Post on 12-Aug-2015
ANALISIS KADAR, DAYA CERNA DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING AYAM KAMPUNG
DAN HASIL OLAHANNYA
SKRIPSI
IWAN RIYANTO
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
IWAN RIYANTO. D14202054. 2006. Analisis Kadar, Daya Cerna dan Karakteristik Protein Daging Ayam Kampung dan Hasil Olahannya. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Pembimbing Anggota : Ir. Niken Ulupi, MS Protein merupakan salah satu nutrien penting yang dibutuhkan oleh tubuh. Daging ayam kampung adalah sumber protein hewani. Daging akan mengalami proses pengolahan sebelum dikonsumsi. Pengolahan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpan, meningkatkan nilai gizi dan nilai tambah, meningkatkan penerimaan terhadap produk dan menganekaragamkan produk olahan daging. Pengolahan daging menjadi bakso, sosis, abon, dendeng dan daging panggang diduga dapat mengubah kadar dan daya cerna protein yang dikandungnya. Selain itu, kerusakan protein juga dapat terjadi akibat proses pengolahan daging. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh pengolahan daging ayam kampung terhadap kadar, daya cerna dan kerusakan protein. Penelitian dilakukan selama lima bulan. Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak dan bagian Ruminansia Besar Fakultas Peternakan, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, serta Laboratorium Biokimia Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bahan utama adalah daging ayam kampung bagian dada sebanyak 4,75 kg. Bahan tambahan yang digunakan merupakan bahan-bahan dalam pembuatan bakso, sosis, abon, dendeng dan daging panggang. Selain itu, bahan yang digunakan untuk analisis kadar, daya cerna dan karakteristik protein juga termasuk dalam bahan tambahan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan perlakuan cara pengolahan yang berbeda (bakso, sosis, abon, dendeng dan daging panggang). Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Peubah yang diamati adalah kadar protein (mikro Kjeldahl), daya cerna protein (secara in-vitro) dan karakteristik protein (elektroforesis). Analisis kimia pada tiap perlakuan dilakukan secara komposit yang diambil dari tiga ulangan secara acak. Data hasil analisis kimia dibahas secara deskriptif. Hasil analisis kadar protein daging ayam kampung sebesar 22,17%. Kadar protein bakso, sosis, abon, dendeng dan daging panggang berdasarkan berat basah berturut-turut adalah 12,59%; 14,12%; 37,20%; 32,96% dan 29,70%. Bakso merupakan produk olahan daging ayam kampung yang mempunyai kadar protein terendah. Produk olahan yang memiliki kadar protein tertinggi adalah abon. Perubahan kadar protein dapat disebabkan oleh perubahan kadar air, penambahan bahan tambahan dan proses pengolahan. Daya cerna protein daging ayam kampung adalah 85,46%. Bakso, sosis, abon, dendeng dan daging panggang mempunyai daya cerna protein berturut-turut adalah 93,20%; 80,80%; 60,77%; 53,97% dan 71,53%. Perubahan daya cerna protein dapat diakibatkan oleh reaksi-reaksi yang terjadi selama proses pengolahan. Reaksi yang dapat terjadi antara lain denaturasi, reaksi rasemisasi dan reaksi Maillard. Daging ayam kampung mempunyai nilai protein tercerna sebesar 18,95%. Nilai protein bakso, sosis, abon, dendeng dan daging
panggang adalah 11,73%; 11,41%; 22,61%; 17,79% dan 21,24%. Abon merupakan produk olahan yang mempunyai protein tercerna terbesar. Nilai protein tercerna dipengaruhi oleh kadar dan daya cerna protein. Kerusakan protein terbesar terjadi akibat proses pengolahan daging menjadi bakso. Bakso mempunyai jenis protein sebanyak enam buah. Proses pembuatan sosis merupakan proses pengolahan yang dapat meminimalkan kerusakan protein yang dikandungnya. Kata-kata kunci: daging ayam kampung, kadar, daya cena, protein
ABSTRACT
Analysis of Quantity, Digestibility and Characteristic of Protein Domestic Chicken Meat and Products
Riyanto, I., T. Suryati and N. Ulupi
Meat would be processed before consumed. Meat could be processed to be bakso (meat ball), sausage, abon, dendeng and roasted meat. Processing may be changes about quantity, digestibility and characteristic of protein. This research was studied about quantity, digestibility and characteristic of protein domestic chicken meat and products. This research used breast meat of domestic chicken. Breast meat processed to be bakso (meat ball), sausage, abon, dendeng and roasted meat. This research was conducted by using completely randomized design with three replicates. The data was analyzed by descriptive. The treatments were processing methods of breast meat of domestic chicken. Quantity of protein meat, bakso, sausage, abon, dendeng and roasted meat each were 22,17%; 12,59%; 14,12%; 37,20%; 32,96% and 29,70%. Quantity protein bakso was smallest than the other. Analysis digestibility used in vitro method. This method used pepsin and pancreatin enzyme. Value of digestibility meat, bakso, sausage, abon, dendeng and roasted meat each were 85,46%; 93,20%; 80,80%; 60,77%; 53,97% and 71,53%. Changes of digestibility after processing may be caused by denaturation, racemization and Maillard reactions. The bakso’s protein was bigest damage protein than the other. Sausage process was method which could pressurized damage protein. Keywords: domestic chicken meat, quantity, digestibility, characretistic, protein
ANALISIS KADAR, DAYA CERNA DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING AYAM KAMPUNG
DAN HASIL OLAHANNYA
IWAN RIYANTO
D14202054
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ANALISIS KADAR, DAYA CERNA DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING AYAM KAMPUNG
DAN HASIL OLAHANNYA
Oleh:
IWAN RIYANTO
D14202054
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Sidang pada tanggal 8 Juni 2006
Pembimbing Utama Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. NIP. 132 159 706
Pembimbing Anggota Ir. Niken Ulupi, MS NIP. 131 284 604
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, Mrur. Sc. NIP. 131 624 188
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang merupakan putra dari ibu
Sugiarti dan bapak Suwarno. Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 3
Desember 1984. Pendidikan dasar diselesaikan selama sembilan tahun di SD Negeri
Pule II dan SLTP Negeri II Selogiri yang berada di Wonogiri. Pendidikan menengah
atas juga diselesaikan di kota yang sama, tepatnya di SMU Negeri I Wonogiri dan
lulus pada tahun 2002. Tanggal 15 Agustus tahun 2002, penulis diterima sebagai
mahasiswa Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan program studi
Teknologi Hasil Ternak. Penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui
jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) yang diikutinya di Surakarta.
Selama mengenyam pendidikan di Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Bogor, penulis juga aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan. Badan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan dan KSR PMI Unit I IPB merupakan
kedua organisasi kemahasiswaan yang digeluti penulis. Penulis juga menjadi panitia
beberapa kegiatan kemahasiswaan baik pada tingkat fakultas, institusi maupun
nasional. Penulis mendapatkan bantuan pendidikan dari Yayasan Al Munawarroh
dan Perhimpunan Orang Tua Mahasiswa Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Skripsi ini merupakan salah satu upaya dalam mengetahui kadar, daya cerna
dan kerusakan protein daging ayam kampung dan hasil olahannya. Pengolahan
daging menjadi bakso, sosis, abon, dendeng dan dagng panggang merupakan proses
pengolahan yang banyak dilakukan oleh masyarakat. Pengolahan diduga dapat
merubah kadar, daya cerna maupun tingkat kerusakan protein daging ayam
kampung.
Skripsi ini membahas mengenai pengaruh pengolahan daging ayam kampung
terhadap kadar, daya cerna dan kerusakan protein yang dikandungnya. Proses
pengolahan dapat mengakibatkan peningkatan atau bahkan penurunan protein, baik
dari segi kadar, daya cerna maupun tingkat kerusakannya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya
ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Dramaga, Juni 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .............................................................................................. i
ABSTRACT ................................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
Daging Ayam Kampung .................................................................. 3 Protein Daging ................................................................................. 3 Denaturasi Protein Daging ................................................... 4 Reaksi Maillard .................................................................... 4 Produk Olahan Daging ..................................................................... 5 Bakso ................................................................................... 5 Sosis ..................................................................................... 6 Abon ..................................................................................... 6 Dendeng ............................................................................... 7 Analisis Protein ................................................................................ 8 Metode Kjeldhal .................................................................. 8 Daya Cerna Protein (In-Vitro) .............................................. 8 Elektroforesis ........................................................................ 9
METODE ..................................................................................................... 10
Lokasi dan Waktu ............................................................................ 10 Materi ............................................................................................... 10 Rancangan ........................................................................................ 11 Prosedur ........................................................................................... 11
Preparasi Sampel .................................................................. 11 Pembuatan Bakso (Modifikasi Subarnas, 2004) ................... 12 Pembuatan Sosis (Modifikasi Hamdani, 2005) .................... 12 Pembuatan Abon (Modifikasi Ariyanti, 2003) ...................... 12 Pembuatan Dendeng (Modifikasi Ghozali, 2005) ................. 13 Pembuatan Daging Panggang .............................................. 13 Analisis Kadar Protein (Mikro Kjehdahl) ............................ 14 Daya Cerna Protein secara In-Vitro (Sounders et al., 1973) . 14
Elektroforesis (Laemmli, 1970) ............................................ 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 17
Kadar Protein ................................................................................... 17 Bakso dan Sosis ................................................................... 18 Abon, Dendeng dan Daging Panggang ................................ 18 Daya Cerna Protein .......................................................................... 19 Bakso dan Sosis ................................................................... 20 Abon, Dendeng dan Daging Panggang ................................ 21 Protein Tercerna ............................................................................... 22 Bakso dan Sosis ................................................................... 23 Abon, Dendeng dan Daging Panggang ................................ 23 Karakteristik Protein dengan Menggunakan Elektroforesis ............ 24 Bakso dan Sosis ................................................................... 25 Abon, Dendeng dan Daging Panggang ................................ 26
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 28
Kesimpulan ...................................................................................... 28 Saran ................................................................................................ 28
UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 30
LAMPIRAN ................................................................................................. 34
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Persentase Protein pada Bagian Dada, Paha dan Kulit Ayam Ras dan Ayam Buras ................................................................................. 3
2. Persentase Kadar dan Daya Cerna Protein serta Protein Tercerna Daging Ayam Kampung dan Hasil Olahannya .................................. 17
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Perubahan Stuktur Molekul Protein Saat Terjadi Denaturasi ............. 4
2. Hasil Elektroforesis (SDS-PAGE) Daging Ayam Kampung dan Hasil Olahannya ................................................................................. 25
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kadar Air Daging Ayam Kampung dan Hasil Olahannya ................. 35
2. Syarat Mutu Abon .............................................................................. 35
3. Syarat Mutu Bakso Daging ................................................................ 35
4. Syarat Mutu Sosis Daging ................................................................. 35
5. Komposisi dan Berat Molekul Protein Marker (low molecule wight) ................................................................................................. 36
6. Kurva Standar Penentuan Berat Molekul Protein Bakso ................... 36
7. Kurva Standar Penentuan Berat Molekul Protein Sosis .................... 36
8. Kurva Standar Penentuan Berat Molekul Protein Abon, Dendeng dan Daging Panggang ........................................................................ 37
9. Kurva Standar Penentuan Berat Molekul Protein Daging Ayam Kampung ............................................................................................ 37
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nilai gizi bahan pangan tidak hanya ditentukan dari segi kuantitas (jumlah),
namun juga dientukan oleh kualitas gizi yang dikandungnya. Zat gizi merupakan
nutrien-nutrien yang terkandung dalam bahan pangan. Nutrien yang membentuk
bahan pangan dapat berupa protein, karbohidrat, lemak, mineral maupun vitamin.
Protein sebagai salah satu nutrien bahan pangan dapat berfungsi sebagai
pengganti komponen tubuh yang rusak maupun sebagai sumber energi. Tingginya
nilai protein dalam makanan dapat ditentukan dengan melihat kandungan asam
amino pembentuk dan daya cerna protein. Daya cerna protein dapat menentukan
ketersediaan asam-asam amino secara biologis. Asam amino terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu asam amino esensial dan non-esensial. Asam amino esensial
merupakan asam amino yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh sehingga diperlukan
asupan dari luar. Asam amino non-esensial dapat dibentuk oleh tubuh. Sumber
protein yang diperlukan oleh tubuh berasal dari hewani, nabati dan protein non
konvensional. Protein hewani dapat berasal dari daging maupun telur yang dihasilkan
oleh ternak.
Daging sebagai sumber protein, akan mengalami proses pengolahan sebelum
dikonsumsi. Tujuan pengolahan bahan pangan disamping meningkatkan nilai tambah
juga dapat memperpanjang masa simpan, meningkatkan penerimaan terhadap produk
dan menganekaragamkan produk olahan pangan. Proses pengolahan selain dapat
meningkatkan daya cerna protein, juga dapat menurunkan nilai gizinya. Peningkatan
daya cerna protein pada proses pemasakan dapat terjadi akibat terdenaturasinya
protein dan terhentinya aktivitas senyawa-senyawa anti nutrisi. Penurunan nilai gizi
protein daging dapat disebabkan oleh perlakuan suhu yang tidak terkontrol yang
dapat merusak asam-asam amino protein daging. Oleh karena itu, perlu perlakuan
yang tepat dalam pengolahan daging, mengingat daging merupakan bahan pangan
sumber protein. Daging merupakan bahan pangan yang relatif lebih mahal jika
dibandingkan dengan sumber protein yang lain.
Daging ayam kampung merupakan salah satu jenis daging yang dapat diolah
menjadi bakso, sosis, abon, dendeng maupun daging panggang. Pengolahan daging
ayam kampung dengan berbagai cara, diduga dapat meningkatklan atau bahkan
menurunkan nilai gizi protein yang dikandungnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengkajian mengenai nilai gizi protein baik secara kuantitas maupun kualitas pada
daging ayam kampung dan hasil olahannya.
Tujuan
Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, antara lain:
1. Mempelajari pengaruh pengolahan terhadap kadar protein daging ayam
kampung.
2. Mempelajari pengaruh pengolahan terhadap daya cerna dan kerusakan protein
daging ayam kampung.
TINJAUAN PUSTAKA
Daging Ayam Kampung
Ayam kampung merupakan salah satu dari keluarga ayam buras yang dapat
dimanfaatkan baik telur maupun dagingnya. Ayam kampung berukuran kecil dan
mempunyai bentuk agak ramping. Ayam ini mempunyai warna bulu putih, hitam,
coklat, kuning kemerahan, kuning ataupun kombinasi dari warna-warna tersebut
(Cahyono, 2002).
Ayam kampung mempunyai bobot hidup rata-rata 205,21 gram pada umur
tiga minggu (Nurmawan, 2003). Bobot ayam kampung mencapai 865 gram pada
umur sembilan minggu (Santosa, 2004).
Protein Daging
Otot mengandung protein sekitar 19% dengan kisaran 16%-22% (Forrest et
al., 1975). Persentase bagian dada ayam buras berdasarkan berat karkas adalah
25,45%, sedangkan daging dada berjumlah 14,51% dari bobot bagian dada
(Triyantini et al., 1997). Persentase protein daging dada, paha dan kulit ayam ras dan
buras dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase Protein pada Bagian Dada, Paha dan Kulit Ayam Ras dan Ayam Buras
Jenis Ayam Protein
Dada Paha Kulit
----------------------------(%)--------------------------
Ras 23,05 19,27 11,46
Buras 22,70 19,01 13,59
Sumber : Triyantini et al., (1997)
Persentase protein daging dada ayam ras maupun ayam buras mempunyai
nilai tertinggi, sedangkan pada bagian kulit menggandung persentase protein paling
rendah. Persentase protein daging dada lebih tinggi dibandingkan dengan persentase
protein bagian paha maupun kulit. Lawrie (1995) menyebutkan bahwa protein daging
terdiri atas miofibrilar, sarkoplasmik, mitokondria dan jaringan ikat.
Denaturasi Protein Daging
Purnomo (1997) menyatakan bahwa pengolahan daging dengan
menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi
koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya. Davidek et al.
(1990) menyebutkan bahwa denaturasi merupakan perubahan konformasi dasar
semua bagian molekul protein yang menyebabkan kehilangan aktivitas biologi dan
fungsi alaminya secara sempurna. Lehninger (1998a) menyebutkan bahwa jika suatu
protein terdenaturasi, susunan tiga dimensi khas dari rantai polipeptida terganggu dan
molekul ini terbuka menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan pada struktur
kerangka kovalen. Gambar perubahan struktur molekul protein saat terjadi denaturasi
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perubahan Struktur Molekul Protein Saat Terjadi Denaturasi Sumber: Lehninger, 1998a
Selama proses pengolahan daging, denaturasi mungkin terjadi pada beberapa
tahap antara lain selama pemanasan, pemanasan berlebih saat penggilingan (Davidek
et al., 1990) dan perlakuan mekanik (Winarno, 1991). Rentang suhu denaturasi
sebagian besar protein berkisar antara 55-75°C (DeMan, 1997). Denaturasi yang
pertama terjadi pada suhu 45°C yaitu denaturasi miosin dengan adanya pemendekan
otot. Aktomiosin terjadi denaturasi maksimal pada suhu 50-55°C dan protein
sarkoplasma pada 55-65°C. Selama penggilingan dengan menggunakan partikel
kasar akan menyebabkan peningkatan panas setinggi suhu denaturasi (Davidek et al.,
1990).
Protein asli Protein terdenaturasi
Reaksi Maillard
Pemanasan kolagen pada suhu 60-70°C selama 20-25 menit akan
menyebabkan reaksi non-enzimatis secara terus-menerus (Davidek et al., 1990).
Salah satu reaksi pencoklatan non-enzimatis adalah reaksi Maillard. Reaksi Maillard
adalah reaksi antara protein dengan gula pereduksi (Muchtadi et al., 1993). Reaksi
ini berlangsung antara gula-gula pereduksi dengan gugus amino dari asam-asam
amino atau protein terutama ε-amino dari lisin dan α-amino dari asam amino N-
terminal (Belitz dan Grosch, 1999). Gugus amino diperoleh dari hasil pemecahan
protein yang ada. Gugus amino protein akan bereaksi dengan gugus aldehid atau
keton dari gula pereduksi sehingga menghasilkan warna coklat (Subagio et al.,
2002). Saat reaksi Maillard berlangsung, terjadi pembentukan ikatan silang
bermacam-macam asam amino yang menghasilkan produk reaksi Maillard. Produk
ini tahan terhadap enzim pencernaan sehingga dapat menurunkan ketersediaan asam
amino secara biologis (Valle-Riestra dan Barnes, 1970). Ketersediaan asam amino
secara biologis akan berpengaruh pada daya cerna asam amino esensial yang
akhirnya menentukan nilai gizi protein yang dikandungnya. Reaksi Maillard dapat
menurunkan nilai gizi protein selama pengolahan (Muchtadi et al., 1993).
Produk Olahan Daging
Daging dapat diolah dengan cara dimasak, digoreng, dipanggang, disate,
diasap atau diolah menjadi produk lain. Produk olahan daging antara lain kornet,
sosis, dendeng, bakso dan abon (Soeparno, 1992).
Bakso
Bakso sangat popular di Indonesia, karena harga dan macam bakso yang
sangat bervariasi mampu memenuhi selera dan daya beli berbagai lapisan masyarakat
(Hermanianto dan Andayani, 2002). Bakso daging adalah produk makanan berbentuk
bulat atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging minimal
50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan makanan yang
diizinkan. Kadar protein bakso minimal 9% (Badan Standadisasi Nasional, 1995b).
Kadar protein bakso dipengaruhi oleh jumlah penambahan tepung. Semakin tinggi
penambahan tepung maka kadar protein bakso semakin menurun (Octaviani, 2002).
Proses pembuatan bakso menurut Subarnas (2004) yaitu daging dipotong
kecil-kecil, kemudian dihancurkan selama tiga menit dengan penambahan 0,3%
STPP, 20% es batu dan 3% garam. Adonan selanjutnya dicampur dengan 20%
tapioka, 0,3% merica, 0,3% bawang putih dan digiling kembali selama tiga menit.
Adonan bakso yang terbentuk disimpan selama 30 menit. Setelah disimpan, adonan
kemudian dicetak dan dimasukkan ke dalam air panas. Bakso kemudian direbus
hingga pengapung.
Sosis
Sosis berasal dari bahsa latin salsus yang berarti daging yang disiapkan
dengan penggaraman, karena pada awalnya sosis dibuat melalui proses penggaraman
dan pengeringan (Rust, 1987). Sosis daging adalah produk makanan yang diperoleh
dari campuran daging halus (kandungan daging minimal 75%) dengan tepung atau
pati dan dengan atau tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan makanan lain
yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selubung sosis. Kadar protein (% b/b) sosis
minimal sebesar 13% (Badan Standardisasi Nasional, 1995c).
Sosis dibuat dengan beberapa macam bahan tambahan. Hamdani (2005)
membuat sosis dengan bahan tambahan 30% minyak, 30% es batu, 5% tepung
tapioka, 10% susu skim, 0,5% bawang putih, 0,3% STPP, 2,5% garam, 0,5%
ketumbar, 2% gula pasir, 0,5% merica, 0,5% jahe dan 0,5%pala. Proses pembuatan
sosis dimulai dengan menggiling daging besama minyak dan 15% es batu selama 30
detik. Penggilingan ke dua dilakukan selama 90 detik dengan ditabahkan 15% es
batu, tepung tapioka, susu skim, bawang putih, STPP, garam, ketumbar, gula pasir,
merica, jahe dan pala. Adonan yang telah terbentuk kemudian diisikan ke dalam
selongsong. Sosis kemudian direbus pada suhu 60-65˚C selama 45 menit.
Abon
Abon adalah suatu jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging,
disayat-sayat, dibumbui, digoreng dan dipres dengan standar kandungan protein
minimal 15% per berat basah (Badan Standadisasi Nasional, 1995a). Proses
pembuatan abon dimulai dengan perebusan daging yang sudah bersih, kemudian
diremah. Daging yang telah diremah kemudian ditambah gula, garam serta berbagai
bumbu yang telah dihaluskan. Selanjutnya dilakukan pemasakan dan penggorengan
hingga terbentuk warna kuning kecoklatan (Yernina, 1995). Daging yang diolah
menjadi abon, secara nyata daya cerna proteinnya menurun dari 78,3% untuk daging
mentah menjadi 31,2% untuk abon yang digoreng dalam minyak goreng dan 22,8%
untuk abon yang digoreng dalam santan (Muchtadi, 1989a).
Ariyanti (2003) menggunakan satu kilogram daging ayam untuk membuat
abon. Pembuatan abon yang dilakukan Ariyanti (2003) menggunakan bumbu antara
lain 50 g bawang merah, 30 g bawang putih, dua sendok teh ketumbar, 40 g gula
pasir, 20 g garam, 20 g laos, daun salam dan satu batang sereh. Daging yang telah
dibersihkan dari lemak, dikukus selama satu jam. Daging kemudian ditumbuk dan
disuir-suir. Bumbu dihaluskan dan dicampur dengan daging, kemudian dimasak
sambil diaduk. Setelah daging diangkat dan ditiriskan, daging kemudian digoreng
selama kurang lebih 15 menit dengan api kecil pada suhu ± 150˚C. Setelah
penggorengan selesai, daging diangkat dan dipres. Daging yang telah dipres
kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 130˚C selama ± 15 menit.
Dendeng
Dendeng adalah suatu produk hasil olahan pengawetan daging secara
tradisional yang telah banyak dilakukan masyarakat Indonesia sejak dulu (Muchtadi,
1989a). Secara tradisional, dendeng dibuat dengan pengeringan daging di bawah
sinar matahari dengan disertai penambahan bumbu untuk meningkatkan cita rasa.
Kadar air akan semakin menurun akibat pemanasan. Kadar protein akan meningkat
sejalan dengan penurunan kadar air bahan pangan. Kerusakan secara kimia pada
dendeng yang banyak terjadi adalah oksidasi lemak dan pencoklatan non-enzimatis.
Kedua macam kerusakan tersebut dapat berperan pada penurunan nilai gizi, cita rasa
maupun kenampakan dendeng (Purnomo, 1997). Secara umum warna dendeng yang
dihasilkan cenderung kecoklatan atau kehitaman. Hal ini disebabkan terjadinya
reaksi pencoklatan Maillard yang berlangsung selama dendeng dikeringkan dan
karamelisasi selama dendeng digoreng (Legowo et al., 2002).
Proses pembuatan dendeng dimulai dengan pembuangan jaringan ikat dan
lemak pada daging. Daging kemudian digiling dan ditambahkan bumbu yang telah
dihaluskan. Bumbu-bumbu yang digunakan yaitu gula merah, 1% bawang putih,
1,5% bawang merah, 2% garam, 1,5% ketumbar, 0,5% jahe, 2,5% laos dan 3% asam
jawa. Campuran daging dan bumbu disimpan (curring) selama 24 jam. Daging
kemudian dicetak dalam loyang dengan ketebalan tiga milimeter. Pengeringan
kemudian dilakukan dengan menggunakan sinar matahari selama tiga sampai empat
jam per hari selama tiga hari. Dendeng didapatkan setelah daging dikeringkan
(Gozali, 2005).
Analisis Protein
Berbagai macam metode evaluasi nilai gizi protein dapat dilakukan, tetapi
secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu metode in-vitro
(secara kimia, mikrobiologis atau enzimatis) dan in-vivo (secara biologis
menggunakan hewan percobaan termasuk manusia). Beberapa metode in-vitro dapat
mengevaluasi komposisi asam amino esensial suatu protein, ketersediaan asam
amino, daya cerna serta nilai PER (Muchtadi, 1993). Selain itu, terdapat beberapa
metode untuk menduga kadar protein, antara lain metode Kjeldahl, metode destilasi
langsung, metode hembusan panas, titrasi formol, metode spektroskopi dan metode
dye-binding (James, 1999).
Metode Kjeldahl
Protein kasar adalah semua zat yang mengandung unsur nitrogen. Metode
yang sering digunakan dalam analisa protein adalah metode Kjeldahl yang melalui
proses destruksi, destilasi, titrasi dan perhitungan. Metode Kjeldahl menganalisis
unsur nitrogen dalam bahan makanan, sehingga untuk memperoleh nilai protein
kasar, hasil analisa harus dikalikan dengan faktor proteinnya (Sofyan et al., 2000).
Prinsip metode ini adalah estimasi total nitrogen yang dikandung oleh makanan dan
konfersi persentase nitrogen menjadi protein, dengan asumsi bahwa semua nitrogen
dalam makanan adalah protein (James, 1999). Metode Kjeldahl dapat dilakukan
dalam skala makro dan semi-mikro. Prosedur makro Kjeldahl digunakan untuk
bahan-bahan yang sulit untuk dihomogenisasi dan ukuran sampelnya harus berkisar
antara 1-3 g, sedangkan semi-mikro Kjeldahl digunakan untuk sampel berukuran
kecil (kurang dari 300 mg) serta mudah dihomogenkan. Prosedur ini digunakan
untuk bahan pangan secara umum dengan asumsi bahwa nitrogen yang terkandung
tidak terdapat dalam bentuk nitrat atau ikatan N-N atau N-O dalam jumlah besar
(Muchtadi, 1993).
Daya Cerna Protein (In-Vitro)
Daya cerna protein adalah jumlah fraksi nitrogen dari bahan makanan yang
dapat diserap oleh tubuh (Winarno, 1991). Muchtadi (1989b) menyebutkan bahwa
terdapat beberapa macam enzim pencernaan yang dapat digunakan dalam
menentukan kecernaan protein yaitu pepsin-pankreatin, tripsin, kimotripsin,
peptidase, atau campuran dari beberapa macam enzim tersebut (multi enzim).
Soedarmo (1989) menyebutkan bahwa pepsin dihasilkan oleh sel-sel dinding mukosa
lambung. Pepsin atau kimotripsin akan menguraikan pada tempat residu fenilalanin,
tirosin dan triptofan, yang artinya pada asam-asam amino aromatik. Wijaya et al.
(1992) melaporkan bahwa daya cerna protein daging ayam adalah 59,62% – 81,16%.
Elektroforesis
Nur dan Adijuwana (1987) menyebutkan bahwa elektroforesis adalah
perpindahan partikel-partikel bermuatan karena pengaruh medan listrik. Prinsip
metode elektroforesis dalam memisahkan molekul-molekul dengan muatan yang
berbeda adalah molekul-molekul biologis yang bermuatan listrik, yang besarnya
tergantung pada jenis molekul, pH, dan komponen medium pelarutnya dalam larutan
akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan
molekul. Manfaat elektroforesis adalah untuk menentukan berat molekul (estimasi),
mendeteksi terjadinya pemalsuan bahan, mendeteksi terjadinya kerusakan bahan
seperti protein dalam pengolahan dan penyimpanan, memisahkan spesies-spesies
yang berbeda secara kualitatif, yang selanjutnya masing-masing spesies dapat
dianalisis dan menetapkan titik isoelektrik protein.
SDS-PAGE (sodium dedocyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis)
adalah salah satu metode elektroforesis. Metode ini terutama dilakukan untuk
mengetahui jenis suatu protein. Protein dapat berupa monomerik atau oligomerik.
Berat molekul dan jumlah rantai polipetida sebagai sub unit atau monomer juga
dapat ditetapkan dengan SDS-PAGE. Metode SDS-PAGE dilakukan pada pH sekitar
netral. SDS merupakan anionic detergent yang bersama dengan betamerkaptoetanol
dan pemanasan menyebabkan rusaknya struktur tiga dimensi protein menjadi
konfigurasi random coil. Hal ini disebabkan oleh terpecahnya ikatan sulfida yang
selanjutnya tereduksi menjadi gugus-gugus sulfihidril (Nur dan Adijuwana, 1987).
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Bagian Teknologi Hasil Ternak dan Bagian
Ruminansia Besar Fakultas Peternakan, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, serta Laboratorium Biokimia
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai
bulan Agustus sampai Desember 2005.
Materi
Bahan utama yang digunakan adalah daging bagian dada ayam kampung
sebanyak 4,75 Kg. Daging tersebut diperoleh dari 54 ekor ayam dengan berat hidup
rata-rata 900 g dan berumur sekitar empat bulan. Ayam diperoleh dari Pieca Chicks
Farm. Daging dada dibersihkan dari lemak dan kulit sebelum diolah dan dianalisa.
Bahan tambahan merupakan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso,
sosis, abon, dendeng dan daging panggang. Bahan tambahan tersebut antara lain
tapioka, susu skim, garam, bawang putih, merica, pala, minyak goreng, es batu,
bawang merah, gula pasir, santan, jeruk nipis, STPP, air kelapa, serai, lengkuas, gula
merah, gula pasir, asam jawa, kecap manis, ketumbar, kunyit, jahe dan kemiri.
Bahan yang digunakan untuk analisis laboratorium meliputi katalis (1,9 + 0,1
g K2SO4, 40 + 10 mg HgO dan 2,0 + 0,1 ml H2SO4), HCL 0,01 N atau 0,02 N,
aquades, larutan H3BO3, indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam
alkohol dan 1 bagian metilen blue 0,2% dalam alkohol), HCL 0,043664 N (0,382%)
dan NaOH (untuk analisa mikro Kjeldahl), HCl 0,1 N, enzim pepsin, NaOH 0,5 N,
larutan buffer fosfat 0,2 M (pH 8), natrium azida 0,005 M, enzim pankreatin (untuk
analisa daya cerna protein), buffer elektroforesis (glisin 192 mM, SDS 0,1 % dan tris
base 24,8 mM), buffer sampel (SDS, gliserol 50%, bromphenol blue 0,1%, tris base,
HCL 1 M dan aquades), larutan pewarna (50% methanol, 10% asam asetat dan
0,06% comassie blue R-250) dan larutan peluntur (5% methanol dan 7,5% asam
asetat), larutan fiksasi (25% metanol dan 12% asam asetat), larutan en hancer (0,1 g
N2S2O3.5H2O dan 500 ml aquabides), perak nitrat (0,4 g AgNO3, 70 µl formaldehida
dan 12 ml aquabides) dan larutan (15 g Na2CO3 dan 120 µl formaldehida) dan etanol
(untuk analisa elektroforesis dengan SDS PAGE).
Alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pengolahan bakso, sosis, abon,
dendeng dan daging panggang yaitu pisau, alat penggiling daging (food processor),
timbangan, kompor gas, panci, saringan, termometer bimetal, alat pengukur waktu,
gelas ukur, talenan, loyang, plastik HDPE, oven, refrigerator, stuffer, garpu dan alat
pengepres abon. Selain itu digunakan pula alat-alat analisis laboratorium yang
meliputi peralatan analisis kadar protein metode Kjeldahl, kecernaan protein secara
in vitro dan elektroforesis (SDS-PAGE). Alat-alat tersebut antara lain neraca analitik,
labu Kjeldahl 30 ml, pemanas Kjeldahl lengkap yang dihubungkan dengan penghisap
uap melalui aspirator, alat destilasi, labu Erlenmeyer 50 ml dan 125 ml, kondensor,
shaker waterbath, kertas saring Whatman 41, pH meter, alat titrasi, perangkat alat
elektroforesis, tabung eppendorf, mikropipet, stirer, gelas piala, labu takar, gelas
ukur, cawan porselin dan sudip.
Rancangan
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan perlakuan
cara pengolahan yang berbeda (bakso, sosis, abon, dendeng, dan daging panggang).
Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali pada setiap perlakuan. Peubah yang diamati
adalah kadar protein (mikro Kjeldahl), daya cerna protein (secara in-vitro) dan
perkiraan berat molekul protein (SDS PAGE).
Analisis kimia pada tiap perlakuan dilakukan secara komposit yang diambil
dari tiga ulangan secara acak. Data hasil analisis kimia dibahas secara deskriptif.
Prosedur
Preparasi Sampel
Daging dada ayam kapung yang telah dibersihkan dari lemak dan kulit,
kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu dada bagian kanan dan bagian kiri. Kedua
bagian tersebut masing-masing dibagi menjadi tiga bagian yang sama. Potongan-
potongan daging tersebut kemudian diambil secara acak dan ditimbang sesuai
dengan kebutuhan pengolahan. Daging dada selanjutnya diolah menjadi bakso, sosis,
abon, dendeng dan daging panggang. Produk olahan dan daging dada ayam kampung
kemudian dianalisis secara kimia untuk mengetahui kadar, daya cerna dan
karakteristik proteinnya.
Pembuatan Bakso (Modifikasi Subarnas, 2004)
Daging dada ayam kampung yang telah dibersihkan dari lemak dan jaringan
ikat, dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil. Daging dimasukkan ke dalam alat
penggiling (food processor) dengan ditambahkan 3% garam, 30% es batu dan 0,5%
STPP, kemudian digiling selama 1,5 menit. Setelah itu, ke dalam adonan
ditambahkan 30% tepung tapioka, 0,5% merica dan 2,5% bawang putih kemudian
digiling kembali selama 1,5 menit. Persentase penggunaan bahan tambahan
ditentukan dari berat daging. Adonan yang terbentuk dicetak bulat-bulat dengan
diameter kurang lebih 2 cm. Adonan yang berbentuk bulat kemudian di rendam
dalam air panas dengan suhu antara 68–70°C. Bulatan-bulatan bakso kemudian
direbus dalam air mendidih hingga mengapung, kemudian diangkat dan ditiriskan.
Pembuatan Sosis (Modifikasi Hamdani, 2005)
Daging dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil. Potongan-potongan daging
kemudian dimasukkan ke dalam alat penggiling (food processor) dengan
ditambahkan 3% garam, 8% susu skim dan sepertiga bagian es batu. Daging digiling
selama 1,5 menit. Adonan kemudian ditambahkan 10% minyak goreng, 1,5%
bawang putih yang telah dipotong-potong, 1% merica, 0,5% pala dan sepertiga
bagian es batu. Adonan digiling kembali selama 1,5 menit. Setelah itu, 12% tepung
tapioka dan sisa es batu dimasukkan ke dalam adonan. Adonan digiling kembali
selama 2 menit. Total es batu yang digunakan sebanyak 35%. Persentase bahan
tambahan dihitung berdasarkan berat daging yang digunakan. Adonan kemudian
diisikan ke dalam selongsong sosis (cassing) dengan menggunakan stuffer. Setelah
adonan dimasukkan ke dalam selongsong, kemudian dikukus selama 45 menit
dengan suhu antara 60-70°C.
Pembuatan Abon (Modifikasi Ariyanti, 2003)
Daging dibersihkan dari lemak dan dikukus selama 60 menit, kemudian
disuir-suir menggunakan food processor hingga semua daging menjadi berbentuk
serat. Bumbu yang digunakan terdiri atas 5% bawang merah, 2,5% bawang putih, 7%
gula pasir, 25% santan, 1% garam dan 10% air jeruk nipis. Persentase bumbu dan
minyak goreng yang digunakan dihitung berdasarkan berat daging. Semua bumbu
dihaluskan. Daging yang telah disuir-suir kemudian dimasak bersama bumbu sambil
diaduk selama 12 menit 10 detik. Setelah bumbu meresap, daging diangkat dan
ditiriskan, kemudian digoreng dengan minyak sebanyak 180% selama 15 menit
dengan api kecil (suhu 150°C). Daging kemudian diangkat dan dipres dengan alat
pengepres abon. Abon dikeringkan dengan oven pada suhu 130°C selama 15 menit..
Pembuatan Dendeng (Modifikasi Ghozali, 2005)
Daging dada ayam kampung yang telah dihilangkan lemak dan jaringan
ikatnya, digiling dengan menggunakan food processor selama 30 detik. Bumbu yang
digunakan terdiri dari 30% gula merah, 1% asam, 3% garam, 2% ketumbar, 2,5%
lengkuas, 2,5% bawang merah, 2,5% bawang putih dan 0,2% merica. Gula merah
dan asam dilarutkan dalam air, sedangkan bumbu yang lain dihaluskan. Bumbu yang
telah dihaluskan, gula merah dan asam dicampurkan dengan daging yang telah
digiling. Daging yang telah dicampur dengan bumbu kemudian disimpan dalam
refrigerator selama 15 menit. Setelah itu, daging dituangkan ke dalam loyang yang
telah dilapisi plastik HDPE dengan ketebalan daging 6 mm. Daging kemudian
dikeringkan dalam oven dengan suhu 70°C selama 8 jam. Dendeng kemudian
dipotong-potong dengan ukuran ± 5x5 cm dan kemudian digoreng pada suhu 120°C
selama 2 menit 30 detik.
Pembuatan Daging Panggang
Daging yang telah dibersihkan dari lemak, kemudian di-curring dengan
metode curring kering. Metode ini menggunakan 2,5% garam halus yang
dicampurkan ke dalam potongan-potongan daging selama 15 menit. Setelah daging
di-curring, kemudian dicuci dengan air hingga garam yang tertinggal larut. Bumbu
yang digunakan antara lain 1,4% garam, 11,2% bawang merah, 4,3% bawang putih,
0,5% ketumbar, 0,7% kunyit, 0,7% jahe, 4,3% kemiri, 2,6% lengkuas dan satu
batang serai. Daging kemudian dimasak bersama bumbu yang telah dihaluskan dan
dicampur dengan 5,4% kecap manis, 4,2% gula merah, 0,1% gula pasir dan 0,3%
asam jawa yang telah dicampur dengan satu sendok makan air. Setelah bumbu
meresap kemudian ditambahkan 83,3% air kelapa dan dimasak kembali hingga air
kepala habis. Persentase bahan tambahan yang digunakan dihitung berdasarkan berat
daging yang digunakan. Daging kemudian diletakkan dalam loyang dan dipanggang
dalam oven dengan suhu 120°C selama 30 menit.
Analisis Kadar Protein (Mikro Kjeldahl)
Sampel ditimbang sebanyak 0,05-0,1 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl 30 ml. Katalis dan 3-10 ml HCL 0,01 N atau 0,02 N ditambahkan ke dalam
labu Kjeldahl, kemudian dididihkan di dalam pemanas Kjeldahl lengkap yang
dihubungkan dengan penghisap uap melalui aspirator hingga cairan menjadi jernih.
Labu didinginkan dan isinya dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu dicuci dan
dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air dan air cucian ini dimasukkan juga ke dalam alat
destilasi.
Labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes
indikator diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di
dalam larutan H3BO3. Larutan NaOH sebanyak 2-3 ml ditambahkan, kemudian
dilakukan destilasi sampai tertampung 50 ml larutan destilat (berwarna hijau) di
dalam labu Erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air. Air bilasan ditampung
di dalam Erlenmeyer yang sama.
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCL 0,04 N (0,38%) pada hasil
destilasi hingga terjadi perubahan warna menjadi ungu (warna semula) dan dilakukan
penetapan blanko. Penggunaan HCL 0,04 N (0,38%) pada saat titrasi dicatat untuk
perhitungan kadar protein. Perhitungan kadar protein kasar dilakukan dengan rumus :
(a-b) x 0,014 x N HCL x c
bobot sampel
Keterangan: a : ml titer b : ml blanko (0,1 ml) c : faktor konversi daging (6,25)
N HCl : 0,043664
Daya Cerna Protein secara in vitro (Sounders et al., 1973)
Pengukuran daya cerna protein secara in vitro dilakukan dengan
menggunakan 250 mg sampel. Sampel dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 50 ml
kemudian ditambahkan 15 ml HCL 0,1 N yang mengandung 1,5 mg enzim pepsin.
Selanjutnya campuran dalam labu Erlenmeyer dikocok dengan menggunakan shaker
waterbath dengan kecepatan 50 rpm dan suhu 37°C selama 3 jam. Larutan
dinetralkan (pH 7) dengan NaOH 0,5 N yang diukur dengan pH meter kemudian
x 100%% N =
ditambahkan 7,5 ml larutan buffer fosfat 0,2 M (pH 8) yang mengandung natrium
azida 0,005 M dan 4 mg enzim pankreatin.
Larutan selanjutnya dikocok pada shaker waterbath dengan kecepatan 50 rpm
dengan suhu 37oC selama 24 jam. Padatan yang diperoleh dari ahkir penyaringan,
disaring dengan kertas saring Whatman 41 (sebelumnya bobot kertas saring sudah
dicatat) yang dihubungkan dengan alat penghisap uap. Berat padatan ditimbang,
kemudian dianalisis kadar proteinnya (% protein sisa) dengan menggunakan metode
mikro Kjeldahl. Perhitungan daya cerna protein dilakukan dengan rumus:
Protein Kasar – Protein Sisa
Protein Kasar
Elektroforesis (Laemmli, 1970)
Teknik pemisahan protein dengan elektroforesis dilakukan dalam tiga tahap.
Tiga tahap tersebut adalah ekstraksi protein dari sampel, pembuatan gel dengan
menggunakan sodium dodecyl sulfat-polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-
PAGE) dan pemisahan protein dengan teknik elektroforesis yang dilanjutkan dengan
pendeteksian pita-pita protein yang terbentuk. Gel yang digunakan adalah gel yang
telah terpolimerisasi secara sempurna. Gel yang didapat kemudian dipasang, buffer
elektroforesis dimasukkan dan alat elektroforesis dirangkai. Sebelum dimasukkan ke
dalam sumur, marker dan sampel ditambahkan buffer sampel (1:1) dan diinkubasi
pada air mendidih selama 1 menit. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam sumur
dengan menggunakan mikro pipet sebanyak 10-20 μl, tergantung tebal tipisnya pita
protein yang diinginkan. Perangkat elektroforesis dijalankan pada suhu rendah
dengan tegangan 100 volt dan arus 125 mA selama 1-1,5 jam hingga bromphenol
blue mencapai 1 cm dari batas bawah gel. Comassie brilian blue dituang ke dalam
gel tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam shaker waterbath dan dijalankan
selama 24 jam. Kelebihan warna dibuang dengan merendam gel dalam larutan
peluntur sampai diperoleh pita-pita protein yang berwarna biru dengan latar belakang
jernih.
Apabila pita pada gel tidak tampak dengan jelas maka diwarnai dengan silver
staining. Gel difiksasi selama satu jam dengan larutan fiksasi, kemudian dikocok
dalam shaker waterbath. Setelah satu jam larutan fiksasi dibuang. Gel selanjutnya
x 100%% Daya cerna protein =
ditambahkan dengan larutan 50% etanol dan dikocok kembali selama 20 menit dalam
shaker waterbath. Setelah itu larutan etanol 50% dibuang. Etanol 30% ditambahkan
sebanyak dua kali selama 20 menit selanjutnya dikocok dan dibuang kembali. Gel
ditambahkan larutan en hancer, dikocok selama satu menit, lalu larutan dibuang. Gel
tersebut dicuci dengan menggunakan aquabides sebanyak tiga kali selama 20 detik,
lalu aquabides dibuang. Gel kemudian ditambahkan perak nitrat selama 30 menit,
lalu dibilas dengan aquabides sebanyak dua kali selama 20 menit. Gel kemudian
dicelupkan dalam larutan antara 15 g Na2CO3 dan 120 µl formaldehid. Setelah itu,
dikocok sampai terlihat pita, kemudian reaksi dihentikan dengan larutan fiksasi.
Setelah pita-pita protein terlihat jelas, perhitungan dapat dilakukan dengan
mengukur jarak migrasi protein dan tracking dye. Berat molekul protein sampel
dapat dihitung dari persamaan regresi antara mobilitas relatif protein marker
(penanda protein) dengan log dari berat molekul marker yang telah diketahui.
Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein yang
diukur dari garis awal separating gel sampai ujung pita protein dengan jarak migrasi
tracking dye. Marker yang digunakan adalah LMW atau Low Molecule Wight yang
terdiri atas enam protein yaitu phosphorilase b (BM: 97 kD), albumin (BM: 66 kD),
ovalbumin (BM: 45 kD), carbonic anhydrase (BM: 30 kD), trypsin inhibitor (BM:
20,1 kD) dan α-lactalbumin (BM: 14,4 kD) (Biodirectory, 2002). Mobilitas relatif
protein dapat dirumuskan sebagai berikut:
Band (cm) Run (cm)
Keterangan: Rf = mobilitas relatif protein Band (cm) = jarak migrasi protein Run (cm) = jarak migrasi tracking dye BM = berat molekul (Dalton)
a = intersep (persamaan regresi) b = gradien (persamaan regresi)
Rf = BM = 10 x (a x Rf + b)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai gizi protein dapat dilihat dari jumlah protein dan daya cerna yang
dikandungnya. Hasil analisis kadar dan daya cerna protein serta protein tercerna pada
daging ayam kampung dan hasil olahannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase Kadar dan Daya Cerna Protein serta Protein Tercerna Daging Ayam Kampung dan Hasil Olahannya
Sampel Kadar Protein Daya Cerna Protein Tercerna
BB BK
........................................ % .....................................................
Daging 22,17 ± 0,12 47,21 85,46 ± 4,08 18,95
Bakso 12,59 ± 0,38 35,26 93,20 ± 0,11 11,73
Sosis 14,12 ± 0,25 37,19 80,80 ± 0,98 11,41
Abon 37,20 ± 0,42 38,42 60,77 ± 0,96 22,61
Dendeng 32,96 ± 0,52 46,09 53,97 ± 1,27 17,79
Daging Panggang 29,70 ± 0,93 58,08 71,53 ± 0,64 21,24 Keterangan : BB = Berat basah BK = Berat kering
Kadar Protein
Kadar protein dalam makanan biasanya diukur dengan melihat banyaknya
nitrogen yang terkandung di dalamnya. Metode mikro Kjeldahl dapat menentukan
kadar protein makanan, dengan asumsi bahwa nitrogen yang dikandungnya, tidak
banyak dalam bentuk nitrat atau ikatan N-N atau N-O (Muchtadi, 1993).
Kadar protein dalam daging ayam kampung hasil analisis sebesar 22,17%.
Nilai tersebut sedikit berbeda dengan hasil penelitian Triyantini et al. (1997). Kadar
protein daging dada ayam buras hasil penelitian Triyantini et al. (1997) adalah
22,70%. Perbedaan kadar protein daging dada ini, dapat disebabkan oleh perbedaan
umur ayam yang digunakan. Triyantini et al. (1997) menggunakan ayam dengan
umur delapan minggu, sedangkan penelitian ini menggunakan ayam yang berumur
empat bulan (16 minggu). Produk olahan yang mempunyai kadar protein tertinggi
adalah abon. Kadar protein abon mencapai 37,20%. Bakso mempunyai kadar protein
paling rendah yang hanya mencapai 12,58%.
Bakso dan Sosis
Kadar protein bakso hasil analisis menunjukkan nilai 12,58%. Nilai ini sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia yang menyebutkan kadar protein bakso minimal
9% (Badan Standardisasi Nasional, 1995b). Kadar protein bakso mengalami
perubahan jika dibandingkan dengan kadar protein daging. Perubahan yang terjadi
adalah penurunan kadar protein. Penurunan kadar protein selama pembuatan bakso
mencapai 10%. Penurunan ini dapat disebabkan oleh penambahan bahan tambahan
selama proses pembuatan bakso. Salah satu bahan tambahan yang digunakan selama
proses pembuatan bakso adalah tepung tapioka. Gaffar (1998) melaporkan bahwa
semakin tinggi penggunaan tepung mengakibatkan kadar protein bakso semakin
menurun. Peningkatan kadar air selama perebusan juga dapat menurunkan kadar
protein bakso. Kadar protein bakso dalam berat kering mempunyai nilai yang lebih
rendah dibandingkan dengan kadar protein daging.
Sosis yang dibuat mempunyai kadar protein 14,12%. Nilai ini sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia yang menyebutkan bahwa kadar protein sosis minimal
13% (Badan Standardisasi Nasional, 1995c). Kadar protein daging mengalami
penurunan sebesar 8% setelah diolah menjadi sosis. Hal ini dapat terjadi akibat
penambahan bahan tambahan. Penggunaan tepung tapioka yang mencapai 12% dapat
mengakibatkan penurunan kadar protein sosis. Seperti pada bakso, sosis juga
mempunyai kadar protein yang lebih rendah dari pada daging jika dilihat dalam
bahan kering.
Abon, Dendeng dan Daging Panggang
Proses pengolahan daging ayam menjadi abon dapat mengakibatkan
peningkatan kadar protein hingga mencapai 15%. Kadar protein abon hasil analisis
adalah 37,20%. Peningkatan kadar protein dapat disebabkan oleh proses pembuatan
abon. Selama proses pembuatan abon, daging melalui tahap penggorengan dan
pemanasan. Suhu penggorengan yang digunakan mencapai 150°C selama 15 menit.
Pemanasan abon dilakukan dalam oven dengan suhu 130°C selama 15 menit. Ranken
(2000) menyebutkan bahwa produk akan kehilangan air selama pemanasan dengan
suhu 50-60°C. Kehilangan air pada rentang suhu ini dapat mencapai 80%. Penurunan
kadar air dapat terjadi selama proses pembuatan abon. Hasil analisis kadar air abon
hanya mencapai 3,17% (Lampiran 1). Kadar air abon yang rendah mengakibatkan
peningkatan kadar protein abon. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan
abon juga relatif sedikit, sehingga kadar proteinnya pun relatif tinggi. Namun
demikian jika dilihat berdasarkan berat kering, kadar protein abon lebih rendah
dibandingkan dengan daging.
Begitu juga dengan dendeng yang dibuat mempunyai kadar protein lebih
rendah jika didasarkan pada berat kering. Kadar protein dendeng berdasarkan berat
kering hanya mencapai 46,09%. Akan tetapi, kadar protein dendeng mengalami
peningkatan hingga mencapai 32,95% jika dihitung dari berta basah. Selama proses
pembuatan dendeng, daging melalui tahap pemanasan dalam oven. Pemanasan
dilakukan selama 8 jam dengan suhu 70°C. Luas permukaan saat pemanasanpun
relatif besar. Pemanasan ini mengakibatkan kehilangan air pada produk. Semakin
banyak air yang hilang dari produk maka kadar protein dendeng semakin meningkat.
Kadar protein dendeng jika dilihat berdasarkan berat basah lebih rendah dari
abon. Hal ini dapat terjadi akibat suhu dan lama pemanasan yang digunakan berbeda.
Ranken (2000) menyebutkan bahwa pemanasan dengan suhu yang tinggi dan waktu
yang lebih cepat akan mengakibatkan kehilangan air yang lebih tinggi. Pemanasan
yang lebih lambat dengan suhu yang rendah mengakibatkan kehilangan air yang
lebih rendah. Perbedaan jumlah air yang hilang inilah yang mengakibatkan
perbedaan kadar protein.
Peningkatan kadar protein juga terjadi setelah daging diolah menjadi daging
panggang. Kadar protein daging panggang mencapai 29,71% atau lebih tinggi 7%
dari kadar protein daging. Proses pemanggangan yang dilakukan pada suhu 120°C
selama 30 menit, mengakibatkan kehilangan air pada daging. Kadar air daging
panggang lebih rendah dari pada kadar air daging. Penurunan kadar air selama proses
pemanggangan dapat meningkatkan kadar protein pada daging panggang. Kadar
protein daging panggang berdasarkan berat kering juga semakin meningkat hingga
mencapai 58,08%.
Daya Cerna Protein
Nilai gizi protein bahan pangan tidak hanya dilihat dari segi kuantitas saja,
akan tetapi segi kualitas juga perlu diperhatikan (Muchtadi, 1993). Kualitas protein
dapat ditentukan oleh daya cerna protein dan bioavailabilitas asam amino yang
dikandungnya (Gilani dan Sepehr, 2003). Daya cerna protein dapat diketahui dengan
cara in vivo maupun in vitro.
Daya cerna protein adalah jumlah protein yang dapat didegradasi oleh enzim
pencernaan sehingga dapat diserap usus. Daya cerna protein daging ayam kampung
digunakan sebagai pembanding. Daya cerna protein daging ayam kampung dan hasil
olahannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Daya cerna daging ayam kampung hasil analisis menunjukkan nilai 85,46%.
Nilai ini lebih tinggi dari pada hasil penelitian Wijaya et al. (1992) yang
menyebutkan bahwa daya cerna protein daging ayam berkisar anrata 59,62%-
81,46%. Nilai hasil analisis tidak jauh berbeda dengan kisaran yang disebutkan oleh
Wijaya et al. (1992). Daya cerna protein tertinggi dari seluruh hasil olahan daging
ayam kampung yang dianalisis dimiliki oleh bakso. Bakso mempunyai daya cerna
protein sebesar 93,20%. Nilai daya cerna protein dendeng sebesar 53,97%,
menunjukkan bahwa dendeng mempunyai daya cerna protein paling rendah. Daya
cerna protein bahan pangan dapat dipengaruhi oleh komponen penyusunnya maupun
reaksi yang terjadi selama proses pengolahan.
Bakso dan Sosis
Daya cerna protein daging mengalami peningkatan setelah diolah menjadi
bakso. Daya cerna bakso yang mencapai 93,20% menunjukkan bahwa 93,20% dari
seluruh protein yang dikandungnya dapat dicerna secera in vitro. Daya cerna protein
bakso yang tinggi ini dapat terjadi akibat reaksi selama proses pembuatan bakso.
Reaksi yang diduga dapat terjadi selama proses pembuatan bakso adalah denaturasi.
Proses pembuatan bakso yang dapat menyebabkan denaturasi antara lain
penggilingan dan perebusan. Suhu 55-75°C menyebabkan sebagian besar protein
terdenaturasi (DeMan, 1997). Denaturasi protein mengakibatkan terbukanya susunan
tiga dimensi molekul protein menjadi struktur yang acak (Lehninger, 1998). Susunan
molekul protein yang terbuka ini diduga dapat mempermudah enzim pepsin
menguraikan residu fenilalanin, tirosin dan triptopan. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan daya cerna protein.
Daya cerna protein sosis sebesar 80,80%. Nilai ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan daya cerna protein daging. Penurunan daya cerna protein dapat
disebabkan oleh reaksi perubahan protein selama proses pembuatan sosis.
Penambahan minyak saat pembuatan sosis diduga dapat mengakibatkan reaksi
rasemisasi. Wong (1989) menyatakan bahwa rasemisasi terjadi akibat adanya lipid,
gula pereduksi, suasana asam dan proses roasting. Rasemisasi adalah reaksi
perubahan bentuk asam amino L menjadi bentuk D.
Perubahan bentuk asam amino L menjadi D diduga menyebabkan enzim
pencernaan menjadi tidak reaktif (Wong, 1989). Asam amino bentuk D tidak dapat
dimanfaatkan oleh tubuh. Demikian pula ikatan peptida L-D, D-L atau D-D tidak
dapat diserang oleh enzim proteolitik sehingga daya cerna protein menurun
(Muchtadi, 1993). Hal ini dapat terjadi karena enzim pencernaan mempunyai substrat
yang spesifik. Reaksi rasemisasi yang mungkin terjadi pada sosis menyebabkan
penurunan daya cerna protein.
Abon, Dendeng dan Daging Panggang
Berbeda dengan produk lain, dendeng mempunyai daya cerna protein yang
relatif paling rendah, yaitu 53,97%. Reaksi yang terjadi selama pembuatan dendeng
dapat menyebabkan turunnya daya cerna protein jika dibandingkan dengan daya
cerna protein daging ayam kampung. Proses pembuatan dendeng dengan
pemanggangan pada suhu 70°C selama 8 jam, dapat mengakibatkan reaksi
pencoklatan non enzimatis. Reaksi Maillard merupakan reaksi pencoklatan non
enzimatis. Reaksi ini dapat terjadi akibat adanya gula yang ditambahkan selama
proses pembuatan dendeng.
Kandungan protein daging yang mencapai 22% dan dengan adanya gula
merah saat pembuatan dendeng dapat mengakibatkan reaksi Maillard. Reaksi
Maillard dapat terjadi akibat adanya protein, gula pereduksi dan panas. Komposisi
terbesar gula merah yang digunakan dalam pembuatan dendeng adalah sukrosa yang
mencapai 85,27% (Santoso, 1995). Sukrosa merupakan gula non pereduksi. Saat
pembuatan dendeng, gula merah dilarutkan kemudian dicampur dengan daging yang
telah digiling. Campuran ini kemudian dipanaskan dalam oven, sehingga sukrosa
yang terkandung dalam gula merah dapat terpecah menjadi glukosa dan fruktosa.
Glukosa dan fruktosa adalah gula pereduksi yang dapat mengakibatkan reaksi
Maillard. Reaksi Maillard adalah reaksi pencoklatan non-enzimatis yang terjadi
antara protein dan gula pereduksi (Muchtadi et al., 1993). Gugus amino protein akan
bereaksi dengan gugus aldehid atau keton dari gula pereduksi sehingga menghasilkan
warna coklat (Subagio et al., 2002). Warna coklat pada dendeng diduga terjadi akibat
reaksi Maillard.
Reaksi Maillard juga dapat mengakibatkan terbentuknya ikatan silang antara
bermacam-macam asam amino yang menghasilkan produk yang tahan terhadap
serangan enzim pencernaan. Hal ini mengakibatkan ketersediaan asam amino secara
biologis menurun. Ketersediaan asam amino secara biologis yang semakin menurun
akan berakibat pada menurunnya daya cerna protein yang dikandungnya.
Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada abon dan daging panggang.
Kenampakan kedua produk ini berwarna coklat. Reaksi Maillard pada abon mungkin
terjadi saat penggorengan, sedangkan pada daging panggang reaksi terjadi pada saat
pemanggangan. Penambahan gula pasir pada proses pembatan abon mempunyai
peranan dalam menyediakan gula pereduksi. Gula pasir yang ditambahkan akan
bereaksi dengan protein daging sehingga dapat menyebabkan reaksi Maillard.
Selama proses pembuatan daging panggang, gula merah yang ditambahkan juga
dapat menyebabkan reaksi Maillard.
Reaksi berubahnya bentuk asam amino L menjadi D juga dapat terjadi pada
pembuatan abon, dendeng dan daging panggang. Proses pembuatan abon, dendeng
dan daging panggang dengan penambahan gula dan proses roasting dapat
menyebabkan reaksi ini. Selain itu, pada proses pembuatan abon ditambahkan jeruk
nipis yang mempunyai sifat asam. Penambahan jeruk nipis diduga dapat
menyebabkan reaksi rasemisasi. Reaksi rasemisasi pada akhirnya dapat
mengakibatkan daya cerna protein semakin menurun.
Protein Tercerna
Jumlah protein tercerna menunjukkan banyaknya protein yang dapat diserap
oleh tubuh. Nilai protein tercerna dipengaruhi oleh kadar protein dan daya cerna
protein yang dikandung oleh suatu produk pangan. Persentase protein tercerna
daging ayam kampung dan hasil olahannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Jumlah protein tercerna terbesar dimiliki oleh abon. Protein tercerna abon
daging ayam kampung sebesar 22,16%. Proses pengolahan daging ayam kampung
menjadi abon dan daging panggang merupakan proses pengolahan yang dapat
meningkatkan protein tercerna daging. Bakso, sosis dan dendeng merupakan produk
olahan yang mempunyai protein tercerna lebih rendah dari pada daging. Proses
pembuatan sosis menyebabkan penurunan persentase protein tercerna paling besar.
Persentase protein tercerna sosis hanya mencapai 11,41%.
Bakso dan Sosis
Bakso dan sosis mempunyai nilai protein tercerna yang lebih rendah
dibandingkan dengan produk olahan lainnya. Hal ini dapat terjadi akibat kadar
protein yang dikandungnya pun relatif sedikit. Daya cerna protein bakso dan sosis
yang tinggi tidak dapat meningkatkan nilai protein tercernanya. Daya cerna yang
tinggi dapat diakibatkan oleh semakin mudahnya enzim pencernaan mendegradasi
protein menjadi asam-asam amino. Enzim pencernaan yang digunakan dalam analisis
adalah pepsin dan pankreatin. Montgomery et al. (1993) menyebutkan bahwa pepsin
akan menghidrolisis protein menjadi polipeptida. Lehninger (1998b) menambahkan
bahwa polipeptida hasil hidrolisis pepsin akan dihidrolisis lebih lanjut dalam usus
oleh tripsin dan kimotripsin menjadi peptida-peptida yang lebih kecil.
Montgomery et al. (1993) juga menyebutkan bahwa enzim pankreatin berasal
dari getah pankreas yang berisi beberapa macam enzim. Pankreatin mengandung
tripsin, kimotripsin dan karboksipeptidase. Tripsin bekerja terutama pada ikatan
arginin dan lisin, kimotripsin pada ikatan fenilalanin, tirosin dan triptofan, sedangkan
karboksipeptidase pada asam amino ujung C. Bakso dan sosis diduga masih
mengandung banyak protein yang mempunyai ikatan arginin, lisin, fenilalanin,
tirosin dan triptofan yang tidak rusak, sehingga pepsin dan pankreatin mampu
menghidrolisis protein tersebut dalam jumlah banyak. Semakin banyak protein
terhidrolisis, maka daya cerna protein akan semakin meningkat. Akan tetapi, karena
kadar proteinnya rendah sehingga nilai protein tercerna bakso dan sosis menjadi
rendah.
Abon, Dendeng dan Daging Panggang
Proses pengolahan daging menjadi abon dan daging panggang dapat
meningkatkan protein tercerna daging. Protein tercerna abon dan daging panggang
yaitu 22,61% dan 21,24%. Nilai protein tercerna yang lebih tinggi ini dapat
diakibatkan oleh kadar protein yang lebih tinggi.
Proses pembuatan dendeng dapat mengakibatkan penurunan protein tercerna
daging. Nilai protein tercerna dendeng adalah 17,79%. Penurunan nilai protein
tercerna ini dapat dipengaruhi oleh daya cerna protein yang rendah. Daya cerna
protein dendeng merupakan nilai terendah dibandingkan dengan produk olahan yang
lain. Daya cerna protein yang rendah diduga terjadi akibat dendeng mempunyai
ikatan arginin, lisin, fenilalanin, tirosin dan triptofan yang sudah rusak, sehingga
pepsin dan pankreatin sulit untuk menghidrolisis protein yang dikandungnya. Reaksi
Maillard yang terjadi juga dapat menghambat kerja enzim yang pada akhirnya dapat
menurunkan daya cerna protein. Kadar protein dendeng yang mencapai 32,96% tidak
dapat mendukung peningkatan nilai protein tercerna, karena daya cerna protein
dendeng yang relatif rendah.
Karakteristik Protein dengan Menggunakan Elektroforesis
Perubahan karakteristik protein dapat diakibatkan oleh proses pengolahan.
Perubahan ini dapat menyebabkan kerusakan protein dalam produk. Kerusakan
protein dapat diketahui dengan elektroforesis (SDS PAGE). Kerusakan yang terjadi
akibat proses pengolahan merupakan kerusakan fungsional protein. Semakin banyak
kerusakan protein yang terjadi maka jumlah pita protein yang terbentuk semakin
sedikit. Pita-pita protein hasil elektroforesis dapat menentukan berat molekul protein
yang dikandungnya. Hasil elektroforesis (SDS PAGE) daging ayam kampung dan
hasil olahannya dapat dilihat pada Gambar 2.
Pita-pita protein yang terbentuk merupakan monomer-monomer yang dapat
ditentukan berat molekulnya (Nur dan Adijuana, 1989). Monomer yang terbentuk ini
terjadi akibat denaturasi. Denaturasi protein terjadi akibat perubahan kondisi yang
tajam misalnya panas, adanya agen pereduksi dan penambahan detergen (Copeland,
1994) serta adanya β-merkaptoetanol dapat membantu denaturasi protein dengan
mereduksi ikatan disulfida (Boyer, 1993). Penentuan berat molekul sampel dihitung
dengan menggunakan persamaan garis yang diperoleh dari kurva standar. Kurva
standar didapat dari hubungan antara mobilitas relatif (Rf) dengan logaritma berat
molekul (Log BM). Persamaan garis pada kurva standar dapat dilihat pada Lampiran
6, 7, 8 dan 9. Nilai berat molekul sampel diperoleh dengan memasukkan nilai Rf
pada pesamaan regresi setiap sampel. Perhitungan Rf dilakukan dengan mengukur
jarak pergerakan sampel kemudian dibandingkan dengan jarak tracking dye.
Gambar 2. Hasil Elektroforesis (SDS-PAGE) Daging Ayam Kampung dan Hasil
Olahanya Hasil elektroforesis daging ayam kampung menunjukkan bahwa terdapat
pita-pita protein yang secara fungsional masih dalam keadaan alami. Hasil
pengukuran ini merupakan standar bagi penentuan kerusakan proten produk
olahannya. Hasil penelitian Krishnamurthy et al. (1996) menunjukkan bahwa daging
dada ayam yang diuji dengan SDS PAGE mempunyai pita-pita peptida yang lebih
banyak dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kemungkinan bagian-bagian yang
lebih banyak ini adalah protein sarkoplasma. Selain itu, beberapa protein berubah
pada pH tinggi dan tidak pada pH rendah atau berubah pada kadar protein yang lebih
besar dengan pH tinggi.
Bakso dan Sosis
Kerusakan protein terbesar akibat pengolahan terjadi proses pembuatan
bakso. Pita-pita protein yang terbentuk pada bakso mempunyai berat molekul 50,44
kD; 45,32 kD; 31,17 kD; 18,26 kD; 16,41 kD dan 15,65 kD. Kerusakan protein ini
dapat terjadi selama pemasakan. Berat molekul yang relatif kecil (15,65 kD) dapat
terbentuk akibat pemanasan. Pemanasan diduga dapat menurunkan ketebalan pita
protein dengan molekul besar dan meningkatkan jumlah bagian-bagian protein yang
tertinggal dalam pemisahan protein (de la Fuente et al., 2004).
106,60 kD 101,05 kD 95,78 kD
77,33 kD 73,30 kD
59,18 kD
53,17 kD 47,77 kD
40,69 kD
34,65 kD 32,84 kD
27,98 kD 26,52 kD 23,83 kD 21,41 kD
19,24 kD
15,53 kD
Sosis
50,44 kD
45,32 kD
31,17 kD
18,26 kD 16,41 kD 15,56 kD
Bakso
114,55 kD
98,37 kD 93,50 kD
76,32 kD
65,54 kD
56,28 kD 53,49 kD
48,33 kD 43,66kD
39,45 kD
35,64 kD
30,61 kD 27,65 kD
Dendeng
15,82 kD
Abon
98,37 kD
72,54 kD
65,54 kD
56,28 kD
53,49 kD 48,33 kD 43,66 kD
30,61 kD 29,09 kD 27,65 kD
23,74 kD
15,82 kD
Panggang
114,55 kD 108,88 kD
93,50 kD
84,74 kD
72,54 kD 65,54 kD
56,28 kD
48,33 kD
41,50 kD
29,09 kD
114,55 kD 108,88 kD 98,37 kD 93,50 kD
68,95 kD 67,23 kD 63,90 kD 59,21 kD
45,94 kD
37,50 kD 35,64 kD
32,20 kD
29,09 kD 27,65 kD 26,28 kD 23,74 kD 22,57 kD
20,39 kD 18,42 kD
Daging
Jumlah pita protein yang relatif sedikit dapat disebabkan oleh kadar protein
dalam bakso yang rendah. Pemasakan daging dapat mengakibatkan daging
mengeluarkan cairan yang membawa peptida, vitamin, air dan garam larut air
(Gamman dan Sherington, 1992). Protein-protein daging yang larut air dapat keluar
dari bakso selama perebusan, sehingga protein-protein yang terdeteksi setelah
elektroforesis relatif sedikit. Pita-pita protein yang hilang pada bakso kemungkinan
berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek. Perubahan ini dapat mengakibatkan
enzim pencernaan semakin mudah dalam menghidrolisis protein yang ada sehingga
meningkatkan daya cerna protein.
Proses pengolahan sosis adalah proses yang dapat menghambat kerusakan
protein terbesar. Pita protein yang terbentuk lebih banyak jika dibandingkan dengan
produk olahan lainnya. Pita protein yang terbentuk pada sosis dapat terjadi akibat
penambahan bahan tambahan yang mengandung banyak protein. Susu skim yang
ditambahkan dalam pembuatan sosis dapat berpengaruh pada pembentukan pita
protein yang semakin banyak.
Abon, Dendeng dan Daging Panggang
Proses pengolahan daging menjadi abon juga dapat menghambat kerusakan
protein. Namun demikian, jumlah pita protein yang terbentuk lebih rendah dari pada
sosis. Hal ini dapat terjadi akibat protein larut air yang ada dalam daging terlarut
pada saat pengukusan daging. Pengukusan daging dapat menyebabkan pengerutan
otot. Pengerutan otot selama pemasakan menyebabkan cairan dari daging keluar.
Cairan ini membawa peptida, vitamin, air dan garam larut air (Gamman dan
Sherington, 1992). Peptida-peptida yang lepas selama pengukusan dapat
menyebabkan pita protein yang terbentuk semakin sedikit.
Pembuatan dendeng dapat meminimalkan kerusakan protein yang terkandung
di dalamnya. Pita-pita protein baru terbentuk pada dendeng. Pita ini dapat terbentuk
akibat reaksi perubahan protein selama pengolahan. Selain itu, bahan tambahan yang
digunakan juga dapat menyumbangkan protein-protein baru. Proses pengolahan
dendeng tanpa perebusan diduga dapat menghambat hilangnya protein-protein larut
air yang terdapat di dalamnya.
Daging panggang yang dibuat mempunyai pita protein sebanyak sepuluh
buah. Jumlah pita protein yang lebih sedikit ini dapat disebabkan oleh protein dalam
daging panggang keluar selama proses pengolahannya. Widati et al. (2000)
mengatakan bahwa penyertaan bumbu selama proses pengolahan daging akan
menyebabkan terjadinya perbedaan tekanan osmosis antara daging dan larutan.
Perbedaan tekanan osmosis ini menyebabkan protein daging yang terlarut dalam air
akan mengalir keluar. Protein yang telah keluar tidak akan terdeteksi oleh
elektroforesis.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pengolahan daging ayam kampung menjadi abon merupakan proses
pengolahan yang dapat meningkatkan kadar protein daging. Proses pengolahan bakso
ternyata dapat menurunkan kadar protein terbesar. Jika dilihat dari daya cerna
proteinnya, proses pembuatan bakso dapat meningkatkan daya cerna protein hingga
mencapai 93,20%. Dendeng daging ayam kampung merupakan produk olahan yang
mempunyai daya cerna protein paling rendah. Tinggi rendahnya daya cerna protein
produk olahan daging dapat disebabkan oleh proses pengolahan, bahan tambahan dan
reaksi yang terjadi selama pengolahan. Protein tercerna terbesar dimiliki oleh abon
dengan nilai 22,61%, sedangkan produk olahan daging ayam kampung yang
mempunyai protein tercerna terendah adalah sosis.
Proses pengolahan daging ayam kampung yang menyebabkan perubahan
karakteristik protein terbesar adalah bakso. Sosis ayam kampung merupakan produk
olahan yang dapat meminimalkan perubahan karakteristik protein daging ayam
kampung.
Saran
Perlu pengujian lebih lanjut mengenai komposisi asam amino dan uji daya
cerna protein secara in vivo sehingga dapat memastikan hasil yang diperoleh. Perlu
pengujian produk olahan daging ayam kampung yang umum berada di pasaran,
sehingga dapat diterapkan secara optimal.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah, karena hanya
dengan nikmat dan karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Nikmat sempat dan
sehat yang Dia curahkan tak dapat dihitung dengan apapun.
Penulis mengucapkan banyak terimaksih kepada kedua orang tua yang telah
menyayangi dengan tanpa henti. Selain itu, curahan motivasi, materi dan perhatian
yang diberikan juga sangat membantu penulis. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. dan Ir. Niken Ulupi, MS yang telah
memberikan bimbingan dalam menyelesaikan tugas akhir ini, serta kepada Ir.
Rukmiasih, MS sebagai pembimbing akademik. Terimakasih penulis ucapkan pula
kepada Ir. B. N. Polii, SU. dan Dr. Ir. Ibnu Katsir Amrullah, MS yang telah bersedia
menguji dan memberikan sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Yayasan Al Munawarrah dan
Perhimpunan Orangtua Mahasiswa yang telah memberikan beasiswa selama masa
studi. Kepada seluruh tim Hibah Kompetitif A2 yang telah memberikan kesempatan
penulis dalam menyelesaikan skripsi. Kepada rekan-rekan satu tim penelitian penulis
ucapkan terimakasih atas semua suka duka. Terimakasih penulis persembahkan
kepada rekan-rekan THT angkatan 39 yang telah memberikan kehangatan dan kasih
sayangnya.
Terakhir, penulis ucapkan terimakasih kepada seluruh civitas akademika
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, yang tidak dapat disebutkan satu per
satu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Bogor, Juni 2006
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Ariyanti, N. D. 2003. Sifat fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik abon ayam kampung dengan penambahan kunyit selama penyimpanan. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Standardisasi Nasional. 1995a. SNI 01-3707-1995. Abon. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995b. SNI 01-3818-1995. Bakso Daging. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995c. SNI 01-3820-1995. Sosis Daging. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Belitz dan Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer-Verlag, Berlin.
Biodirectory. 2002. Amersham Biosciences Electrophoresis System, Standards and Reagent. PT Sentra Biosains Dinamika, Jakarta.
Boyer, R. F. 1993. Modern Experimental Biochemistry. Second ed. The Benjamin Cumming Pub. Co. Inc, California.
Cahyono, B. 2002. Ayam Buras Pedaging. PT Penebar Swadaya, Jakarta.
Copeland, R. A. 1994. Methods for Protein Analysis: A Practical Guide Laboratory Protocol. 3rd ed. Chapman and Hall, New York.
Davidek, J., J. Valisek dan J. Pokorny. 1990. Chemical Changes During Food Processing. Departemen of Food Chemistry and Analysis. Institut Chemical Technology, New York.
de la Fuente, M. A., Y. Hemar dan H. Singh. 2004. Influence of к-carrageenan on the aggregation behaviour of proteins in heated whey protein isolate solutions. J. Food Chemistry. 86: 1-9.
DeMan, J. M. 1997. Kimia Pangan. Edisi Kedua. Terjemahan: Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Forrest, J. C., Aberle, E. D., Hedrick, H. B., Judge, M. D. dan Merkel, R. A. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Company, San Fransisco.
Gaffar, R. 1998. Sifat fisik dan palatabilitas bakso daging ayam dengan bahan pengisi tepung sagu dan tepung tapioka. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gamman, F. M. dan K. B. Sherington. 1992. Ilmu Pangan: Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi Kedua. Terjemahan: M. Gardjito, S. Nakuri, A. Murdiati dan Sardjono. UGM Press, Yogyakarta.
Ghozali, L. 2005. Sifat fisik, organoleptik dan kimia dendeng daging itik dengan perbedaan tingkat konsentrasi gula merah. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gilani, G. S. dan E. Sepehr. 2003. Protein digestibility and quality in product containing antinutritial factors are adversely affected by old age in rats. J. Nutr. 133: 220-225.
Hamdani, D. 2005. Sifat fisik dan kimia sosis ayam yang menggunakan minyak jagung sebagai subtitusi lemak ayam. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hermanianto, J. dan R. Y. Andayani. 2002. Studi perilaku konsumen dan identifikasi parameter bakso sapi berdasarkan preferensi di wilayah DKI Jakarta. J. Teknologi dan Industri Pangan. 13: 1-10.
James, C. S. 1999. Analytical Chemistry of Foods. Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg, Maryland.
Krishnamurthy, G., H. S. Chang, H. O. Hultin, Y. Feng, S. Srinivasan dan S. D. Kelleher. 1996. Solubility of chiken breast muscle proteins in solutions of low ionic strength. J. Agric. Food Chem. 44: 408-415.
Laemmli, U. K. 1970. Cleavage on structural proteins during the assembly of the head of bacteriopage T4. Nature 227: 680-685.
Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Terjemahan: P. Aminuddin. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Legowo, A. M., Soepardie, R. Miranda, I. S. N. Anisa dan Y. Rodiyah. 2002. Pengaruh perendaman daging pra kyuring dalam jus daun sirih terhadap ketengikan dan sifat organoleptik dendeng sapi selama penyimpanan. J. Teknologi dan Industri Pangan. 13: 64-69.
Lehninger, A. L. 1998a. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Terjemahan: M. Thenawidjaja. Erlangga, Jakarta.
Lehninger, A. L. 1998b. Dasar-dasar Biokimia Jilid 3. Terjemahan: M. Thenawidjaja. Erlangga, Jakarta.
Montgomery, R., R. L. Dryer, T. W. Conway dan A. A. Spector. 1993. Biokimia Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus Jilid 2. Terjemahan: M. Ismadi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Muchtadi, D. 1989a. Protein : Sumber dan Teknologi. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muctadi, D. 1989b. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D., N. S. Palupi dan M. Astawan. 1993. Metabolisme Zat Gizi 1 : Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia. Pustaka Sinar Harapan bekerja sama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nur, M. dan H. Adijuwana.1987. Teknik Separasi dalam Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nurmawan, S. T. 2003. Respon ayam kampung terhadap pemberian pakan mengandung 25% Bungkil Inti Sawai (BIS) dan enzim. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Octaviani, Y. 2002. Kandungan gizi dan palatabilitas bakso campuran daging dan jantung sapi . Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purnomo, H. 1997. Studi tentang stabilitas protein daging kering dan dendeng selama penyimpanan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.
Ranken, M. D. 2000. Handbook of Meat Product Technology. Blackwell Science Ltd, Oxford.
Rust, R. E. 1987. Sausage Product. Dalam: J. F. Prince dan B. S. Schweigert (Editor). The Science of Meat and Meat Product. Food and Nutrition Press, Inc., Conecticus.
Santosa, D. H. 2004. Persentase karkas dan potongan komersial ayam kampung dengan pemberian pakan menggandung bungkil inti sawit dan enzim. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Santoso, H. B. 1995. Pembuatan Gula Kelapa. Kanisius, Jakarta.
Saunders, R. M., M. A. Connor, A. N. Booth, E. M. Bickoff dan G. O. Kholer. 1973. Connor, measuremen of digestibility of alfafa protein concentrates by in vivo and in vitro methods. J. Nutr. 103: 530-535.
Soedarmo, D. 1989. Biokimia Umum II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Sofyan, L. A., L. A. Aboenawan., E. B. Laconi., A. Djamil., N. Ramli., M. Ridla dan A. D. Lubis. 2000. Diktat Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Subagio, A., S. Hartanti, W. S. Windrati, Unus, M. Fauzi dan B. Herry. 2002. Kajian sifat fisiko kimia dan organoleptik hidrolisat tempe hasil hidrolisis protease. J. Teknologi dan Industri Pangan. 13: 204-210.
Subarnas, M. 2004. Evaluasi sifat fisik dan palatabilitas bakso ayam dengan subtitusi STPP oleh khitosan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Triyantini, A. Bakar, I.A.K Bintang dan T. Antawidjaja. 1997. Studi komparatif preferensi, mutu dan gizi beberapa jenis daging unggas. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. 2(3): 157-163.
Valle-Riestra, J dan R.H. Barnes. 1970. Digestion of head-damaged egg albumen by the rat. J. Nutr. 100:873.
Widati, A. S., H. Purnomo dan A. Luxiawan. 2000. Kualitas empal daging sapi ditinjau dari kadar protein, aktivitas air, dan mutu organoleptik pada sistem pemasakan dan lama perebusan yang berbeda. J. Makanan tradisional Indonesia. 10 (3): 28-34.
Wijaya, C. H., N. Andarwulan dan S. Koswara. 1992. Perubahan Mutu Fisiko Kimia Produk dan Medium pada Proses Penggorengan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wong, D. W. S. 1989. Mechanism and Theory In Food Chemistry. Van Nostrand Reinhold, New York.
Yernina, N. 1995. Nilai gizi protein abon daging sapi yang dievaluasi dengan menggunakan tikus percobaan dan faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan konsumsi abon di masyarakat. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kadar Air Daging Ayam Kampung dan Hasil Olahannya
Sampel Kadar Air (%)
Daging 53,04 ± 0,06
Bakso 64,30 ± 0,83
Sosis 62,04 ± 0,20
Abon 3,17 ± 0,13
Dendeng 28,49 ± 0,87
Daging Panggang 48,86 ± 0,89
Lampiran 2. Syarat Mutu Abon
Jenis Mutu (% b/b)
Kadar air dan abu (maks) 7,0
Kadar abu tidak larut dalam asam (maks) 0,1
Kadar lemak dan gula (maks) 30,0
Kadar protein (min) 15,0
Kadar serat kasar (maks) 1,0
Sumber : Badan Standardisasi Nasional, 1995a
Lampiran 3. Syarat Mutu Bakso Daging
Jenis Mutu (% b/b)
Kadar air (maks) 70,0
Kadar abu (maks) 3,0
Kadar lemak (maks) 2,0
Kadar protein (min) 9,0
Sumber : Badan Standardisasi Nasional, 1995b
Lampiran 4. Syarat Mutu Sosis Daging
Jenis Mutu (% b/b)
Kadar air (maks) 67,0
Kadar abu (maks) 3,0
Kadar lemak (maks) 25,0
Kadar protein (min) 13,0
Kadar karbohidrat (maks) 8,0
Sumber : Badan Standardisasi Nasional, 1995c
Lampiran 5. Komposisi dan Berat Molekul Protein Marker (low molecule wight)
Jenis Protein Berat Molekul (kD)
Phosphorilase b 97,0
Albumin 66,0
Ovalbumin 45,0
Carbonic anhydrase 30,0
Trypsin inhibitor 20,1
α-lactalbumin 14,4
Sumber : Biodirectory, 2002
Lampiran 6. Kurva Standar Penentuan Berat Molekul Protein Bakso Lampiran 7. Kurva Standar Penentuan Berat Molekul Protein Sosis
Kurva Standar LMWy = -1.068x + 5.051
R2 = 0.9737
44.2
4.44.6
4.85
5.2
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Rf
Log
BM Series1
Linear (Series1)
Kurva Standar LMW
y = -1.0225x + 5.051R2 = 0.9737
44.24.44.64.8
55.2
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Rf
Log
BM Series1
Linear (Series1)
Lampiran 8. Kurva Standar Penentuan Berat Molekul Protein Abon, Dendeng dan Daging Panggang
Lampiran 9. Kurva Standar Penentuan Berat Molekul Protein Daging Ayam Kampung
Kurva Standar LMW
y = -0.9921x + 5.1031R2 = 0.994
44.24.44.64.8
55.2
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Rf
Log
BM Series1
Linear (Series1)
Kurva Standar LMW
y = -0.97x + 5.1031R2 = 0.994
44.2
4.44.64.8
55.2
0 0.5 1 1.5
Rf
Log
BM Series1
Linear (Series1)