Post on 10-Mar-2019
ANALISIS FAKTOR RESIKO PENCEMARAN
BAHAN TOKSIK BORAKS PADA BAKSO DI
KELURAHAN CIPUTAT TAHUN 2014
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
MISYKA NADZIRATUL HAQ
NIM: 1110101000020
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M
i
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Juni 2014
MISYKA NADZIRATUL HAQ, NIM: 1110101000020
Analisis Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks Pada
Bakso Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
(XIII + 101 halaman, 13 tabel, 6 lampiran)
ABSTRAK
Boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan
berbahaya yang dilarang penggunaannya dalam makanan.
Penggunaannya pada makanan dapat merusak otak serta dapat
menimbulkan gangguan pada pencernaan hingga kematian. Namun
penggunaannya masih ditemukan di beberapa makanan salah
satunya pada bakso. Kegunaannya adalah untuk memperbaiki
tekstur serta dapat mengawetkan bakso. Jika ditemukan adanya
kandungan boraks pada suatu makanan, maka dapat dikatakan
makanan tersebut telah tercemar dengan boraks. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis faktor resiko yang dapat
menyebabkan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di
Kelurahan Ciputat Tahun 2014. Desain studi pada penelitian ini
adalah cross sectional dengan menggunakan kuesioner serta
pemeriksaan laboratorium secara kualitatif. Populasi adalah semua
pedagang bakso yang menetap di Kelurahan Ciputat. Metode
penarikan sampel adalah sampel jenuh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 14 responden
(41,2%) yang tingkat pengetahuannya rendah selain itu terdapat 7
responden (20,6%) yang memiliki sikap positif terhadap
penggunaan bahan toksik boraks, dan terdapat 7 responden (20,6%)
yang melakukan praktik pembuatan bakso yang tidak baik. Dari
hasil uji laboratorium dengan menggunakan food security kit
didapatkan 10 bakso (29,4%) yang positif tercemar bahan toksik
boraks. Dari hasil analisis dengan menggunakan Chi-square
ditemukan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan
pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik boraks pada
bakso di Kelurahan Ciputat dengan p value 0,467. Ada hubungan
antara sikap pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik
boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat (p value = 0,014). Ada
hubungan antara praktik pengelola bakso dengan pencemaran bahan
toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat (p value 0,009)
Untuk menanggulangi pencemaran yang terjadi pada makanan
ini diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pengawasan
terhadap bahan tambahan pangan yang dijual di pasaran dan
masyarakat dapat lebih teliti dalam membeli bahan pangan agar
terhindar dari dampak negatif yang akan dihasilkan.
iii
Kata Kunci: Faktor resiko, Pengetahuan, Sikap, Praktek, Boraks
Daftar Bacaan: 1954 – 2014
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCINCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergraduate thesis, June 2014
MISYKA NADZIRATUL HAQ, NIM: 1110101000020
Risk Factor Analysis of Borax Toxic Compound in Meatballs in
Ciputat Village 2014
(XIII + 101 pages, 13 tables, 6 attachments)
ABSTRACT
Borax is one of harmfulfood additives that is forbidden to be
used. Its use in food can damage brain and digestive system and
may even lead to death. However, we still found borax compound in
food, such as in meatballs. It is usedto add a firm rubbery texture to
meatballs, or as a preservative. The aim of this research was to
analyze risk factor of borax contamination in meatballs in Ciputat
Village. This research used cross sectional study with quetionnaire
and qualitative laboratory test. Population was all of the meatballs
producers who located. Samples were taken by saturated sampling.
The results showed that there are 14 respondents (41,2%)
who have poor knowledge, 7 respondents (20,6%) who have
positive attitude toward borax uses, and 7 respondents (20,6%) who
have bad practice toward borax uses. Laboratory examination by
food security kit showed that there are 10 samples (29,4%)
positively contaminated by borax. The results of Chi-square
analysis indicates that there is no signifficant relation between
knowledge levels and borax contamination of meatballs in Ciputat
Village (pvalue = 0,467). There is relation between posistve attitude
and borax contamination of meatballs in Ciputat Village (pvalue =
0,014). There is relation between meatball producer practice and
borax contamination of meatballs in Ciputat Village (pvalue =
0,009).
To overcome the food contamination, government is
expected to improve supervision of food additives product which is
sold in market. People could be more selective whenever they want
to buy food product so that they would be spared from its negative
effect.
Key word: Risk Factor, Knowledge, Attitude, Practice, Borax
Reference: 1954 - 2014
iv
v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Misyka Nadziratul Haq
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Oktober 1992
Warganegara : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Komplek Pelni Blok H2 No. 13 RT 04/019
Cimanggis – Depok 16418
Telepon : 0812 - 87693848
Email : miskanh@gmail.com
Pendidikan Formal:
1. SDI PB Soedirman (1998 – 2004)
2. SMPIT Nurul Fikri (2004 – 2007)
3. SMAIT Nurul Fikri (2007 – 2010)
4. Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan
Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2010 - 2014)
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT
berkat rahmat-Nya serta dorongan yang kuat, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor Resiko
Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat
Tahun 2014”. Shalawat serta salam selalu terjunjung kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman
kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang
akan ilmu pengetahuan.
Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan jenjang
pendidikan S-1 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini, banyak pihak yang telah
membantu penulis. Baik itu bantuan moril, amteri, dorongan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tajudin, Sp. And selaku Dekan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Ibu Febrianti, SP, M.Si selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat
3. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes dan Ibu Dewi
Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku dosen pembimbing
yang telah membimbing dan mendukung penulis di
tengah kesibukannya untuk menyelesaikan skripsi ini
viii
4. Seluruh pengelola bakso di Kelurahan Ciputat yang telah
bekerja sama dengan baik untuk membantu penulis
menyelesaikan skripsi ini.
5. Keluarga yang paling penulis sayangi (Mama, Sarah, Afi,
Caca) atas dukungan dan kasih sayang yang tidak ada
habisnya kepada penulis.
6. Teman - teman penulis, Jeni, Hani, Huna, Nurin, Indun,
Amel, Upid, Indun, Cesi, Mardi, Ilham, Agung, Supri,
Rizka, Tuti, Bayu, Sofda, jama’ah Kesling 2010 & 2011
serta kesmas 2010 atas semangat dan bantuannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
7. Rekan - rekan yang tidak bisa disebutkan namanya satu
persatu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya
dalam penulisan skripsi ini.
Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis menyadari
bahwa masih ada kekurangan-, oleh karna itu penulis
mengharapkan saran, kritik dan bimbingan yang bisa
membangun sehingga dapat mempebaiki skripsi ini, dan
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Ciputat, 5 Juni 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................................................. ii
ABSTRACT .......................................................................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... vii
DAFTAR ISI......................................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................................................... 4
1.3 Pertanyaan Penelitian.................................................................................................. 6
1.4 Tujuan ......................................................................................................................... 6
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................................................. 6
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................................................ 7
1.5 Manfaat ....................................................................................................................... 7
1.5.1 Manfaat Bagi Pemerintah ............................................................................................ 7
1.5.2 Manfaat Bagi Masyarakat ........................................................................................... 8
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti .................................................................................................. 8
1.6 Ruang Lingkup ........................................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................... 9
x
2.1 Pangan ........................................................................................................................ 9
2.2 Keamanan Pangan .................................................................................................... 10
2.3 Foodborne Disease ................................................................................................... 12
2.4 Pencemaran Bahan Toksik pada Makanan ............................................................... 12
2.5 Bahan Tambahan Pangan ......................................................................................... 14
2.5.1 Definisi Bahan Tambahan Pangan ............................................................................ 14
2.5.2 Fungsi Bahan Tambahan Pangan .............................................................................. 15
2.5.3 Jenis Bahan Tambahan Pangan ................................................................................. 16
2.5.4 Golongan Bahan Tambahan Pangan ......................................................................... 17
2.5.5 Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan ...................................................... 18
2.6 Zat Pengawet ............................................................................................................ 19
2.7 Boraks ....................................................................................................................... 22
2.7.1 Kegunaan Boraks ...................................................................................................... 25
2.7.2 Pengawet Boraks pada Makanan .............................................................................. 25
2.7.3 Dampak Boraks Terhadap Kesehatan ....................................................................... 26
2.8 Bakso ........................................................................................................................ 28
2.8.1 Komposisi Bakso ...................................................................................................... 31
2.8.2 Zat kimia yang ditambahkan pada bakso .................................................................. 31
2.8.3 Pembuatan Bakso ...................................................................................................... 32
2.9 Boraks pada Bakso ................................................................................................... 34
2.10 Perilaku ..................................................................................................................... 34
2.10.1 Pengetahuan .............................................................................................................. 35
xi
2.10.2 Sikap ......................................................................................................................... 39
2.10.3 Tindakan ................................................................................................................... 41
2.11 Pedagang ................................................................................................................... 41
2.11.1 Definisi Pedagang ..................................................................................................... 42
2.12 Kerangka Teori ......................................................................................................... 43
BAB III KERANGKA KONSEP ....................................................................................................... 45
3.1 Kerangka Konsep...................................................................................................... 45
3.2 Hipotesis ................................................................................................................... 46
3.3 Definisi Operasional ................................................................................................. 47
BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................................................... 50
4.1 Desain Studi .............................................................................................................. 50
4.2 Lokasi Penelitian ...................................................................................................... 50
4.3 Populasi .................................................................................................................... 51
4.4 Sampel ...................................................................................................................... 51
4.5 Jenis Data .................................................................................................................. 51
4.6 Pengumpulan Data .................................................................................................... 52
4.7 Teknik Sampling Boraks pada Bakso ....................................................................... 52
4.8 Pengolahan Data ....................................................................................................... 53
4.9 Analisis ..................................................................................................................... 54
4.10 Uji Validitas dan Reliabilitas .................................................................................... 55
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................................................... 58
5.1 Karakteristik Responden ........................................................................................... 58
xii
5.1.1 Jenis Kelamin ............................................................................................................ 58
5.1.2 Usia ........................................................................................................................... 59
5.1.3 Pendidikan ................................................................................................................. 59
5.2 Analisis Univariat ..................................................................................................... 60
5.2.1 Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ...................................... 60
5.2.2 Gambaran Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan
Toksik Boraks ........................................................................................................... 61
5.2.3 Gambaran Sikap Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik
Boraks ....................................................................................................................... 62
5.2.4 Gambaran Praktik Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan
Toksik Boraks ........................................................................................................... 65
5.3 Analisis Bivariat ....................................................................................................... 65
5.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran
Bahan Toksik Boraks pada Bakso ............................................................................ 66
5.3.2 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik
Boraks pada Bakso ................................................................................................... 67
5.3.3 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Bahan Toksik Boraks dengan
Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ........................................................ 68
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................................................... 69
6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................................ 69
6.2 Analisis Univariat ..................................................................................................... 70
6.2.1 Pengetahuan Pengelola Bakso Mengenai Penggunaan Bahan Toksik
Boraks ....................................................................................................................... 70
6.2.2 Sikap Pengelola Bakso Mengenai Boraks ................................................................. 74
xiii
6.2.3 Praktik Pengelolaan Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik
Boraks ....................................................................................................................... 77
6.2.4 Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ........................................................ 79
6.3 Analisis Bivariat ....................................................................................................... 81
6.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran
Bahan Toksik Boraks pada Bakso ............................................................................ 81
6.3.2 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik
Boraks pada Bakso ................................................................................................... 86
6.3.3 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Boraks dengan Pencemaran
Bahan Toksik Boraks pada Bakso ............................................................................ 90
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................... 97
7.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 97
7.2 Saran ......................................................................................................................... 98
7.2.1 Saran Bagi Masyarakat ............................................................................................. 98
7.2.2 Saran Bagi Pemerintah .............................................................................................. 98
7.2.3 Saran Bagi Penelitian Selanjutnya ............................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 100
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sifat Kimia Boraks ........................................................................................................ 23
Tabel 2.2 Syarat Mutu Bakso ........................................................................................................ 29
Tabel 3.1 Definisi Operasional ..................................................................................................... 47
Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ............. 58
Tabel 5.2 Distribusi Usia Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ............................ 59
Tabel 5.3 Distribusi Pendidikan Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 .................. 60
Tabel 5.4 Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun
2014 ............................................................................................................................... 61
Tabel 5.5 Distribusi Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks
di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ................................................................................. 61
Tabel 5.6 Gambaran Sikap Pengelola Bakso Pada Beberapa Pernyataan ..................................... 62
Tabel 5.7 Distribusi Sikap Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks di
Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ..................................................................................... 64
Tabel 5.8 Distribusi Praktik Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks Di
Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ..................................................................................... 65
Tabel 5.9 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik
Boraks pada Bakso ........................................................................................................ 66
Tabel 5.10 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada
Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 .................................................................... 67
Tabel 5.11 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Bahan Toksik Boraks dengan Pencemaran
Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ........................ 68
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Pengambilan Data
Lampiran 2 Kuesioner
Lampiran 3 Form Hasil Uji Kualitatif Boraks
Lampiran 4 Output Uji Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 5 Output Analisis Data
Lampiran 6 Dokumentasi
1
BAB I
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.33 tahun 2012
tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) dikatakan bahwa salah satu zat
aditif yang dilarang digunakan dalam makanan adalah asam borat dan
senyawanya (termasuk boraks), dan makanan yang mengandung bahan
tersebut dinyatakan sebagai makanan berbahaya. Namun pada kenyataannya
boraks masih digunakan sebagai bahan tambahan pangan salah satunya di
Kanada. Canadian Food Inspection Agent (CFIA) menemukan bahwa
boraks telah dijual sebagai bahan tambahan pangan. CFIA menyatakan
bahwa boraks dapat menimbulkan penyakit bawaan makanan. Oleh karena
itu, CFIA melarang boraks untuk digunakan pada makanan (CFIA, 2004).
Hal ini didukung dengan pernyataan The Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) yang memperkirakan bahwa terdapat 128.000 warga
Amerika Serikat menjalani perawatan rumah sakit dan 3000 orang
meninggal setiap tahunnya dikarenakan penyakit bawaan makanan.
Penyakit bawaan makanan merupakan indikasi dari adanya masalah pada
keamanan pangan. Salah satu yang menyebabkan suatu makanan dikatakan
tidak aman adalah karena adanya kandungan bahan toksik (CDC, 2013).
2
Salah satu makanan yang sering ditambahkan boraks adalah bakso.
Bakso adalah jenis makanan yang sangat populer dan sangat digemari
masyarakat. Bakso dapat ditemui mulai dari restoran hingga pedagang
keliling (Deptan, 2009). Keberadaan boraks pada bakso berfungsi untuk
memperbaiki tekstur bakso serta dapat meningkatkan daya simpan. Dengan
adanya keberadaan boraks pada bakso perlu dikhawatirkan dampak yang
akan dihasilkan dari hal tersebut seperti gangguan otak, hati, dan ginjal.
Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria, merangsang
sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah
turun, kerusakan ginjal, pingsan, koma, bahkan kematian. Dari dampak
yang dihasilkan, boraks dapat dikatakan sebagai bahan toksik dikarenakan
efek racunnya terhadap kesehatan (Windayani, 2010). Dengan demikian
makanan yang telah terkontaminasi boraks dapat disebut makanan yang
telah tercemar oleh bahan toksik (Nurmaini, 2001). Terdapat dosis dimana
tidak akan terjadi dampak negatif yang membahayakan kesehatan manusia
yang mengkonsumsi suatu makanan yang mengandung boraks atau No
Observed Adverse Effect Level (NOAEL) adalah sebesar 8,8 mg/kg berat
badan per-hari (EPA, 2006). Walaupun demikian, mengingat dampaknya
yang bersifat kumulatif dan berbahaya, maka penggunaan boraks tidak sama
sekali dianjurkan dan diperbolehkan pada makanan. Hal ini sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam SNI 01-3818-1995 menyatakan
bahwa boraks tidak boleh ada sama sekali dalam makanan.
3
Penggunaan boraks juga ditemukan di Indonesia, seperti yang
dinyatakan oleh Surveilan Keamanan Pangan Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) RI tahun 2009 bahwa penggunaan bahan toksik boraks
pada makanan di Indonesia telah mencapai 8,80%. Selain itu, di Tangerang
ditemukan sebanyak 25 sampel bakso positif mengandung boraks (25%) dan
rata-rata kandungan boraksnya adalah 806,86 mg/kg (Windayani, 2010).
Penggunaan boraks pada makanan dapat mengakibatkan pencemaran
makanan. Pencemaran makanan perlu dicegah dengan cara mengetahui
faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya pencemaran tersebut. Usaha
untuk mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi pengolahan makanan
dapat mencegah terjadinya pencemaran makanan. Hal ini sesuai dengan
Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP). HACCP adalah
suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang
didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan
proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko
yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan
pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam
menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen (IPB, 2005)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sugiyatmi (2006) yang
dilakukan terhadap pedagang makanan tradisional di Semarang, faktor
resiko terjadinya pencemaran pada makanan antara lain pendidikan,
pengetahuan, sikap, dan praktik pembuat makanan. Didapatkan hasil yang
signifikan dari variabel – variabel tersebut jika dihubungkan dengan
4
pencemaran pada makanan. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikatakan
bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku merupakan faktor resiko dari
terjadinya pencemaran pada makanan jajanan. Pencemaran pada makanan
ditemukan pula di Pasar Ciputat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Rusli (2009) ditemukan 4 dari 5 sampel mie mengandung boraks,
dengan adanya kandungan boraks pada mie tersebut dapat dikatakan bahwa
telah terjadi pencemaran pada makanan di Pasar Ciputat. Hal ini tidak
menutup kemungkinan meluasnya pencemaran pada makanan ke wilayah
Kelurahan Ciputat, mengingat Pasar Ciputat ini terletak di Kelurahan
Ciputat.
Berdasarkan paparan tersebut, timbul ketertarikan dari peneliti untuk
melakukan penelitian terhadap faktor resiko yang dalam hal ini adalah
pengetahuan, sikap dan praktik pada pengelola bakso terhadap pencemaran
bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat tahun 2014.
1.2 Perumusan Masalah
Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap
organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Bila
mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak langsung berakibat
buruk terhadap kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh
secara kumulatif, disamping melalui saluran pencemaran boraks dapat
diserap melalui kulit. Konsumsi boraks yang tinggi dalam makanan dan
diserap dalam tubuh akan disimpan secara akumulatif dalam hati otak dan
5
testis serta akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah, mencret
dan kram perut. Boraks dapat mempengaruhi alat reproduksi, selain itu juga
dapat mempengaruhi metabolisme enzim (BPOM,2004).
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, boraks memiliki dampak
yang berbahaya bagi kesehatan. Namun penggunaannya masih dilakukan
oleh masyarakat. Salah satunya di Tangerang ditemukan sebanyak 25
sampel bakso positif mengandung boraks (25%) dan rata-rata kandungan
boraksnya adalah 806,86 mg/kg (Windayani, 2010). Kemudian selain itu
ditemukan pula di Kota Tangerang Selatan, lebih tepatnya di Kelurahan
Ciputat, ditemukan 4 dari 5 sampel mie mengandung boraks (Rusli, 2009).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa penggunaan bahan
toksik boraks pada makanan semakin meluas, padahal sebenarnya sudah
terdapat peraturan yang melarang penggunaan boraks pada makanan sebagai
bahan tambahan.
Tentunya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat
masih menggunakan bahan berbahaya tersebut pada makanan yang
berakibat pada pencemaran makanan. Penelitian sebelumnya telah
dilakukan terhadap mie, namun tidak menutup kemungkinan dapat
ditemukannya bahan berbahaya tersebut pada makanan lain. Sehingga
peneliti tertarik untuk menganalisis faktor resiko yang berasal dari perilaku
atas terjadinya pencemaran bahan toksik boraks yang pada penelitian ini
adalah pada bakso yang dijajakan di Kelurahan Ciputat tahun 2014.
6
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Apakah terdapat pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di
Kelurahan Ciputat?
2. Bagaimana tingkat pengetahuan pengelola bakso di Kelurahan Ciputat
mengenai bahaya boraks dalam penggunaannya pada bakso terhadap
kesehatan?
3. Bagaimana sikap pengelola bakso di Kelurahan Ciputat terhadap
penggunaan bahan toksik boraks pada dalam pengolahan bakso?
4. Bagaimana praktik penggunaan bahan toksik boraks pada pengelola
bakso di Kelurahan Ciputat?
5. Bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat?
6. Bagaimana hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan
toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat?
7. Bagaimana hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks
dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Ciputat?
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor
resiko pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Ciputat Tahun 2014.
7
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi adanya pencemaran bahan toksik boraks pada
bakso di Kelurahan Ciputat
2. Mengetahui tingkat pengetahuan pengelola terhadap
penggunaan bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Ciputat.
3. Mengetahui sikap pengelola terhadap penggunaan bahan toksik
boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.
4. Mengetahui praktik pengelola terhadap penggunaan bahan
toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.
5. Mengetahui adanya hubungan antara tingkat pengetahuan
pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso
di Kelurahan Ciputat.
6. Mengetahui adanya hubungan antara sikap pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Ciputat.
7. Mengetahui adanya hubungan antara praktik penggunaan
bahan toksik boraks dengan pencemaran bahan toksik boraks
pada bakso di Kelurahan Ciputat.
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Bagi Pemerintah
Sebagai masukan bagi BPOM untuk memperbaiki upaya
monitoring terhadap BTP yang kemudian dijadikan sebagai acuan
8
melakukan intervensi kepada para pedagang khususnya pedagang
bakso yang beredar di pasaran.
1.5.2 Manfaat Bagi Masyarakat
Sebagai informasi agar masyarakat lebih berhati-hati dan
lebih cermat dalam memilih dan mengonsumsi makanan yang
beredar di pasaran serta meningkatkan proteksi terhadap
keberadaan boraks pada makanan yang dikonsumsi.
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan keterampilan peneliti serta dapat mengaplikasikan
ilmu yang telah dipelajari selama di perkuliahan.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor resiko pencemaran
bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat yang dilaksanakan
pada bulan April - Mei 2014 dengan sasaran penelitian adalah pedagang
bakso di wilayah Kelurahan Ciputat.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional atau
potong lintang. Dalam pengumpulan data primer pencemaran toksik boraks,
peneliti menggunakan alat Food Security Kit dari Laboratorium Kesehatan
Lingkungan FKIK untuk menguji kandungan boraks yang ada pada bakso,
sedangkan untuk pengetahuan, sikap serta praktik penggunaan bahan toksik
boraks yang dilakukan pengelola bakso didapatkan melalui kuesioner.
9
BAB II
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai
makanan ataupun minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk di dalamnya
adalah bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan
atau minuman (Saparinto et al, 2006).
Kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek mikrobiologis, fisik (warna,
bau, rasa dan tekstur) dan kandungan gizinya. Pangan yang tersedia secara
alamiah tidak selalu bebas dari senyawa yang tidak diperlukan oleh tubuh,
bahkan dapat mengandung senyawa yang merugikan kesehatan orang yang
mengkonsumsinya. Senyawa-senyawa yang dapat merugikan kesehatan dan
tidak seharusnya terdapat di dalam suatu bahan pangan dapat dihasilkan
melalui reaksi kimia dan biokimia yang terjadi selama pengolahan maupun
penyimpanan, baik karena kontaminasi ataupun terdapat secara alamiah.
Selain itu sering dengan sengaja ditambahkan bahan tambahan pangan
(BTP) atau bahan untuk memperbaiki tekstur, warna dan komponen mutu
lainnya ke dalam proses pengolahan pangan (Hardinsyah et al, 2001).
10
Berdasarkan cara perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi 3
(Saparinto et al, 2006) :
1. Pangan Segar
Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan.
Pangan segar dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung.
2. Pangan Olahan
Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses
pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa
bahan tambahan. Contoh: teh manis, nasi, pisang goreng dan
sebagainya. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi pangan
olahan siap saji dan tidak siap saji.
3. Pangan Olahan Tertentu
Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang
diperuntukkan bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara
dan meningkatkan kualitas kesehatan. Contoh: ekstrak tanaman
stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untuk orang
yang menjalani diet rendah lemak dan sebagainya.
2.2 Keamanan Pangan
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi penting perannya bagi
11
pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta
peningkatan kecerdasan masyarakat (Cahyadi, 2008).
Keamanan pangan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis
seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan
teknologi, maka diperlukan suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak
diproduksi, diolah, ditangani, diangkut, disimpan dan didistribusikan serta
dihidangkan kepada konsumen. Toksisitas mikrobiologik dan toksisitas
kimiawi terhadap bahan pangan dapat terjadi pada rantai penanganan
pangan dari mulai saat pra-panen, pascapanen/pengolahan sampai saat
produk pangan didistribusikan dan dikonsumsi (Seto, 2001).
Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan peraturan, pembinaan atau pengawasan terhadap
kegiatan atau proses produksi makanan dan peranannya sampai siap
dikonsumsi manusia. Setiap orang yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan produksi pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku
(Saparinto et al, 2006).
Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering
mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan
konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya
proses penyiapan dan penyajian sampai resiko munculnya penyakit kanker
12
akibat penggunaan bahan tambahan (food additive) yang berbahaya (Syah,
2005).
2.3 Foodborne Disease
Foodborne disease adalah penyakit bawaan makanan. Makanan
dapat membuat orang menjadi sehat atau sakit. Makanan yang sehat
membuat tubuh menjadi sehat namun, makanan yang sudah tecemar dapat
menyebabkan penyakit. Oleh karena itu, makanan dan minuman yang
dikonsumsi haruslah terjamin baik dari segi kualitas dan kuantitasnya.
Penyakit bawaan makanan ini terdiri dari tiga kategori yaitu,
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme termasuk parasit yang
menginvasi dan bermultiplikasi dalam tubuh, penyakit yang disebabkan oleh
toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berkembang biak di
saluran pencernaan dan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan
yang terkontaminasi dengan bahan kimiawi yang beracun atau mengandungi
toksin alami atau toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang terdapat
dalam makanan yang dikonsumsi (Sockett, 2001).
2.4 Pencemaran Bahan Toksik pada Makanan
Pencemaran pada makanan adalah pencemaran yang disebabkan oleh
masuknya suatu bahan baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang akan
mempengaruhi kualitas makanan itu sendiri (Nurmaini, 2001). Salah satu
penyebab pencemaran pada makanan adalah adanya penambahan zat atau
bahan toksik dengan tujuan ingin meningkatkan kualitas makanan. Bahan
13
toksik adalah bahan beracun dan dapat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan (adverse effect) terhadap organisme hidup (New York Health,
2013).
Pencemaran bahan toksik pada makanan dapat terjadi dengan cara
sengaja atau tidak sengaja. Pencemaran bahan toksik pada makanan yang
terjadi dengan cara sengaja, terjadi karena bahan pencemar secara sengaja
diberikan kepada makanan sebagai bahan tambahan. Pencemaran boraks
yang dilarang pada makanan merupakan contoh pencemaran bahan toksik
pada makanan yang terjadi dengan sengaja. Pada kejadian itu pembuat
makanan dengan tujuan tertentu sengaja menambahkan boraks pada
makanan yang dibuatnya. Pencemaran bahan toksik pada makanan yang
terjadi dengan tidak sengaja, terjadinya pencemaran karena adanya bahan
pencemar pada makanan tidak sengaja diberikan oleh pembuat makanan.
Sebagai contoh, pencemaran pestisida pada makanan. Dalam hal ini
pembuat makanan tidak sengaja memberikan pestisida kepada makanan
yang dibuatnya. Pencemaran dapat terjadi mungkin karena air atau alat-alat
yang digunakan untuk mengolahnya mengandung pestisida (Sugiyatmi,
2006)
Dalam Permenkes RI No. 33 tahun 2012 disebutkan ada 19 bahan
yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan dilarang penggunaannya
dalam makanan. Di antara bahan-bahan tersebut adalah asam borat dan
senyawa-senyawanya (Kemenkes RI, 2012).
14
2.5 Bahan Tambahan Pangan
2.5.1 Definisi Bahan Tambahan Pangan
BTP adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke
dalam makanan dalam jumlah kecil dengan tujuan untuk
memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur dan memperpanjang
daya simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti
protein, mineral dan vitamin (Widyaningsih et al, 2006).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.33 Tahun
2012, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke
dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi
pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh
konsumen. Dampak penggunaanya dapat berakibat positif maupun
negatif bagi masyarakat. Penyimpangan dalam penggunaannya
akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda
sebagai penerus pembangunan bangsa. Di bidang pangan kita
memerlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang,
yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi
dan lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan
keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi nasional
(food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan
15
nasional, termasuk pengunaan bahan tambahan pangan (Cahyadi,
2008).
2.5.2 Fungsi Bahan Tambahan Pangan
Fungsi dasar bahan tambahan pangan yaitu (Hughes, 1987):
1. Untuk mengembangkan nilai gizi suatu makanan.
Biasanya untuk makanan diet dengan jumlah secukupnya. Di
banyak negara, termasuk Amerika dan Inggris, nutrisi tertentu
harus ditambahkan ke dalam makanan pokok berdasarkan
peraturan mereka.
2. Untuk mengawetkan dan memproduksi makanan.
Demi kesehatan kita dan untuk mencegah penggunaan bumbu
dengan masa singkat dan fluktuasi harga, sangatlah penting
makanan itu dibuat mampu menahan pengaruh racun dalam
jangka waktu selama mungkin.
3. Menolong produksi
Fungsi ini memiliki peranan yang penting untuk menjamin
bahwa makanan diproses seefisien mungkin dan juga dapat
menjaga keadaan makanan selama penyimpanan.
4. Untuk memodifikasi pandangan kita.
Bahan tambahan ini mengubah cara kita memandang, mengecap,
mencium, merasa dan bahkan mendengar bunyi makanan yang
kita makan (kerenyahan). Ada dua alasan utama mengapa
menggunakan bahan tambahan ini, pertama karena ekonomi,
16
misalnya makanan dengan bahan dan bentuk yang kurang bagus
dapat dibuat lebih menarik dengan meniru produksi yang lebih
berkualitas. Kedua, adalah karena permintaan publik, misalnya
dalam masakan modern dimana bahan makanan dasar
dimodifikasi.
2.5.3 Jenis Bahan Tambahan Pangan
Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua
bagian besar, yaitu (Winarno, 1992):
1. Aditif sengaja yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja
dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk
meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan
keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk atau rupa dan
lain sebagainya.
2. Aditif tidak sengaja yaitu aditif yang terdapat dalam makanan
dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses
pengolahan.
Bila dilihat dari asalnya, aditif dapat berasal dari sumber
alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya, dapat juga
disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan
bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat
metabolismenya seperti misalnya β-karoten, asam askorbat, dan
lain-lain. Pada umumnya bahan sintetik mempunyai kelebihan
17
yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian
ada kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses
sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan
kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang
terjadi kanker pada hewan atau manusia.
2.5.4 Golongan Bahan Tambahan Pangan
Menurut PERMENKES RI No. 33 tahun 2012, bahan
tambahan pangan yang digunakan dalam pangan terdiri atas
beberapa golongan sebagai berikut:
1. Antibuih (Antifoaming agent);
2. Antikempal (Anticaking agent);
3. Antioksidan (Antioxidant);
4. Bahan pengkarbonasi (Carbonating agent);
5. Garam pengemulsi (Emulsifying salt);
6. Gas untuk kemasan (Packaging gas)
7. Humektan (Humectant);
8. Pelapis (Glazing agent);
9. Pemanis (Sweetener);
10. Pembawa (Carrier);
11. Pembentuk gel (Gelling agent);
12. Pembuih (Foaming agent);
13. Pengatur keasaman (Acidity regulator);
14. Pengawet (Preservative);
18
15. Pengembang (Raising agent);
16. Pengemulsi (Emulsifier);
17. Pengental (Thickener);
18. Pengeras (Firming agent);
19. Penguat rasa (Flavour enhancer);
20. Peningkat volume (Bulking agent);
21. Penstabil (Stabilizer);
22. Peretensi warna (Colour retention agent);
23. Perisa (Flavouring);
24. Perlakuan tepung (Flour treatment agent);
25. Pewarna (Colour);
26. Propelan (Propellant); dan
27. Sekuestran (Sequestrant).
2.5.5 Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan
BTP yang tidak diizinkan atau dilarang digunakan dalam
makanan menurut PERMENKES RI No. 33 tahun 2012:
1. Asam borat dan senyawanya (Boric acid)
2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its
salt)
3. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC)
4. Dulsin (Dulcin)
5. Formalin (Formaldehyde)
6. Kalium bromat (Potassium bromate)
19
7. Kalium klorat (Potassium chlorate)
8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)
9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable
oils)
10. Nitrofurazon (Nitrofurazone)
11. Dulkamara (Dulcamara)
12. Kokain (Cocaine)
13. Nitrobenzen (Nitrobenzene)
14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate)
15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)
16. Biji tonka (Tonka bean)
17. Minyak kalamus (Calamus oil)
18. Minyak tansi (Tansy oil)
19. Minyak sasafras (Sasafras oil)
2.6 Zat Pengawet
Zat pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah
atau menghambat tumbuhnya bakteri, sehingga tidak terjadi fermentasi
(pembusukan), pengasaman atau penguraian makanan karena aktifitas jasad-
jasad renik (bakteri) (Fardiaz, 2007). Zat pengawet terdiri dari senyawa
organik dan senyawa anorganik dalam bentuk asam dan garamnya.
1. Pengawet Organik
Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada zat pengawet
anorganik karena pengawet organik lebih mudah dibuat dan dapat
20
terdegradasi sehingga mudah diekskresikan. Bahan pengawet
organik yang sering digunakan adalah: asam sorbat, asam
propianat, dan asam benzoat.
2. Pengawet Anorganik
Pengawet anorganik yang masih sering dipakai dalam bahan
makanan adalah: nitrit, nitrat dan sulfit (Rohman dan Sumantri,
2007).
Banyak cara yang telah dilakukan untuk mengawetkan bahan
pangan, misalnya pengalengan makanan, pengawetan (asinan/manisan)
dalam botol, pendinginan, pemanasan, pengeringan dan penggaraman.
Dalam melakukan pengawetan biasanya digunakan bahan kimia dan dewasa
ini penggunaannya semakin bertambah karena merupakan salah satu pilihan
yang menguntungkan bagi produsen makanan olahan.
Alasan produsen dalam penggunaan bahan pengawet adalah
(Fardiaz, 2007):
1. Kebutuhan teknis.
Dewasa ini banyak perubahan yang terjadi, misalnya
pengawet pada mentega, banyak digunakan asam sitrat dan
vitamin E dari pada butil hidroksi anisol (BHA) dan butil
hidroksi toluen (BHT).
2. Memperpanjang masa simpan.
Hal ini merupakan masalah yang sukar. Produsen dan
konsumen sama-sama berkepentingan, artinya konsumen
21
menginginkan produk lebih awet supaya tidak belanja
setiap hari dan produsen pun ingin makanan cukup waktu
untuk pendisribusian dan penjualannya.
3. Melengkapi teknik pengawetan.
Adanya pengawet membuat warna tetap selama masa
distribusi. Teknik pengawetan misalnya dengan pemanasan
menjadi lebih sempurna. Artinya untuk mengawetkan suatu
bahan tidak diperlukan suhu yang terlalu tinggi lagi.
4. Mengganti kehilangan antioksidan dan pengawet alami
secara proses. Pengawet juga berfungsi untuk menambah
antioksidan yang ada pada bahan makanan secara alami dan
oleh karena perlakuan pada prosesnya menjadi hilang atau
berkurang.
5. Menanggulangi masalah higienis.
Segi higienis dalam pabrik, jauh dari memadai. Bahan
pengawet dapat membantu membuat makanan tidak cepat
rusak, akibat sanitasi pabrik yang kurang baik.
6. Kebutuhan ekonomi
Bahan pengawet yang digunakan adalah sangat sedikit.
Tetapi untungnya sangat besar karena makanan menjadi
awet dan dapat disimpan dalam waktu lama.
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan
yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau
22
memperlambat proses fermentasi, pengasaman atau penguraian yang
disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi tidak jarang produsen
menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk
memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Syah, 2005).
Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena
dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan
mikroba, baik bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau
gangguan kesehatan lainnya maupun mikrobial non patogen yang dapat
menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan. Namun dari
sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang
merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang
dikonsumsi. Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan
diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya,
baik yang bersifat langsung, misalnya keracunan; maupun yang bersifat
tidak langsung atau kumulatif, misalnya apabila bahan pengawet yang
digunakan bersifat karsinogenik (Cahyadi, 2008).
2.7 Boraks
Boraks atau dalam nama ilmiahnya dikenal sebagai sodium
tetraboratedecahydrate (Na2B4O7·10H2O) merupakan bahan pengawet yang
dikenal masyarakat awam untuk mengawetkan kayu, antiseptik kayu dan
pengontrol kecoa.
23
Tabel 2.1 Sifat Kimia Boraks
Sifat Kimia Keterangan
Titik didih 320oC
Titik lebur 75oC
pH 9,5
Kelarutan 6 g/100 ml air
Sumber: BPOM, 2002
Dalam pasaran boraks biasa disebut dengan air bleng, garam bleng,
pijer atau cetitet. Masyarakat umumnya menggunakan boraks sebagai
pengawet pada mie, bakso, lontong, kerupuk uli, makaroni, ketupat.
Tampilan fisik boraks adalah berbentuk serbuk kristal putih.
Boraks tidak memiliki bau jika dihirup menggunakan indera pencium serta
tidak larut dalam alkohol. Indeks keasaman dari boraks diuji dengan kertas
lakmus adalah 9,5, ini menunjukkan tingkat keasaman boraks cukup tinggi
(Bambang, 2008).
Asam borat atau boraks (boric acid) merupakan zat pengawet
berbahaya yang tidak diizinkan digunakan sebagai campuran bahan
makanan. Boraks adalah senyawa kimia dengan rumus Na2B4O7 10H2O
berbentuk kristal putih, tidak berbau dan stabil pada suhu dan tekanan
24
normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium hidroksida dan asam
borat (Syah, 2005).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 33 Tahun 2012,
asam borat dan senyawanya merupakan salah satu dari jenis bahan
tambahan makanan yang dilarang digunakan dalam produk makanan.
Karena asam borat dan senyawanya merupakan senyawa kimia yang
mempunyai sifat karsinogen. Meskipun boraks berbahaya bagi kesehatan
ternyata masih banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan tambahan
makanan, karena selain berfungsi sebagai pengawet, boraks juga dapat
memperbaiki tekstur bakso dan kerupuk hingga lebih kenyal dan lebih
disukai konsumen (Mujianto, 2003).
Karekteristik boraks antara lain (Riandini, 2008):
1. Warna adalah jelas bersih
2. Kilau seperti kaca
3. Kristal ketransparanan adalah transparan ke tembus cahaya
4. Sistem hablur adalah monoklin
5. Perpecahan sempurna di satu arah
6. Warna lapisan putih
7. Mineral yang sejenis adalah kalsit, halit, hanksite,
colemanite, ulexite dan garam asam bor yang lain.
8. Karakteristik yang lain: suatu rasa manis yang bersifat
alkali.
25
2.7.1 Kegunaan Boraks
Boraks bisa didapatkan dalam bentuk padat atau cair
(natrium hidroksida atau asam borat). Baik boraks maupun asam
borat memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri
farmasi sebagai ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak, larutan
kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks
juga digunakan sebagai bahan solder, pembuatan gelas, bahan
pembersih/pelicin porselin, pengawet kayu dan antiseptik kayu
(Aminah dan Himawan, 2009).
Boraks juga dapat digunakan sebagai algaesida, fungisida,
herbisida dan insektisida. Boraks sering digunakan untuk
mengendalikan insekta seperti semut atau kecoa (EPA, 2006).
2.7.2 Pengawet Boraks pada Makanan
Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula
digunakan sebagai pengawet makanan. Selain sebagai pengawet,
bahan ini berfungsi pula mengenyalkan makanan. Makanan yang
sering ditambahkan boraks diantaranya adalah bakso, lontong, mie
basah, kerupuk, dan berbagai makanan tradisional seperti “lempeng”
dan “alen-alen”(Yuliarti, 2007).
26
2.7.3 Dampak Boraks Terhadap Kesehatan
Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya
terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam
organ tubuh. Karena kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi
maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan
dengan organ yang lain. Bila mengkonsumsi makanan yang
mengandung boraks tidak langsung berakibat buruk terhadap
kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh secara
kumulatif, disamping melalui saluran pencernaan boraks dapat
diserap melalui kulit. Konsumsi boraks yang tinggi dalam makanan
dan diserap dalam tubuh akan disimpan secara akumulatif dalam hati
otak dan testis serta akan menyebabkan timbulnya gejala pusing,
muntah, mencret dan kram perut. Boraks dapat mempengaruhi alat
reproduksi, selain itu juga dapat mempengaruhi metabolisme enzim
(BPOM,2004).
Menurut standar internasional WHO, dosis fatal boraks
berkisar 3-6 gram perhari untuk anak kecil dan bayi, untuk dewasa
sebanyak 15-20g per-hari dapat menyebabkan kematian. Tidak
adanya dampak negatif yang membahayakan kesehatan manusia
yang mengkonsumsi suatu makanan yang mengandung boraks atau
No Observed Adverse Effect Level (NOAEL) adalah sebesar 8,8
mg/kg berat badan per-hari (EPA, 2006).
27
Menurut PERMENKES No.33 tahun 2012 tentang bahan
tambahan pangan, boraks merupakan bahan tambahan yang dilarang
karena 50% dari yang terabsorbsi diekresikan lewat urin, sedangkan
sisanya dieksresikan 3-7 hari/lebih.
Efek negatif dari penggunaan bahan toksik boraks dalam
pemanfaatannya yang salah pada kehidupan dapat berdampak sangat
buruk pada kesehatan manusia. Boraks memiliki efek racun yang
sangat berbahaya pada sistem metabolisme manusia sebagai halnya
zat-zat tambahan makanan lain yang merusak kesehatan manusia.
Keracunan kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam
waktu lama. Akibat yang timbul diantaranya anoreksia, berat badan
turun, muntah, diare, ruam kulit, alposia, anemia dan konvulsi.
Penggunaan bahan toksik boraks apabila dikonsumsi secara terus-
menerus dapat mengganggu gerak pencernaan usus, kelainan pada
susunan saraf, depresi dan kekacauan mental. Dalam jumlah serta
dosis tertentu, boraks bisa mengakibatkan degradasi mental, serta
rusaknya saluran pencernaan, ginjal, hati dan kulit karena boraks
cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan dan pencernaan, kulit yang
luka atau membran mukosa (Saparinto et al, 2006).
Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam
hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis
28
toksis. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan hal-
hal berikut (Saparinto et al, 2006):
1. Sakit perut sebelah atas, muntah dan mencret
2. Sakit kepala dan gelisah
3. Penyakit kulit berat
4. Muka pucat dan kadang-kadang kulit kebiruan
5. Sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah
6. Hilangnya cairan dalam tubuh
7. Degenerasi lemak hati dan ginjal
8. Otot-otot muka dan anggota badan bergetar diikuti dengan
kejang-kejang
9. Kadang-kadang tidak kencing dan sakit kuning
10. Tidak memiliki nafsu makan, diare ringan dan sakit kepala
2.8 Bakso
Bakso adalah makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh
dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati
atau serelia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan (BSN,
1995). Biasanya istilah bakso tersebut diikuti dengan nama jenis dagingnya
seperti bakso ikan, bakso ayam, bakso sapi. Berdasarkan bahan bakunya
terutama ditinjau dari jenis daging dan jumlah tepung yang digunakan
dibedakan atas 3 yaitu: bakso daging yang dibuat dari daging yang sedikit
mengandung urat, misalnya daging penutup, pendasar gandik dengan
penambahan tepung lebih sedikit daripada berat daging yang digunakan;
29
bakso urat adalah bakso yang dibuat dari daging yang banyak mengandung
jaringan ikat atau urat misalnya daging iga. Penambahan tepung pada bakso
urat lebih sedikit daripada jumlah daging yang digunakan; sedangkan bakso
aci adalah bakso yang jumlah penambahan jumlah tepungnya lebih banyak
dibanding dengan jumlah daging yang digunakan.
Bakso sebagai salah satu produk industri pangan, memiliki standar
mutu yang telah ditetapkan. Adapun standar mutu bakso menurut SNI 01-
3818-1995, dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Syarat Mutu Bakso
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan:
1.1 Bau Normal, khas daging
1.2 Rasa Gurih
1.3 Warna Normal
1.4 Tekstur Kenyal
2. Air % b/b Maks 70,0
3. Abu (dihitung atas dasar
bahan kering)
% b/b Maks. 3,0
4. Protein (N x 6,25)
dihitung atas dasar
bahan kering
% b/b Min. 9,0
30
Tabel 2.2 Lanjutan
Sumber: Standar Nasional Indonesia, 1995
5. Lemak % b/b Min. 2,0
6. Boraks - Tidak boleh ada sesuai
dengan SNI 7. Bahan tambahan
makanan
-
8. Cemaran logam
8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2.0
8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20.0
8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40.0
8.4 Timah mg/kg Maks 40.0
8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03
9. Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 0,5
10. Cemaran mikroba:
10.1 Angka lempeng
total
Koloni/g Maks. 1.0 x 105
10.2 Bakteri bentuk coli APM/g Maks. 10
10.3 E.coli APM/g Maks. 1.0 x 104
10.4 Enterococci Koloni/g Maks. 1 x 103
10.5 C.perfingens Koloni/g Maks. 1 x 102
10.6 Salmonella - Negatif
10.7 S.aureus Koloni/g Maks. 1 x 102
31
2.8.1 Komposisi Bakso
Dalam pembuatan bakso disamping daging diperlukan
bahan-bahan lain seperti:
1. Daging, daging dicuci bersih kemudian digiling sebagai
campuran pada saat pengulenan dengan tepung terigu
2. Tepung, yang digunakan umumnya tepung tapioka,
gandum, atau tepung aren, dapat digunakan secara sendiri
– sendiri maupun campuran, dalam jumlah 10 – 100% atau
lebih dari berat daging.
3. Pati, semakin tinggi kandungan patinya semakin rendah
mutu serta murah harganya.
4. Garam dapur dan bumbu, digunakan sebagai adonan
penyedap untuk mendapatkan rasa yang enak.
5. Es, digunakan untuk mempertahankan suhu rendah untuk
menghasilkan emulsi yang baik.
2.8.2 Zat kimia yang ditambahkan pada bakso
Pada pembuatan bakso zat kimia yang biasa ditambahkan
oleh pedagang seperti:
1. Benzoat, diperbolehkan dan aman dikonsumsi asalkan tidak
melebihi kadar yang ditentukan
2. Boraks, biasanya boraks dengan dosis 800-4000 ppm atau
0,5 – 1 % (dari berat adonan) dicampur ke dalam adonan,
32
untuk mendapatkan produk bakso yang kering, kesat atau
kenyal teksturnya.
3. Tawas, digunakan untuk mengeringkan sekaligus
mengeraskan permukaan
4. Titanium dioksida (TiO2), penambahan zat ini dalam
adonan bakso umumnya sekitar 0,5-1,0% dari berat adonan,
digunakan sebagai bahan pemutih untuk menghindarkan
terjadinya bakso berwarna gelap
5. STPP (Sodium Tri-polyphosphate), STPP secara umum
diijinkan dan telah banyak digunakan dalam makanan untuk
keperluan perbaikan tekstur dan meningkatkan daya
cengkram air (Pratomo, 2009)
2.8.3 Pembuatan Bakso
Pembuatan bakso terdiri dari persiapan bahan,
penghancuran daging, pencampuran bahan dan pembuatan adonan,
pencetakan dan pemasakan. Berikut penjelasan setiap tahapnya:
1. Persiapan
Persiapan bahan meliputi pemilihan daging dan
penyiangan bahan tambahan lainnya. Daging bisa dipilih
yang segar, bersih atau dibersihkan dari lemak permukaan
dan jaringan ikat atau urat.
2. Penghancuran daging
Penghancuran daging bertujuan untuk memecah serabut
33
daging, sehingga protein yang larut dalam larutan garam
akan mudah keluar. Penghancuran daging untuk bakso
dapat dilakukan dengan cara mencacah, menggiling atau
mencincang sampai lumat.
3. Pencampuran bahan dan pembuatan adonan.
Pembuatan adonan dapat dilakukan dengan mencampur
seluruh bagian bahan kemudian menghancurkannya
sehingga membentuk adonan. Atau dengan
menghancurkan daging bersama-sama garam dan es batu
terlebih dulu, baru kemudian dicampurkan bahan-bahan
lain dengan alat yang sama atau menggunakan mixer.
4. Pemasakan bakso
Pemasakan bakso biasanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama, bakso dipanaskan dalam panci berisi air
hangat sekitar 600C sampai 80
0C, sampai bakso mengeras
dan mengambang di permukaan air. Pada tahap
selanjutnya bakso dipindahkan ke dalam panci lainnya
yang berisi air mendidih, kemudian direbus sampai
matang, biasanya sekitar 10 menit. Pemasakan bakso
dalam dua tahap tersebut dimaksudkan agar permukaan
produk bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak
pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat
(Menristek, 2006)
34
2.9 Boraks pada Bakso
Pemakaian boraks untuk memperbaiki mutu bakso sebagai
pengawet telah diteliti pada tahun 1993. Di DKI Jakarta ditemukan 26%
bakso mengandung boraks, baik di pasar swalayan, pasar tradisional dan
pedagang makanan jajanan. Pada pedagang bakso dorongan ditemukan 7
dari 13 pedagang menggunakan boraks dengan kandungan boraks antara
0,01 – 0,6%.
Berikut ini cara pembuatan boraks pada bakso:
1. Daging yang sudah digiling halus oleh mesin penggiling
dimasukkan ke dalam wadah.
2. Setelah daging tersebut dicampurkan dengan sagu dan
bumbu lainnya, pengolah mencampurkan bahan bakso
dengan boraks
3. Setelah itu bakso dibentuk dan direbus kemudian
dikeringkan dan siap untuk dihidangkan (Eka, 2013)
2.10 Perilaku
Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan
atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia pada
hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri.
Menurut Robert Kwick (1974) dalam Notoatmodjo (2003)
menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme
yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku manusia
35
merupakan hasil dari pengalaman serta interaksi manusia dengan
lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan
tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seorang
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.
Respon ini dapat bersifat pasif (berpikir, berpendapat, bersikap) maupun
aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan
dapat dirumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan
lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang
kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak
tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli
membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga domain yaitu
pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan istilah
knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004).
2.10.1 Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil penginderaan
manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera
yang dimilikinya. Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan itu
sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan
sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan
bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan
semakin luas pula pengetahuannya, namun bukan berarti seseorang
yang berpendidikan rendah akan mutlak berpengetahuan rendah,
36
sebab pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan formal
saja melainkan dapat diperoleh melalui pendidikan non formal.
Menurut Notoatmodjo, pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku
yang didasari oleh pengetahuan akan lebih melekat dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang
cukup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang
telah dipelajari sebelumnya. Yang termasuk kedalam
pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja
untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,
mengidentifikasi serta menyatakan.
2. Memahami (Comprehention)
Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan di
mana dapat menginterprestasikan secara benar.
37
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi riil
(sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan aplikasi atau
penggunaan hukum – hukum, rumus, metode, prisip dalam
konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menyatakan
materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi
masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Syntesis)
Sintesis yaitu menunjukan pada suatu kemampuan untuk
melaksanakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu keseluruhan yang baru atau dengan kata lain
merupakan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
38
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Nursalam
(2003):
1. Faktor Internal
a. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang
terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah cita-
cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat
dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan
dan kebahagiaan. Pada umumnya makin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah menerima
informasi. Pendidikan seseorang dapat diperoleh secara
formal, informal dan non formal. Pendidikan disebut
juga dengan pendidikan prasekolah dan berupa
rangkaian jenjang yang telah baku. Misalnya SD, SMP,
SMA dan PT (Perguruan Tinggi). Pendidikan non
formal lebih difokuskan pada pemberian keahlian dan
skil yang berguna untuk terjun ke masyarakat.
Sedangkan pendidikan informal merupakan pendidikan
yang berada disamping pendidikan formal dan non
formal. Menurut UU RI No.2 Tahun 1989 ada tiga
jenjang dari pendidikan yaitu pendidikan dasar jika
pendidikan ibu (SD dan SMP), menengah jika (SMA)
dan tinggi jika pendidikan ibu PT (Perguruan Tinggi).
39
b. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang
memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara
langsung maupun secara tidak langsung.
c. Umur
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat
dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut
Huclok (1998) semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang
dalam berfikir dan bekerja.
2. Faktor Eksternal
a. Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada di
sekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat
mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau
kelompok.
b. Sosial budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat
mempengaruhi sikap dalam menerima informasi.
2.10.2 Sikap
Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau
kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu
baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari
40
suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas. Akan tetapi sikap merupakan faktor predisposisi bagi
seseorang untuk berperilaku.
Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung
dilihat akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah
laku tetutup.
Menurut Allport (1954) seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo
(2005), sikap memiliki pokok, yakni :
a. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
b. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu konsep
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, antara lain :
a. Menerima
b. Merespon
c. Menghargai
d. Bertanggung jawab
Pengkategorian sikap terdiri dari:
a. Sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati,
menyenangi, menghadapkan objek tertentu.
b. Sikap negatif, terdapat kecenderungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu
(Zuriah, 2003).
41
2.10.3 Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan
(overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan
nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan.
Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan :
a. Persepsi, merupakan mekanisme mengenal dan memilih
berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil.
b. Respon terpimpin, yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai
dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.
c. Mekanisme, yaitu dapat melakukan sesuatu secara otomatis
tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.
d. Adopsi, merupakan Suatu tindakan yang sudah berkembang
dengan baik, artinya tindakan itu telah dimodifikasikan
tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut
(Notoatmodjo, 2007).
2.11 Pedagang
Pada penelitian ini, pengelola bakso yang dimaksud adalah pengelola
yang membuat sekaligus menjajakan bakso, sehingga pengelola dapat
dikategorikan sebagai pedagang.
42
2.11.1 Definisi Pedagang
Menurut Damsar (1997) pedagang adalah orang atau institusi
yang memperjualbelikan produk atau barang, kepada konsumen baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pedagang dibedakan
menurut jalur distribusi yang dilakukan yaitu:
a. Pedagang distributor (tunggal) yaitu pedagang yang memegang
hak distribusi satu produk dari perusahaan tertentu.
b. Pedagang (partai) besar yaitu pedagang yang membeli suatu
produk dalam jumlah besar yang dimaksudkan untuk dijual
kepada pedagang lain.
c. Pedagang eceran, yaitu pedagang yang menjual produk
langsung kepada konsumen.
43
2.12 Kerangka Teori
Modifikasi sumber:
Winarno, 1994; Notoatmodjo, 2003; Nurmaini, 2001; Mulia, 2005; Sarwono, 2004
Menurut Mulia (2005) foodborne disease adalah penyakit yang
disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar.
Pencemaran makanan dapat disebabkan oleh sanitasi makanan yang buruk.
Sanitasi makanan yang buruk dapat disebabkan 3 faktor yakni; faktor fisik,
faktor kimia dan faktor biologi. Diantara 3 faktor tersebut, boraks masuk ke
kategori kimia. Boraks merupakan suatu jenis senyawa kimia yang bersifat
toksik sering digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan (Winarno
Gambar 2.1 Kerangka Teori
44
1994). Adanya bahan toksik dalam makanan mengindikasikan bahwa
makanan tersebut telah tercemar. Menurut Nurmaini (2001), penggunaan
bahan toksik boraks pada makanan merupakan pencemaran bahan toksik
yang terjadi dengan cara sengaja atau terjadi karena bahan pencemar secara
sengaja diberikan kepada makanan sebagai bahan tambahan. Perilaku
menurut Notoatmodjo (2003) merupakan hasil dari pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan pemaparan tersebut maka
terbentuklah kerangka teori seperti demikian.
45
BAB III
3 KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan bagan pada kerangka teori dapat terlihat bahwa foodborne
disease disebabkan oleh adanya makanan tercemar dan makanan tersebut
dapat tercemar dikarenakan sanitasi yang buruk yang dapat disebabkan oleh
faktor fisik, kimia, dan biologi. Pada penelitian ini, faktor yang akan diteliti
adalah faktor kimia sesuai dengan tujuan dari penelitian ini adalah ingin
menganalisis pencemaran boraks pada makanan, dimana boraks merupakan
salah satu jenis senyawa kimia yang biasa ditambahkan pada makanan.
Makanan yang dimaksud pada penelitian adalah bakso. Penggunaan bahan
toksik boraks pada bakso di penelitian ini dilihat dari dari keberadaan
cemaran boraks pada bakso melalui uji laboratorium.
Cemaran toksik
boraks pada bakso
Pengetahuan pengelola
terkait bahaya boraks
Sikap pengelola terhadap
penggunaan bahan toksik
boraks pada bakso
Praktik pengelola
terhadap penggunaan
bahan toksik boraks
dalam pengolahan bakso
46
Sesuai dengan teori Notoatmodjo (2003) yang disesuaikan dengan
penelitian ini, penggunaan bahan toksik boraks oleh pengelola bakso
dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu: pengetahuan pengelola terkait bahaya boraks,
sikap pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks, serta tindakan
yang dalam hal ini berupa praktik pengelola terhadap penggunaan bahan
toksik boraks dalam pengolahan bakso. Pada penelitian ini akan dilihat
bagaimana pengaruh dari pengetahuan, sikap dan praktik dari pengelola
bakso terhadap cemaran boraks yang terdapat pada bakso tersebut.
3.2 Hipotesis
1. Adanya hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat
2. Adanya hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan
toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat
3. Adanya hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks
dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Ciputat.
47
3.3 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
1. Pengetahuan
pengelola terkait
bahaya boraks
Pemahaman dan
pengetahuan responden
tentang bahaya boraks.
Wawancara Kuesioner
1.
Tinggi: jika jawaban
benar ≥ 8 butir
soal
Rendah: jika jawaban
benar < 8 butir
soal. (Wijaya et
al, 2013)
Ordinal
48
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
2.. Sikap pengelola
terhadap penggunaan
bahan toksik boraks
pada bakso
Respon yang
ditunjukkan responden
penggunaan bahan
toksik boraks pada
bakso
Wawancara Kuesioner
- Sikap positif: jika
jawaban benar ≥5
butir soal (>50%)
- Sikap negatif: jika
jawaban benar <5
butir soal (<50%)
(Hidayat, 2007)
Ordinal
3. Praktik penggunaan
bahan toksik boraks
Kegiatan yang
dilakukan pengelola
berkaita dengan
penggunaan bahan
toksik boraks
Wawancara Kuesioner 0 = Tidak baik Nominal
49
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
dalam pengolahan
bakso
dalam proses
pengolahan bakso
1= Baik
4. Pencemaran bahan
toksik boraks pada
bakso
Terdeteksinya
kandungan boraks pada
bakso saat uji kualitatif
dengan menggunakan
alat uji.
Pengukuran Food
Security Kit
Warna kertas uji:
0= Tidak berubah
warna (tidak terjadi
pencemaran)
1 = Merah bata (terjadi
pencemaran)
Nominal
50
BAB IV
4 METODE PENELITIAN
4.1 Desain Studi
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dimana data
yang menyangkut variabel bebas dan variabel terikat akan dikumpulkan
dalam waktu yang bersamaan.
4.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan.
Luas Kelurahan Ciputat adalah 183,34 Ha/km2 dengan jumlah penduduk
18.880 jiwa. Kelurahan Ciputat terdiri dari 15 RW. Berikut batas geografi
Kelurahan Ciputat:
Utara : Kelurahan Sawah Lama
Selatan : Kelurahan Pondok Cabe Ilir
Barat : Kelurahan Kedaung & Kelurahan Pamulang Timur
Timur : Kelurahan Cempaka Putih/Kelurahan Cipayung
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, di Kelurahan Ciputat terdapat
sebanyak 34 pedagang bakso yang berjualan secara menetap. Seluruh
pedagang tersebut merupakan responden pada penelitian ini.
51
4.3 Populasi
Populasi adalah keseluruhan unit analisis yang karakteristiknya akan
diduga. Anggota unit populasi disebut elemen populasi (Sumantri, 2011).
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang bakso yang
berjualan secara menetap di Kelurahan Ciputat.
4.4 Sampel
Sampel adalah sebagian populasi yang ciri-cirinya diselidiki atau di
ukur (Sumantri, 2011). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini
yaitu menggunakan sampel jenuh. Sampel jenuh merupakan teknik
penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel,
atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang
sangat kecil. Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, dimana anggota
populasi dijadikan sampel (Sugiono, 2005). Sampel pada penelitian ini
berjumlah 34 responden yang merupakan pedagang bakso menetap yang
berlokasi di sekitar kelurahan Ciputat. Jumlah tersebut didapatkan
berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan melalui turun ke
lapangan untuk mencari serta mengumpulkan data seluruh pedagang yang
berjualan bakso secara menetap di Kelurahan Ciputat.
4.5 Jenis Data
Data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data yang diperoleh dengan melakukan pengukuran
langsung. Data primer dalam penelitian ini adalah cemaran bahan toksik
52
boraks, pengetahuan, sikap serta praktik penggunaan bahan toksik boraks
yang dilakukan pengelola bakso. Sedangkan data sekunder dalam penelitian
ini adalah data pedagang bakso yang berasal dari Kelurahan Ciputat.
4.6 Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dari hasil pengukuran terhadap variabel yang
akan diteliti langsung dan kuesioner yang diisi oleh responden. Pengetahuan,
sikap serta praktik penggunaan bahan toksik boraks yang dilakukan
pengelola bakso didapatkan melalui kuesioner sedangkan, pencemaran
bahan toksis boraks pada bakso diperoleh dari pengukuran menggunakan
Food Security Kit.
Pengumpulan data dengan kuesioner dilakukan dengan mengunjungi
pengelola bakso satu persatu ke lokasi berjualannya untuk melakukan
wawancara. Selain wawancara, peneliti juga membeli bakso yang dijual
oleh pengelola tersebut untuk diambil sampelnya serta diuji dengan
menggunakan Food Security Kit.
4.7 Teknik Sampling Boraks pada Bakso
Pada penelitian ini, sampel diambil dan diuji kandungannya dengan
tes kit atau alat uji yang bernama food security kit. Food security kit
merupakan alat yang berfungsi untuk menguji kandungan bahan kimia
berbahaya yang terdapat dalam makanan.
53
Berikut langkah-langkah penggunaan alat Food Security Kit:
1. Haluskan bakso sebanyak 10 gram menggunakan mortar
2. Setelah bakso menjadi halus, masukkan ke dalam gelas kaca
atau tabung reaksi
3. Tambahkan dengan 10 ml air panas, aduk dan biarkan hingga
dingin
4. Tambahkan 10 - 15 tetes reagen cair, kemudian aduk kembali
5. Celupkan kertas uji ke dalam air campuran sampai terendam
sebagian
6. Keringkan kertas uji di bawah terik matahari atau anginkan.
Setelah kering, amati kertas uji yang telah tercelup. Jika
tebentuk warna merah bata pada kertas, maka dapat disimpulkan
bakso mengandung boraks.
4.8 Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan terdiri dari serangkaian tahapan yang harus
dilakukan meliputi:
1. Data Coding
Kegiatan mengklasifikasikan data dan memberikan kode untuk
masing-masing kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data.
Peneliti membuat kode untuk setiap jawaban dari pertanyaan pada
kuesioner. Pada penelitian ini coding dilakukan saat seluruh
responden telah mengisi kuesioner.
54
2. Data Editing
Penyuntingan data dilakukan sebelum proses pemasukan data.
Proses editing ini dilakukan peneliti setelah data terkumpul untuk
pengecekan jika ada data yang salah atau meragukan sehingga
masih dapat ditelusuri kembali kepada responden/informan yang
bersangkutan.
3. Data Structure
Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan
dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada
penelitian ini perangkat lunak yang digunakan adalah SPSS.
4. Data Entry
Pada proses data entry, peneliti memasukkan data yang telah
dikumpulkan ke dalam program SPSS diantaranya data mengenai
pengetahuan, sikap, praktik pada pengelola bakso serta
pencemaran yang terjadi pada bakso tersebut.
5. Data Cleaning
Proses pembersihan data ini dilakukan setelah data telah selesai
dimasukkan. Pembersihan data ini dilakukan dengan melihat
distribusi frekuensi.
4.9 Analisis
Analisis univariat yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran pada masing – masing variabel yang telah diteliti.
55
Data disampaikan dalam bentuk distribusi frekuensi menurut masing –
masing variabel yang telah diteliti. Variabel dependen pada penelitian ini
yaitu cemaran bahan toksik boraks, sedangkan variabel independen pada
penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan praktik pengelola bakso.
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Analisis bivariat dalam penelitian ini
menggunakan uji Chi-Square, yaitu uji yang dilakukan dimana variabel
yang dihubungkan keduanya adalah kategorik.
Untuk melihat hasil kemaknaan dari perhitungan statistik
menggunakan batas kemaknaan 0,05 yaitu (Hastono, 2001):
Kriteria hipotesis nol (Ho) ditolak apabila nilai p < 0,05 yang
berarti ada signifikansi perbedaan yang bermakna secara statistik
Kriteria hipotesis (Ho) diterima apabila nilai p > 0,05 yang berarti
tidak ada signifikansi perbedaan yang bermakna secara statistik.
4.10 Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada 10 orang pengelola
bakso dimana sampel yang dipilih adalah sampel yang memiliki
karakteristik yang sama dengan sampel dalam penelitian
A. Uji Validitas
Uji validitas dalam penelitian ini berhubungan dengan
pertanyaan – pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner mengenai
56
substansi pertanyaan tingkat pengetahuan, sikap dan praktik
pengelola bakso. Uji validitas ini bertujuan untuk mengetahui
sejauh mana ukuran atau nilai yang menunjukkan tingkat
kebenaran alat ukur dengan cara mengukur korelasi antar variabel.
Dengan total skor variabel pada analisis reliabilitas dengan melihat
nlai correlation corrected item dengan ketentuan jika nilai r hitung
> r tabel (0,6319) maka dinyatakan valid.
Dari 16 pertanyaan untuk variabel pengetahuan terdapat 15
pertanyaan yang valid, sehingga peneliti memutuskan untuk
menghilangkan 1 pertanyaan yang tidak valid. Sehingga total
pertanyaan untuk variabel pengetahuan adalah sebanyak 15
pertanyaan. Sedangkan untuk variabel sikap dan praktik seluruh
pertanyaannya valid. Sehingga total pertanyaan pada kuesioner ini
adalah sebanyak 33 pertanyaan.
B. Uji Reliabilitas
Pertanyaan dinyatakan reliabel jika jawaban responden
terhadap pertanyaan adalah konsisten. Reliabilitas menunjukkan
bahwa suaru instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan
sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik.
Reliabilitas data merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana
suatu alat ukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya.
Hasil uji reliabilitas ini menunjukkan nilai Alpha sebesar
0,741. Kuesioner atau angket dikatakan reliabel jika memiliki nilai
57
Cronbach’s Alpha > 0,05. Sehingga dengan demikian dapat
dikatakan bahwa instrumen yang telah diuji dikatakan reliabel
karena mempunyai nilai Cronbach’s Alpha > 0,05.
58
BAB V
5 HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Responden
Karakteristik responden terdiri dari jenis kelamin, usia dan
pendidikan.
5.1.1 Jenis Kelamin
Berikut distribusi jenis kelamin pengelola bakso di Kelurahan
Ciputat yang dijadikan responden pada penelitian:
Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Pengelola Bakso di
Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Jenis
Kelamin
Frekuensi Persentase
(%)
Laki - laki 22 64,7
Perempuan 12 35,3
Total 34 100
Pada tabel 5.1 terlihat bahwa responden terbanyak adalah
berjenis kelamin laki – laki dengan jumlah sebanyak 22 responden
(64,7%).
59
5.1.2 Usia
Berikut distribusi usia pengelola bakso di Kelurahan Ciputat
yang menjadi responden pada penelitian:
Tabel 5.2 Distribusi Usia Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat
Tahun 2014
Kategori
Usia
Frekuensi Persentase
(%)
<25 8 23,5
25 - 45 24 70,6
>45 2 5,9
Total 34 100
Pada tabel 5.2 terdapat 3 kategori usia yaitu < 25 tahun
(remaja), 25 – 45 tahun (dewasa), dan > 45 tahun (lansia) (Depkes
RI, 2009). Terlihat bahwa pengelola bakso mayoritas berada pada
usia 25 – 45 tahun yaitu sebanyak 24 responden (70,6%).
5.1.3 Pendidikan
Berikut distribusi pendidikan pengelola bakso di Kelurahan
Ciputat yang menjadi responden pada penelitian:
60
Tabel 5.3 Distribusi Pendidikan Pengelola Bakso di Kelurahan
Ciputat Tahun 2014
Kategori
Pendidikan
Frekuensi Persentase
(%)
Rendah 15 44,1
Tinggi 19 55,9
Total 34 100
Pada tabel 5.3 terlihat bahwa 19 responden (55,9%) memiliki
pendidikan tinggi, sedangkan sebanyak 15 responden (44,1%)
memiliki pendidikan rendah.
5.2 Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan untuk melihat
gambaran pada masing – masing variabel yang telah diteliti. Analisis ini
diantara dilakukan pada pencemaran bahan toksik boraks, pengetahuan,
sikap dan prakek pedagang bakso di Kelurahan Ciputat.
5.2.1 Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso
Berikut hasil identifikasi pencemaran bahan toksik boraks
pada bakso di Kelurahan Ciputat:
61
Tabel 5.4 Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada
Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Pencemaran Boraks Frekuensi Presentase (%)
Ada 10 29,4
Tidak ada 24 70,6
Total 34 100
Berdasarkan hasil uji statistik yang tertera pada tabel 5.4
bahwa presentasi bakso yang tidak terdapat cemaran boraks
sebanyak 24 bakso (70,6%), sedangkan yang terdapat cemaran
boraks di dalamnya sebanyak 10 bakso (29,4%).
5.2.2 Gambaran Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan
Bahan Toksik Boraks
Berikut adalah distribusi pengetahuan pengelola bakso
terhadap penggunaan bahan toksik boraks di Kelurahan Ciputat:
Tabel 5.5 Distribusi Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap
Penggunaan Bahan Toksik Boraks di Kelurahan Ciputat Tahun
2014
Pengetahuan Frekuensi Presentase (%)
Tinggi 20 58,8
Rendah 14 41,2
TOTAL 34 100
62
Pada tabel 5.5 terlihat bahwa terdapat 20 responden (58,8 %)
yang memiliki pengetahuan kategori tinggi mengenai penggunaan
bahan toksik boraks.
5.2.3 Gambaran Sikap Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan
Toksik Boraks
Tabel 5.6 Gambaran Sikap Pengelola Bakso Pada
Beberapa Pernyataan
No Pernyataan Sikap Setuju Tidak
Setuju
Total
n % n % n %
1 Diperbolehkan menggunakan
boraks pada bakso
4 11,8 30 88,2 34 100
2 Bakso yang menggunakan
boraks terasa lebih enak
6 17,6 28 82,4 34 100
3 Bakso yang mengandung
boraks boleh dijual di
pasaran
6 17,6 28 82,4 34 100
4 Boraks harus selalu
digunakan dalam pengolahan
makanan
3 8,8 31 91,2 34 100
5 Boraks digunakan sebagai
pengenyal pada bakso
11 32,4 23 67,6 34 100
63
No Pernyataan Sikap Setuju Tidak
Setuju
Total
N % n % n %
6 Boraks digunakan sebagai
pengawet pada bakso
11 32,4 23 67,6 34 100
7 Boraks tidak berbahaya bagi
kesehatan
2 5,9 32 94,1 34 100
8 Penggunaan boraks tidak
perlu dilarang
4 11,8 30 88,2 34 100
9 Boraks merupakan bahan
yang berguna bagi kesehatan
3 8,8 31 91,2 34 100
10 Boraks hanya boleh
digunakan dalam pembuatan
makanan
5 14,7 29 85,3 34 100
Berdasarkan tabel 5.6 terdapat 30 responden (88,2%) yang
tidak setuju boraks diperbolehkan digunakan pada bakso, terdapat 28
responden (82,4%) tidak setuju bahwa bakso lebih enak jika
ditambahkan boraks, terdapat 28 responden (82,4%) tidak setuju
bahwa bakso yang mengandung boraks tidak menimbulkan masalah
kesehatan, terdapat 31 responden (91,2%) tidak setuju bahwa boraks
harus selalu digunakan dalam pengolahan makanan, terdapat 23
responden (67,6%) tidak setuju boraks digunakan sebagai pengenyal
pada bakso, terdapat 23 responden (67,6%) tidak setuju boraks
digunakan sebagai pengawet pada bakso, terdapat 32 responden
64
(94,1%) tidak setuju bahwa boraks tidak berbahaya bagi kesehatan,
terdapat 29 responden (85,3%) tidak setuju bahwa penggunaan
boraks tidak perlu dilarang, terdapat 31 responden (91,2%) tidak
setuju bahwa boraks merupakan bahan yang berguna bagi kesehatan,
terdapat 29 responden (85,3%) tidak setuju bahwa boraks hanya
boleh digunakan pada pembuatan makanan.
Dalam penelitian ini, variabel sikap dikategorikan menjadi
sikap negatif dan positif. Berikut adalah distribusi sikap pengelola
bakso terhadap penggunaan bahan toksik boraks di Kelurahan
Ciputat
Tabel 5.7 Distribusi Sikap Pengelola Bakso Terhadap
Penggunaan Bahan Toksik Boraks di Kelurahan Ciputat Tahun
2014
Sikap Frekuensi Presentase (%)
Sikap negatif 27 79,4
Sikap positif 7 20,6
TOTAL 34 100
Pada tabel 5.7 terlihat bahwa responden yang memiliki sikap
negatif terhadap penggunaan bahan toksik boraks sebanyak 27
responden (79,4%), sedangkan yang memiliki sikap positif sebanyak
7 responden (20,6%).
65
5.2.4 Gambaran Praktik Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan
Bahan Toksik Boraks
Berikut adalah distribusi praktik pengelola bakso terhadap
penggunaan bahan toksik boraks di Kelurahan Ciputat:
Tabel 5.8 Distribusi Praktik Pengelola Bakso Terhadap
Penggunaan Bahan Toksik Boraks Di Kelurahan Ciputat
Tahun 2014
Praktik Frekuensi Presentase
(%)
Tidak baik 7 20,6
Baik 27 79,6
Total 34 100
Pada tabel 5.8 terlihat bahwa terdapat 27 responden (79,6%)
responden yang melakukan praktik pembuatan bakso yang baik
sedangkan yang melakukan praktik pembuatan bakso yang tidak
baik terdapat 7 responden (20,6%).
5.3 Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis lanjutan dari analisis univariat
yang bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen. Uji yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara
pengetahuan, sikap dan praktik pengelola bakso dengan pencemaran bahan
toksik boraks adalah uji Chi-square.
66
5.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan
Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso
Hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat
dapat terlihat melalui tabel berikut:
Tabel 5.9 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola
dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso
Pengetahuan Cemaran boraks pada
Bakso Total
pValue
Positif (+) Negatif (-)
n % n % n %
Tinggi 7 35 13 65 20 100
0,467 Rendah 3 21,4 11 78,6 14 100
Total 10 29,4 24 70,6 34 100
Berdasarkan analisis hubungan antara tingkat pengetahuan
pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso yang
tertera pada tabel 5.9 diperoleh 7 responden (35%) berpengetahuan
tinggi yang baksonya positif mengandung boraks. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p value = 0,467 (α = 0,05) maka dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola
dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso.
67
5.3.2 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan
Toksik Boraks pada Bakso
Hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan
toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat dapat terlihat melalui
tabel berikut:
Tabel 5.10 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan
Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan
Ciputat Tahun 2014
Sikap Cemaran boraks pada bakso Total
pValue
Positif (+) Negatif (-)
n % N % n %
0,014
Sikap
negatif
5 18,5 22 81,5 27 100
Sikap
positif
5 71,4 2 28.6 7 100
Total 10 29,4 24 70,6 34 100
Berdasarkan analisis hubungan antara sikap pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso yang tertera pada tabel
5.10 diperoleh 5 responden (71,4%) yang bersikap positif yang
baksonya positif mengandung boraks. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p value = 0,014 (α = 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan toksik
boraks pada bakso.
68
5.3.3 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Bahan Toksik Boraks
dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso
Hubungan antara praktik pengelola dengan pencemaran
bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat dapat terlihat
melalui tabel berikut:
Tabel 5.11 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Bahan
Toksik Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada
Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Praktik Cemaran boraks pada bakso
Total pValue
Positif (+) Negatif (-)
n % n % n %
0,009
Tidak
Baik
7 100 0 0 7 100
Baik 3 11,1 24 88,9 27 100
Total 10 29,4 24 70,6 34 100
Berdasarkan analisis hubungan antara praktik pengelola
dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso yang tertera
pada tabel 5.11 diperoleh 7 responden (100%) pada kelompok
praktik tidak baik yang baksonya positif mengandung boraks. Hasil
uji statistik diperoleh nilai p value = 0,009 (α = 0,05) maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara praktik pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso.
69
BAB VI
6 PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam beberapa hal, diantaranya adalah:
1. Penelitian ini hanya mengidentifikasi pencemaran pada bakso namun
tidak melihat gejala atau dampak yang diakibatkan dari pencemaran
tersebut. Hal ini dikarenakan dampak yang signifikan akan terlihat
apabila responden mengkonsumsi bakso yang mengandung boraks
dilakukan dalam jangka waktu yang lama, dikarenakan dampak dari
boraks tersebut yang bersifat kronis. Saat mengidentifikasi dampak
harus dilakukan penelitian dengan desain studi kohort, sedangkan
dalam penelitian ini desain studi yang digunakan adalah cross
sectional.
2. Karena luasnya cakupan faktor resiko, maka pada penelitian ini hanya
menganalisis faktor resiko yang berkaitan dengan perilaku yaitu
pengetahuan, sikap serta praktik pengelola bakso terhadap
penggunaan boraks.
70
6.2 Analisis Univariat
6.2.1 Pengetahuan Pengelola Bakso Mengenai Penggunaan Bahan
Toksik Boraks
Pada variabel pengetahuan, sikap dan praktek data
dikumpulkan melalui wawancara dengan instrumen kuesioner.
Wawancara dilakukan secara langsung dengan pengelola bakso.
Pada penelitian ini pengetahuan responden diukur melalui kuesioner
yang terdiri dari 15 pertanyaan meliputi pengetahuan mengenai
boraks, kegunaannya, dampak yang ditimbulkan, serta peraturan
yang berkaitan dengan penggunaan bahan toksik boraks. Dari
kuesioner tersebut didapatkan 20 responden (58,8%) yang
berpengetahuan tinggi terkait penggunaan bahan toksik boraks.
Sedangkan pada kategori pengetahuan rendah terdapat 14 responden
(41,2%).
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan dapat
dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Jika dilihat dari distribusi
pendidikannya, pendidikan sebagian besar responden sudah
tergolong baik. Pendidikan secara umum dapat dikaitkan dengan
tingkat pengetahuan. Tingkat pendidikan yang rendah diasumsikan
memiliki keterkaitan dengan tingkat pengetahuan yang rendah,
termasuk pengetahuan mengenai boraks. Hal ini didukung dengan
penelitian Handoko (2010) yang menyatakan tingkat pendidikan
71
yang relatif rendah diasumsikan berkaitan dengan rendahnya
pengetahuan mengenai cara pembuatan bakso daging sapi yang
aman bagi kesehatan. Pada penelitian ini ditemukan sebesar 55,9%
responden memiliki pendidikan tinggi, sehingga hal ini
menyebabkan pengetahuan yang dimiliki responden dapat
dinyatakan cukup memadai.
Pengetahuan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh
lingkungan, tingkat pendidikan seseorang, tetapi sumber informasi,
pengalaman, serta kegiatan penyuluhan juga mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Dari hasil wawancara
dengan responden didapatkan bahwa responden mendapatkan
informasi mengenai boraks bersumber dari berita di televisi saja.
Responden yang berpengetahuan tinggi dapat dikatakan sering
mendapatkan informasi mengenai boraks melalu media massa. Hal
ini didukung oleh penelitian Habsah (2009) yang menyatakan bahwa
pedagang yang berpengetahuan baik cenderung sering melihat
tayangan di televisi seputar boraks sehingga pengetahuan yang
dimilikinya mengenai boraks dapat dikatakan cukup memadai.
Boraks yang sudah ramai diperbincangkan di media massa ini
seharusnya menjadi sumber pengetahuan untuk masyarakat untuk
mengetahui lebih dalam mengenai bahan tambahan pangan yang
dilarang ini. Responden yang memiliki pengetahuan rendah memiliki
kecenderungan jarang melihat media massa sehingga berdampak
72
pada ketidaktahuannya mengenai boraks sebagai bahan tambahan
yang dilarang. Disamping jarangnya responden melihat media massa,
kemungkinan lain yang menyebabkan masih adanya responden yang
memiliki pengetahuan yang rendah adalah kurangnya konsentrasi
dalam menjawab pertanyaan dikarenakan adanya konsumen yang
membeli saat dilakukan wawancara, sehingga konsentrasi responden
terpecah saat dilakukan wawancara. Saat wawancara berlangsung,
tidak sedikit konsumen yang datang, sehingga wawancara sempat
tertunda beberapa kali dikarenakan responden harus melayani
konsumen terlebih dahulu. Namun dengan datangnya beberapa
konsumen dapat dipastikan bahwa wawancara tidak dapat terdengar
oleh konsumen yang datang karena wawancara berlangsung di
tempat yang jauh dari konsumen sehingga kecil kemungkinannya
bahwa konsumen dapat mendengar wawancara tersebut.
Selain kurangnya konsentrasi pada diri responden,
diperkirakan ada rasa takut pada diri responden ketika diwawancara
mengenai boraks, sehingga responden lebih memilih untuk
menjawab dengan seadanya. Respon tersebut terlihat saat pertama
kali peneliti menanyakan kesediaan responden untuk diwawancarai
mengenai boraks. Banyak responden yang sempat menolak secara
halus atau meminta orang lain untuk diwawancarai. Selain itu
terlihat saat responden ditanyakan mengenai peraturan dilarangnya
menggunakan boraks pada makanan, sebagian besar responden
73
terlihat mengetahui hal tersebut. Dalam kasus ini diperkirakan bahwa
sebenarnya responden telah mengetahui bahwa boraks merupakan
bahan yang dilarang untuk digunakan, namun responden tetap
menggunakannya demi mencari keuntungan yang lebih. Hal ini juga
didukung oleh teori Singarimbun (1989) yang mengatakan
responden tidak ingin diketahui pikiran yang sesungguhnya karena
takut untuk mengutarakan pemikirannya, maka responden lebih
memilih menjawab “tidak tahu”.
Selain pengetahuan umum mengenai boraks, berdasarkan
wawancara ternyata responden banyak yang tidak mengetahui bahwa
air bleng yang digunakan untuk merendam bakso yang mereka
gunakan mengandung boraks. Menurut Bambang (2008), boraks
sendiri memiliki nama sebutan lain seperti air bleng, garam bleng,
pijer, dan cetitet. Menurut pengetahuan responden, air bleng yang
mereka gunakan merupakan bahan yang lumrah digunakan dalam
penbuatan makanan, bukan merupakan bahan berbahaya. Menurut
beberapa responden penggunaan air bleng diperlukan agar tekstur
bakso lebih kenyal dan lebih awet. Dengan menggunakan air bleng
bakso yang diproduksinya menjadi lebih disenangi para konsumen.
Selain itu, mereka juga menganggap bahwa tidak ada dampak yang
akan terjadi ketika konsumen mengkonsumsi bakso yang
menggunakan air bleng tersebut. Hal ini terlihat pada jawaban
responden saat menjawab pertanyaan mengenai dampak dari
74
penggunaan bahan toksik boraks. Masih terdapat beberapa
responden yang menganggap tidak akan terjadi apapun ketika
mengkonsumsi boraks. Menurut pendapat responden, belum ada
pembeli yang mengatakan sakit setelah mengkonsumsi bakso yang
menggunakan air bleng saat proses pembuatannya. Pada dasarnya,
dampak dari penggunaan bahan toksik boraks tidak akan muncul
sesaat setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks.
Senyawa boraks akan diserap dalam tubuh secara kumulatif dan akan
terlihat dampaknya setelah mengkonsumsi makanan yang
mengandung boraks dalam jangka waktu yang lama (BPOM, 2004).
Mengingat dampaknya yang tidak langsung terlihat, responden
menganggap bahwa dampak dari mengkonsumsi boraks tidak perlu
dikhawatirkan.
6.2.2 Sikap Pengelola Bakso Mengenai Boraks
Sikap menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau
kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespon sesuatu
baik terhadap rangsangan positif atau negatif dari suatu objek
rangsangan.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa terdapat 27
responden (79,4%) yang memiliki sikap negatif terhadap
penggunaan bahan toksik boraks dan terdapat 7 responden (20,6%)
yang memiliki sikap positif. Hal ini menunjukkan bahwa lebih
75
banyak responden yang menunjukkan ketidaksetujuannya atas
penggunaan bahan toksik boraks daripada yang setuju terhadap
penggunaan bahan toksik boraks atau dengan kata lain responden
telah menunjukkan sikap yang kontra terhadap penggunaan bahan
toksik boraks.
Sikap ini diukur dengan menggunakan kuesioner dengan
pernyataan negatif dengan skala setuju dan tidak setuju. Pernyataan
pada kategori sikap ini diantaranya adalah persetujuan atas
diperbolehkannya penggunaan bahan toksik boraks pada bakso,
boraks yang terasa lebih enak dan kenyal, boraks yang dapat
menimbulkan masalah pada kesehatan, boraks yang digunakan untuk
mengawetkan dan mengenyalkan bakso, serta penggunaan bahan
toksik boraks pada makanan.
Pada penelitian ini, sikap dikategorikan menjadi 2 yaitu sikap
positif dan sikap negatif. Menurut Zuriah (2003), sikap negatif
adalah kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan
tidak menyukai objek tertentu, sedangkan sikap positif adalah
kecenderungan untuk mendekati, menyenangi dan menghadapkan
objek tertentu. Berkaitan dengan teori tersebut, dalam penelitian ini
yang dimaksud sikap negatif adalah kecenderungan untuk menjauhi
atau ketidaksetujuan atas penggunaan bahan toksik boraks,
sedangkan sikap positif adalah kecenderungan untuk mendekati atau
kesetujuan atas penggunaan bahan toksik boraks.
76
Menurut Gerungan (2004), sikap merupakan suatu
pandangan tetapi dapat berbeda dengan suatu pengetahuan yang
dimiliki seseorang. Sikap negatif yang dominan dari hasil
pengukuran sikap ini merupakan cerminan dari pandangan yang
dimiliki oleh para pengelola bakso. Sikap ini sangat tergambar pada
poin pernyataan mengenai penggunaan boraks sebagai pengenyal
dan pengawet bakso. Terdapat 23 responden (67,6%) menyatakan
tidak setuju atas pernyataan tersebut. Selain itu terlihat pada
pernyataan sikap mengenai diperbolehkannya menggunakan boraks
pada bakso. Dari 34 responden, 30 responden (88,2%) menyatakan
tidak setuju atas penggunaan boraks pada bakso. Dari hasil
pengukuran sikap ini dapat terlihat bahwa sikap yang tertanam dalam
diri responden sudah cukup baik. Melihat hasil penelitian yang telah
didapatkan bahwa sebenarnya sikap yang dimiliki oleh pengelola
bakso sudah cukup baik. Sikap yang baik ini dapat terbentuk dari
adanya pengetahuan pengelola bakso yang cukup memadai
mengenai boraks. Sikap yang tertanam pada diri pengelola
merupakan cerminan dari hal yang telah diketahui dan diyakininya,
sehingga dapat menghasilkan sikap demikian.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, boraks merupakan
bahan berbahaya yang dilarang digunakan pada makanan. Sikap
yang seharusnya dimiliki seseorang terhadap boraks adalah tidak
menggunakan atau menolak penggunaan bahan toksik boraks pada
77
makanan, sehingga dapat diasumsikan dalam penelitian ini sikap
negatif adalah sikap yang harus ditanamkan dalam diri masyarakat
terhadap penggunaan bahan toksik boraks. Dengan adanya sikap
negatif pada diri seseorang akan membuat dirinya menjauhi atau
tidak menggunakan boraks yang dampaknya dapat merugikan orang
lain. Sesuai dengan teori Notoatmodjo (2003) yang mengatakan
sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi
merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Hal ini
menunjukkan semakin baik sikap seseorang maka akan semakin baik
juga tindakannya. Tindakan yang diharapkan adalah tidak
menambahkan boraks pada makanan agar terhindar dari dampak
negatif yang akan dihasilkan dari tindakan tersebut.
Menurut PERMENKES RI No. 33 Tahun 2012 boraks
merupakan salah satu dari jenis bahan tambahan makanan yang
dilarang digunakan dalam produk makanan. Oleh karena itu, sikap
yang dimiliki oleh sebagian besar responden dianggap baik karena
telah menghindari atau menjauhi penggunaan bahan toksik boraks
pada makanan.
6.2.3 Praktik Pengelolaan Bakso Terhadap Penggunaan Bahan
Toksik Boraks
Tindakan atau praktik adalah respon atau reaksi konkret
seseorang terhadap stimulus atau objek. Respon ini sudah dalam
bentuk tindakan (action) yang melibatkan aspek psikomotor atau
78
seseorang telah mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapi
(Notoatmodjo, 1993).
Pengukuran praktik pengelolaan bakso ini dilakukan dengan
menggunakan pengukuran perilaku secara tidak langsung. Menurut
Notoatmodjo (2003), pengukuran perilaku secara tidak langsung adalah
dengan mewawancarai terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan kuesioner, sehingga hasil yang didapatkan dari
variabel praktik berasal dari pengakuan responden.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah terdapat 27
responden (79,6%) yang melakukan praktik yang baik, sedangkan
terdapat 7 responden (20,6%) melakukan praktik yang tidak baik.
Hal ini berarti sebagian besar responden dalam melakukan praktik
pengelolaan bakso tidak menggunakan boraks. Praktik yang mereka
lakukan merupakan kebiasaan yang mereka lakukan setiap harinya.
Praktik dapat terjadi karena adanya sebuah sikap yang
didukung oleh adanya faktor lain, yaitu fasilitas atau sarana dan
prasarana (Notoatmodjo, 2005). Sikap pada sebagian besar
responden pada penelitian ini menunjukkan 7 responden memiliki
sikap positif terhadap penggunaan bahan toksik boraks, yaitu sikap
kecenderungan untuk mendekati, menyenangi dan menghadapkan
objek tertentu. Hal ini sejalan dengan fakta yang ditemukan di
lapangan bahwa hanya 7 responden yang melakukan praktik
79
menggunakan boraks pada bakso. Hal ini terjadi dikarenakan adanya
fasilitas yang mempermudah pengelola bakso untuk mendapatkan
boraks. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan 7 responden yang
menyatakan bahwa boraks dapat dengan mudah ditemukan di pasar
terdekat. Selain itu, harganya yang terjangkau juga merupakan salah
satu faktor pendukung responden menggunakan boraks sebagai
bahan tambahan pada pengelolaan baksonya. Harga boraks menurut
responden adalah berkisar antara Rp1000 – 5000 per bungkusnya.
Murahnya harga boraks dapat semakin menarik para pengelola bakso
untuk menggunakan bahan bahaya tersebut dikarenakan harganya
yang terjangkau. Karena hanya dengan bermodalkan uang sebesar itu,
mereka dapat mengawetkan makanan yang dijualnya serta dapat
menarik pembeli.
6.2.4 Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso
Hasil penelitian menemukan adanya 10 sampel bakso
(29,4%) yang mengandung boraks dan sebanyak 24 sampel bakso
(70,6%) tidak mengandung boraks. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat 10 sampel bakso yang tercemar boraks. Boraks merupakan
zat pengawet berbahaya yang tidak diizinkan digunakan sebagai
campuran bahan makanan. Boraks banyak digunakan masyarakat
sebagai bahan tambahan pada bakso, mie, lontong kerupuk,
makaroni, dan ketupat.
80
Menurut Saparinto (2006), penggunaan bahan toksik boraks
pada makanan dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia.
Boraks memiliki efek racun yang sangat berbahaya pada sistem
metabolisme manusia sama halnya dengan zat tambahan makanan
lain yang merusak kesehatan manusia. Senyawa boraks dapat masuk
ke dalam tubuh melalui pernapasan dan pencernaan atau absorbsi
melalui kulit yang luka atau membran mukosa. Saat sampai di
lambung, boraks akan diubah menjadi asam borat, sehingga gejala
keracunannya pun sama dengan asam borat. Setelah diabsorbsi, akan
terjadi kenaikan konsentrasi dan ion boraks dalam cairan
serebrospinal (Hamdani, 2010). Efek yang dapat terjadi antara lain
degradasi mental, gangguan pencernaan, serta gangguan reproduksi.
Selain itu, menurut Mujiyanto (2003), boraks juga merupakan
senyawa kimia yang mempunyai sifat karsinogen sehingga dapat
menyebabkan timbulnya kanker yang dapat berujung pada kematian.
Dengan adanya efek – efek tersebut, boraks seharusnya tidak lagi
digunakan sebagai bahan tambahan pangan.
Penggunaan bahan toksik boraks sebagai bahan tambahan
pangan sebenarnya tidak diizinkan. Hal tersebut sudah tertera pada
PERMENKES RI No. 33 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa
boraks merupakan bahan tambahan pangan yang dilarang untuk
digunakan dalam produk makanan. Namun, boraks masih ditemukan
di sejumlah wilayah sebagai bahan pengawet. Seperti yang
81
ditemukan oleh Rusli (2009) pada penelitiannya ditemukan
kandungan boraks pada 4 dari 5 sampel mie yang ditemukan di Pasar
Ciputat.
Menurut Sultan (2013), boraks yang diberikan pada makanan
terutama pada bakso akan membuat bakso tersebut sangat kenyal dan
tahan lama. Dengan begitu, pengelola bakso tidak perlu khawatir
baksonya akan kadaluarsa, dikarenakan adanya boraks tersebut yang
dapat meningkatkan daya tahan bakso. Menurut Oktavia (2012),
bakso yang tidak habis terjual pengelola masih dapat menjualnya
kembali untuk 3 hari berikutnya jika ditambahkan boraks pada saat
pembuatannya. Hal ini lah yang membuat masih maraknya
penggunaan bahan toksik boraks sebagai bahan tambahan pangan.
6.3 Analisis Bivariat
6.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan
Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso
Pengetahuan merupakan hasil penginderaan yang diperoleh
melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, raba, yang
memberikan informasi tertentu kepada seseorang dan menjadi
pengetahuannya. Penginderaan tersebut dapat bersumber dari
pengalaman yang ada, baik berupa pengalaman belajar, bekerja serta
aktivitas dan interaksi lain dalam kehidupan sehari-hari
(Notoatmodjo, 2003).
82
Berdasarkan hasil uji Chi-Square didapatkan p value = 0,467
(α = 0,05) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dengan pencemaran bahan toksik boraks pada
bakso. Green menyebutkan dalam Notoadmodjo (2003) bahwa
pengetahuan merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi perilaku seseorang. Pada penelitian ini ditemukan
tidak adanya hubungan antara pengetahuan pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Penelitian ini
berbanding terbalik dengan penelitian Oktavia (2012) yang
menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan terhadap
penggunaan bahan toksik boraks (p value = 0,032)
Jika dilihat dari distribusi pengetahuan pada penelitian ini,
terdapat 20 responden (58,8%) berpengetahuan tinggi, dan 14
responden (41,2%) yang memiliki pengetahuan rendah. Hasil
tersebut mencerminkan bahwa pengetahuan yang dimiliki mayoritas
responden sebenarnya sudah cukup memadai. Cukup memadainya
pengetahuan responden tidak menutup kemungkinan ditemukannya
pencemaran boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. Dengan
ditemukannya cemaran boraks pada bakso mencerminkan terdapat
adanya tindakan penggunaan bahan toksik boraks oleh pengelola
bakso sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tidak selamanya
seseorang dengan pengetahuan yang tinggi dapat melakukan
tindakan atau perilaku mengenai sesuatu dengan baik. Hal ini sesuai
83
dengan teori yang dikemukakan menurut Sarwono (1997) bahwa
pengetahuan yang positif atau tinggi tidak selamanya akan diikuti
dengan praktik yang sesuai.
Kemungkinan terjadinya masalah ini dikarenakan adanya
faktor-faktor lain yang membuat pengelola bakso tetap
menggunakan boraks sebagai bahan tambahan pangan meskipun
mereka mengetahui dampak yang akan terjadi ketika
menggunakanannya. Faktor tersebut dapat berupa motif ekonomi.
Menurut David (1985), kebutuhan individu menyebabkan keinginan
dan keinginan ini menimbulkan motivasi yang menyebabkan
seseorang melakukan suatu tindakan. Salah satu kebutuhan dari
pengelola bakso ini adalah kebutuhan finansial. Tentunya setiap
pedagang atau pengelola bakso ingin mencapai keuntungan yang
besar. Berbagai upaya dapat dilakukan oleh pengelola bakso untuk
mendapatkan target keuntungan usaha yang optimal. Bentuk upaya
tersebut dapat berupa modifikasi cara pembuatan bakso daging sapi
agar memiliki nilai sensorik yang digemari konsumen. Menurut
Mujiyanto (2003), bakso yang menggunakan boraks ini dipercaya
dapat memperbaiki tekstur bakso menjadi lebih kenyal dibandingkan
dengan yang tidak menggunakan boraks. Penggunaan bahan toksik
boraks pada bakso merupakan salah satu upaya yang dilakukan
pengelola untuk mendapatkan keuntungan yang lebih meskipun
pengelola mengetahui bahwa boraks merupakan bahan yang
84
berbahaya jika digunakan pada makanan. Atas dasar faktor inilah
pengelola bakso menggunakan boraks pada bakso yang dijajakannya.
Ketika pengelola bakso mencampurkan boraks ke dalam bakso,
maka bakso akan dapat disimpan lebih lama dan tekstur bakso akan
menjadi lebih baik. Hal inilah yang dapat menarik konsumen untuk
berdatangan.
Dengan tingginya pengetahuan responden yang mencapai
58,8% serta pencemaran boraks yang mencapai 29,4%
mencerminkan adanya ketidakpedulian dalam diri pengelola bakso
terhadap efek yang akan terjadi jika pengelola tetap menggunakan
boraks pada baksonya. Hal ini dapat membuktikan bahwa
pengetahuan tidak mempengaruhi terjadinya pencemaran boraks.
Pernyataan ini didukung oleh penelitian Lambok (2012) yang
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dari penggunaan bahan
toksik boraks antara responden yang berpengetahuan tinggi dan
rendah dikarenakan banyak dari mereka yang tidak peduli terhadap
efek bahaya yang disebabkan oleh penggunaan bahan toksik boraks
dalam bakso.
Walaupun ditemukan tidak ada perbedaan antara pengelola
yang berpengetahuan rendah dan tinggi terkait penggunaan boraks,
pengetahuan merupakan faktor terpenting dari adanya perilaku
penggunaan boraks. Jika dibandingkan dengan sikap dan praktek,
pengetahuan merupakan faktor yang paling penting karena
85
pengetahuan memiliki hubungan yang sangat erat dengan perilaku.
Dengan adanya pengetahuan mengenai boraks dapat membuat
pengelola mempunyai pandangan yang membantu pengelola dalam
memilih keputusan dalam mencampur boraks dengan bakso. Seperti
yang telah diungkapkan Notoatmodjo (2003), terdapat 6 tingkatan
pengetahuan salah satunya adalah evaluasi. Pada kasus penggunaan
boraks, tingkat evaluasi berkaitan dengan kemampuan pengelola
untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap penggunaan
boraks, seperti perlu atau tidaknya boraks digunakan pada
pembuatan baksonya. Adanya pengetahuannya mengenai boraks
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pengelola bakso
atas dampak yang akan terjadi di kemudian hari. Selain itu,
pengetahuan juga merupakan salah satu faktor terbentuknya sebuah
sikap seseorang. Pengetahuan dapat mempengaruhi kesiapan
seseorang untuk bertingkah laku atau merespon sesuatu. Dengan
adanya pengetahuan, seseorang dapat menentukan sikap atas
rangsangan apa yang dihadapkan pada dirinya. Hal inilah yang
membuat pengetahuan dijadikan sebagai faktor yang paling penting
karena dengan adanya pengetahuan dapat mempengaruhi pengelola
dalam mengambil keputusan untuk berperilaku.
Merujuk pada pernyataan Lambok (2012), terlihat adanya
ketidakpedulian dalam diri responden terkait efek dari penggunaan
boraks pada bakso. Ketidakpedulian dari pengelola bakso terhadap
86
efek yang dihasilkan dari penggunaan bahan toksik boraks tentunya
dapat berakibat pada kesehatan masyarakat luas. Masyarakat sebagai
konsumen bakso berada pada posisi tidak mengetahui bahwa bakso
yang dikonsumsi memiliki kandungan boraks. Jika terus menerus
dikonsumsi, maka dapat menimbulkan dampak yang buruk pada
masyarakat. Salah satunya dampak yang akan terjadi adalah
keracunan makanan. Pada tahun 2011, telah terjadi keracunan
makanan pada 35 penduduk di Kota Bengkulu yang mengkonsumsi
makanan mengandung boraks. Peristiwa ini dinyatakan sebagai
kejadian luar biasa (KLB) oleh Dinas Kesehatan Bengkulu (Dinkes
Bengkulu, 2011). Terjadinya KLB ini dapat mengakibatkan
menurunnya status kesehatan masyarakat.
Terdapat beberapa cara agar terhindar dari mengkonsumsi
bakso yang mengandung boraks, salah satunya adalah dengan
mengenali ciri-ciri dari bakso tersebut. Bakso yang mengandung
boraks memiliki struktur yang kenyal dan lebih keras, memiliki daya
tahan lebih lama, warna cenderung keputihan, baunya menyengat,
bila dilemparkan ke lantai akan memantul seperti bola (BPOM RI,
2013).
6.3.2 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan
Toksik Boraks pada Bakso
Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau
kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu
87
baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari
suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas. Akan tetapi sikap merupakan faktor predisposisi bagi
seseorang untuk berperilaku. Sikap merupakan reaksi atau respon
yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek. Pada penelitian ini sikap digolongkan menjadi 2, yaitu sikap
negatif atau menolak dan sikap positif atau menyenangi.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-
square didapatkan p value = 0,014 (α = 0,05) yang dapat dinyatakan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Yunarni (1999) yang juga menyatakan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan
keberadaan boraks pada bakso (p value = 0,032).
Berdasarkan hasil analisis univariat yang telah dilakukan dapat
diketahui bahwa 27 dari 34 pengelola bakso (79,4%) memiliki sikap
yang negatif atau tidak menyetujui penggunaan bahan toksik boraks
dalam proses pembuatan makanan terutama bakso. Sikap pengelola
bakso yang baik diperoleh dari pengalaman pengelola sendiri
maupun orang lain (lingkungan) baik itu keluarga maupun teman dan
kerabat pengelola bakso yang memiliki pengalaman mengenai
penggunaan bahan toksik boraks pada bakso. Pengalaman tersebut
mempengaruhi sikap pengelola bakso terhadap penggunaan bahan
88
toksik boraks. Lin (2011) dalam penelitiannya pada penjaja makanan
goreng menyatakan bahwa sikap penjual makanan yang baik
diperoleh dari pengalaman penjual makanan maupun orang lain
(lingkungan) baik itu keluarga maupun teman dan kerabat penjual
makanan yang memiliki pengalaman. Pengalaman tersebut
mempengaruhi sikap penjual makanan terhadap perilaku yang
dilakukannya.
Sikap merupakan faktor perdisposisi adanya perilaku
penggunaan bahan toksik boraks. Dapat dikatakan sikap memiliki
andil yang cukup besar dalam pengambilan keputusan penggunaan
boraks. Jika seseorang memperlihatkan sikap negatif terhadap
penggunaan bahan toksik boraks maka orang tersebut tidak akan
menggunakan boraks sebagai bahan tambahan pada makanannya,
dengan begitu tidak akan ditemukan kandungan boraks pada bakso
dan pada akhirnya tidak akan terjadi pencemaran bahan toksik
boraks pada bakso. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini yang
menemukan bahwa terdapat 22 responden (81,5%) yang memiliki
sikap negatif atau tidak menyetujui penggunaan bahan toksik boraks
yang baksonya negatif mengandung boraks.
Dari hasil penelitian yang telah didapatkan dapat tergambar
bahwa sikap yang dimiliki masyarakat mengenai boraks sudah
terbilang cukup baik. Dari pemaparan sebelumnya dapat dinyatakan
bahwa sikap memiliki hubungan dengan pencemaran boraks pada
89
makanan. Dengan adanya sikap yang baik dapat mendukung
masyarakat untuk tidak menggunakan boraks pada makanan. Angka
keracunan pangan yang tadinya sebesar 18.144 kasus (BPOM RI,
2011) dapat diturunkan jika sikap yang dimiliki masyarakat di
Indonesia adalah sikap negatif atau menolak penggunaan bahan
toksik boraks. Agar sikap negatif ini dapat terwujud, masyarakat
harus dipaparkan pengetahuan mengenai dampak dari penggunaan
bahan toksik boraks pada kesehatan tubuh.
Adanya kandungan boraks pada makanan dapat menyebabkan
keracunan pangan. Menurut BPOM RI (2008), keracunan pangan
sudah menjadi kejadian luar biasa (KLB) yang menjadi keprihatinan
di tingkat nasional maupun global. Adanya KLB keracunan pangan
ini tentunya dapat mempengaruhi status kesehatan masyarakat
Indonesia. Adanya penggunaan boraks pada makanan ini ikut
berperan dalam terjadinya KLB keracunan pangan. Namun, sangat
disayangkan belum didapatkan data pasti mengenai besarnya
pengaruh penggunaan boraks pada keracunan pangan ini.
Salah satu yang dapat dilakukan dalam rangka mengendalikan
kasus keracunan pangan ini adalah dengan memperbaiki sikap yang
dimiliki masyarakat melalui penanaman pemahaman mengenai
bahaya boraks dengan mengadakan penyuluhan mengenai bahan
tambahan pangan.
90
6.3.3 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Boraks dengan
Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso
Praktik dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 2, yaitu
baik dan tidak baik. Variabel praktik ini didapatkan berdasarkan
wawancara. Menurut Notoatmodjo (2003), pengukuran praktik atau
tindakan dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran perilaku
secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran perilaku secara
langsung yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan
responden, sedangkan pengukuran secara tidak langsung adalah
dengan mewawancarai kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
responden dalam beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu. Situasi
yang terjadi saat wawancara ini berlangsung adalah pengelola bakso
hanya diwawancara seorang diri tanpa ada pihak lain serta jauh dari
kerumunan konsumen yang sedang membeli bakso. Sehingga
percakapan yang terjadi antara peneliti dengan pengelola bakso tidak
dapat terdengar oleh konsumen atau orang lain.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-
square diperoleh nilai p value = 0,009 (α = 0,05). Hal ini
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara praktik
pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Dari
10 bakso yang positif mengandung cemaran boraks, hanya 7
responden yang mengaku melakukan praktik penggunaan bahan
toksik boraks pada bakso.
91
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, variabel praktik ini
diukur melalui wawancara, sehingga terdapat kemungkinan
responden tidak mengakui bahwa mereka melakukan penggunaan
boraks pada bakso karena kekhawatirannya jika diketahui orang lain
maka baksonya tidak akan laku terjual. Selain itu diduga bahwa
sebenarnya responden telah mengetahui bahwa boraks adalah bahan
yang berbahaya, oleh karena itu responden lebih memilih untuk tidak
mengaku menggunakan boraks.
Adanya boraks pada bakso merupakan salah satu contoh
pencemaran pada makanan. Pencemaran pada makanan adalah
pencemaran yang disebabkan oleh masuknya suatu bahan baik
secara sengaja maupun tidak sengaja yang akan mempengaruhi
kualitas makanan itu sendiri (Nurmaini, 2001). Salah satu penyebab
pencemaran pada makanan adalah adanya praktik penambahan zat
atau bahan toksik dengan tujuan ingin meningkatkan kualitas
makanan. Bahan toksik adalah bahan beracun dan dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan (adverse effect) terhadap
organisme hidup (New York Health, 2013). Dari teori tersebut dapat
dikatakan bahwa tindakan pedagang untuk menggunakan boraks
dapat menimbulkan dampak nyata. Boraks merupakan salah satu
contoh bahan toksik yang berbahaya bagi kesehatan. Pencemaran
bahan toksik pada makanan dapat terjadi dengan cara sengaja atau
tidak sengaja. Praktik penggunaan bahan toksik boraks pada
92
pengolahan bakso merupakan salah satu contoh pencemaran bahan
toksik yang terjadi secara sengaja karena boraks ditambahkan secara
sengaja ke makanan sebagai bahan tambahan.
Adanya pencemaran ini memiliki dampak negatif pada
kesehatan tubuh. Senyawa boraks ini dapat diserap di berbagai organ
dalam tubuh. Menurut penelitian Forbes (1954) boraks dapat
tersimpan di tulang, otot, jantung, paru-paru, usus, ginjal, hati, kulit,
sistem syaraf dan darah. Kadar boraks tertinggi pada tubuh akan
tercapai saat ekskresi yaitu sebesar 0,25 ppm. Oleh karena itu ginjal
merupakan salah satu organ yang paling terpengaruh dibandingkan
dengan organ yang lain.
Pada dasarnya terdapat jumlah dosis yang tidak akan
menimbulkan dampak yang membahayakan kesehatan manusia yang
mengkonsumsi suatu makanan yang mengandung boraks atau No
Observed Adverse Effect Level (NOAEL) yaitu sebesar 8,8 ppm per-
hari (EPA, 2006). Namun, dengan terserapnya boraks pada organ –
organ tersebut, maka lama kelamaan akan mengakibatkan dampak
buruk pada tubuh.
Dampak yang dihasilkan dari mengkonsumsi boraks bersifat
kronis. Efek kronis dapat disebabkan oleh absorbsi dalam waktu
lama sehingga gejalanya tidak akan terasa langsung sesaat setelah
mengkonsumsi bakso yang mengandung boraks. Menurut Saparinto
93
(2006) akibat yang timbul diantaranya anoreksia, berat badan turun,
muntah, diare, ruam kulit, alposia, anemia dan konvulsi. Selain itu,
terdapat beberapa kasus keracunan fatal yang terjadi pada anak –
anak yang disebabkan oleh mengkonsumsi boraks dalam jumlah
banyak yaitu 6 anak meninggal dunia karena mengkonsumsi 60 –
160 ml air yang mengandung 3-6 g boraks yang berada pada air yang
didestilasi. Konsumsi boraks yang tinggi dan diserap dalam tubuh
akan disimpan secara akumulatif dalam hati otak dan testis serta
akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah, mencret dan
kram perut. Boraks dapat mempengaruhi alat reproduksi, selain itu
juga dapat mempengaruhi metabolisme enzim (BPOM,2004).
Berdasarkan hasil penelitian, dari 7 responden yang
mengakui melakukan praktek boraks, didapatkan sebanyak 5
responden menyatakan bahwa sebagian besar praktik penggunaan
boraks pada bakso biasanya dilakukan setelah bakso dibentuk.
Boraks akan dilarutkan ke dalam air kemudian bakso yang telah
dibentuk akan direndam ke dalam air tersebut. Selain direndam, ada
juga responden yang menggunakan boraks dengan cara
mencampurnya dengan adonan bakso sebanyak 1 sendok. Bubuk
boraks akan dibubuhkan ke adonan dan di aduk hingga merata.
Tujuannya adalah agar bakso menjadi lebih kenyal dan tidak cepat
berlendir sehingga akan awet jika di simpan dalam waktu yang lama.
94
Sebanyak 7 responden menyatakan bahwa terdapat
perbedaan yang terlihat antara bakso yang dibuat dengan boraks dan
yang tidak. Perbedaan yang sering terlihat adalah tidak munculnya
lendir pada bakso setelah disimpan dalam beberapa hari, selain itu
bakso yang menggunakan boraks biasanya terlihat lebih cerah
warnanya dibandingkan dengan yang tidak.
Terjadinya praktik atau perilaku penggunaan boraks pada
bakso ini tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor pendukungnya.
Salah satunya adalah sikap pada diri pelaku. Suatu sikap belum tentu
secara otomatis dapat terwujud menjadi suatu tindakan. Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau situasi yang memungkinkan seperti sarana dan
prasarana dan juga dukungan dari pihak lain (Notoatmodjo, 2003).
Terbentuknya sikap ini juga didorong dengan adanya faktor lain
seperti faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini yang mendorong
pengelola untuk menggunakan boraks pada baksonya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Walgito (2002) yang menuliskan adanya teori
dorongan dalam pembentukan perilaku dimana dorongan-dorongan
tersebut berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang
mendorong berperilaku. Bila organisme itu mempunyai kebutuhan
dan organisme ingin memenuhi kebutuhannya maka akan terjadi
ketegangan dalam diri organisme itu. Hal ini mencerminkan
kebutuhan ekonomi yang mendesak pengelola bakso untuk
95
menggunakan boraks. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
boraks dapat membuat bakso memiliki daya tahan yang lebih lama,
sehingga pengelola bakso tidak harus membuang bakso yang tersisa
dan dapat dijual kembali, dengan begitu pengelola bakso tidak perlu
mengeluarkan uang untuk memproduksi baksonya kembali. Selain
itu, harga boraks yang relatif murah juga merupakan salah satu
faktor pendukung dari perilaku penggunaan bahan toksik boraks.
Pada dasarnya, terdapat bahan alami pengganti boraks yang
dapat ditambahkan pada makanan dan tidak menimbulkan dampak
negatif. Salah satunya adalah karagenan. Karagenan adalah salah
satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai pengganti boraks
yang berasal dari rumput laut. Fungsinya yang mengenyalkan inilah
yang membuat karagenan bisa digunakan dalam makanan dan tidak
menimbulkan efek samping pada mulanya karagenan bukan
digunakan untuk pengenyal makanan seperti bakso, tapi untuk saus,
susu kental manis, dan es krim. Setelah dicobakan untuk
mengenyalkan bakso, ternyata hasilnya cukup memuaskan dengan
sangat efektif dan murah. Di samping itu karagenan mempunyai
banyak kandungan mineral dan serat karena berasal dari rumput laut
sehingga lebih sehat digunakan bagi kesehatan manusia (Soeid &
Hardjito 2012, Habsah 2012).
96
Jika dibandingkan antara harga boraks dengan harga
karagenan, memang harga boraks lebih murah dibandingkan dengan
karagenan. Satu kilogram adonan bakso membutuhkan 0,5 – 1,5
gram karagenan yang dijual dengan harga Rp 750 sampai Rp 1000,
sedangkan untuk 0,5 – 1,5 gram boraks dijual dengan harga Rp 500.
Walaupun demikian tetap saja pedagang bakso tidak boleh
menggunakan boraks karena berbahaya bagi kesehatan.
97
BAB VII
7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap dari 34
pengelola bakso didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Terjadi pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Ciputat sebesar 29,4% atau sebanyak 10 pengelola bakso positif
menggunakan boraks.
2. Pengetahuan pengelola bakso mengenai penggunaan bahan toksik
boraks berada pada kategori tinggi adalah sebesar 58,8%
3. Sikap pengelola bakso mengenai penggunaan bahan toksik boraks
berada pada kategori sikap negatif yaitu sebesar 79,4%.
4. Praktik pengelola bakso terhadap penggunaan bahan toksik boraks
berada pada kategori baik yaitu sebesar 79,6%.
5. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola
dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Ciputat.
6. Terdapat hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran
bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.
7. Terdapat hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks
dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Ciputat.
98
7.2 Saran
7.2.1 Saran Bagi Masyarakat
a. Dengan ditemukannya cemaran boraks pada bakso, diharapkan
masyarakat dapat dengan cermat mengenali mana bakso yang
mengandung boraks berdasarkan kondisi fisik bakso.
b. Diharapkan para pengelola bakso dapat menghindari
penggunaan bahan toksik boraks sebagai bahan tambahan pada
baksonya, mengingat dampak berbahaya yang dapat dihasilkan
dari penggunaan bahan toksik boraks tersebut
c. Masyarakat diharapkan dapat mengganti boraks dengan bahan
tambahan pangan alami seperti karagenan.
7.2.2 Saran Bagi Pemerintah
a. Pemerintah (BPOM RI) perlu meningkatkan pengawasan
terhadap penjualan makanan yang diduga mengandung bahan
yang berbahaya melalui pemantauan langsung ke pasar atau
tempat penjualan bahan makanan.
b. Perlu adanya sanksi yang akan diberlakukan bagi seseorang
yang dengan sengaja menambahkan boraks pada makanan.
99
c. Perlu adanya penyuluhan dari puskesmas terkait penggunaan
bahan toksik boraks pada makanan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat akan bahaya dari bahan tersebut
7.2.3 Saran Bagi Penelitian Selanjutnya
a. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melihat besarnya
keterpaparan boraks pada individu yang mengkonsumsi boraks
tersebut
b. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melihat pencemaran
boraks pada makanan lain seperti mie, lontong dan kerupuk.
100
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, MS. 2009. Bahan-Bahan Berbahaya dalam Kehidupan. Bandung:
Salamadani.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011. Laporan Tahunan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Ciri Bakso Mengandung Boraks.
Diakses dari
http://www.pom.go.id/index.php/subsite/balai/palangkaraya/18/tips/17 pada
tanggal 28 Mei 2014
Badan Standardisasi Nasional. 1992. Syarat Mutu Bakso. SNI 01-2987-1992.
Jakarta.
Bambang. 2008. Dampak Penggunaan Formalin dan Borax. Diakses dari
http://smk.putraindonesiamalang.or.id/dampak-penggunaan-formalin-dan-
borax, pada tanggal 10 Desember 2013
Cahyadi, W. 2008. Analisis Dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Departemen Ilmu Teknologi Pangan. 2005. Apa itu HACCP?. Bogor: Institut
Pertanian Bogor
David Keith., 1985. Perilaku dalam Organisasi, Jakarta : Penerbit Erlangga.
European Food Safety Authority. 2013. EFSA Journal 11(10):3407, 52. Scientific
Opinion on the re-evaluation of boric acid (E 284) and sodium tetraborate
(borax) (E 285) as food additives. Diakses pada 25 Juni 2014 dari
http://www.efsa.europa.eu/en/efsajournal/pub/3407.htm#
101
Eka, Reysa. 2013. Rahasia Mengetahui Makanan Berbahaya. Jakarta:Titik Media
Publisher
Endrinaldi. 2006. Identifikasi dan Penetapan Kadar Boraks pada Bakso yang
Beredar di Beberapa Pasar di Kota Padang. Lembaga Penelitian. Padang:
Universitas Andalas
Environmental Protection Agency. 2006. Report of the Food Quality Protection
Act (FQPA) Tolerance Reassessment Eligibility Decision (TRED) for Boric
Acid/Sodium Borate Salts. Environmental Protection Agency, Prevention,
Pesticides and Toxic Substances. United States.
Fardiaz, S. 2007. Bahan Tambahan Makanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Forbes RM, Cooper AR, Mitchell HH. 1954. On The Occurrence Of
Beryllium,Boron, Cobalt, And Mercury In Human Tissues. The Journal of
Biological Chemistry. No. 209 (857 – 865)diakses dari
http://www.jbc.org/content/209/2/857.full.pdf+html?sid=1ecabde8-add0-
4f15-8121-faadfaf7cb05
Gerungan, W.A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama
Green, Lawrence. 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approach.
Baltimore. The John Hopkins University, Mayfield Publishing Co.
Habsah. 2012. Gambaran Pengetahuan Pedagang Mi Basah terhadap Perilaku
Penambahan Boraks dan Formalin pada Mi Basah di Kantin-Kantin
Universitas X Depok Tahun 2012. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia
Hardinsyah et al. 2001. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta:
Koswara
Handoko et al. 2010. Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 2 No. 4 (128-138). Aspek
Lingkungan Sosial dan Potensi Munculnya Perilaku Penambahan Boraks
Dalam Proses Produksi Bakso Daging Sapi Di Kota Pekanbaru. Riau:
Universitas Riau.
Hidayat, A. 2007. Metode Penelititan Kebidanan dan Tehnik Analisa Data.
Jakarta: Salemba Medika
102
Hughes, Christopher C. 1987. The Additive Guide. Photographics. Honiton, De
Great Britain.
Lin, Lau Wei. 2011. Karakteristik Pengetahuan Sikap dan Tindakan Penjual
Gorengan tentang Penggunaan Minyak Goreng di Kawasan Kampus
Universitas Sumatera Utara Medan pada Tahun 2011. Skripsi. Sumatera
Utara: USU
Menristek. 2006. Bakso Daging, Warung Informasi Teknologi. Diakses dari
http://www.warintek.ristek.go.id/pangan_kesehatan/pangan/ipb/Bakso%20
daging.pdf pada 27 Januari 2013 pukul 20.35.
Mujiyanto et al. 2005. Jurnal Penelitian Kesehatan. Vol 33, No. 4, (152-161).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan bahan toksik boraks
pada Bakso di Kecamatan Pondok Gede-Bekasi. Depkes RI.
Mulia, Ricki. 2005. Kesehatan Lingkungan. Penerbit Graha Ilmu.
Moseman R.F. 1994. Environmental Health Perspective 102. Vol 7 (113 – 117)
Chemical Disposistion of Boron in Animals and Humans.
Oktavia, Lambok. 2012. Pengaruh Pengetahuan dan Motif Ekonomi Terhadap
Penggunaan Formalin dan Boraks Oleh Pedagang dalam Pangan Siap Saji
(Bakso) di Kecamatan Medan Denai dan Medan Tuntungan Tahun 2014.
Skripsi. Sumatera Utara: USU.
New York State Health Department. 2013. An Introduction to Toxic Substances
diakses dari http://www.health.ny.gov/environmental/chemicals/toxic_substa
pada 27 Januari 2014
Notoadmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta
Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nurmaini. 2001. Pencemaran Makanan Secara Kimia dan Biologis. Lecture
Papers. Sumatera: Universitas Sumatera Utara
103
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Bakso Sehat. Vol. 31. No. 6.
Diakses dari http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr316098.pdf
pada 16 Januari 2014
PERMENKES No.722/PER/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan, Jakarta
PERMENKES RI No. 33 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan, Jakarta
Pratomo, Ardian. 2009. Identifikasi Boraks pada Bakso yang Dijual di Pasar
Pucang Gading Kabupaten Demak. Tesis. Semarang: Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Reysa, Eka. 2013. Rahasia Mengetahui Makanan Berbahaya. Jakarta: Titik
Media Publisher
Riandini, N. 2008. Bahan Kimia dalam Makanan dan Minuman. Bandung: Shakti
Adiluhung
Riwidikdo, H. 2012. Statistik Kesehatan. Yogyakarta. Mitra Cendikia Press.
Robert F. Moseman. 1994. Chemical Disposition of Boron in Animals and
Humans. Environmental Health Perspective. No. 7 (113-117) diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1566637/pdf/envhper00403-
0110.pdf
Rohman, A. Dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Rusli, R. 2009. Penetapan Kadar Boraks pada Mie Basah yang Beredar di Pasar
Ciputat dengan Metode Spektrofotometri UV-VIS Menggunakan Pereaksi
Kurkumin. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Saparinto, C. Dan Hidayati, D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta:
Kanisius.
Sarwono, Sarlito W (2004). Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi
Sosial. Jakarta: Refika Aditama.
Seto, S. 2001. Pangan dan Gizi : Ilmu Teknoligi, Industri dan Perdagangan
Internasional. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Penerbit Pustaka
LP3S.
104
Sumantri, Arif. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana
Prenada
Sockett, P.N., 2001. Foodborne disease. New York. Available from:
http://www.answers.com/topic/food-borne-disease. [Accessed 18 March
2010].
Streetfood Project. 1990. Quality and Safety of Streetfoods, An Assessment Study
in Bogor. Streetfood Project Working Report No.2, Bogor.
Sudarmaji. 2005. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, Vol. 1. No 2. Diakses dari
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-1-2-09.pdf pada 22
Januari 2014.
Sugiyatmi, Sri. 2006. Analisis Faktor-Faktor Risiko Pencemaran Bahan Toksik
Boraks dan Pewarna pada Makanan Jajanan Tradisional yang Dijual di
Pasar-Pasar Kota Semarang Tahun 2006.Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Syah, D, dkk. 2005. Manfaat dan Bahaya Tambahan Pangan. Himpunan Alumni
Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor: Institut Pertanian Bogor
The Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Estimates of Foodborne
Illness in the United States. Diakses pada 8 April 2014 dari
http://www.cdc.gov/foodborneburden/
Wartapedia. 2011. Keracunan Makanan: 35 Orang Diduga Keracunan Boraks.
(15 Maret 2011)
Wijaya et al. 2013. Jurnal Magister Kedokteran Keluarga. Vol 1, No 1, (38 - 48).
Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Motivasi Kader Kesehatan Dengan
Aktivitasnya Dalam Pengendalian Kasus Tuberkulosis Di Kabupaten
Buleleng. Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
105
Widyaningsih, Tri D. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan.
Trubus Agrisarana. Jakarta.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Winarno, F.G. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Windayani, Kustri. 2010. Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso
Daging Sapi di Kabupaten Tangerang. Tesis. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Yuliarti, N. 2007. Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta: Andi
Yunarni, Ritin. 1999. Faktor – Faktor Yang Berhubungan dengan Keberadaan
Boraks Pada Bakso di Kecamatan Banyumanik Tahun 1999. Tesis.
Semarang:Universitas Diponegoro
Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi.
Jakarta: PT. Bumi Aksara
106
LAMPIRAN 1
107
Lampiran 2
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Assalamualaikum. Wr. Wb
Perkenalkan nama Saya Misyka Nadziratul Haq mahasiswi peminatan
kesehatan lingkungan program studi kesehatan masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Saya bermaksud melakukan penelitian mengenai
“Analisis Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks Pada Bakso
Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014”. Penelitian ini dilakukan sebagai tahap
akhir dalam penyelesaian studi saya.
Saya berharap Bapak/Ibu bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian
ini dimana akan dilakukan pengisian kuesioner yang terkait dengan
penelitian. Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan terjamin
kerahasiaannya. Jika Bapak/Ibu bersedia, maka saya mohon untuk
menandatangani lembar persetujuan ini.
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : ……………………………………………………………
Umur : ___ tahun
Jenis kelamin : Laki – laki Perempuan
Alamat : …………………………………………………………….
No Hp : .........................................
Dengan ini saya menyatakan setuju untuk diikutsertakan sebagai responden
dalam penelitian ini.
Peneliti
(..............................................)
Responden
(.............................................)
108
KUESIONER PENELITIAN
Analisis Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks Pada Bakso
Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
I. IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Umur :
Jenis kelamin : 1. Laki – laki
2. Perempuan
Pendidikan : 1. Tidak Sekolah
2. SD
3. SMP
4. SMA
5. Perguruan Tinggi
II. PENGETAHUAN
BERILAH TANDA SILANG (X) YANG MENURUT BAPAK/IBU PALING
BENAR
1. Menurut Bapak/ Ibu, apakah boraks itu?
a. Bahan sejenis garam dapur
b. Bahan pembunuh kuman
c. Bahan tambahan makanan yang berbahaya
d. Tidak tahu
2. Apakah boraks bisa larut dalam air?
a. Bisa
b. Tidak bisa
c. Tidak tahu
3. Menurut Bapak/ Ibu, apakah boraks perlu ditambahkan dalam pembuatan
bakso?
a. Perlu
109
b. Tidak perlu
4. Menurut Bapak/ Ibu, apa kegunaan boraks dalam pembuatan bakso?
a. Sebagai bahan pengawet
b. Sebagai bahan pengenyal
c. Keduanya benar
5. Apakah boraks berbahaya?
a. Ya
b. Tidak (Jika jawaban Anda “tidak” lanjut ke nomor 7)
6. Mengapa boraks berbahaya?
a. Dapat menyebabkan kanker serta gangguan pada pencernaan
b. Dapat menyebabkan diare
c. Dapat menyebabkan gatal-gatal pada kulit
d. Tidak tahu
7. Menurut peraturan, boraks adalah termasuk golongan?
a. Golongan bahan pengawet
b. Golongan bahan pengenyal
c. Golongan bahan tambahan pangan yang dilarang
d. A dan B benar
e. Tidak tahu
8. Menurut Bapak/ Ibu, bolehkah menambahkan boraks pada bakso?
a. Boleh
b. Tidak boleh
9. Bagaimana pengaruh boraks pada kesehatan tubuh?
a. Dapat meningkatkan kesehatan
b. Tidak ada pengaruhnya bagi kesehatan
c. Berbahaya dan dapat menimbulkan penyakit
d. Tidak tahu
10. Apakah akibat yang akan terjadi sesaat setelah seseorang mengkonsumsi
makanan yang mengandung boraks?
a. Kejang
b. Muntah
c. Gatal-gatal
d. Sakit kepala
110
e. Tidak terjadi apa-apa
f. Tidak tahu
11. Apakah akibat yang akan terjadi jika mengkonsumsi makanan yang
mengandung boraks dalam jangka waktu yang lama?
a. Gangguan pada pencernaan, otak dan alat reproduksi
b. Kejang, muntah dan sakit kepala
c. Demam disertai batuk dan pilek
d. Tidak terjadi apa-apa
12. Bagaimana tanda atau gejala dari keracunan boraks pada tubuh?
Jawaban boleh lebih dari satu
a. Sakit kepala
b. Sakit perut
c. Pucat
d. Sesak nafas
e. Diare/ mencret
f. Kejang
g. Tidak nafsu makan
h. Tidak keluar air kencing
i. Batuk
j. Pilek
k. Tidak tahu
13. Menurut Bapak/Ibu makanan apa saja yang biasanya menggunakan boraks
sebagai bahan tambahan?
Jawaban boleh lebih dari satu
a. Bakso
b. Mie
c. Kerupuk
d. Lontong
e. Gorengan (tempe, tahu, risol dll)
f. Kecap
g. Gendar
h. Lainnya (sebutkan:........................................)
14. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar peraturan di Indonesia mengenai
boraks yang tidak diizinkan untuk digunakan pada makanan?
a. Pernah
b. Tidak pernah
111
15. Sebutkan bahan alami pengganti boraks yang Bapak/Ibu ketahui.
a. Karagenan
b. Lainnya ________
c. Tidak tahu
III. SIKAP
Apakah Bapak/Ibu setuju dengan pernyataan – pernyataan berikut?
1. Dalam pembuatan bakso diperbolehkan menggunakan boraks
1. Setuju
2. Tidak Setuju
2. Bakso yang ditambahkan boraks terasa lebih enak dan kenyal dibandingkan
dengan yang tidak ditambahkan boraks
1. Setuju
2. Tidak Setuju
3. Bakso yang mengandung boraks tidak masalah jika dijual di pasaran
1. Setuju
2. Tidak setuju
4. Boraks harus selalu digunakan dalam pengolahan makakan agar makanan lebih
enak
1. Setuju
2. Tidak setuju
5. Boraks digunakan untuk mengenyalkan bakso
1. Setuju
2. Tidak setuju
6. Boraks digunakan untuk mengawetkan bakso
1. Setuju
2. Tidak setuju
112
IV. PRAKTEK
BERILAH TANDA SILANG (X) YANG MENURUT BAPAK/IBU
PALING BENAR
1. Bahan tambahan apa yang Bapak/Ibu gunakan untuk
mengenyalkan dan mengawetkan bakso?
a. Bleng/ Gendar/ Boraks
b. Keragenan
c. Garam dapur
d. Lainnya:.........................
2. Bagaimana teknik pencampuran yang Bapak/Ibu lakukan dengan
bakso dan bahan tambahan lain?
a. Memasukkan bahan tambahan ke adonan
b. Merendam bakso di larutan bahan tambahan
7. Boraks tidak berbahaya bagi kesehatan
1. Setuju
2. Tidak setuju
8. Penggunaan boraks dalam pembuatan bakso tidak perlu dilarang
1. Setuju
2. Tidak setuju
9. Boraks merupakan bahan yang berguna bagi kesehatan
1. Setuju
2. Tidak setuju
10. Boraks hanya boleh digunakan dalam pembuatan makanan
1. Setuju
2. Tidak setuju
113
c. Lainnya:..........
3. Dari mana Bapak/Ibu memperoleh bahan tambahan tersebut
(bleng)?
1. Membeli di pasar
2. Membeli di apotek/ toko bahan kimia
4. Apakah sulit untuk mendapatkannya?
1. Sulit
2. Tidak Sulit
5. Berapakah harga bleng yang biasa anda beli
1. < Rp. 1000/ bungkus
2. Rp. 1000 – Rp. 5000/ bungkus
3. > Rp. 5.000/ bungkus
6. Menurut Bapak/bu pakah harga tersebut termasuk mahal?
1. Ya
2. Tidak
7. Saat mengolah bakso, berapa takaran bleng yang biasa
dicampurkan /kg?
1. 1 sendok
2. >1 sendok
8. Apakah ada perbedaan antara bakso yang menggunakan boraks
dengan yang tidak menggunakan boraks?
1. Ada (Sebutkan:..................................................................)
2. Tidak
114
Lampiran 3
FORM HASIL UJI KUALITATIF BORAKS PADA BAKSO DI
KELURAHAN CIPUTAT TAHUN 2014
Kode Sampel Perubahan Warna Hasil Uji
PL 1 Merah Bata Positif (+)
PL 2 Merah Bata Positif (+)
PL 3 Merah Bata (samar) Positif (+)
PL 4 Merah Bata (samar) Positif (+)
PL 5 Tidak berubah Negatif (-)
PL 6 Tidak berubah Negatif (-)
PL 7 Tidak berubah Negatif (-)
PL 8 Tidak berubah Negatif (-)
PL 9 Tidak berubah Negatif (-)
PL 10 Tidak berubah Negatif (-)
PL 11 Tidak berubah Negatif (-)
115
PL 12 Merah Bata Positif (+)
PL 13 Tidak berubah Negatif (-)
PL 14 Tidak berubah Negatif (-)
PL 15 Tidak berubah Negatif (-)
PL 16 Tidak berubah Negatif (-)
PL 17 Tidak berubah Negatif (-)
PL 18 Merah Bata (samar) Positif (+)
PL 19 Merah Bata (samar) Positif (+)
PL 20 Tidak berubah Negatif (-)
PL 21 Tidak berubah Negatif (-)
PL 22 Tidak berubah Negatif (-)
PL 23 Merah Bata (samar) Positif (+)
PL 24 Tidak berubah Negatif (-)
PL 25 Tidak berubah Negatif (-)
116
PL 26 Merah Bata Positif (+)
PL 27 Tidak berubah Negatif (-)
PL 28 Tidak berubah Negatif (-)
PL 29 Tidak berubah Negatif (-)
PL 30 Tidak berubah Negatif (-)
PL 31 Tidak berubah Negatif (-)
PL 32 Tidak berubah Negatif (-)
PL 33 Merah Bata (samar) Positif (+)
PL 34 Tidak berubah Negatif (-)
117
Lampiran 4
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 10 100.0
Excludeda 0 .0
Total 10 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.741 16
118
119
Correlations
120
s1 s2 s3 s4 s5 s6 s7 s8 s9 s10 TOTAL_SIKAP
s1 Pearson Correlation 1 .764* .764
* .375 .612 .102 .667
* .764
* .764
* 1.000
** .897
**
Sig. (2-tailed) .010 .010 .286 .060 .779 .035 .010 .010 .000 .000
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
s2 Pearson Correlation .764* 1 .524 .218 .356 .356 .509 .524 .524 .764
* .712
*
Sig. (2-tailed) .010 .120 .545 .312 .312 .133 .120 .120 .010 .021
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
s3 Pearson Correlation .764* .524 1 .218 .356 .356 .509 .524 .524 .764
* .712
*
Sig. (2-tailed) .010 .120 .545 .312 .312 .133 .120 .120 .010 .021
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
s4 Pearson Correlation .375 .218 .218 1 .612 .102 .667* .218 .764
* .375 .571
Sig. (2-tailed) .286 .545 .545 .060 .779 .035 .545 .010 .286 .085
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
121
s5 Pearson Correlation .612 .356 .356 .612 1 .167 .408 .802** .802
** .612 .732
*
Sig. (2-tailed) .060 .312 .312 .060 .645 .242 .005 .005 .060 .016
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
s6 Pearson Correlation .102 .356 .356 .102 .167 1 .408 .356 -.089 .102 .333
Sig. (2-tailed) .779 .312 .312 .779 .645 .242 .312 .807 .779 .347
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
s7 Pearson Correlation .667* .509 .509 .667
* .408 .408 1 .509 .509 .667
* .761
*
Sig. (2-tailed) .035 .133 .133 .035 .242 .242 .133 .133 .035 .011
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
s8 Pearson Correlation .764* .524 .524 .218 .802
** .356 .509 1 .524 .764
* .783
**
Sig. (2-tailed) .010 .120 .120 .545 .005 .312 .133 .120 .010 .007
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
s9 Pearson Correlation .764* .524 .524 .764
* .802
** -.089 .509 .524 1 .764
* .783
**
122
Sig. (2-tailed) .010 .120 .120 .010 .005 .807 .133 .120 .010 .007
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
s10 Pearson Correlation 1.000** .764
* .764
* .375 .612 .102 .667
* .764
* .764
* 1 .897
**
Sig. (2-tailed) .000 .010 .010 .286 .060 .779 .035 .010 .010 .000
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
TOTAL_SIKAP Pearson Correlation .897** .712
* .712
* .571 .732
* .333 .761
* .783
** .783
** .897
** 1
Sig. (2-tailed) .000 .021 .021 .085 .016 .347 .011 .007 .007 .000
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
123
LAMPIRAN 5
hasil pengukuran sikap * hasil uji dengan boraks kit Crosstabulation
hasil uji dengan boraks kit
Total positif boraks negatif boraks
hasil pengukuran sikap sikap positif Count 5 22 27
% within hasil pengukuran
sikap 18.5% 81.5% 100.0%
sikap negatif Count 5 2 7
% within hasil pengukuran
sikap 71.4% 28.6% 100.0%
Total Count 10 24 34
% within hasil pengukuran
sikap 29.4% 70.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.496a 1 .006
Continuity Correctionb 5.164 1 .023
Likelihood Ratio 6.944 1 .008
Fisher's Exact Test .014 .014
Linear-by-Linear Association 7.275 1 .007
N of Valid Casesb 34
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,06.
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
hasil pengukuran sikap *
hasil uji dengan boraks kit 34 100.0% 0 .0% 34 100.0%
124
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.496a 1 .006
Continuity Correctionb 5.164 1 .023
Likelihood Ratio 6.944 1 .008
Fisher's Exact Test .014 .014
Linear-by-Linear Association 7.275 1 .007
N of Valid Casesb 34
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,06.
b. Computed only for a 2x2 table
125
Lampiran 6
Prosedur Uji
Hasil Uji