. Habitat Bivalvia 17c. Bivalvia Sebagai Indikator Pencemaran 19d. Parameter Lingkungan yang mempengaruhi keberadaan
Bivalvia 20C. Indeks Ekologi 24D. Kerangka Pikir 26E. Riwayat Penyelamatan Lingkungan 29F. Gambaran Umum Lokasi 31
III. METODE PENELITIANA. Waktu dan Lokasi Penelitian 33B. Alat dan Bahan 34C. Tahapan Penelitian 36
1. Tahap Persiapan dan Observasi 362. Prosedur Pengambilan Data 363. Analisis Data 42
10
IV. HASIL DAN PEMBAHASANA. Struktur Komunitas Mangrove
1. Sebaran dan Kerapatan Mangrove 482. Indeks Nilai Penting (INP) 51
B. Struktur Komunitas BIvalvia1. Sebaran dan Komposisi jenis 522. Jumlah jenis dan Kepadatan Bivalvia 573. Indeks Ekologi Bivalvia 60
C. Analisis Dampak Ekologia. Jumlah Jenis dan Kepadatan Bivalvia 63b. Perbandingan Indeks Ekologi 65c. Hubungan Tinggi-Berat Cangkang Bivalvia 67
D. Keterkaitan Struktur Komunitas Bivalvia dengan Lingkungan 71
V. KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan 75B. Saran 76
DAFTAR PUSTAKA 77
LAMPIRAN
11
DAFTAR TABEL
nomor halaman
2.1. Luas Hutan Mangrove di Indonesia (Arief, 2003) 7
2.2. Beberapa Dampak Aktivitas Manusia terhadapHutan Mangrove (Bengen, 2000) 13
2.3. Kategori Indeks Keanekaragaman Jenis 25
2.4. Kategori Indeks Keseragaman Jenis 25
2.5. Kategori Indeks Dominansi 26
2.6. Kegiatan Tahunan Penanaman Mangrove 29
3.1. Peralatan dan Bahan yang digunakan 35
3.2. Klasifikasi Sedimen berdasarkan Ukuran Partikel 40
3.3. Kriteria Kerusakan Mangrove 44
4.1. Sebaran Mangrove pada setiap stasiun pengamatan 49
4.2. Kondisi Mangrove berdasarkan nilai kerapatan (KMNLH,2004) 51
4.3. Indeks Nilai Penting (INP) mangrove 52
4.4. Sebaran Jenis bivalvia pada setiap stasiun pengamatan 53
4.5. Perbandingan nilai kepadatan bivalvia pada beberapakondisi mangrove 57
4.6. Nilai Koefisien a dan b berdasarkan analisis regresi linierhubungan Tinggi-Berat Bivalvia 67
12
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
2.1. Zona Kawasan Mangrove yang masih lengkap (Bengen, 2000) 9
2.2. Morfologi Bivalvia 16
2.3. Anatomi Bivalvia 17
2.4. Siklus Hidup Bivalvia 18
2.5. Kerangka Pikir Penelitian 28
3.1. Peta Lokasi Penelitian 33
3.2. Model Pemasangan Line Transek dan Plot pengamatanMangrove 38
3.3. Model Pengambilan Sampel Bivalvia pada setiap plotpengamatan mangrove 39
3.4. SegitigaTekstur Tanah 41
3.5. Bagan Alir Penelitian 47
4.1. Kerapatan mangrove. Huruf yang berbeda pada grafikmenunjukkan perbedaan yang nyata pada alpha 5%berdasarkan Anova (one-way anova) 49
4.2. Komposisi Jenis Bivalvia pada seluruh Stasiun 53
4.3. Komposisi Jenis Bivalvia stasiun I (a); stasiun II (b);Stasiun III (c); stasiun IV (d) dan daerah Non-Vegetasi/NV (e) 55
4.4. Jumlah Jenis Bivalvia (a) dan Kepadatan bivalvia (ind/m2) (b)yang ditemukan pada setiap stasiun. Huruf yang berbedapada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata pada alpha5% berdasarkan Anova (one-way anova) 59
4.5. Grafik Indeks Keanekaragaman (H’) antar stasiun 60
4.6. Grafik Indeks Keseragaman (E) bivalvia antar Stasiun 61
4.7. Grafik Indeks Dominansi (D) bivalvia antar stasiun 62
13
4.8. Dendrogram kemiripan struktur komunitas bivalvia yangditemukan selama penelitian pada beberapa jenis mangrove 63
4.9. Jumlah Jenis Bivalvia (a); Kepadatan bivalvia (b)Uji t-berpasangan (paired sample t-test) pada alpha 5%. 64
4.10. Perbandingan Indeks Ekologi antara Stasiun Mangrove denganNon-Vegetasi. a) Indeks Keanekaragaman (H’);b) Indeks Keseragaman (E); c) Indeks Dominansi (D) 66
4.11. Hubungan Tinggi-Berat Cangkang Bivalvia. Anadara antiquata (a);Gafrarium tumidum (b); Meretrix meretrix (c);Tellina timorensis (d); Marcia opima (e);Polymesoda bengalensis (f) 68
4.12. Hasil Analisis CCA jenis makrozoobentos yang dominankaitannya dengan lingkungan 71
14
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor halaman
1. Gambar Kondisi dan Klasifikasi Mangrove 82
2. Gambar Jenis-jenis dan Klasifikasi Bivalvia yang ditemukanpada Lokasi Penelitian 85
3. Hasil Perhitungan One-Way Anova Mangrove 92
4. Hasil Perhitungan One-Way Anova, Uji-T Bivalviadan Analisis Regresi 93
5. Perhitungan Parameter Lingkungan dan Bivalvia (CCA) 105
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekosistem mangrove sering disebut sebagai hutan payau atau
hutan bakau. Ekosistem mangrove merupakan tipe hutan daerah tropik
yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang masih
dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan banyak dijumpai di wilayah
pesisir yang terlindung dari hempasan ombak. Pengertian ekosistem
mangrove secara umum adalah merupakan komunitas vegetasi pantai
tropik yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang tumbuh
dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen,
2000).
Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi.
Fungsi ekonomi hutan mangrove antara lain sebagai penghasil keperluan
rumah tangga (furniture), penghasil bahan baku industri dan penghasil
bibit. Sedangkan fungsi ekologisnya, yaitu sebagai tempat tinggal
(habitat), daerah mencari makan (feeding ground), daerah asuhan dan
pembesaran (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground)
bagi biota perairan dan juga sebagai pelindung pantai dari serangan
angin, arus dan ombak (Dahuri, dkk., 2001).
Meningkatnya angka pertumbuhan penduduk dan aktivitas
pembangunan, maka fungsi lingkungan pantai di beberapa daerah telah
16
menurun atau rusak. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya proses intrusi
air laut, abrasi pantai dan degradasi sumberdaya hayati. Meningkatnya
permintaan dan kepentingan manusia untuk memenuhi kebutuhannya
menyebabkan kawasan mangrove mengalami degradasi, sehingga
kawasan mangrove tidak dapat melakukan pemulihan alami. Kegiatan
pengalihan kawasan mangrove misalnya konversi status peruntukan
kawasan mangrove menjadi pemukiman, tambak, maupun dermaga.
Penanaman (permudaan) mangrove di Kabupaten Sinjai (misalnya
Tongke-Tongke) telah dilakukan sejak tahun 1985 oleh masyarakat.
Kegiatan Penanaman mangrove dilakukan karena pesisir pantai daerah
tersebut berada dalam kondisi yang rusak, sehingga pada saat angin
kencang, ombak besar dapat merusak pemukiman nelayan, misalnya
abrasi dan pengendapan lumpur di muara sungai mencapai kedalaman
0,50 meter. Merasakan dampak negatif dari abrasi dan sedimentasi
tersebut akhirnya muncul pemikiran dari tokoh-tokoh masyarakat untuk
melaksanakan penanaman mangrove.
Seiring dengan berjalannya waktu kegiatan penanaman mangrove
semakin meluas, hal tersebut dapat dilihat pada luas area penanaman
dilakukan oleh masyarakat. Luasan area penanaman mangrove mencapai
± 244 Ha pada desa Lappa kecamatan Sinjai Utara, sedangkan di
Kecamatan Sinjai Timur, luas mangrove pada desa Tongke-Tongke ± 325
Ha dan Panaikang mencapai ± 95,50 Ha (Anonim, 2010). Model
pengelolaan kawasan penanaman mangrove di wilayah tersebut dilakukan
sepenuhnya oleh masyarakat (Amri, 2005).
17
Berhasilnya kegiatan penanaman mangrove di sepanjang pesisir
pantai Tongke-Tongke akhirnya menjadikan kawasan tersebut sebagai
kawasan konservasi mangrove. Mangrove yang tumbuh di Tongke-
Tongke umumnya jenis Rhizophora spp. dengan adanya kegiatan tersebut
diharapkan dapat membantu melestarikan dan memperbaiki perairan
pantai yang layak baik biota laut misalnya ikan, udang, kepiting dan
khususnya bivalvia.
Beberapa jenis bivalvia memiliki nilai ekonomis tinggi karena dapat
dijadikan sebagai perhiasan, sumber makanan misalnya Anadara granosa
(Kerang darah), Anadara antiquata (Kerang bulu), Mytilus viridis (kerang
hijau), Crassotrea cucullata (Tiram bakau) (Nontji, 1993). Selain memiliki
nilai ekonomis kelompok bivalvia sering dijadikan sebagai bioindikator
pencemaran (Wardhana, 1995).
Kelompok bivalvia dapat dijadikan sebagai indikator pencemar
karena memiliki siklus hidup yang panjang, mudah diidentifikasi,
kelimpahannya dapat dihitung, ukuran tubuh relatif besar, tersebar
secara kosmopolit, pergerakannya terbatas, cocok untuk pengamatan
pada skala laboratorium, menempati beberapa posisi yang penting
dalam rantai makanan serta memiliki toleransi yang tinggi terhadap
perubahan lingkungan perairan (Rosenberg & Resh, 1993).
Perubahan kondisi fisik pantai juga terjadi, karena adanya kegiatan
penanaman mangrove dan secara tidak langsung mempengaruhi struktur
komunitas dari bivalvia. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk
18
mengetahui pengaruh karakteristik lingkungan ekosistem mangrove
dengan struktur komunitas bivalvia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi struktur komunitas mangrove yang terdapat di
wilayah Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur?
2. Bagaimana struktur komunitas bivalvia pada beberapa kondisi
komunitas mangrove?
3. Bagaimana keberhasilan ekologi dari upaya rehabilitasi mangrove di
Kabupaten Sinjai, khususnya terhadap komunitas bivalvia?
4. Bagaimana pengaruh faktor lingkungan terhadap struktur komunitas
bivalvia di ekosistem mangrove?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis struktur komunitas mangrove di beberapa wilayah
Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur
2. Menganalisis struktur komunitas bivalvia pada beberapa ekosistem
mangrove di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur
3. Menganalisis dampak ekologi usaha rehabilitasi mangrove terhadap
struktur komunitas bivalvia
4. Mengetahui pengaruh faktor lingkungan terhadap struktur komunitas
bivalvia terhadap berbagai kondisi kawasan mangrove.
19
D. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian tersebut, ialah :
1. Sebagai bahan informasi dalam pengelolaan, pemanfaatan, dan
pelestarian wilayah pesisir, khususnya dalam meningkatkan
produktivitas dan biodiversitas perairan pantai.
2. Sebagai bahan informasi dan bahan pembanding untuk penelitian lebih
lanjut.
E. Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada kajian terhadap struktur komunitas
bivalvia, dalam hal ini mencakup komposisi jenis, kepadatan, indeks
keanekaragaman, indeks keseragaman dan dominansi Bivalvia pada areal
mangrove di Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai Utara dan Tongke-
Tongke serta Panaikang di Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai.
Sedangkan parameter lingkungan yang diamati sebagai parameter
pendukung antara lain:
Mangrove (Kerapatan Jenis, Kerapatan Relatif, Penutupan Jenis
dan Nilai Penting)
Suhu, Salinitas, oksigen terlarut (DO), derajat keasaman (pH), Eh-
pH sedimen, bahan organik total (BOT) sedimen dan tekstur
sedimen.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mangrove
a. Definisi Mangrove
Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan
dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk
hutan yang ekstensif dan produktif, karena hidupnya di dekat pantai,
mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan
payau, atau hutan bakau.
Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas
mangrove, terutama jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum. Selain itu juga ditemukan jenis-
jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Mangrove
mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman
struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan
perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan
mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai
penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya
sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke
daratan. Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk
perlindungan bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat
sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak organisme
epifit (Nybakken, 2007).
21
b. Penyebaran Mangrove
Perkembangan hutan mangrove di Indonesia terjadi di daerah
pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai dengan variasi lebar
beberapa meter sampai dengan ratusan meter lebih. Hutan Mangrove
tumbuh hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Wilayah hutan mangrove
yang paling luas terdapat di Papua, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan,
Riau dan Maluku (Arief, 2003). Luas hutan mangrove di Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Luas Hutan Mangrove di IndonesiaNo Provinsi Unesco 1990 (Ha) INTAG 1993 (Ha)1 Daerah Istimewa Aceh 50.000 102.9692 Sumatra Utara 60.000 93.3443 Sumatra Barat - 4.8444 Riau 95.000 221.0455 Jambi - 13.4536 Sumatra Selatan 195.000 363.4247 Bengkulu - 2.6128 Lampung 17.000 49.443
Sumatra 417.000 856.1349 DKI Jakarta - -10 Jawa Barat 20.400 594.06111 Jawa Tengah 14.000 12.18812 DI Yogyakarta - 1.87513 Jawa Timur - 10.156
Jawa 34.400 618.28014 Bali - 015 Nusa Tenggara Barat 3.700 016 Nusa Tenggara Timur - 4.598
Bali dan Nusa Tenggara 3.700 4.59817 Kalimantan Barat 40.000 194.28818 Kalimantan Tengah 10.000 48.73319 Kalimantan Selatan 75.000 120.78220 Kalimantan Timur 40.000 775.640
Kalimantan 165.000 1.139.44521 Sulawesi Utara - 38.13522 Sulawesi Tengah - 37.64023 Sulawesi Tenggara 29.000 70.84124 Sulawesi Selatan 24.000 104.021
Sulawesi 53.000 250.63725 Maluku 100.000 148.69626 Papua 2.943.000 1.326.990
Jumlah Total 3.707.100 3.771.493(Sumber : FAO, 1990 dan Ditjen Intag, 1993 dalam Arief, 2003)
22
c. Zonasi Mangrove
Ekosistem mangrove sangat rumit, karena terdapat banyak faktor
yang saling mempengaruhi, baik di dalam maupun di luar pertumbuhan
dan perkembangannya. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan
mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut dengan
nama jenis-jenis vegetasi yang mendominasi. Pembagian zona
berdasarkan perbedaan penggenangan yang juga menyebabkan
perbedaan salinitas. Hal tersebut membuat adanya perbedaan jenis di
kawasan mangrove.
Menurut Arief (2003), pembagian zonasi juga dapat dilakukan
berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi, dari arah laut ke daratan
adalah sebagai berikut :
1. Zona Avicennia
Zonan avicennia terletak pada lapisan luar dari hutan mangrove. Pada
zona avicennia kondisi tanah berlumpur lembek dan berkadar garam
tinggi. Jenis Avicennia banyak ditemukan berasosiasi dengan
Sonneratia spp. Karena tumbuh di bibir laut, jenis-jenis ini memiliki
perakaran yang sangat kuat yang dapat bertahan dari hempasan
ombak laut. Zona avicennia merupakan zona perintis atau pioneer,
karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkeraman
perakaran tumbuhan jenis-jenis ini.
2. Zona Rhizophora
Zona Rhizpohora, terletak dibelakang zona Avicennia dan Sonneratia.
Pada zona rhizophora kondisi tanah berlumpur lembek, dengan kadar
23
garam lebih rendah. Perakaran tanaman tetap terendam selama air
laut pasang.
3. Zona Bruguiera
Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora. Pada zona ini,
tanah berlumpur agak keras. Perakaran tanaman lebih peka serta
hanya terendam pasang naik dua (2) kali sebulan.
4. Zona Nypah
Zona Nypah, yaitu Zona pembatas antara daratan dan lautan, namun
zona ini sebenarnya tidak harus ada, kecuali jika terdapat air tawar
yang mengalir (sungai) ke laut.
Gambar 2.1. Zona Kawasan Mangrove yang masih lengkap(Sumber : Bengen, 2000)
Gambar 2.1 merupakan gambar zonasi mangrove yang masih
lengkap karena semua jenis masih terdapat di dalam kawasan. Di
beberapa kawasan serta kepulauan Indonesia, tidak seluruh zonasi
tersebut ada. Ketidaksempurnaan zonasi disebabkan oleh beberapa
faktor, misalnya ketidak sempurnaan penggenangan ataupun pasang
surut.
24
d. Fungsi dan Peranan Hutan Mangrove
Mangrove membantu dalam pengembangan dalam bidang sosial
dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk
industri perikanan. Selain itu telah diketemukan bahwa tumbuhan
mangrove mampu mengontrol aktivitas nyamuk, karena ekstrak yang
dikeluarkan oleh tumbuhan mangrove mampu membunuh larva dari
nyamuk Aedes aegypti (Thangam and Kathiresan,1989 dalam Arief,
2003). Itulah fungsi dari hutan mangrove yang ada di India, fungsi tersebut
tidak jauh berbeda dengan fungsi yang ada di indonesia baik secara fisika
kimia, biologi, maupun secara ekonomis.
Ekosistem mangrove secara fisik maupun biologi berperan dalam
menjaga ekosistem lain di sekitarnya, seperti padang lamun, terumbu
karang, serta ekosistem pantai lainnya. Berbagai proses yang terjadi
dalam ekosistem hutan mangrove saling terkait dan memberikan berbagai
fungsi ekologis bagi lingkungan. Secara garis besar fungsi hutan
mangrove dapat dikelompokkan menjadi :
1. Fungsi Fisik
Menjaga garis pantai agar tetap stabil
Mempercepat pembentukan lahan baru
Sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus
Sebagai pelindung tepi sungai atau pantai
Mendaur ulang unsur-unsur hara penting
25
2. Fungsi Biologi
Sebagai kawasan pemijahan atau asuhan (Nursery ground) bagi
ikan, udang, kepiting dan lain sebagainya yang pada saat dewasa
organisme-organisme tersebut akan kembali ke lepas pantai.
feeding ground
spawning ground, bagi berbagai spesies udang, ikan, dan lainnya
sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika
Habitat berbagai kehidupan liar
3. Fungsi Ekonomi
Akuakultur, untuk budidaya sangat bagus karena unsur hara tinggi
serta sebagai pengahsil alami bibit ikan, udang, kerang, kepiting,
telur burung dan madu.
Penghasil kayu, misalnya kayu bakar, arang serta kayu untuk
bahan bangunan dan perabot rumah tangga.
Penghasil bahan baku industry, misalnya kertas, tekstil, makanan,
obat-obatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetika dan zat warna.
Rekreasi
4. Fungsi lain (wanawisata), kawasan mangrove antara lain adalah
sebagai berikut:
Sebagai kawasan wisata alam pantai dengan keindahan vegetasi
dan satwa, serta berperahu di sekitar area mangrove
Sebagai tempat pendidikan, konservasi dan penelitian.
26
5. Fungsi Kimia
Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan
oksigen
Sebagai penyerap karbondioksida
Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industry
dan kapal-kapal di lautan
e. Kerusakan Kawasan Mangrove
Kerusakan kawasan mangrove banyak yang diakibatkan oleh faktor
manusia, baik secara sengaja ataupun tidak disengaja. Kerusakan yang
tidak disengaja oleh manusia misalnya pengambilan kayu-kayu sebagai
sumber energi atau kayu bakar, bahan bangunan ataupun asesoris rumah
tangga karena bentuknya antik. Bahkan, di wilayah dengan penduduk
yang mengerti masalah obat-obatan tradisional, perakaran jenis pasak
dipanen untuk digunakan sebagai obat tumor dan alat kontrsepsi, daun B.
sexangula dipetik untuk digunakan sebagai pencegah tumor dan kulit kayu
Xylocarpus spp. diambil untuk digunakan sebagai obat diare serta
penyakit-penyakit lainnya.
Selain karena hal-hal tersebut, kerusakan kawasan mangrove juga
disebabkan oleh faktor-faktor fisik yang disengaja dilakukan oleh manusia.
Faktor-faktor fisik tersebut antara lain aliran sungai yang dibendung,
konversi atau perubahan status peruntukkan dan pengambilan batu atau
karang pantai. Akibat proses-proses tesebut, hutan mangrove menjadi
semakin berkurang. Akibat lebih lanjut adalah terjadinya abrasi pantai
serta kerusakan terumbu karang.
27
Pembangunan sebagian kawasan mangrove seringkali berdampak
terhadap kekuatan gelombang ke kawasan pantai. Sebelum dilakukan
pembangunan ataupun konversi kawasan pantai, semua gelombang
diredam oleh kawasan mangrove. Setelah sebagian kawasan mangrove
menghilang karena fungsi lain, sebagian besar aras gelombang akan
membelok ke kawasan mangrove yang tersisa. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan vegetasi mangrove
yang akhirnya memusnahkan kawasan zonasi. Beberapa dampak dari
aktivitas manusia terhadap ekosistem hutan mangrove dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Beberapa Dampak dari Aktivitas Manusia Terhadap EkosistemMangroveKegiatan Dampak Potensial
Tebang Habis Berubahanya komposisi tumbuhan,pohon-pohon mangrove akan digantikanoleh species-species yang nilaikomersialnya rendah dan hutan mangroveyang ditebang habis ini tidak lagiberfungsi sebagai daerah nursery ground,feeding ground yang optimal bagibermacam ikan dan udang stadium mudayang komersial penting.
Pengalihan aliran air tawar,misalnya pada pembangunanirigasi
Peningkatan salinitas hutan (rawa)mangrove menyebabkan dominasi darispesies-spesies yang lebih toleranterhadap air yang menjadi lebih asin, ikandan udang dalam stadium larva danjuvenile mungkin tidak dapat menoleransipeningkatan salinitas karena merekalebih sensitif terhadap perubahanlingkungan.
Menurunnya tingkat kesuburan hutanmangrove karena pasokan zat-zat haramelalui aliran air tawar berkurang
Konversi menjadi lahanpertanian, perikanan
Mengancam regenarasi stok-stok ikandan udang di perairan lepas pantaimemerlukan hutan (rawa) mengrovesebagai nursery ground larva ataustadium muda ikan dan udang
Pencemaran laut oleh bahan-bahan
28
pencemar yang sebelum hutan mangrovedikonversi apat diikat oleh substrat hutanmangrove.
Intrusi garam melalui saluran-saluranalam yang bertahankan keberadaannyaatau melalui saluran-saluran buatanmanusia yang bermuara di laut
Erosi garis pantai yang sebelumnyaditumbuhi mangrove
Pembuangan sampah cair(sewage)
Penurunan kandungan oksegen terlarutdalam air bahkan data terjadi keadaananoksik dalam air sehingga BO yangterdapat dalam sampah cair mengalamidekomposisi anaerobic, antara lainmenghasilkan Hidrogen sulfide (H2S) danammonia (NH3) yang keduanyamerupakan racun bagi organisme dalamair.
Pembuangan sampah padat Kemungkinan terlapisnya pneumatophoredengan sampah padat yang akanmengakibatkan kematian pohon-pohonmangrove
Perembesen bahan-bahan pencemardalam sampah padat yang kemudian larutdalam air ke peraiaran di sekitarpembuangan sampah
Pencemaran minyak akibatterjadinya tumpahan minyakdalam jumlah besar
Kematian pohon-pohon mangrove akibatterlapisnya pneumtophore oleh lapisanminyak
Didaratan sekitar hutanmangrove
Pengendapan sedimen yang berlebihanyang mengakibatkan terlapisnyapneumatophore oleh sedimen yang padaakhirnya dapat mematikan pohonmangrove
(Sumber : Bengen, 2000)
Menurut Arief (2003), kerusakan-kerusakan kawasan mangrove
secara garis besar antara lain adalah sebagai berikut :
1. Perubahan sifat-sifat fisika dan kimia, meliputi suhu air, nutrisi,
salinitas, hidrologi, sedimentasi, kekeruhan, substansi beracun dan
erosi tanah.
2. Perubahan sifat-sifat biologis, meliputi terjadinya perubahan species
dominan, densitas, populasi, serta struktur tumbuhan dan binatang.
29
3. Perubahan keseimbangan ekologi, meliputi regenerasi, pertumbuhan,
habitat, dan rantai makanan, baik pada ekosistem mangrove itu
sendiri maupun pada daerah pantai yang bersebelahan.
B. Bivalvia
a. Morfologi Bivalvia
Struktur komunitas merupakan sekumpulan populasi dari spesies-
spesies yang berlainan dan dari spesies yang sama menempati suatu
habitat (Sambas, 2003). Kelompok bivalvia atau dikenal juga dengan
nama klas Pelecypoda dari filum Moluska, merupakan klas kedua terbesar
jumlah speciesnya. Menurut Nontji (2007), diperkirakan terdapat sekitar
1000 jenis bivalvia yang hidup diperairan Indonesia. Bivalvia hidup
menetap di dasar laut, membenamkan diri dalam pasir atau lumpur dan
melekatkan/menempel pada kerangka karang-karang batu.
Pada bagian dorsal cangkang terdapat gerigi hinge yang berfungsi
sebagai tumpuan ketika cangkang terbuka dan tertutup, ligamen hinge
merupakan jaringan yang menyambungkan cangkang kanan dan kiri dan
umbo menjadi pusat pertumbuhan cangkang (Hickman, 1996).
Bentuk cangkang yang berbeda-beda dapat menjadi petunjuk
identifikasi sampai ketingkat jenis, permukaan cangkang lekukan dan
tonjolan yang tersusun hingga membentuk seperti kipas. Bentuk lipatan
akan berbeda pada setiap jenis bivalvia (Barth, 1982). Ukuran bivalvia
bervariasi dari yang berukuran ±2mm banyak ditemukan pada famili
Sphaeralidae sampai bivalvia yang memiliki panjang lebih dari satu meter,
misalnya kerang raksasa (Tridacna sp.) dengan berat mencapai 11.000 kg
30
(Barnes & Ruppet, 1994). Morfologi bivalvia dapat dilihat pada Gambar
2.2.
Menurut Prawirohartono (2003) cangkang kerang tersusun atas zat
kapur yang terdiri dari 3 (tiga) lapisan, yaitu :
1. Lapisan Periostrakum, merupakan lapisan yang terluar, tipis, gelap dan
tersusun atas zat tanduk.
2. Lapisan Prismatik, merupakan lapisan tengah yang tebal, tersusun dari
Kristal-kristal CaCO3 berbentuk prisma.
3. Lapisan Nakreas (Lapisan Mutiara), merupakan lapisan yang tersusun
atas Kristal CaCO3 yang halus dan berbeda dari kristal-kristal pada
lapisan prismatik.
Gambar 2.2. Morfologi Bivalvia(Sumber : Suwignyo dkk, 2005)
Ciri-ciri umum bivalvia, yaitu : hewan lunak, tidak memiliki kepala,
mata, tentakel serta radula (gigi) di dalam tubuhnya. Tubuh bivalvia hanya
terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu kaki otot berbentuk seperti lidah,
mantel, dan organ dalam. Kaki dapat ditonjolkan antara dua cangkang
31
tertutup, bergerak memanjang dan memendek berfungsi untuk bergerak
dan merayap (Robert et al, 1982).
Mantel merupakan jaringan tipis dalam cangkang, bentuk mantel
pada lobus kiri dan kanan memipih, didalam mantel terdapat dua buah
lubang panjang yang merupakan tempat masuknya air disisi posterior
yang disebut Inhalent Posterior dan Incurrent Posterior. Insang berbentuk
lempengan dengan jumlah satu atau dua pasang (Umaryati, 1990). Insang
bivalvia dilengkapi dengan silis untuk Filter feeding (makan dengan
menyaring larutan). Menurut Nybakken (2007) mengklasifikasikan bivalvia
ke dalam kelompok pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit.
Karena hal tersebut maka jumlah bivalvia cenderung melimpah pada
sedimen lumpur dan lunak. Anatomi Bivalvia dapat dilihat pada Gambar
2.3.
Gambar 2.3. Anatomi Bivalvia(Sumber : Suwignyo dkk, 2005 )
Bentuk Kelamin pada bivalvia terpisah namun ada juga yang
hermaprodit. Perkembangan (siklus hidup) bivalvia di perairan laut lewat
trochopora dan veliger sedangkan pada perairan tawar perkembangannya
32
lewat glochidia (Weisz, 1973). Perkembangan (siklus) hidup bivalvia dapat
dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Siklus hidup bivalvia(Sumber : Suwignyo dkk, 2005)
b. Habitat Bivalvia
Bivalvia memilih habitat di dasar laut dengan cara membenamkan
diri di dalam pasir atau lumpur bahkan menempel pada karang-karang
batu dengan semacam serabut yang dinamakan byssus (Nontji, 2008).
Bivalvia tersebar pada kedalaman 0,01 sampai 5000 meter, pada
beberapa spesies bivalvia seperti Mytillus edulis dapat hidup di daerah
intertidal karena mampu menutup rapat cangkangnya untuk mencegah
kehilangan air (Nybakken, 2007).
Menurut Sumich (1992), berdasarkan habitatnya bivalvia dapat di
bagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
a. Jenis bivalvia di lepas pantai
Habitat lepas pantai merupakan wilayah perairan sekitar pulau yang
memiliki kedalaman 20-40 m. Jenis bivalvia yang banyak ditemukan di
33
daerah tersebut, ialah : Plica sp.; Pinctada maxima, Spondylus hysteria
dan sebagainya.
b. Jenis Bivalvia di Perairan Dangkal
Jenis-jenis bivalvia di perairan dangkal dikelompokkan lagi
berdasarkan lingkungan di mana bivalvia tersebut hidup, misalnya :
bivalvia yang hidup di garis tinggi, bivalvia yang hidup didaerah pasang
surut dan yang hidup dibawah garis surut terendah (sampai kedalaman
2 meter). Jenis bivalvia yang hidup didaerah-daerah tersebut, ialah :
Vulsella sp.; Osterea sp.; Magdalena sp., Mactra sp.; dan Mitra sp.
c. Jenis Bivalvia di Perairan Mangrove
Habitat Mangrove di pengaruhi oleh besarnya perubahan salinitas,
kandungan bahan organik, kandungan H2S yang tinggi yang
disebabkan dari hasil penguraian sisa bahan organik dalam kondisi
lingkungan yang minim kandungan oksigen. Jenis bivalvia yang
banyak hidup di daerah tersebut, ialah : Oatrea sp. dan Gelonia
cocxans.
c. Bivalvia Sebagai Indikator Pencemaran
Bivalvia sering dijadikan sebagai indikator pencemar karena
memiliki siklus hidup yang panjang, mudah diidentifikasi, kelimpahannya
dapat dihitung, ukuran tubuh relatif besar, tersebar secara kosmopolit,
pergerakannya terbatas, cocok untuk pengamatan pada skala
laboratorium, menempati beberapa posisi yang penting dalam rantai
makanan serta memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan
lingkungan perairan (Rosenberg & Resh, 1993).
34
Beberapa organisme mempunyai kemampuan untuk mengontrol
jumlah racun dalam tubuhnya melalui proses pengeluaran, sementara
organisme lain tidak dapat melakukan hal tersebut. Organisme yang
tidak dapat mengontrol jumlah kandungan racun akan mengakumulasi
polutan dan jaringan mereka menunjukkan adanya polutan. Salah satu
biota yang sangat baik dalam mengakumulasi polutan sehingga
digunakan sebagai biomonitor polusi adalah bivalvia (Philips, 1980).
C. Parameter lingkungan yang mempengaruhi keberadaan Bivalvia
Parameter Lingkungan yang mempengaruhi keberadaan bivalvia,
adalah sebagai berikut :
a. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan
dan distribusi bivalvia. Suhu mempengaruhi proses biokimia dan
metabolisme antara lain pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim dan
penggunaan oksigen, pertumbuhan, reproduksi dan morfologi misalnya
pembentukan cangkang pada Mytilus edulis (Levinton, 1982). Suhu yang
baik untuk kerang mutiara berkisar 25-30o C, namun suhu air pada kisaran
27-31oC juga dianggap layak untuk pertumbuhan kerang mutiara
(Winanto, 2004).
b. Salinitas
Salinitas merupakan jumlah berat semua garam yang terlarut dalam
satu liter air, biasanya dalam satuan per mil, gram per mil (‰) (Nontji,
2007). Perubahan salinitas berpengaruh pada proses difusi dan osmotic.
35
Bivalvia mengatur tekanan osmotik tubuhnya secara intra selluler
(Levinton, 1982).
Daerah Estuari di Indonesia memiliki variasi salinitas yang beragam
berkisar antara 15-32 ‰. Beragamnya salinitas di perairan bergantung
pada musim, topografis, pasang surut dan jumlah air tawar yang masuk di
daerah estuari (Nybakken, 2007).
c. Derajat Keasaman (pH)
Dalam pengamatan kualitas air salah satu parameter yang diamati
adalah derajat keasaman (pH), hal tersebut disebabkan karena pH
mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan air. pH
berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basah),
sedangkan batas toleransi pH dari ikan dan makhluk-makhluk akuatik
lainnya untuk hidup di perairan tersebut berkisar antara 7-8,5.
Nilai kisaran pH 5,0-9,0 menunjukkan adanya kelimpahan dari
organisme makrozoobentos, dimana sebagian besar organisme dasar
tersebut seperti polychaeta, moluska dan bivalvia memiliki tingkat asosiasi
terhadap derajat keasaman yang berbeda-beda (Hawkes, 1978).
d. Dissolved Oksigen (DO)
Oksigen terlarut adalah salah satu faktor penting dalam setiap
sistem perairan. Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar bagi
organisme akuatik termasuk bentos, karena karena digunakan untuk
respirasi (Michael, 1994). Menurut Sastrawijaya (1991) kehidupan di air
dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 4 mg/l,
36
selebihnya tergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifan,
kehadiran pencemar, temperatur air dan sebagainya.
Menurut Levinton (1982) jumlah oksigen terlarut meningkat sejalan
dengan menurunnya suhu dan naiknya salinitas. Semakin besar
kandungan oksigen terlarut dalam ekosistemnya maka semakin baik pula
kehidupan makrozoobentos yang mendiaminya, dimana kadar oksigen
terlarut yang dibutuhkan oleh makrozoobentos adalah berkisar 1,00 – 3,00
mg/l (Dowing, 1984 dalam Sudarja, 1987)
e. Eh dan pH Sedimen
Redoks potensial dapat dijadikan sebagai ukuran kandungan
oksigen dalam sedimen (Bengen et al., 1995). Oksidasi atau redoks
potensial diukur dengan ukuran millivolt yang disebut skala Eh yang kira-
kira sama dengan pH, hanya saja Eh mengukur aktivitas elektron
sedangkan pH mengukur aktivitas proton. Pada wilayah redoks yang
terputus, Eh akan menurun dengan cepat dan menjadi negatif pada
wilayah yang sepenuhnya kosong (Odum, 1998).
Nilai pH sedimen sangat bergantung pada nilai Eh sedimen. Nilai
pH sedimen menurun dengan menurunnya nilai Eh sedimen yang sejalan
dengan bertambahnya kedalaman sedimen (Nybakken, 2007).
f. Substrat Dasar
Susunan substrat dasar sangat penting bagi organisme yang hidup
di dalam substrat, misalnya bivalvia. Hewan bivalvia umumnya hidup
dalam pasir atau lumpur bahkan menempel pada karang-karang batu
(Nontji, 2007).
37
Makrobenthos yang mempunyai sifat penggali, pemakan deposit
cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang
merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi
(Nybakken, 1997).
g. Kandungan Bahan Organik Total (BOT)
Bahan Organik Total (BOT) menggambarkan kandungan bahan
organik total suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut,
tersuspensi (partikulate) dan koloid. Bahan organik ditemukan dalam
semua jenis perairan, baik dalam bentuk terlarut, tersuspensi maupun
sebagai koloid, dimana kesuburan suatu perairan tergantung dari
kandungan Bahan Organik Total (BOT) dalam perairan itu sendiri.
Kandungan bahan organik total yang mudah larut dalam air
berkisar antara 0,3 – 3 mg C/l, walaupun berbeda dengan yang ditemukan
di perairan pantai akibat aktivitas plankton dan polusi dari daratan (20 mg
C/l). Bagian utama dari kandungan bahan organik terlarut terdiri dari
materi kompleks yang sangat tahan terhadap bakteri, tetapi secara
ekologis merupakan bagian penyusun kecil campuran yang labil tetapi
sangat penting. Bagian tersebut mengandung subtansi yang mewakili
kelompok utama yaitu asam amino, karbohidrat, lipid dan vitamin.
Konsentrasi kandungan bahan organik terlarut di zona eufobiotik biasanya
lebih tinggi daripada lapisan air di bawahnya (Syabil, 1998 dalam Baslim,
2001).
38
C. Indeks Ekologi
Kelimpahan suatu organisme dalam suatu perairan dapat
dinyatakan sebagai jumlah individu persatuan luas atau volume.
Sedangkan kepadatan relatif adalah perbandingan antara kelimpahan
individu tiap jenis dengan keseluruhan individu yang tertangkap dalam
suatu komunitas. Dengan diketahuinya nilai kepadatan relatif maka akan
didapat juga nilai indeks dominansi. Sementara kepadatan jenis adalah
sifat suatu komunitas yang menggambarkan tingkat keanekaragam jenis
organisme yang terdapat dalam komunitas tersebut. Kepadatan jenis
tergantung dari pemerataan individu dalam tiap jenisnya. Kepadatan jenis
dalam suatu komunitas dinilai rendah jika pemerataannya tidak merata
(Odum, 1998).
Indeks keanekaragaman (H’) dapat diartikan sebagai suatu
penggambaran secara sistematik yang melukiskan struktur komunitas dan
dapat memudahkan proses analisa informasi-informasi mengenai macam
dan jumlah organisme. Selain itu keanekaragaman dan keseragaman
biota dalam suatu perairan sangat tergantung pada banyaknya spesies
dalam komunitasnya. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka
keanekaragaman akan semakin besar, meskipun nilai ini sangat
tergantung dari jumlah inividu masing-masing jenis. Pendapat tersebut
juga didukung oleh Krebs (1985) yang menyatakan bahwa semakin
banyak jumlah anggota individunya dan merata, maka indeks
keanekaragaman juga akan semakin besar.
39
Indeks keanekaragaman (H’) merupakan suatu angka yang tidak
memiliki satuan dengan kisaran 0–3. Tingkat keanekaragaman akan tinggi
jika nilai H’ mendekati 3, sehingga hal tersebut menunjukkan kondisi
perairan baik. Sebaliknya jika nilai H’ mendekati 0 maka keanekaragaman
rendah dan kondisi perairan kurang baik (Odum, 1998). Kategori Indeks
Keanekaragaman Jenis dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Kategori Indeks Keanekaragaman JenisIndeks Keanekaragaman (H’) Kategori
H ≤ 2,0 Rendah2,0 < H’ ≤ 3,0 Sedang
H’ ≥ 3,0 Tinggi
Indeks keseragaman merupakan suatu angka yang tidak memiliki
satuan dengan kisaran antara 0–1. Nilai tersebut menunjukkan jika
semakin kecil nilai indeks keanekaragaman, maka semakin kecil
keseragaman suatu populasi, sehingga dapat dinyatakan bahwa
penyebaran jumlah individu setiap spesies mendominir populasi tersebut.
Sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman yang berarti bahwa
jumlah individu tiap spesies boleh dikatakan sama atau tidak jauh berbeda
dan tidak ada dominansi spesies. Kategori indeks keseragaman jenis
dapat dilihat pada Tabel 2.4 (Odum, 1998).
Tabel 2.4. Kategori Indeks Keseragaman JenisIndeks Keseragaman (E) Kategori
0,00 < E ≤ 0,50 Tertekan0,50 < E ≤ 0,75 Tidak Stabil0,75 < E ≤ 1,00 Stabil
Indeks dominansi merupakan hasil perhitungan jenis organisme
dalam suatu komunitas ekosistem perairan yang diketahui dengan cara
40
menghitung indeks dominansi dari organisme tersebut, yang dimana nilai
indeks dominansi berkisar 0-1. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
semakin mendekati satu maka ada organisme yang mendominasi
ekosistem perairan, sebaliknya jika mendekati nol maka tidak ada jenis
organisme yang dominan (Odum, 1998). Kategori indeks dominansi dapat
dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Kategori Indeks DominansiIndeks Dominansi (C) Kategori
0,00 C 0,50 Rendah
0,50 < C 0,75 Sedang
0,75 < C 1,00 Tinggi
D. Kerangka Pikir
Permasalahan utama yang mempengaruhi ekosistem mangrove
adalah kerusakan ekosistem mangrove akibat faktor alam dan
antropogenik. Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem yang
cukup unik serta memiliki berbagai fungsi fisik, ekologi dan ekonomi yang
vital dalam mendukung ekosistem pesisir dan sangat menunjang dalam
mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih penting sebagai
pendukung produktivitas perikanan pantai.
Faktor alam yang mempengaruhi ekosistem mangrove adalah
karena adanya perubahan lingkungan yang sangat ekstrim (pemanasan
global), banjir, tsunami dan badai. Sedangkan faktor antropogenik (akibat
ulah manusia), yaitu banyak kegiatan pembangunan di wilayah pesisir
telah mengorbankan ekosistem mangrove, seperti kegiatan reklamasi
untuk pembangunan kawasan industri atau pelabuhan; pembuatan
tambak. Selain itu masih kurang upaya yang kita berikan untuk
41
menyelamatkan ekosistem ini. Meskipun data mengenai kerusakan
ekosistem mangrove sudah cukup banyak namun kegiatan penyelamatan
ekosistem mangrove masih kurang.
Dampak yang nyata dari degradasi ekosistem mangrove mengarah
pada penurunan keragaman biota laut sebagai akibat hilang atau
menurunnya fungsi ekologi dari ekosistem ini. Upaya rehabilitasi menjadi
hal yang penting untuk diperhatikan, seperti kegiatan rehabilitasi
mangrove pada suatu habitat yang telah rusak untuk menjaga kestabilan
dan mempertahankan produktivitas perairan.
Perubahan kondisi fisik pantai juga terjadi, karena adanya kegiatan
penanaman mangrove dan secara tidak langsung mempengaruhi struktur
komunitas dari bivalvia. Sehingga untuk itu perlu dikeetahui pengaruh
karakteristik lingkungan ekosistem mangrove dengan struktur komunitas
bivalvia.
42
Gambar 2.5. Kerangka Pikir Penelitian
Struktur KomunitasMangrove
Faktor Lingkungan(Parameter Fisik-kimia
Perairan)
Jenis Sedimen
Struktur KomunitasBivalvia (Kepadatan dan
Komposisi Jenis)
Faktor AlamFaktor Antropogenik
(Aktivitas manusia danrehabilitasi Mangrove)
43
E. Riwayat Penyelamatan Lingkungan
Kondisi hutan mangrove di pesisir Timur Sinjai pada tahun 1985
dalam keadaan rusak, dan pantai timur dalam keadaan terbuka. Pada
saat itu angin kencang, ombak besar menghantam tempat pemukiman
nelayan pantai tersebut. Lumpur di pantai dan muara sungai mencapai
kedalaman 0,50 meter dan masyarakat merasakan penderitaan. Dengan
keadaan ini muncul pemikiran dari tokoh-tokoh masyarakat untuk
melaksanakan penanaman mangrove jenis Rhizophora spp secara
swadaya.
Tabel 2.6. Kegiatan Tahunan Penanaman Mangrove
Tahun Area (Ha)
19861987198819891990199119921993199419951996199719981999
198,50102,00129,0090,2032,7022,0037,7064,0021,0020,6024,0030,0015,00
Penyulaman
Total 786,00
(Sumber : Dinas PKT Kab Sinjai, 1999)
Pada tahun 1986 ditanam mangrove sebanyak 3.000 batang yang
tersebar pada masing-masing lokasinya dengan jarak tanam 1 x 1 m, akan
tetapi tidak berhasil. Kemudian ditanam kembali dengan jarak tanam
dipersempit yaitu 0,50 x 0,50 m dan jarak dari garis pantai 50-100 meter
44
ke arah laut. Ternyata pada umur 1 tahun mangrove tumbuh dengan baik
dan ditanam lagi 3. 000 batang.
Setelah tanaman berumur 5 tahun masyarakat pantai merasakan
manfaat hutan bakau terutama bagi perlindungan pantai dan permukiman
nelayan aman dari badai dan ombak, kondisi lumpur semakin dangkal
mencapai 0,20 m.
Dengan semakin berkembang kerapatan dan kondisi mangrove
maka pihak pemerintah menaruh perhatian untuk mempertahankan
kelestarian tanaman tersebut dan menjadi lokasi uji coba dan penelitian
berbagai instansi dengan pembuatan empang parit, uji coba pemeliharaan
kepiting dan berbagai penelitian UNHAS Makassar.
Kondisi hutan mangrove yang ada saat ini mencapai tinggi rata-rata
7–15 m. Sebagai dampak keberhasilan mendapatkan penghargaan
berupa Kalpataru dari Presiden Republik Indonesia yang diterima oleh
kelompok tani ACI (aku Cintai Indonesia) yang ada di dusun Tongke-
Tongke Sinjai Timur (Anonim, 2005).
45
F. Gambaran Umum Lokasi
Letak Geografis
Daerah pesisir timur Kabupaten Sinjai yang terdiri dari dua
kecamatan yaitu Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur. Secara
geografis terletak antara 05036’47” LS dan 1900 48’30” – 120010’’00” BT.
Luas wilayah lebih kurang 819,96 Km2 dengan panjang garis pantai 17
Km2. Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sinjai terdiri dari
delapan (8) wilayah kecamatan, tujuh puluh lima (75) Desa/kelurahan.
Sedangkan lokasi penelitian dilakukan di tiga (3) desa, yaitu Lingkungan
Talibungin yang terletak di Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai Utara dan
Desa Tongke-tongke serta Desa Panaikang yang terletak di Kecamatan
Sinjai Timur. Batas-Batas wilayah Kabupaten Sinjai secara umum adalah
sebagai berikut :
- Sebelah utara : Kabupaten Bone
- Sebelah timur : Teluk Bone
- Sebelah barat : Kabupaten Gowa
- Sebelah selatan : Kabupaten Bulukumba
Total luas daratan yang berada dalam Kabupaten Sinjai yaitu
819,96 km2 Ketinggian wilayah daratan Kabupaten Sinjai rata-rata < 25 m
dari permukaan laut dengan kemiringan 0–2 %.
46
Topografi, Iklim, dan Tanah
Secara topografi terdiri dari gunung, perbukitan, daratan, dan
pantai dengan ketinggian 0-40 m. Dengan pesisir dengan ketinggian
dibawah 25 m di atas permukaan laut dengan kemiringan 0-2%.
Secara klimatologi Kabupaten Sinjai terletak pada posisi iklim
musim timur dimana bulan basah terjadi antara bulan april-oktober dan
bulan kering Oktober-April. Pola hujan sangat dipengaruhi oleh pasat
tenggara. Periode hujan daerah ini terjadi dua kali yakni periode
Maret/April hingga Juni/Juli dengan curah hujan dapat mencapai 300-400
mm/bulan dan periode Desember-Januari dengan curah hujan mencapai
150-200 mm/bulan.
Temperatur udara berkisar 22- 32 C. Jenis tanah yang ditemukan
yaitu tanah latasol yang memiliki lapisan tanah yang sangat tipis dengan
singkapan-singkapan batu kapur.
47
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret hingga April
2011. Kegiatan penelitian terdiri dari survei pendahuluan, pengambilan
data primer dan data sekunder yang dilanjutkan dengan pengolahan dan
analisis data. Wilayah atau lokasi penelitian terletak di Lappa Kecamatan
Sinjai Utara, Tongke-tongke dan Panaikang Kecamatan Sinjai Timur
Kabupaten Sinjai. Peta Lokasi Penelitian pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian
48
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: GPS (Global
Posisioning System) untuk menentukan posisi/titik stasiun penelitian; alat
tulis menulis untuk pencatatan data; kamera digital untuk dokumentasi;
Sekop dan saringan (ukuran mata saring 2 mm) untuk menyaring sampel
bivalvia; timbangan digital untuk mengetahui komposisi dan berat subtrat;
botol/kantong sampel dan cool box untuk wadah penyimpan sampel;
meteran dan transek kuadrat 10×10 meter untuk mengukur jarak transek
kuadrat pada pengambilan sampel bivalvia; buku identifikasi untuk
mengidentifikasi sampel (Dharma (1988 dan 1992); Roberts et al (1982);
Dance (1977 dan 1992), Abbott (1991)). Water Quality Cheker (WQC) 22
A untuk mengukur suhu perairan, kandungan oksigen terlarut dan pH;
Refractometer untuk mengukur salinitas; tabung reaksi dan cawan
porselen, oven, tanur, dan desikator untuk mengukur BOT pada sampel
sedimen.
Sedangkan bahan yang digunakan, yaitu: alkohol 70% untuk
pengawet sampel; aquades untuk mensterilkan alat di laboratorium; bahan
kimia (KMnO4, H2SO4, dan NaO3) untuk mengukur kadar BOT; sampel air
laut; sedimen untuk jenis tekstur sedimen, pengukuran BOT; dan kertas
label untuk informasi sampel. Beberapa peralatan dan bahan yang
digunakan dalam penelitian tentang struktur komunitas disajikan pada
Tabel 3.1.
49
Tabel 3.1. Peralatan dan Bahan yang digunakan selama penelitian
Alat dan bahan Kegunaan
Alat
a. Kamera Digital
b. Rollmeter, tali
c. Senter
d. GPS
e. Buku Identifikasi
f. Skop dan Saringan
g. Kantong plastik berlabel
h. Refraktometer
i. Water Quality Cheker (WQC)
22 A
a. mengambil gambar sampel bivalvia
b. untuk pembuatan transek
c. Membantu dalam pencahayaan
d. Sebagai penentu Koordinat Lokasi
pengamatan
e. Untuk mengidentifikasi biota
f. Mengambil sampel dan menyaring
sampel
g. Sebagai wadah sampel sedimen
h. Untuk mengukur salinitas
i. mengukur suhu perairan, DO dan
pH
Bahan
a. Kertas Label
b. Kantong Sampel
c. Alkohol 70 %
d. Aquades
e. Sampel bivalvia
f. Sampel sedimen
a. Untuk Informasi Sampel
b. Tempat menyimpan Sampel
c. Bahan Pengawet sampel
d. Untuk mensterilkan alat-alat lab.
50
C. Tahapan Penelitian
1. Tahap Persiapan dan Observasi
Tahap persiapan meliputi pengumpulan data-data sekunder dan
pustaka-pustaka yang mendukung penelitian tersebut, seperti: peta lokasi,
jurnal-jurnal ilmiah yang mendukung keberhasilan penelitian tersebut.
Observasi awal dengan pengamatan langsung di lapangan
sebelum pengambilan data dengan tujuan untuk mengidentifikasi lokasi
penelitian dan stasiun pengambilan sampel.
2. Prosedur Pengambilan Data
2.1. Penentuan Stasiun
Stasiun penelitian dipusatkan di dalam ekosistem mangrove.
Stasiun pengamatan ditentukan dengan melihat perbedaan karakteristik
lingkungan secara visual, sehingga diperoleh empat stasiun pengamatan.
Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
- Stasiun I : merupakan area mangrove yang relatif masih alami;
substrat didominasi substrat berlumpur.
- Stasiun II : merupakan daerah hasil penanaman mangrove yang
relatif jauh dari aktivitas manusia dengan umur mangrove ± 25 Tahun
- Stasiun III : merupakan daerah hasil penanaman mangrove yang
relatif dekat dengan aktivitas manusia. Substrat yang mendominasi
daerah tersebut ialah substrat berlumpur. Umur mangrove ± 10-17
Tahun.
51
- Stasiun IV : merupakan daerah hasil penanaman mangrove;
substrat didominasi oleh pasir berlumpur dan umur mangrove ± 8-10
Tahun
- Stasiun V : merupakan daerah non-vegetasi yang diambil dari
jarak 100 m dari vegetasi mangrove pada setiap stasiun.
2.2. Pengamatan Mangrove
Pengamatan data mangrove dilakukan pada setiap stasiun. Adapun
prosedur pengamatan mangrove, antara lain :
1. Pada setiap stasiun pengamatan dibuat transek garis dari arah laut ke
arah darat. Pemasangan transek garis pada setiap stasiun dilakukan
sebanyak dua kali dengan jarak antar transaek garis 50 meter
(Gambar 3.2).
2. Memasang plot (transek) 10x10 m2 di sepanjang transek garis, jarak
antar plot ± 20-30 meter (Gambar 3.2)
3. Mendeterminasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada pada
setiap plot, kemudian menghitung jumlah individu setiap jenis dan ukur
lingkar batang setiap pohon mangrove yang setinggi dada
4. Apabila belum diketahui nama jenis tumbuhan mangrove yang
ditemukan, maka dapat memotong bagian ranting yang lengkap
dengan daunnya, dan jika terdapat bunga dan buah dapat diambil
sebagai sampel. Model pemasangan line transek dan plot pada setiap
stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.2.
52
Gambar 3.2. Model Pemasangan Line Transek dan Plot pengamatanMangrove
Keterangan : = Jarak antar line transek (50 meter)= Jarak antarplot (±20-30 meter)
2.3. Pengambilan Sampel Bivalvia
Pengambilan sampel bivalvia dilakukan pada setiap plot di titik
pengamatan mangrove setiap dua minggu selama dua bulan.
Pengambilan sampel bivalvia dilakukan pada lima (5) titik yang dapat
mewakili areal plot 10x10 m2, yaitu dua titik pada ujung/sudut masing-
masing plot dan satu titik pada bagian tengah plot. Model pengambilan
sampel bivalvia dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Sampel bivalvia yang diambil ialah bivalvia yang berada dalam
substrat (Infauna) dengan bantuan alat berupa skop (ukuran 20x20 cm2).
Kedalaman substrat pengambilan sampel ±10-15 cm. Hal tersebut di
dasarkan pada pertimbangan bivalvia mempunyai kemampuan untuk
membenamkan diri ke dalam substrat hingga beberapa cm.
KawasanMangrove
53
Sampel yang diperoleh kemudian disaring untuk memisahkan
bivalvia dari sedimen, selanjutnya di bersihkan, disortir dan diawetkan
dengan menggunakan alkohol 70%, kemudian disimpan didalam cool box.
Pengidentifikasian sampel bivalvia menggunakan buku-buku tentang
identifikasi moluska kelas bivalvia ((Dharma (1988 dan 1992), Roberts et
al (1982), Dance (1977 dan 1992), Abbott (1991)).
Gambar 3.3. Model Pengambilan Sampel Bivalvia pada setiap plotpengamatan mangrove
Keterangan : = titik pengambilan sampel bivalvia dalam plot
2.4. Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengukuran beberapa parameter lingkungan dilakukan sebelum
pengambilan sampel bivalvia. Adapun parameter yang diukur yaitu:
a. Suhu
Pengukuran suhu perairan menggunakan thermometer air raksa.
Thermometer dimasukkan kedalam perairan sedalam 5 cm, kemudian
didiamkan selama 3-5 menit hingga air raksa pada thermometer
berhenti bergerak. Catat angka yang ditunjuk pada thermometer
tersebut (Anonim, 2005).
b. Salinitas, pH dan DO
Pengukuran Suhu, Salinitas, pH dan Oksigen terlarut (DO)
menggunakan alat Water Quality Cheker (WQC).
54
c. Potensial Redoks Sedimen (Eh)
Pengukuran potensial redoks dari sampel sedimen dilaksanakan
di laboratorium dengan mengunakan Eh-pH meter (Hariyadi, 2003).
d. Jenis Substrat
Metode ini digunakan untuk mengklasifikasi substrat pasir dan
lumpur dengan prosedur sebagai berikut:
1. Sampel sedimen yang telah kering ditimbang sebanyak ± 100
gram, lalu diayak menggunakan sieve net bertingkat selama 15
menit dengan gerakan konstan sehingga didapatkan pemisahan
partikel sedimen berdasarkan masing-masing ukuran ayakan (2
mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,063 mm dan <0,063 mm)
2. Sampel dipisahkan dari masing-masing ukuran ayakan hingga
bersih lalu ditimbang. Untuk menghitung % berat sedimen pada
metode ayakan kering digunakan rumus sebagai berikut:
Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran partikel dapat dilihat
pada Tabel 3.2 berikut.
Tabel 3.2. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran partikelNo Nama butiran Diameter (mm)
1 Pasir sangat kasar 1,00 - 2,00
2 Pasir kasar ≥ 0,50
3 Pasir sedang ≥ 0,25
4 Pasir halus ≥ 0,10
5 Pasir sangat halus ≥ 0,05
6 Debu ≥ 0,002
7 Liat < 0,002
(Sumber : Modifikasi dari USDA, 2009)
% Berat = %100ayakanhasillberat tota
ayakanhasilberatX
55
Gambar 3.4. Segitiga Tekstur Tanah (Sumber : USDA, 2009)
e. Bahan Organik Terlarut (BOT)
Proses analisis kandungan bahan organik pada sampel sedimen
sebagai berikut:
1. Cawan porselen dipanaskan dalam oven pada suhu 50oC selama
1jam, kemudian ditimbang sebagai berat awal/berat cawan kosong
(BCK).
2. Memasukkan sampel sedimen yang sebelumnya telah dihaluskan
sebanyak ± 10 gram ke dalam cawan porselen, selanjutnya
ditimbang sebagai berat sampel (BS).
3. Memasukkan cawan porselen berisi sampel sedimen tadi ke dalam
tanur dengan suhu ± 600o C selama 3 jam, selanjutnya didinginkan
dalam desikator selama selama 30 menit kemudian menimbangnya
sebagai berat akhir/ berat setelah pemijaran (BSP).
56
3. Analisis Data
3.1. Struktur Komunitas Mangrove
Data-data mangrove mengenai jenis, jumlah tegakan dan diameter
pohon yang telah diperoleh, diolah lebih lanjut untuk mengetahui
kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan dan Indeks nilai
penting dengan menggunakan formula menurut Buku Pedoman Teknis
Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Bengen, 2000)
a. Kerapatan jenis (Di)
Kerapatan jenis adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area.
Dengan : Di = Kerapatan Jenis i; ni = Jumlah total tegakan dari
jenis i; A = Luas total area pengambilan sampel (Luas
Plot)
b. Kerapatan relatif (RDi)
Perbandingan antara jumlah tegakan jenis i dan jumlah total tegakan
seluruh jenis
100xn
niRDi
Dengan : RDi = Kerapatan relatif; ni = Jumlah jenis tegakan jenis i;
∑n = Jumlah total seluruh tegakan jenis
A
niD
57
c. Penutupan Jenis (Ci)
Luas penutupan jenis i dalam suatu unit area
A
BACi ;
4
2
DBHBA ; CBHDBH
Dengan : Ci = Luas Penutupan Jenis i; π = suatu Konstanta (3,14);
DBH = Diameter batang pohon dari jenis i; A = Luas total
Area plot; CBH = Lingkaran pohon setinggi dada
d. Penutupan Relatif Jenis (RCi)
Perbandingan antara Luas area penutupan jenis i dan luas total area
penutupan untuk seluruh jenis
100xC
CiRCi
Dengan : RCi = Penutupan Relatif jenis; Ci = Luas area penutupan
jenis i; ∑C = luas total area penutupan untuk seluruh jenis
e. Nilai Penting (IVi)
Jumlah nilai Kerapatan relatif jenis, Frekuensi relatif jenis dan
penutupan relatif jenis
Dengan : RDi = Kerapatan relatif jenis; RFi = Frekuensi relatif jenis;
RCi = Penutupan relatif jenis
Kerapatan mangrove yang telah dihitung selanjutnya
dikelompokkan menurut stasiun kemudian dianalisis dengan Analisis
Ragam (One Way ANOVA), sedangkan Jumlah Jenis dan Indeks nilai
penting disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dan dianalisis secara
deskriptif. Penentuan tingkat kerusakan mangrove ditentukan
Nilai Penting (IVi) = (RDi + RFi + RCi)
58
berdasarkan peraturan Kemetentrian Lingkungan Hidup No.201 Tahun
2004. Kriteria baku kerusakan mangrove dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Kriteria Kerusakan Mangrove
Kriteria Penutupan (%) Kerapatan(Pohon/ha)
Baik Sangat Rapat (SR) > 75 > 1500
Rapat (R) ≥ 50 - < 75 ≥ 1000 - < 1500
Rusak Jarang (J) < 50 < 1000
3.2. Struktur Komunitas Bivalvia
a. Kepadatan
Kepadatan suatu organisme dalam suatu perairan dapat
dinyatakan sebagai jumlah individu persatuan luas atau volume
(Brower, et al, 1990). Perhitungan kepadatan bivalvia dapat di
rumuskan sebagai berikut :
Dengan : D = Kepadatan (Ind/m2); ni = Jumlah Individu dari
species ke-i; A = Luas areal sampling
Sedangkan Kepadatan Relatif (KR) menurut Odum (1998)
adalah persentase dari jumlah individu suatu jenis terhadap jumlah
seluruh individu yang terdapat di area tertentu dalam suatu
komunitas dan di rumuskan sebagai berikut :
Dengan : KR = Kepadatan Relatif; ni = Jumlah individu dari
species ke-i; N = Jumlah seluruh Individu
100xN
niKR
10000
A
niD
59
1
1
NN
niniD
b. Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman
Indeks keanekaragaman dihitung berdasarkan indeks
Shannon-Wiener (Brower et al., 1990):
H’ = - ∑Pi log2 Pi ;
N
ni
N
niH 2
' log
Dengan : H’ = Indeks keanekaragaman; ni = Jumlah individu
untuk setiap jenis; N= Jumlah total individu
Sedangkan indeks keseragaman dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Shannon-Wiener (Brower et al., 1990) :
LogS
H
H
HE
'
'
''
max
Dengan : H’ = Indeks keanekaragaman; E’ = Indeks
keseragaman; S = Jumlah jenis
c. Indeks Dominansi
Indeks dominansi dihitung dengan menggunakan formula
menurut Brower et al. (1990) sebagai berikut :
Dengan : D = Indeks Dominansi; ni = Jumlah Individu setiap
jenis; N = Jumlah individu dari seluruh jenis
Jenis bivalvia yang telah diidentifikasi kemudian dihitung
kepadatannya dan selanjutnya dikelompokkan berdasarkan stasiun,
kemudian dianalisis dengan Analisis Ragam (One Way ANOVA).
Sedangkan untuk melihat kemiripan jumlah jenis dan kepadatan struktur
60
antarstasiun menggunakan Analisis Gerombol (Cluster Analisis). Adapun
proses penghitungan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Biplot.
Penyajian data nilai indeks ekologi, kepadatan dikelompokkan
menurut stasiun dan disajikan dalam bentuk grafik atau tabel dan
dianalisis secara deskriptif.
3.3. Keterkaitan Struktur Komunitas Bivalvia dengan Lingkungan.
Keterkaitan struktur komunitas bivalvia dengan faktor lingkungan
dan mangrove digunakan analisis multivariat dengan teknik Canonical
Correspondence Analysis (CCA).
Menurut Ter Braak (1986), Teknik Canonical Correspondence
Analysis (CCA) merupakan metode statistik deskriptif yang
dipresentasikan dalam bentuk grafik yang memuat informasi maksimum
dari suatu struktur data. Matrik data terdiri dari Kolom dan baris. Individu
statistik (kolom) adalah komunitas bivalvia dan peubah lingkungan,
sedangkan waktu pengamatan sebagai baris. Proses penghitungan
dilakukan dengan bantuan software Biplot.
61
D. Bagan Alir Penelitian
Pelaksanaan penelitian dimulai dari tahap persiapan sampai
dengan penyusunan laporan yang disajikan dalam bentuk bagan di bawah
ini :
Gambar 3.5. Bagan Alir Penelitian
SURVEYPENDAHULUAN
PENENTUAN STASIUNPENGAMATATAN
PENGUMPULANDATA SEKUNDER
PENGUMPULANDATA PRIMER
BIVALVIAMANGROVE &PARAMETER
LINGKUNGAN
ANALISIS DATA
INTERPRETASI
PEMBAHASAN &MENARIK
KESIMPULAN
PENYUSUNANLAPORAN
PERSIAPAN
TABULASI DATA
62
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Struktur Komunitas Mangrove
1. Sebaran dan Kerapatan Mangrove
Selama penelitian ditemukan empat (4) jenis mangrove, yaitu
Avicennia alba, R. mucronata, R. stylosa dan Ceriops spp. Jenis dan
sebaran mangrove dapat dilihat pada Tabel 4.1. Sebaran mangrove yang
kaya jenis ditemukan pada Stasiun I yang merupakan area mangrove
yang relatif masih alami, sedangkan pada Stasiun II-IV hanya ditemukan
satu jenis mangrove. Hal ini disebabkan karena Stasiun II-IV merupakan
area rehabilitasi dan mangrove yang digunakan untuk rehabilitasi adalah
jenis R.mucronata. Jenis ini banyak dikembangkan karena manfaatnya
yang beragam dan relatif lebih mudah didapatkan serta cepat tumbuh.
Benih yang dipakai berasal dari buah (propagule) yang sudah tua dengan
kualitas yang baik.
Jumlah jenis mangrove di Kecamatan Sinjai Timur dan Sinjai Utara
memiliki kekayaan jenis mangrove yang rendah, karena hanya terdapat
satu jenis mangrove yang memiliki sebaran yang luas di setiap stasiun
pengamatan.
63
Tabel 4.1. Sebaran Mangrove pada setiap stasiun pengamatan
SpeciesStasiun
I II III IV
Avicennia alba + - - -
Ceriops spp. + - - -
R.stylosa + - - -
R.mucronata + + + +
Ket : (+) = ada mangrove(-) = Tidak ditemukan jenis mangrove
Hasil analisis kerapatan mangrove menunjukkan kisaran sebesar
3067-7088 ind/ha. Hasil analisis ragam (One-Way ANOVA) dengan selang
kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan adanya perbedaan nyata
antara Stasiun I dengan Stasiun II-IV. Mangrove di stasiun rehabilitasi
sangat rapat dibanding stasiun mangrove yang relatif alami (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Kerapatan mangrove. Huruf yang berbeda pada grafikmenunjukkan perbedaan yang nyata pada alpha 5%berdasarkan Anova (one-way anova)
Rendahnya kerapatan pada Stasiun I (Tabel 4.2), disebabkan
karena pemanfaatan mangrove (nilai ekonomis) yang besar terjadi pada
64
masyarakat di Kelurahan Lappa yang cenderung melakukan penebangan
(untuk kayu bakar atau untuk tujuan komersil) tanpa penanaman kembali,
sebaliknya pada Stasiun II-IV meskipun terjadi penebangan mangrove
tetapi dilakukan penanaman kembali sehingga keseimbangan lingkungan
tetap terjaga (Deasy, 2004).
Kerapatan mangrove yang tidak berbeda nyata pada Stasiun II-IV
(kerapatan relatif tinggi) disebabkan karena pola tanam yang sama dalam
kegiatan rehabilitasi, misalnya jarak tanam (0,5 x 0,5 m), jenis bibit
mangrove yang digunakan dan jenis sedimen (berlumpur) serta kondisi
lingkungan yang tidak terlalu berbeda (nilai kisaran suhu, salinitas dan pH
yang relatif sama). Kondisi parameter lingkungan yang diperoleh selama
pengamatan masih berada dalam kisaran toleransi mangrove untuk hidup
(Lampiran 5). Mangrove merupakan ekosistem yang unik yang memiliki
kisaran toleransi yang tinggi pada kondisi lingkungan yang ekstrim.
Adapun kisaran suhu bagi R.mucronata untuk tumbuh optimal sebesar 26-
28oC, salinitas 10-30‰ dan kisaran curah hujan 1500-3000 mm/tahun (Arief,
2003).
Kriteria baku kerusakan mangrove menunjukkan bahwa mangrove
di Stasiun I masuk dalam kriteria rapat, hal tersebut dapat dilihat dari
kerapatan mangrove 3067 ind/ha, sedangkan pada Stasiun II-IV mangrove
masuk dalam kriteria sangat rapat, dengan kerapatan berkisar 5150-7088
ind/ha (Tabel 4.2.). Penentuan kriteria kondisi mangrove dilakukan menurut
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.201 Tahun 2004, yaitu
mangrove dikatakan baik jika kerapatan pohon > 1500 pohon/ha.
65
Tabel 4.2. Kondisi Mangrove berdasarkan nilai kerapatan (KMNLH, 2004)
StasiunKerapatan Total Kondisi
(ind/m²) (ind/ha) Mangrove
I/LAPPA 0,307 3067 Rapat
II/Tongke-Tongke (25th) 0,709 7088 Sangat Rapat
III/Tongke-tongke (17th) 0,515 5150 Sangat Rapat
III/Tongke-tongke (10th) 0,530 5300 Sangat Rapat
IV/Panaikang (8&10 th) 0,663 6630 Sangat Rapat
2. Indeks Nilai Penting (INP)
Hasil pengolahan data frekuensi jenis relatif, kerapatan jenis relatif
dan penutupan jenis relatif dapat diketahui indeks nilai penting dari
kawasan mangrove tersebut. Indeks nilai penting (INP) memberikan suatu
gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan
mangrove dalam komunitas mangrove. Stasiun I yang merupakan area
mangrove yang relatif masih alami terdapat 4 jenis mangrove, namun
Avicennia alba merupakan jenis yang penting dengan nilai INP sebesar
218,26, sedangkan pada Stasiun II-IV jenis yang paling penting hanya
R.mucronata (INP sebesar 300) (Tabel 4.3).
Tingginya nilai INP untuk jenis Avicennia alba dan R.mucronata
disebabkan karena sebaran dan kerapatannya yang tinggi. Fenomena ini
mengindikasikan bahwa ke-2 jenis tersebut memiliki daya adaptasi yang
baik terhadap kondisi lingkungan (Kordi, 2008).
66
Tabel 4.3. Indeks Nilai Penting (INP) mangrove
StasiunSpecies INP
(Rdi+Rfi+Rci)
I/Lappa Avicennia alba 218,26
Mangrove Relatif R.stylosa 117,23
Alami R.mucronata 105,56
Ceriops spp. 42,28
II/Tongke-Tongke (25th) R.mucronata 300
III/Tongke-tongke (17th) R.mucronata 300
III/Tongke-tongke (10th) R.mucronata 300
IV/Panaikang (8&10 th) R.mucronata 300
B. Struktur Komunitas Bivalvia
1. Sebaran dan Komposisi Jenis
Hasil identifikasi terhadap jenis bivalvia dalam substrat (infauna)
pada ekosistem mangrove dan non-vegetasi ditemukan 13 jenis bivalvia
yang berasal dari 8 famili dengan jumlah individu sebanyak 252 ind.
(Lampiran 2 Tabel 2). Bervariasinya sebaran jenis bivalvia pada setiap
stasiun pengamatan umumnya karena ada perbedaan karakteristik
habitat, ketersediaan bahan organik sebagai sumber makanan dan daya
adaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Jumlah jenis bivalvia yang ditemukan pada Stasiun I (8 jenis);
Stasiun IV (7 jenis) dan stasiun non-vegetasi (9 jenis); sedangkan pada
Stasiun II dan III memiliki jumlah jenis yang rendah (Tabel 4.4).
Bervariasinya jumlah jenis bivalvia pada setiap stasiun secara umum
berdampak pada komposisi jenis bivalvia.
67
Tabel 4.4. Sebaran Jenis bivalvia pada setiap stasiun pengamatanNo Species Stasiun
I II III IV NV
1 Polymesoda bengalensis + + + - +2 Mactra violacea - - - + -3 Siliqua sp. + - - - +4 Tellina timorensis + + - - +5 Semele cordiformis - - - + -6 Gafrarium tumidum - + + + +7 Placamen chlorotica + - - + -8 Dosinia insularsum + - - - +9 Marcia opima + - - - +
10 Meretrix meretrix + + + - +11 Anadara antiquata + + + + +12 Trachycardium subrogosum - - - + -13 Mytilus edulis - - - + +
Jumlah Jenis 8 5 4 7 9
Ket : (+) = ditemukan bivalvia; (-) = Tidak ditemukan bivalvia
Komposisi jenis bivalvia pada seluruh stasiun pengamatan
didominasi oleh jenis Gafrarium tumidum, Anadara antiquata (21%) dan
Mytilus edulis (11%); sedangkan komposisi jenis terendah ditemukan pada
jenis Dosinia insularsum (1%) (Gambar 4.2).
Gambar 4.2. Komposisi Jenis Bivalvia pada seluruh Stasiun
68
Komposisi jenis bivalvia berdasarkan stasiun pengamatan
menunjukkan adanya variasi jenis yang mendominasi (Gambar 4.3). Pada
Stasiun I (daerah mangrove relatif alami) menunjukkan komposisi jenis
bivalvia yang relatif homogen (tidak ada jenis yang dominan), hal ini dapat
dilihat dari 8 jenis bivalvia yang ditemukan terdapat 6 jenis bivalvia yang
memiliki komposisi jenis yang relatif sama dan komposisi jenis rendah
hanya 2 jenis (Gambar 4.3a).
Untuk Stasiun II-IV merupakan kawasan rehabilitasi mangrove
terdapat jenis-jenis bivalvia yang dominan, yaitu pada Stasiun II Gafrarium
tumidum (44%); Anadara antiquata (28%) dan Tellina timorensis (19%)
(Gambar 4.3b); pada Stasiun III komposisi jenis didominasi oleh jenis
Anadara antiquata (48%); Gafrarium tumidum (30%) dan Meretrix meretrix
(17%) (Gambar 4.3c); sedangkan Stasiun IV komposisi jenis yang
mendominasi adalah Gafrarium tumidum (30%); Anadara antiquata (13%)
dan Mytilus edulis (20%) (Gambar 4.3d) dan daerah non-vegetasi
(Stasiun V) komposisi tertingggi adalah Anadara antiquata (35%); Meretrix
meretrix (26%), Polymesoda bengalensis (15%) dan Marcia opima (12%)
(Gambar 4.3e).
69
Gambar 4.3. Komposisi Jenis Bivalvia stasiun I (a); stasiun II (b); StasiunIII (c); stasiun IV (d) dan daerah Non-Vegetasi/NV (e)
Jenis bivalvia yang selalu muncul pada semua stasiun adalah
Anadara antiquata dan Gafrarium tumidum. Jenis Gafrarium tumidum
banyak ditemukan di daerah mangrove-non vegetasi (daerah intertidal)
pada substrat lumpur dan bersifat euryhaline. Kebiasaan makan dari
Gafrarium tumidum ialah filter feeder (Meyer et al., 2008). Sedangkan
Anadara sp. banyak ditemukan di perairan estuaria dengan substrat
lumpur berpasir dengan salinitas 21-25‰ (Sitorus, 2008).
a
c
d
b
e
70
Jenis bivalvia yang lain dan mendominasi pada Stasiun II, yaitu
Tellina timorensis. Tellina timorensis merupakan bivalvia yang banyak
ditemukan pada daerah mangrove dan non-vegetasi, dengan jenis
substrat pasir berlumpur dan bersifat euryhaline. Kebiasaan makan dari
jenis ini ialah filter atau deposit feeder (Simone & Wilkinson, 2008). Pada
Stasiun III jenis yang mendominasi ialah Meretrix meretrix. Hal ini terjadi
karena sebaran hidup yang cukup luas (mangrove dan non-vegetasi)
dengan jenis substrat pasir-lumpur. Meretrix meretrix pada umumnya
bersifat filter feeder (Jayabal & Kalyani, 1986).
Bivalvia jenis lain yang dominan ditemukan pada Stasiun IV, yaitu
jenis Mytilus edulis. Mytilus edulis dapat mentolerir kisaran suhu -10-290C.
Tidak hanya pertumbuhan Mytilus yang dipengaruhi oleh suhu. Aktifitas
silia yang dimiliki oleh Mytilus juga sangat tergantung pada temperatur.
Peningkatan temperatur antara 0-340C mengakibatkan aktivitas silia
menjadi meningkat sehingga konsumsi oksigen oleh Mytilus juga menjadi
ikut meningkat, pada umumnya Mytilus edulis membutuhkan daerah yang
memiliki substrat kasar sebagai tempat menempelnya. Namun, tidak
menutup kemungkinan ditemukannya juga Mytilus pada daerah bersubtrat
lumpur yaitu menempel cobbles, pebbles yang terdapat di sedimen lumpur
tersebut. (FAO Fisheries, 2010). Sedangkan pada daerah non-vegetasi
jenis yang mendominasi ialah Polymesoda bengalensis dan Marcia opima.
Kedua jenis ini dapat hidup pada daerah mangrove dan non-vegetasi,
bersifat euryhaline dengan kondisi substrat pasir-lumpur (Russel & Hunter,
1983).
71
2. Jumlah Jenis dan Kepadatan Bivalvia
Nilai Kepadatan bivalvia yang diperoleh dari pengamatan pada
setiap stasiun berkisar 11,68-37,5 ind/m2 dengan kepadatan rata-rata 28,7
ind/m2. Perbandingan nilai kepadatan bivalvia di beberapa daerah
mangrove dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Perbandingan nilai kepadatan bivalvia pada beberapa kondisidaerah mangrove
Lokasi Rata-rata Kepadatan(Ind/m2)
Sumber Pustaka
Pantai Larea-rea 36,67 Makkarumpa (2005)Tongke-tongke;Panaikang dan Lappa
28,7 Data hasilpengamatan lapangan
Perbedaan nilai kepadatan bivalvia pada beberapa kondisi
mangrove, disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan. Parameter
lingkungan yang sesuai bagi bivalvia juga dijelaskan oleh Sitorus (2008),
bahwa suhu yang sesuai bagi bivalvia berkisar 26-31oC dengan kisaran
salinitas 6-35‰. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme laut
berkisar antara 6,7-8,2; dan kadar oksigen terlarut dalam batas 4,5-7mg/l
(Barth, 1982). Selanjutnya Sitorus (2008) menjelaskan bahwa bivalvia
lebih cenderung melimpah pada daerah pesisir pantai yang memiliki
sedimen lumpur dan sedimen lunak, karena bivalvia merupakan kelompok
hewan pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit.
Hasil analisis ragam (One-Way ANOVA) pada selang kepercayaan
95% (α = 0,05), kisaran jumlah jenis yang ditemukan, yaitu 2,10-6,50.
Jumlah jenis tertinggi ada pada Stasiun I dan jumlah jenis terendah
ditemukan pada daerah non-vegetasi. Kisaran kepadatan tertinggi
72
ditemukan pada Stasiun IV (57,5 ekor/m2), hal ini terjadi karena pada
stasiun IV merupakan daerah rehabilitasi di daerah pantai, subtrat pasir
berlumpur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jabang (2008), di perairan
pantai Sumatera Barat, yang dimana salah satu lokasi stasiun
pengamatan merupakan daerah pantai bervegetasi dengan substrat pasir
berlumpur dengan kisaran kepadatan 14,3 ekor/m2. Tingginya kepadatan di
daerah tersebut terkait pada kemampuan kerang untuk beradaptasi
terhadap kondisi pasang-surut dan arus gelombang pantai.
Hasil analisis ragam menunjukkan terdapat perbedaan nyata pada
jumlah jenis bivalvia antarstasiun (Gambar 4.4a), sedangkan pada nilai
kepadatan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara Stasiun IV
dengan Stasiun II-NV dan juga tidak berbeda nyata antara Stasiun I-III
(Gambar 4.4b). Kepadatan dan Jumlah jenis bivalvia dapat dilihat pada
Gambar 4.4.
Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah jenis di setiap stasiun
memiliki sebaran yang luas namun tidak berpengaruh pada kepadatan
bivalvia. Selain itu, kondisi mangrove pada Stasiun I dan IV juga dapat
mempengaruhi jumlah jenis bivalvia. Mangrove di Stasiun I yang
mendominasi adalah jenis Avicennia alba. Jenis mangrove ini memiliki
bentuk akar pasak yang tumbuh terpencar, dengan anak akar muncul di
permukaan seperti tombak (Arief, 2003). Bentuk akar pada jenis ini tidak
mengambil semua ruang pada lantai sedimen sehingga masih terdapat
ruang bagi bivalvia (Lampiran 1 Gambar 1). Pada Stasiun IV, mangrove
yang mendominasi ialah jenis R.mucronata namun mangrove di stasiun ini
73
memiliki ukuran pohon yang kecil, sehingga masih terdapat ruang pada
lantai sedimen sebagai tempat hidupnya bivalvia (Lampiran 1 Gambar 4).
Stasiun II dan III memiliki kondisi mangrove yang sangat rapat dan
ukuran pohon yang besar sehingga sangat sedikit substrat yang tidak
ditumbuhi mangrove, meskipun terdapat lantai sedimen yang kosong
tetapi sudah disesaki oleh akar mangrove. Hal tersebutlah yang menjadi
salah satu penyebab rendahnya bivalvia yang ditemukan pada Stasiun II
dan III, karena sifat bivalvia yang hidup membenamkan diri dalam subtrat
sehingga membutuhkan ruang pada lantai sedimen sebagai habitatnya
(Lampiran 1 Gambar 2 dan 3).
Gambar 4.4. Jumlah Jenis Bivalvia (a) dan Kepadatan bivalvia (ind/m2)(b) yang ditemukan pada setiap stasiun. Huruf yangberbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyatapada alpha 5% berdasarkan Anova (one-way anova).
b
a
cc
b
c
74
3. Indeks Ekologi Bivalvia
a. Indeks Keanekaragaman (H’)
Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan nilai indeks
keanekaragaman bivalvia (H’) pada seluruh stasiun pengamatan berada
pada kisaran 1,7–2,81(Gambar 4.5). Nilai indeks keanekaragaman
tertinggi (H’) ada pada Stasiun I (2,81) dan yang terendah pada Stasiun III
(1,70). Secara umum Indeks keanekaragaman bivalvia (H’) yang
ditemukan pada setiap stasiun menunjukkan bahwa nilai indeks
keanekaragaman tergolong dalam kategori sedang. Menurut Krebs
(1985), keanekaragaman yang tinggi menunjukkan semakin besarnya
keragaman dan proporsi masing-masing jenis yang semakin merata.
Gambar 4.5. Grafik Indeks Keanekaragaman (H’) antar stasiun
b. Indeks Keseragaman (E)
Kestabilan suatu komunitas dapat digambarkan dengan tinggi
rendahnya nilai indeks indeks keseragaman (E) yang didapat.
Berdasarkan pada perhitungan indeks keseragaman pada setiap stasiun
bekisar 0,78-0,94 (Gambar 4.6), yang dimana indeks ini tergolong baik
75
atau stabil. Nilai indeks keseragaman tertinggi pada Stasiun I (0,94), hal
ini menunjukkan kondisi komunitas baik/stabil karena memiliki nilai
kemerataan jenis mendekati 1 dan yang terendah pada stasiun non-
vegetasi (0,78), nilai indeks ini mengindikasikan bahwa penyebaran jenis
tidak merata pada stasiun tersebut.
Namun secara umum nilai keseragaman dikatakan baik/stabil jika
nilai keseragaman mendekati 1 atau sebaliknya. sehingga semakin kecil
nilai E maka kondisi komunitas tidak merata sedangkan semakin besar
nilai E maka penyebaran jenis relatif merata. Penyebaran jenis suatu
organisme berkaitan erat dengan dominasi, dimana bila nilai kemerataan
kecil mengindikasikan terjadi dominasi dari jenis-jenis tertentu (Odum,
1998).
Gambar 4.6. Grafik Indeks Keseragaman (E) bivalvia antar Stasiun
c. Indeks Dominansi (D)
Indeks dominansi yang diperoleh pada seluruh stasiun penelitian
tergolong rendah, yaitu berkisar 0,15-0,31 (Gambar 4.7). Indeks
dominansi terendah pada Stasiun I (0,15) dan yang tertinggi pada Stasiun
76
II-III (0,30-0,31). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam struktur komunitas
bivalvia yang teramati tidak terdapat jenis bivalvia yang mendominasi jenis
lainnya atau penyebaran bivalvia pada Stasiun I relatif sama, sedangkan
tingginya indeks dominansi mengindikasikan dalam struktur komunitas
terdapat jenis yang mendominasi jenis lainnya. Jenis bivalvia yang
mendominasi pada Stasiun II-III ditemukannya Tellina timorensis dan
Meretrix meretrix.
Nilai indeks dominansi berkisar antara nol sampai dengan satu.
Dimana semakin mendekati satu maka ada organisme yang mendominasi
ekosistem perairan, sebaliknya jika mendekati nol maka tidak ada jenis
organisme yang dominan (Odum, 1998).
Gambar 4.7. Grafik Indeks Dominansi (D) bivalvia antar stasiun
Peningkatan jumlah spesies bivalvia, tingginya kemerataan jumlah
individu dalam setiap jenis yang terjadi pada indeks keanekaragaman dan
keseragaman serta nilai indeks dominansi rendah secara tidak langsung
mencerminkan kestabilan ekologi (Stasiun I), sedangkan Stasiun II-III
menunjukkan kondisi ekologi belum stabil, karena masih terdapat jenis-
jenis bivalvia yang mendominasi pada stasiun tertentu.
77
4. Analisis Dampak Ekologi
a. Jumlah Jenis dan Kepadatan Bivalvia
Berdasarkan hasil analisis diperoleh pengelompokkan (kemiripan)
struktur komunitas bivalvia. Dendrogram kemiripan struktur komunitas
bivalvia yang ditemukan selama penelitian pada beberapa kondisi
mangrove yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Gambar 4.8. Dendrogram kemiripan struktur komunitas bivalvia yangditemukan selama penelitian pada beberapa jenis mangrove
Dari kelompok yang terbentuk menunjukkan ada kemiripan struktur
komunitas bivalvia antara Stasiun II dan III. Pemisahan yang tegas pada
Stasiun I, V dan IV (Gambar 4.8). Perbedaan ini lebih disebabkan karena
perbedaan dalam jumlah jenis yang ditemukan pada setiap stasiun serta
kondisi habitat yang berbeda-beda, misalnya kerapatan mangrove, namun
secara keseluruhan menunjukkan nilai kemiripan struktur komunitas antar
stasiun sebesar 80 %.
78
Berdasarkan hasil uji t-berpasangan, jumlah jenis bivalvia antar
stasiun menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Gambar 4.9a),
sedangkan nilai Kepadatan bivalvia menunjukkan tidak berbeda nyata
antara daerah mangrove dan non-vegetasi (Stasiun I-III) (Gambar 4.9b)
dan pada Stasiun IV terdapat perbedaan yang nyata antara kepadatan
bivalvia di daerah mangrove dan non-vegetasi. Hal tersebut menunjukkan
bahwa mangrove secara tidak langsung mempengaruhi jumlah jenis dan
kepadatan bivalvia (Gambar 4.9).
Gambar 4.9. Jumlah Jenis Bivalvia (a); Kepadatan bivalvia (b) Uji t-berpasangan(paired sample t-test) pada alpha 5%.
( = Mangrove; = Non-Vegetasi)
Jumlah jenis bivalvia antara daerah mangrove dan non-mangrove
menunjukkan bahwa daerah mangrove memiliki jumlah jenis yang lebih
tinggi jika dibandingkan daerah yang non-vegetasi. Hal ini disebabkan
karena pada setiap Stasiun (I-IV) terdapat faktor abiotik yang sesuai
b
a
ns *
79
untuk hidup dan berkembang bivalvia. Daerah mangrove merupakan
habitat yang paling sesuai untuk bivalvia, karena pada daerah ini banyak
mengandung bahan organik yang merupakan sumber makanan bivalvia
(pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit). Selain itu,
mangrove memiliki kadar organik yang tinggi. Tingginya bahan organik
di area tersebut memungkinkan sebagai tempat pemijahan (spawning
ground), pengasuhan (nursery ground) dan pembesaran atau mencari
makan (feeding ground) (Arief, 2003).
b. Perbandingan Indeks Ekologi Area Mangrove dan Non-Vegetasi
Berdasarkan pada nilai indeks ekologi menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan antara keanekaragaman, keseragaman dan
dominansi antara daerah mangrove dan non-vegetasi. Perbandingan
indeks keanekaragaman antara Stasiun I (mangrove alami) dan IV
(rehabilitasi) lebih tinggi dari area non-vegetasi. Stasiun I dan IV dapat
diinterpretasikan memiliki kondisi lingkungan yang lebih baik, karena
keanekaragaman yang tinggi mengindikasikan keragaman dan proporsi
dari masing-masing jenis semakin merata (Krebs, 1985), sedangkan
Stasiun II (25 tahun) dan III (10-17 tahun), memiliki keanekaragaman lebih
rendah dari area non-vegetasi. Adanya dominasi dari jenis-jenis tertentu,
seperti Tellina timorensis dan Meretrix meretrix yang dapat bertahan dari
perubahan lingkungan yang ekstrim menyebabkan rendahnya indeks
keanekaragaman (Gambar 4.10a dan b).
80
Gambar 4.10. Perbandingan Indeks Ekologi antara Stasiun Mangrove denganNon-Vegetasi. a) Indeks Keanekaragaman (H’); b) IndeksKeseragaman (E); c) Indeks Dominansi (D).
Indeks dominansi pada Stasiun I lebih rendah dari non-vegetasi.
Rendahnya indeks dominansi menunjukkan bahwa pada Stasiun I
komunitas bivalvia relatif sama. Namun pada Stasiun II-III, nilai indeks
dominansi lebih tinggi dari area non-vegetasi. Fenomena ini menunjukkan
adanya jenis bivalvia yang mendominasi pada stasiun tersebut, seperti
Tellina timorensis dan Meretrix meretrix (Gambar 4.10c).
a
b
c
81
Berdasarkan pada perbandingan indeks ekologi menunjukkan
bahwa di daerah mangrove yang relatif masih alami memiliki lingkungan
yang lebih baik/stabil karena tidak adanya dominansi jenis tertentu jika
dibandingkan pada stasiun rehabilitasi yang menunjukkan bahwa adanya
dominansi jenis tertentu pada setiap stasiun rehabilitasi, sehingga dapat
dikatakan bahwa kegiatan rehabilitasi belum mengembalikan fungsinya
seperti kondisi alami.
Untuk meningkatkan kekayaan jenis dan kemerataan sebaran
bivalvia maka diperlukan tindakan-tindakan pengelolaan dalam kegiatan
rehabilitasi mangrove, seperti :
Penggunaan berbagai jenis mangrove, dilihat dari perbedaan jenis
akar agar terdapat ruang bagi hewan bentik (khususnya bivalvia) dan
kondisi lingkungan yang sesuai bagi mangrove untuk tumbuh.
Melakukan penjarangan pada saat bibit bakau sudah tumbuh menjadi
anakan dan sudah tahan terhadap gempuran ombak ataupun arus.
c. Hubungan Tinggi-Bobot Bivalvia
Hasil analisis regresi linier antara tinggi-bobot cangkang bivalvia
berdasarkan stasiun pengamatan didapatkan masing-masing nilai
koefisien a dan b yang bervariasi (Tabel 4.6.)
Nilai b menunjukkan pola pertumbuhan cangkang, yang dimana jika
tinggi cangkang lebih cepat pertumbuhannya dari berat cangkang
mengindikasikan bahwa organisme tersebut kurus (b≠3) pertumbuhan ini
biasa disebut allometrik, sebaliknya jika pertumbuhan berat dan tinggi
cangkang seimbang (b=3) disebut isometrik (Effendie, 2002).
82
Tabel 4.6. Nilai Koefisien a dan b berdasarkan analisis regresi linierhubungan Tinggi-Bobot Bivalvia
No Jenis Bivalvia
Stasiun
I II III IV NV
1 A. antiquata
b=2,538xa=- 0,072
b = 1,735xa = 0,439
b = 2,565xa = 0,084
b = 2,213xa = - 0,015
b = 2,315xa = 0,169
R² = 0,693b < 3
R² = 0,858b < 3
R² = 0,821b < 3
R² = 0,935b < 3
R² = 0,930b < 3
2 G. tumidum -
b = 2,002xa = 0,377
b = 1,826xa = 0,442
b = 3,340xa = - 0,243
-R² = 0,941b < 3
R² = 0,885b < 3
R² = 0,914b > 3
3 M. meretrix
b =1,989xa = 0,161
- - -
b = 2,629xa = 0,175
R² = 0,924b < 3
R² = 0,970b < 3
4 M. opima
b = 1,849xa = 0,001
- - -
b = 3,222xa = - 0,676
R² = 0,848b < 3
R² = 0,926b = 3
5 P. bengalensis
b = 1,390xa = 0,761
- - -
b = 2,138xa = 0,052
R² = 0,794b < 3
R² = 0,491b < 3
6 T. timorensis
b = 2,371xa = - 0,219R
2= 0,961
b < 3
b = 2,273xa = - 0,087R
2= 0,947
b > 3
- - -
Nilai b yang diperoleh mengindikasikan model pertumbuhan
cangkang allometrik negatif (b<3) (Lampiran 4c). Koefesien korelasi yang
didapat dari tinggi dan bobot cangkang sangat bervariasi, hal ini diduga
karena makanan yang melimpah dan kondisi lingkungan mendukung,
sehingga menyebabkan masing-masing variabel berkembang secara
normal. Menurut Currey (1988), bahwa pertumbuhan berat pada bivalvia
yang hidup di daerah pasang surut sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan
dimensi cangkangnya. Lebih lanjut dikatakan oleh Walne (1979),
Pertumbuhan tinggi cangkang yang lebih besar dari pada berat adalah
sebagai strategi agar supaya tetap survive/bertahan dalam kondisi
lingkungan yang ekstrem. Hal ini seperti yang dinyatakan Seed, (1986)
83
dalam Gimin et al. (2004), untuk melindungi badan dari serangan
pemangsa dan kondisi-kondisi lingkungan kurang baik, kerang
memerlukan cangkang tebal yang dapat tertutup dengan rapat.
Gambar 4.11. Hubungan Tinggi-Berat Cangkang Bivalvia. Anadaraantiquata (a); Gafrarium tumidum (b); Meretrix meretrix(c); Tellina timorensis (d); Marcia opima (e); Polymesodabengalensis (f)
a b
c d
e f
84
Berdasarkan nilai koefisien regresi (nilai b = kemiringan garis
regresi) menjelaskan bahwa Anadara antiquata (Gambar 4.11a) pada
Stasiun III memiliki kondisi yang lebih baik jika dibandingkan dengan
stasiun lainnya. Hal ini disebabkan karena pada Stasiun III memiliki
kandungan bahan organik terlarut (BOT) yang tinggi, yaitu 15,52% dan
merupakan kondisi yang baik bagi kelangsungan hidup bivalvia. Menurut
Baslim (2001), bahwa kandungan BOT di dalam sedimen > 15 %,
tergolong subur.
Nilai b pada Gafrarium tumidum (Stasiun IV) (Gambar 4.11b) lebih
tinggi jika dibandingkan pada Stasiun II-III. Hal ini terkait pada kerapatan
mangrove dengan substrat pasir berlumpur. Kondisi lingkungan
berpengaruh pada ketersediaan makanan (misalnya : pengaruh pasang-
surut) ketika surut air tawar sungai membawa nutrien begitupun
sebaliknya ketika pasang. Melalui mekanisme pasang surut (pasut) dan
aliran sungai terciptalah pencampuran kedua massa air tawar dan air laut
secara intensif di estuaria.
Selain itu, adanya hutan mangrove yang memiliki produksi primer
tinggi di sungai besar menyebabkan kandungan detritus organik yang
tinggi sehingga produktivitas sekunder di estuaria menjadi tinggi pula.
Oleh karena itu, habitat estuaria menjadi sangat produktif hingga dapat
berfungsi sebagai daerah pertumbuhan (nursery ground) bagi larva, post-
larva dan juvenile dari berbagai jenis ikan, udang dan kerang-kerangan
dan daerah penangkapan (fishing ground) (Dahuri, 2003).
85
Meretrix meretrix, Marcia opima dan Polymesoda bengalensis
memiliki nilai koefiesien pertumbuhan lebih besar di stasiun non-vegetasi
(NV) jika dibandingkan pada Stasiun I (Gambar 4.11c,e dan f). Hal ini
terkait pada ketersediaan makanan sebagai sumber energi dan kondisi
lingkungan yang optimal untuk menunjang proses fisiologis. Adanya
pengaruh pasang-surut secara tidak langsung telah membawa bahan-
bahan organik yang dibutuhkan oleh bivalvia, mengingat bahwa bivalvia
merupakan organisme yang bersifat filter feeder. Menurut Nybakken
(1992), bahwa bahan organik dan sedimen dasar memegang peranan
penting, yaitu sebagai kontrol kelimpahan, metabolisme dan distribusi
mikroorganisme di laut dan di pantai. Russel & Hunter (1983),
menjelaskan bahwa kerang akan tumbuh lebih baik pada daerah dengan
kandungan bahan organik yang tinggi.
Pada umumnya pertumbuhan suatu individu sangat bergantung
pada ketersediaan makanan sebagai sumber energi dan kondisi
lingkungan yang optimal untuk menunjang proses fisiologis. Kandungan
organik berkorelasi searah terhadap keanekaragaman bivalvia, semakin
tinggi kandungan organik pada substrat maka semakin tinggi pula
keanekaragaman bivalvia. Kandungan bahan organik terlarut dalam
sedimen mempengaruhi pertumbuhan, kehadiran dan kepadatan
organisme (Levinton, 1982).
86
5. Keterkaitan Struktur Komunitas Bivalvia dengan Lingkungan
Keterkaitan struktur komunitas bivalvia dengan lingkungan dikaji
dengan menggunakan analisis multivarian Canonical Correspondence
Analysis (CCA) dapat dilihat pada Gambar 4.12.
Hasil analisis CCA menunjukkan bahwa informasi sebaran bivalvia
dengan parameter lingkungan terpusat pada sumbu 1 (57,14%), sumbu 2
(28,84%), dan sumbu 3 (9,45%). Ketiga sumbu yang digunakan dapat
menyatakan nilai 95,53% dari keragaman data.
Gambar 4.12. Hasil analisis CCA jenis makrozoobentos yang dominankaitannya dengan lingkungan
87
Dari hasil analisis ketiga sumbu utama didapatkan 4 kelompok
hubungan antara bivalvia dengan parameter lingkungan, yaitu sebagai
berikut :
1. Kelompok I
Kelompok I merupakan daerah Tongke-Tongke-1 dan Tongke-
Tongke-2, yang dicirikan oleh bivalvia jenis Gafrarium Tumidum
dengan parameter lingkungan penciri adalah pHtanah (7,25) dan suhu
(28oC) yang tinggi.
Menurut Hawkes (1978) nilai kisaran pH 5,0–9,0 menunjukkan adanya
kelimpahan dari organisme makrozoobentos khususnya dari kelas bivalvia.
pH tanah pada ekosistem mangrove akan meningkat sebagai akibat dari
terlarutnya garam-garam air laut dalam tanah. Sedangkan kadar suhu yang
tinggi pada kelompok I merupakan kisaran suhu yang layak bagi
kelangsungan hidup bivalvia, yaitu suhu 25-36oC merupakan nilai kisaran
yang dapat ditolerir oleh makrozoobentos karena dapat mendukung hidup
yang layak dalam habitat mereka, khususnya dalam ekosistem mangrove
(Makkarumpa, 2005).
2. Kelompok 2
Kelompok 2 adalah daerah Lappa, dengan bivalvia penciri adalah
Polymesoda bengalensis (PB), Dosinia insularsum (DI), Siliqua sp.
dan Marcia opima (MO). sedangkan Parameter lingkungan penciri,
yaitu BOT, Eh dan pHair yang tinggi.
Tingginya kandungan BOT (15,52) menunjukkan bahwa ekosistem
mangrove di sekitar Lappa (Stasiun I) memiliki tingkat kesuburan yang
tergolong tinggi. Eh tanah juga menunjukkan kisaran yang tinggi, yaitu
88
107,30 dan pHair sebesar 7,94. Tingginya kandungan BOT, Eh dan pHair
mengindikasikan bahwa perairan cukup subur.
3. Kelompok 3
Kelompok 3 adalah daerah non-vegetasi, yang menjadi penciri dari
kelompok ini adalah jenis substrat dengan kandungan pasir yang
tinggi (52%). Bivalvia penciri pada kelompok ini, yaitu Anadara
antiquata (AA), Meretrix meretrix (MM) dan Tellina timorensis (T2).
Bivalvia penciri dari stasiun ini dapat hidup pada daerah non-vegetasi
dengan substrat pasir. Hal tersebut juga didukung oleh Sitorus (2008)
bahwa jenis Tellina sp. merupakan jenis bivalvia yang dapat hidup
pada substrat berpasir, begitupun pada Anadara antiquata dan
Meretrix meretrix.
4. Kelompok 4
Kelompok 4 adalah panaikang dan Tongke-Tongke-2. Bivalvia
penciri, yaitu Mytilus edulis (ME), Mactra violacea (MV), Trachyradium
subrogosum (TS) dan Semele cordiformis (SC). Parameter lingkungan
penciri adalah kondisi substrat berupa liat dan salinitas rendah.
Organisme penciri pada kelompok ini merupakan organisme yang
mempunyai ketahanan terhadap perubahan salinitas, karena
organisme tersebut memiliki kemampuan untuk menutup rapat
cangkangnya sehingga dapat menyimpan air ketika sedang surut.
89
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian, maka dapat di ambil beberapa
kesimpulan, yaitu :
1. Lokasi mangrove yang relatif masih alami (Lappa) memiliki kekayaan
jenis yang lebih tinggi (4 jenis) dengan kondisi rapat (3067 ind/ha),
dibandingkan dengan daerah yang merupakan lokasi rehabilitasi 1
jenis. Kerapatan mangrove di area rehabilitasi berkisar 5150-7088
ind/ha dengan kondisi sangat rapat.
2. Ditemukan 13 jenis bivalvia di area mangrove didominasi oleh jenis
Anadara antiquata dan Gafrarium tumidum. Jenis lain yang dominan
juga ditemukan pada lokasi Tongke-Tongke, yaitu Tellina timorensis
dan Meretrix meretrix. Mytilus edulis merupakan jenis lain yang
mendominasi pada lokasi Panaikang. Adapun jumlah jenis dan
kepadatan bivalvia bervariasi dan berbeda nyata antarstasiun. Jumlah
jenis dan kepadatan tertinggi ditemukan pada lokasi Lappa dan
Panaikang dengan nilai masing-masing 6,50 jenis dan 57,5 ekor/m2.
3. Indeks ekologi bivalvia pada mangrove yang relatif alami masih lebih
bagus dibandingkan dengan mangrove hasil rehabilitasi. Hasil
rehabilitasi mangrove hanya dapat meningkatkan jumlah jenis bivalvia,
namun kepadatan bivalvia tidak nyata meningkat, bahkan pada
daerah rehabilitasi memiliki nilai indeks ekologi yang lebih rendah
90
yang ditunjukkan oleh keanekaragaman yang lebih rendah dan indeks
dominansi yang lebih tinggi. Dengan demikian, mangrove rehabilitasi
meskipun telah berumur 8-25 tahun, namun belum bisa
mengembalikan fungsi biologisnya selayaknya mangrove yang relatif
masih alami.
4. Daerah mangrove yang masih alami dicirikan oleh lebih beragamnya
bivalvia dengan parameter lingkungan yang mencirikan BOT, Eh dan
pH air yang tinggi, sedangkan daerah yang direhabilitasi dicirikan oleh
lebih sedikit bivalvia penciri dengan karakter lingkungan pH tanah dan
suhu yang tinggi.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ada
beberapa saran yang diajukan, yaitu :
1. Perlu diupayakan penanaman mangrove jenis lain namun perlu
disesuaikan dengan karakteristik lingkungannya.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai fisiologis bivalvia,
terutama dalam hal reproduksi dan siklus hidup bivalvia sehingga
akan diketahui kecenderungan bivalvia terhadap habitat tertentu yang
dipengaruhi oleh kondisi fisika kimia lingkungan.
91
DAFTAR PUSTAKA
Amri, A. 2005. Mangrove Plantation and Land Property Rights : A Lessonfrom The Coastal rea of South Sulawesi, Indonesia. Southeast AsianStudies.
Anonim. 2005. Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan bakau (Mangrove)Sinjai. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.
Anonim. 2005. Petunjuk Praktikum Ekotoksikologi dan PengendalianPencemaran Perairan. Laboratorium Ekologi Perairan. JurusanPerikanan. Fakultas Pertanian. UGM. Yogyakarta.
Anonim. 2010. Penyebaran Luas Hutan Bakau Tahun 2010 di KabupatenSinjai. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.
Arief, A. M. P. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. PenerbitKanisius. Yogyakarta.
Barnes, R.D. and E.E. Ruppet. 1994. Invertebrate Zoology. SixthEdition. United States of Amerika. P. 460.
Barth, R. H. 1982. The Invertebrate World. EBS Colleage PublishingUnited States of America. P. 267-282
Baslim. 2001. Hubungan Beberapa Parameter Oseanografi denganKelimpahan Makrozoobentos di Perairan Muara Sungai TalloKecamatan Ujung Tanah. Sulawesi Selatan.
Bengen, D. R., Widodo dan S. Haryadi., 1995. Tipologi Fungsional
Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Perairan Pesisir
Muara Jaya, Bekasi. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian IPB.
Bogor.
Bengen, D. R. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan PengelolaanEkosistem Mangrove. PKSPL-IPB
Brower. J. E., J. H. Zar and C. Von Ende. 1990. Field and LaboratoryMethods for General Ecology. Wm. C. Brown Publiser, USA.
Currey, J.D. 1988. Shell From and Strength. In; E.R. Trueman and M.R.Clarke (Eds), The Molluska; Form and Function. Academic Press,London. pp 183–210.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 2001. PengelolaanSumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT.Pradnya Paramita, Jakarta.
92
Deasy, A. A. 2004. Kajian Pola Pemanfaatan Mangrove di DesaTongke-Tongke dan Kel. Lappa Kabupaten Sinjai. Skripsi.Fakultas Ilmu Kelautan dan Kelautan. Universitas Hasanuddin.Makassar.
Effendie, M.I., 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama.Yogyakarta. 163hal.
Gimin, R., R. Mohan., L.V. Thinh., and A.D. Griffiths. 2004. TheRelationship of dimension and shell volume to live weight and softtissue weight in the mangrove clam, Polymesoda erosa (Solander,1786) from notherm Australia. Articles Naga, Worldfish CentreQuarterly. Vol. 27 No. 3 & 4 Jul-Dec 2004. pp. 32-35
Sitorus. D. 2008. Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia SertaKaitannya Dengan Faktor Fisik-Kimia Di Perairan Pantai LabuKabupaten Deli Serdang. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
FAO Fisheries. 2010. Mytilus edulis. http://www.fao.org/. (diakses tanggal02 Juli 2011).
Hawkes, H. A. 1978. Invertebrates as Indicators of River Water Qualitydalam A. James dan L. Evison (Ed.) Biological Indicator of WaterQuality. John Willey & Sons. Toronto.
Hickman P.C. 1996. Integrated Principles of Zoology. Third Edition,America. United States of America. P. 356-358.
Jabang, N., S. Jatna., M.P. Patria. dan A. Budiman. 2008. Kepadatandan Keanekaragaman Kerang Intertidal (Mollusca : Bivalve) diPerairan Pantai Sumatera Barat. Prosiding Seminar NasionalSains dan Teknologi-II. Universitas Lampung.
Jayabal, R., and M. Kalyani. 1986. Age and Growth of The Estuary ClamMeretrix meretrix (L) Inhabiting The Vellar Estuary. Bulletin of TheNational Institute of Oceanography.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004.Kriteria Baku dan Pedoman Penetuan Kerusakan Bakau.
Krebs, C. J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distributionsand Abundance. Ed. New York: Harper and Row Publishers. 654pp.
Levinton, J. S. 1982. Marine Biology. Prentice Hall Inc. New Jersey. USA.526 p.
93
Makkarumpa, A. 2005. Struktur Komunitas MakrozoobentosHubungannya dengan Karakteristik Habitat pada EkosistemMangrove di Perairan Larea-rea Kabupaten Sinjai. Skripsi.Fakultas Ilmu Kelautan dan Kelautan. Universitas Hasanuddin.Makassar.
Maqbool, T. K. 1998. Studies on the Biology of the Clam Marcia opimaGmelin From Kayamkulan Lake. Cochin University of Scienceand Technology. Cochin.
Meyer, E., and B. Nikerd. 2008. Ecological Importance ofChemoautotrophic Lucinids Bivalves In A Peri-MangroveCommunity in Eastern Thailand. The Raffles Bulletin of Zoology.National University of Singapore.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan danLaboratorium. Alih Bahasa Oleh: Y.R. Kostoer. UniversitasIndonesia Press. Jakarta. Hlm 195.
Munisa. 2003. Pembangunan Hutan Mangrove berbasis masyarakat dantantangannya (studi kasus desa Tongke-Tongke kabupaten sinjai).Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
Nybakken, J. W. 2007. Biologi Laut, Suatu Pendektan Ekologis. PTGramedia Pustaka, Jakarta 458 hlm. (diterjemahkan oleh M.Eidmann, et al).
Odum, E, P., 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada. University Press,Washington D.C.
Phillips. D.J.H. 1980. Quantitative Aquatic Biological Indicator their use to
monitor trace metal and organochlorine pollution. London Applied
Science.
Prawirohartono, S. 2003. Sains Biologi 1. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Robert, D. and Soemodiharjo. 1982. Shallow Waters Marine Mollusca ofNorth-West Java. LON-LIPI. Jakarta. : p. 312-332.
Rosenberg, D.M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoringand Benthic Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York.London. Hlm. 125-127.
94
Russel, W. D. and Hunter. 1983. The Mollusca. Volume 6, Ecology.Academic Press, Inc. London.
Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. PT. Rineka Cipta.Jakarta. Hlm. 83-87.
Shiomi, K., A. Shinagawa., T. Igarashi., K. Hirota., H. Yamanaka., and T.Kikuchi. 1983. Contents and Chemical Forms of Arsenic inShellfishes In Connection with Their Feeding Habits. Bulletin of theJapanese Society of Scientific Fisheries. Department of FoodScience and Technology. Tokyo University of Fisheries. Konan,Tokyo.
Ricardo, L., L. Simone. and S. Wilkinson. 2008. ComparativeMorphological Study of Some Tellinidae from Thailand (Bivalvia :Tellinoidea). The Raffles Bulletin Of Zoology. National University OfSingapore. Singapore.
Sudarja, Y. 1987. Komposisi Kelimpahan dan Penyebaran mangrove dariHulu ke Hilir Berdasarkan Gradien Kedalaman di Situ Lentik,Dermaga. Kab Bogor. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan. IPB.Bogor.
Sumich, J.L. 1992. Marine Life. Fifth Edition. Wm. C. Brown Publisher.United State of America. P. 17, 225-236.
Suwignyo, S., B. Widigdo, Y. Wardiatno, dan M. Krisanti. 2005. Avertebrata
Air I. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ter Braak, C. J. F. 1986. Canonical Correspondence Analysis: A New
Eigenvector Technique for Multivariat Direct Gradient Analysis.
Ecology 67: 1167-1179.
Umaryati, B.S. 1990. Taksonomi Avertebrata. Cetakan Pertama. PenerbitUniversitas Indonesia Press. Jakarta. Hlm. 77-90.
USDA. 2009. Soil Survey Manual. United States Department ofAgriculture. soils.usda.gov.
Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset.Yogyakarta. Hlm. 98.
Wahyu, S. L, dan M. Widyastuti. 1998. Identifikasi dan Pengukuran
Parameter-Parameter Fisik Lapangan. Kerjasama Fakultas
Geografi-UGM dan Bakosurtanal-BANGDA. Dalam Rangka Proyek
MREP. Makassar, Sulawesi Selatan.
95
Walne, D.R. 1979. Culture of Bivalve Mollusc. 2nd edition. Fishing NewsBook Ltd. Farnham Survey. pp 46–66.
Weisz, P. B. 1973. The Science of Zoology. Second Edition. Mc.Graw-Hill, Inc, United States of America. P. 125.
Winanto, T. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. Cetakan 1.Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya. Hlm. 17-24.
96
LAMPIRAN
97
Lampiran 1. Gambar Kondisi dan Klasifikasi Mangrove
Stasiun I (Mangrove Relatif Alami)
Stasiun II (Tongke-tongke Relatif jauh dari aktivitas manusia)
98
Stasiun III (Tongke-tongke Relatif dekat aktivitas manusia)
Stasiun IV (Panaikang)
99
Lampiran 2. Gambar jenis-jenis dan Klasifikasi bivalvia yangditemukan pada lokasi penelitian
Polymesoda bengalensis Meretrix meretrix
Gafrarium tumidum Mactra violacea
Mytilus edulis Siliqua sp.
2 cm
2 cm
2 cm
2 cm 2 cm
100
Semele cordiformis Anadara antiquata
Placamen chlorotica Marcia opima(www.sealifebase.org) (www.sealifebase.org)
Tellina timorensis Dosinia insularsum(www.sealifebase.org) (www.sealifebase.org)
Trachycardium subrogosum(www.sealifebase.org)
2 cm
2 cm
2 cm
2 cm