Post on 01-Jan-2016
TINDAK PIDANA KORUPSI
MAKALAH UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH
AKUNTANSI FORENSIK & AUDIT INVESTIGASI
Oleh :
MUHAMMAD ZACKY 1212216133
INDRI YANI 1212216134
SARI ARYANI DEWI 1212216136
AYU LESTARI 1212216137
WIDI PERDANA ANGGRAINI 1212216138
OKII MUSUME 1213217052
SUPMA SETIA RINI 1212216168
Dosen:
Syahril Djaddang.,Akt.,M.Si.,CA
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PANCASILA
1
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur kepada Allah SWT karena berkat ridho dan rahmat-Nya, Penulis
dapat menyelesaikan makalah yang merupakan salah satu syarat untuk memenuhi mata kuliah
Akuntansi Forensik & Audit Investigasi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi di Universitas
Pancasila Jakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna, baik dilihat dari segi penguasaan ilmu maupun dari cara penyajiannya. Hal ini
dikarenakan keterbatasan kemampuan dari Penulis dalam menyusun makalah ini.
Akhirnya pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada
kedua orang tua, karena atas doa, dukungan, kasih sayang, dan yang selama ini banyak
memberi bantuan baik moril maupun materil sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Juga semua pihak-pihak yang telah memberikan bantuan untuk segala arahan yang sangat
membantu Penulis dalam membuat makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pembaca terutama keterkaitannya dengan tindak pidana korupsi yang berkembang di
Indonesia..
Jakarta, 20 November 2013
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI........................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN................................................................................................................... 4
Definis Korupsi...................................................................................................................... 5
Korupsi Indonesia di Mata Dunia..........................................................................................
6Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ...................................................................
6Tingkatan Korupsi ................................................................................................
7Bentuk Tindak Pidana Korupsi ............................................................................730
Jenis Tindak Pidana Korupsi ................................................................................................
9Tindak Pidana Lain Berkaitan dengan Korupsi ...................................................
11Beberapa Konsep Undang-Undang ...................................................................
12Peradilan Tipikor ................................................................................................
16Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi ..........................................
21Analisis Kasus ...................................................................................................
27PENUTUP ..........................................................................................................
32DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
33Tindak Pidana KorupsiPENDAHULUANTindak pidana korupsi di
Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari
tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga
pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi
merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat. Tindak
pidana korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Begitu pula dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan cara
yang luar biasa. Selanjutnya terbukti bahwa ada keterkaitan antara korupsi dan bentuk
kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi (terorisme, perdagangan orang,
penyelundupan migran gelap dan lain-lain) dan kejahatan ekonomi (tindak pidana
pencucian uang). Sehingga tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang sangat
merugikan negara. Tindak pidana korupsi dalam jumlah besar berpotensi merugikan
keuangan negara sehingga dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan
3
membahayakan stabilitas politik suatu negara. Korupsi juga dapat diindikasikan dapat
menimbulkan bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena telah merambah ke
dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, dan
fungsi-fungsi pelayanan sosial lain. Dalam penyuapan di dunia perdagangan, baik yang
bersifat domestik maupun transnasional, korupsi jelas- jelas telah merusak mental
pejabat. Demi mengejar kekayaan, para pejabat negara tidak takut melanggar hukum
negara. Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkap karena para pelakunya terkait
dengan wewenang atau kekuasaannya yang dimiliki. Biasanya dilakukan lebih dari satu
orang dan terorganisasi. Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut kejahatan kerah
putih.Tindak pidana korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsure merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, misalnya suap – menyuap. Yang
merupakan perbuatan tercela adalah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku diskriminatif
dengan memberikan keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan, rusaknya mental
pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi dan lain-lain. Menyadari kompleksnya
permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata
yang pasti terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat
dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-
sungguh melalui langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua
potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.
Definisi KorupsiDari segi terminologi :Korup = busuk, palsu, suap (kamus besar
bahasa Indonesia, 1991)
Korup = suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang/barang milik perusahaan
atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi
(kamus hukum, 2002)
Korup = kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian (the
lexicon webster dictionary, 1978)
Beberapa istilah dari para ahli :
David M. Chalmers: Tindakan-tindakan manipulasi dan keputusan mengenai keuangan
yang membahayakan ekonomi (financial manipulations and decision injurious to the
economy are often libeled corrupt).
J.J. Senturia: Penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan untuk keuntungan pribadi(the
misuse of public power for private profit).
4
Syed Husein Alatas: Tindakan yang meliputi penyuapan (bribery), pemerasan (extortion)
dan nepotisme.
Transparency International: Penyalahgunaan kekuasaan (a misuse of power),
kekuasaan yang dipercayakan (a power that is entrusted), dan keuntungan pribadi (a
private benefit) baik sebagai pribadi, anggota keluarga, maupun kerabat dekat lainnya.
Korupsi terjadi di semua negara di dunia, namun korupsi bukan merupakan masalah budaya.
Korupsi merupakan masalah yang berkaitan dengan sistem perekonomian dan kelembagaan.
Sistem dimaksud yang meningkatkan manfaat atau keuntung-an korupsi memiliki ciri-ciri :
1. Individu pejabat mempunyai kekuasaan yang mutlak atas pengambilan keputusan;
2. Pejabat yang bersangkutan mempunyai kelonggaran wewenang yang besar;
3. Mereka tidak perlu mempertanggungjawabkan tindakan mereka;
4. Mereka beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat keterbukaannya.
Korupsi Indonesia di Mata Dunia
Indeks Persepsi Korupsi / IPK (Corruption Perceptions Index / CPI) adalah indeks mengenai
persepsi korupsi di suatu negara. Indeks ini diumumkan setiap tahun oleh Transparency
International (TI) yang berbasis di Berlin, berdiri pada tahun 1993 adalah organisasi non
pemerintah bertugas untuk mengawasi korupsi perusahaan dan politik.
Data terakhir yang dirilis TI adalah hasil kajian tahun 2012, yang meliputi 176 negara.
Skor CPI / IPK Indonesia 32 dari 100, menempatkan Indonesia pada peringkat 118 secara
global, setara dengan beberapa negara, yaitu Republik Dominika, Ekuador, Mesir, dan
Madagaskar.
Untuk kawasan Asia Tenggara : Singapura (87); Brunei Darussalam (55); Malaysia (49);
Thailand (37); Filipina (34); Timor Leste (33); Indonesia (32).
Peringkat CPI secara global di urutan lima tertinggi diduduki oleh Denmark (90); Finlandia (90);
Selandia Baru (90); Swedia (88); dan Singapura (87).
Kemudian lima negara dengan skor CPI terendah adalah Somalia (8); Korea Utara (8);
Afghanistan (8); Sudan (13); dan Myanmar (15).
Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
Beberapa unsur tindakan korupsi, yaitu:
5
1. Adanya tindakan yang melanggar norma-norma Tindakan yang melanggar norma-
norma itu dapat berupa norma agama, etika, maupun hukum.
2. Adanya tindakan yang merugikan negara atau masyarakat secara langsung maupun
tidak langsung Tindakan yang merugikan negara atau masyarakat dapat berupa
penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang maupun penggunaan
kesempatan yang ada, sehingga merugikan keuangan negara, fasilitas maupun
pengaruh dari negara.
3. Adanya tujuan untuk keuntungan pribadi atau golongan Hal ini berarti mengabaikan rasa
kasih sayang dan tolong-menolong dalam bermasyarakat demi kepentingan pribadi atau
golongan. Keuntungan pribadi atau golongan dapat berupa uang, harta kekayaan,
fasilitas-fasilitas negara atau masyarakat dan dapat pula mendapatkan pengaruh.
Tingkatan Korupsi :
1. Betrayal of trust ( Pengkhianatan kepercayaan )
Pengkhianatan merupakan bentuk korupsi paling sederhana. Amanat dapat berupa apapun,
baik materi maupun non materi. Contoh, anggota DPR yang tidak menyampaikan aspirasi
rakyat atau menggunakan aspirasi untuk kepentingan pribadi merupakan bentuk korupsi
2. Abuse of power ( Penyalahgunaan kekuasaan )
Abuse of power merupakan korupsi tingkat menengah dengan segala bentuk
penyimpangan yang dilakukan melalui struktur kekuasaan, baik pada tingkat negara
maupun lembaga-lembaga struktural lainnya, termasuk lembaga pendidikan, tanpa
mendapatkan keuntungan materi.
3. Material benefit ((Mendapatkan keuntungan material yang bukan haknya melalui
kekuasaan)
Penyimpangan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan material baik bagi dirinya
sendiri maupun orang lain. Korupsi pada level ini merupakan tingkat paling membahayakan
karena melibatkan kekuasaan dan keuntungan material
Bentuk-bentuk Kopursi :
1. Penyuapan (bribery)
Penyuapan (bribery) merupakan sebuah perbuatan kriminal yang melibatkan sejumlah
pemberian kepada seseorang dengan maksud agar penerima pemberian tersebut
6
mengubah perilaku sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan tugas dan
tanggungjawabnya. Sesuatu yang diberikan sebagai suap tidak harus berupa uang, tapi
bisa berupa barang berharga, rujukan, hak-hak istimewa, keuntungan ataupun janji yang
dapat dipakai untuk membujuk atau mempengaruhi tindakan, suara,atau pengaruh
seseorang dalam sebuah jabatan publik.
Namun,perlu dicatat bahwa penyuapan bersifat transaktif. Maksudnya pemberi suap dan
penerima suap sepakat melakukan tindakan penyuapan demi keuntungan kedua belah
pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua belah pihak.
Praktik penyuapan mudah dijumpai di jalan antar pengendara mobil atau motor dengan
seorang polisi lalu lintas misalnya. Seorang pengendara yang ditilang karena melanggar
rambu lalu lintas, atau tidak membawa surat izin mengemudi, atau karena alasan lain bisa
menyuap petugas agar terhindar dari pengadilan.
2. Penggelapan (embezzlement) dan pemalsuan/penggelembungan (fraud)
Penggelapan merupakan suatu bentuk korupsi yang melibatkan pencurian uang,
properti, atau barang berharga oleh seseorang yang diberi amanat untuk menjaga dan
mengurus uang, properti atau barang berharga tersebut.
Contoh-contoh Kasus Penggelapan dan Penggelembungan : Penggelapan uang di Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Sejumlah pejabat di sebuah BUMN diperiksa oleh Kejaksaan
Tinggi Banten karena terkait dugaan korupsi penyelewengan dana pengadaan barang dan
jasa. Kasus korupsi ini terkait dengan ditemukannya kejanggalan pada anggaran BUMN di
maksud.
Kejanggalan itu terdapat pada pelaksanaan dana kemasyarakatan berupa penanaman
pohon melinjo di Banten. Jaksa penuntut menyebutkan bahwa tidak ditemukan hamparan
melinjo di Banten. Padahal jumlah anggaran untuk proyek itu cukup besar,1,6 milyar,
seharusnya, luas hamparan melinjo tersebut mencapai 1.000 hektar. Bahkan, lokasi yang
disebut di banten Selatan juga tidak jelas persis seperti nama kampung, desa, kecamatan,
dan kabupaten yang dijadikan lahan dana kemasyarakatan.
3. Pemerasan (extortion)
Bentuk korupsi ini mengandung arti penggunaan ancaman kekerasan atau penampilan
informasi yang menghancurkan guna membujuk seseorang agar mau bekerjasama. Dalam
hal ini, pemangku jabatan dapat menjadi pemeras atau korban pemerasan.
7
Contoh-contoh kasus korupsi pemerasan
Pemerasan di Lembaga Peradilan. Di Lembaga peradilan, praktik korupsi tidak hanya
berbentuk penyuapan anatara hakim dan pengacara, tapi juga pemerasan. Misalnya saja,
seoerang oknum hakim bekerjasama dengan panitera terlibat kasus pemerasan terhadap
seorang saksi. Praktik korupsi seperti ini bisa diancam dengan empat tahun kurungan.
Pemerasan oleh polisi terhadap pengusaha. Misalnya, dengan dalih razia, oknum polisi bisa
meminta paksa uang kepada pengusaha gerai ponsel misalnya, seperti yang terjadi di
Kediri.
4. Gratifikasi
Gratifikasi atau hadiah merupakan salah satu tindak pidana korupsi dengan unsur
tindakan :
Hadiah tersebut disalahgunakan dan menjadi lahan subur “pemerasan” oknum
Hadiah berpengaruh pada perubahan kebijakan/keputusan atau tanggungjawab
penerima
Pemberi hadiah memiliki self interest untuk mengeruk keuntungan jangka panjang
30 Jenis Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang merumuskan 30 jenis atau bentuk tindak pidana korupsi yang terbagi dalam tujuh
kelompok. Tabel berikut meringkaskan ke 30 bentuk tindak pidana korupsi dan pengelompokannya.
NoKelompok Tipikor
Keterangan Pidana Penjara
Pidana Penjara(tahun) D/DA
Pidana Denda(juta rupiah)
Min Maks Min MaksKerugian Keuangan Negara
1 Pasal 2 Memperkaya Diri Seumur Hidup, Pidana Mati
4 20 D 200 1000
2 Pasal 3 Menyalahgunakan Wewenang
Seumur Hidup
1 20 DA 50 1000
Suap-Menyuap
8
3 Pasal 5, ayat (1) a
Menyuap Pegawai Negeri
1 5 DA 50 250
4 Pasal 5, ayat (1) b
Menyuap Pegawai Negeri
1 5 DA 50 250
5 Pasal 13 Memberi Hadiah kepada Pegawai Negeri
3 DA 150
6 Pasal 5, ayat (2)
Pegawai Negeri Menerima Suap
1 5 DA 50 250
7 Pasal 12, a Pegawai Negeri menerima suap
Seumur Hidup
4 20 D 200 1000
8 Pasal 12, b Pegawai Negeri menerima suap
Seumur Hidup
4 20 D 200 1000
9 Pasal 11 Pegawai Negeri menerima hadiah
1 5 DA 50 250
10 Pasal 6, ayat (1), a
Menyuap Hakim 3 15 D 150 750
11 Pasal 6, ayat (1), b
Menyuap advokat 3 15 D 150 750
12 Pasal 6, ayat (2)
Hakim dan Advokat menerima suap
3 15 D 150 750
13 Pasal 12, c Hakim menerima suap Seumur Hidup
4 20 D 200 1000
14 Pasal 12, d Advokat menerima suap
Seumur Hidup
4 20 D 200 1000
Penggelapan dalam Jabatan
15 Pasal 8 Pegawai Negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan
3 15 D 150 750
16 Pasal 9 Pegawai Negeri I memalsukan buku
1 5 D 50 250
17 Pasal 10, a Pegawai Negeri I merusakkan bukti
2 7 D 100 350
18 Pasal 10, b Pegawai Negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
2 7 D 100 350
19 Pasal 10, c Pegawai Negeri membantu orang lain merusakkan bukti
2 7 D 100 350
Perbuatan Pemerasan
9
20 Pasal 12, e Pegawai Negeri memeras
Seumur Hidup
4 20 D 200 1000
21 Pasal 12, g Pegawai Negeri memeras
Seumur Hidup
4 20 D 200 1000
22 Pasal 12, f Pegawai Negeri memeras
Seumur Hidup
4 20 D 200 1000
Perbuatan Curang
23 Pasal 7, ayat (1), a
Pemborong berbuat curang
2 7 DA 100 350
24 Pasal 7, ayat (1), b
Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
2 7 DA 100 350
25 Pasal 7, ayat (1), c
Rekanan TNI/Polri berbuat curang
2 7 DA 100 350
26 Pasal 7, ayat (1), d
Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang
2 7 DA 100 350
27 Pasal 7, ayat (2)
Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
2 7 DA 100 350
28 Pasal 12, h Pegawai Negeri menggunakan tanah Negara
Seumur Hidup
4 20 D 200 1000
Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
29 Pasal 12, i Pegawai Negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
Seumur Hidup
4 20 D 200 1000
Gratifikasi
30 Pasal 12B jo. 12C
Pegawai Negeri menerima gratifikasi dan tidak melapor ke KPK
Seumur Hidup
4 20 D 200 1000
Dalam table diatas terdapat kolom D-DA. Dalam kolom ini, tertulis D (yang berarti dan) atau DA
(yang berarti dan/atau). Kalau tertulis “dan” berarti kedua jenis pidana pokoknya (dalam hal ini,
pidana penjara dan pidana denda ) harus dijatuhkan bersama-sama. Penjatuhan dua jenis
pidana pokok ini secara berbarengan merupakan sistem kumulatif imperative. Sistem kumulatif
imperatif ini dikenakan pada tindak pidana korupsiyang paling berat.
10
Tindak Pidana Lain Berkaitan Dengan Tipikor
Selain ke-30 bentuk tindak pidana korupsi, Undang-Undang Tipikor Bab III mengatur
beberapa tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi berikut :
1. Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka,
terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi.
2. Tidak memberi keterangan atau memberi atau memberi keterangan yang tidak benar.
Dalam perkara korupsi, melanggar KUHP Pasal 220 (mengadukan perbuatan pidana, padahal
ia tahu perbuatan itu tidak dilakukan), Pasal 231 (menarik barang yang disita), Pasal 421
(pejabat menyalahgunakan kekuasaan, memaksa orang melakukan, tidak melakukan, atau
membiarkan sesuatu), Pasal 422 (pejabat menggunakan paksaan untuk memeras pengakuan
atau mendapat keterangan), Pasal 429 (pejabat melampaui kekuasaan....memaksa masuk ke
dalam rumah atau ruangan atau pekarangan tertutup... atau berada di situ secara melawan
hukum) atau Pasal 430 (pejabat melampaui kekuasaan menyuruh memperlihatkan kepadanya
atau merampas surat, kartu pos, barang atau paket...kabar lewat kawat
Beberapa Konsep Undang-Undang
Di bawah ini ada catatan mengenai beberapa konsep, baik yang secara umum dikenal dengan
KUHP dan KUHAP maupun yang khas untuk tindak pidana korupsi. Konsep-konsep itu adalah:
1. Alat bukti yang sah
2. Beban pembuktian terbalik
3. Gugatan perdata atas harta yang disembunyikan
4. Pemidanaan secara in absentia
5. “memperkaya” versus “menguntungkan”
6. Pidana mati
7. Nullum delictum
8. Concursus idealis
9. Concursus realis
10. Perbuatan berlanjut
11. “lepas dari tuntutan hokum” versus “bebas”
11
Alat Bukti yang Sah
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khususnya untuk tindak
pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disampaikan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas kerja, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam
secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Beban Pembuktian Terbalik
Di Indonesia, sistem pembalikan beban pembuktian dapat dilihat antara lain dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“”UU Tipikor”), tetapi yang diterapkan dalam
UU Tipikor adalah sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang.
Sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dijelaskan
dalam penjelasan UU Tipikor tersebut, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan
penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Jadi pada dasarnya, pembalikan beban pembuktian adalah peletakan beban pembuktian yang
tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa.
Gugatan Perdata atas Harta yang Disembunyikan
Dalam Undang-Undang diatur pula hak Negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap
harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dasar pemikiran ketentuan dalam
pasal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap perilaku tindak pidana
12
korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak
pidana korupsi.
Perampasan Harta Benda yang Disita
Ketentuan ini dapat dapat dilihat dalam pasal 38 ayat 5 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal terdakwa yang meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang
cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi maka hakim atau
tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.
Pemindanaan secara in Abesentia
Peradilan pidana secara in-absentia secara singkat adalah proses peradilan yang dilakukan
tanpa dihadiri oleh terdakwa sendiri, sejak mulai pemeriksaan sampai dijatuhkannya hukuman
oleh pengadilan.peradilan in-absensia dilakukan dalam keadaan yang khusus atau mendesak.
Dalam kasus tindak pidana korupsi, peradilan in-absensia ini dapat dilakukan apabila telah
terbukti ada kerugian keuangan negara namun orang-orang yang diduga melakukan tindak
pidana korupsi tidak dapat hadir di sidang pengadilan karena berbagai alasan. Terutama
apabila kerugian negara tersebut bernilai cukup besar. Tindak pidana korupsi sendiri
notabenenya dilakukan oleh pejabat negara, yang kemudian menggunakan berbagai alibi untuk
tidak menghadiri persidangan, sedangkan telah terbukti ada kerugian negara. Pengadilan tidak
dapat serta-merta tidak melakukan proses pemeriksaan karena terdakwa berhalangan hadir
atau menolak untuk hadir. Sehingga ditempuh upaya untuk melakukan pemeriksaan
persidangan secara in-absensia. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan keuangan negara
dan menanggulangi kerugian negara yang timbul dari tindak pidana tersebut.
“Memperkaya” versus “Menguntungkan”
Mengapa pembuktian “memperkaya” lebih sulit daripada “menguntungkan”? Memperkaya
bermakna adanya tambahan kekayaan. Menguntungkan bermakna keuntungan materiil
(tambahan kekayaan, uang, harta) dan immaterial (timbulnya goodwill, utang budi, dan lain-
lain).
Seorang pejabat menerima suap dari seorang pengusaha dan seluruh jumlah itu diberikan
kepada atasannya. Pejabat itu tidak memperkaya dirinya, tetapi tetap menguntungkan dirinya.
13
Dengan meneruskan seluruuh suap itu kepada atasannya, ia menguntungkan diri karena bisa
mendapatkan keistimewaan dalam bentuk kenaikan pangkat, jabatan, gaji, dst.
Pidana Mati
Seseorang dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal
2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat
dijadikan alasan pemberantasan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak
pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan
keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan krisis ekonomi
dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Nullum Delictum
Asas Legalitas berdasarkan adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ,
artinya tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Asas ini tampak dari bunyi
Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Asas ini menggarisbawahi bahwa tiada seorang pun yang dapat dipidana tanpa ada hukum
yang terlebih dahulu mengatur demikian. Asas yang merupakan ciri dari Eropa Kontinental ini
merupakan lawan dari asas retroaktif, yang artinya bahwa pemidanaan berlaku surut terhadap
kejahatan yang belum diatur secara hukum pada saat dilakukan.
Concursus Idealis
Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana.
Disebut juga sebagai gabungan berupa satu perbuatan yakni suatu perbuatan meliputi lebih
dari satu pasal ketentuan hukum pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam
concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat.
Concursus Realis
14
Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-
masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak
perlu berhubungan). Concursus realis diatur dalam Pasal 65-71 KUHP. Menurut ketentuan yang
termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan.
Perbuatan Berlanjut
Ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP menyatakan Jika antara beberapa perbuatan, meskipun
masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa
sehingga harus di pandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya dikenakan satu
aturan pidana, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat.
Secara teoritis dikatakan ada perbuatan berlanjut apabila ada seseorang melakukan beberapa
perbuatan, perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran dan
antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai perbuatan berlanjut.
“Lepas dari Tuntutan Hukum” versus “Bebas”
Menurut Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(“KUHAP”) tentang putusan bebas dan putusan lepas, sebagai berikut:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup
terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti
menurut ketentuan hukum acara pidana.
Peradilan Tipikor
15
A. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Penyelidikan dilakukan oleh Polisi
dan khusus TIPIKOR juga dilakukan oleh Jaksa
B. Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan dilakukan oleh Penyidik (polri, jaksa dan KPK)
C. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Penuntutan dilakukan oleh Jaksa penuntut Umum pada kejaksaan atau pada KPK
D. Peradilan (Proses Mengadili)
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus
perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Hakim adalah pejabat peradilan
negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
Tahap peradilan :
1. Peradilan Tingkat pertama Pada Pengadilan Negeri
2. Peradilan Banding pada Pengadilan Tinggi
3. Peradilan Kasasi pada Mahkamah Agung
Penyidikan pada Tindak Pidana Korupsi
1. Proses Penyelidikan
Proses Penyelidikan dimulai apabila terdapat laporan dari sesorang atau informasi yang
diterima oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK tentang adanya dugaan telah terjadinya
perbuatan yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara yang dilakukan secara
melawan hukum atau penyalahgunaan kekuasaan seorang pejabat, atau perbuatan curang
yang dilakukan pengusaha dan pemberian serta penerimaan gratifikasi oleh pejabat negara.
16
Berdasarkan laporan atau informasi yang diterima oleh Penyelidik maka, penyelidik
melakukan pengumpulan keterangan dan barang bukti. Untuk memastikan bahwa perbuatan
yang dilaporkan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan
kekuasaan atau perbuatan curang yang menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian
negara, atau perbuatan gratifikasi. Apabila penyelidik setelah mendapatkan keterangan dan
barang bukti beranggapan bahwa perbuatan merupakan perbuatan pidana korupsi, maka
pemeriksaan dilanjutkan pada tahap penyidikan namun apabila dugaan tersebut tidak didukung
oleh keterangan dan barang bukti maka kausus diberhentikan. Pada tahap ini belum ada orang
yang disangkakan sebagai pelaku. Mereka yang memberikan keterangan biasanya disebut
sebagai terperiksa. Oleh karena itu belum ada proses pemberian bantuan hukum
Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyelidik melaksanakan fungsi
penyelidikan tindak pidana korupsi.
Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup
adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Proses Penyidikan
Apabila penyidik berpendapat bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan tindak
pidana korupsi, maka tahapan selanjutnya adalah tahap untuk mengumpulkan alat bukti dan
menemukan tersangkanya. Agar tugasnya dapat dilaksanakan maka penyidik diberikan
wewenang, yaitu;
1) menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6) mengambil sidik jari dan memotret seorang;
7) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
9) mengadakan penghentian penyidikan;
10) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
17
Penyelidik dan penyidik mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada
umumnya di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia
diangkat sesuai dengan ketentuan undang-undang. Alat bukti yang harus dikumpulkan oleh
penyidik adalah minimal dua alat bukti diantara alat bukti seperti diatur di dalam Pasal 184
KUHAP, yaitu;
1) Alat bukti yang sah ialah:
Keterangan saksi;
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, kecuali disertai dengan suatu alat bukti yang
sah lainnya. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu
ada .hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh
dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-
sungguh memperhatikan
a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d) cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Keterangan ahli;
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Surat;
Surat yang dimaksud dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
Petunjuk;
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh
dari ;
a) keterangan saksi;
18
b) surat;
c) keterangan terdakwa.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Keterangan terdakwa.
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang
ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan
di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
3. Penuntutan
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili. Setelah menerima hasil penyidikan dan penyidik,
penuntut umum segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Jika
dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi
dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap
dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan
untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
4. Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan
1) Panggilan
19
Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan Secara sah, apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila
tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
2) Proses pemeriksaan di depan sidang Pengadilan Negeri
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:
a. tindak pidana korupsi;
b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi;
dan/atau
c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana
korupsi.
Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Di dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2012 menyatakan bahwa strategi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi (PPK) memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka
panjang (2012-2025) adalah: “terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan
didukung nilai budaya yang berintegritas”. Adapun untuk jangka menengah (2012-2014) bervisi
“terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas
pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang berintegritas”. Visi jangka panjang dan
menengah itu akan diwujudkan di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas,
masyarakat sipil, hingga dunia usaha.
Untuk mencapai visi tersebut, maka dirancang 6 strategi yaitu:
1. Pencegahan
Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung
dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat
kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya.
Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi
bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus
pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena
diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik 20
koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan
peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub
indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing
business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh,
maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan semakin baik.
a. Peningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam administrasi dan layanan publik
publik, pengelolaan keuangan negara, penanganan perkara berbasis teknologi informasi
(TI), serta pengadaan barang/jasa berbasis teknologi informasi TI di Pusat maupun
Daerah.
b. Peningkatan efektivitas sistem pengawasan dan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan keuangan negara, serta memasukkan nilai
integritas dalam sistem penilaian kinerjanya.
c. Peningkatan efektivitas pemberian izin terkait kegiatan usaha, ketenagakerjaan, dan
pertanahan yang bebas korupsi.
d. Peningkatan efektivitas pelayanan pajak dan bea cukai yang bebas korupsi.
e. Penguatan komitmen antikorupsi di semua elemen pemerintahan (eksekutif), yudikatif,
maupun legislatif.
f. Penerapan sistem seleksi/penempatan/promosi pejabat publik melalui asesmen
integritas (tax clearance, clearance atas transaksi keuangan, dll) dan pakta integritas.
g. Mekanisme penanganan keluhan/pengaduan antikorupsi secara nasional.
h. Peningkatan pengawasan internal dan eksternal, serta memasukkan nilai integritas ke
dalam sistem penilaian kinerja.
i. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan serta kinerja menuju
opini audit Wajar Tanpa Pengecualian dengan Kinerja Prima.
j. Pembenahan sistem kepemerintahan melalui Reformasi Birokrasi.
k. Pelaksanaan e-government.
2. Penegakan Hukum
Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi
masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara
21
adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya
tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat
terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring
ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik.
Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya
sendiri yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum. Belum lagi jika ada pihak-pihak
lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri,
keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal,
menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya.
Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan
hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu,
penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat.
Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan
Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses
penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor
hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks Penegakan
Hukum Tipikor, maka diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik.
Fokus-fokus kegiatan prioritas terkait perbaikan mekanisme penegakan hukum dalam
rangka meningkatkan trust masyarakat terhadap aparat dan lembaga penegak hukum adalah:
a. Memperkuat mekanisme kelembagaan dan kerjasama antar lembaga penegak hukum
dalam rangka mengoptimalkan proses penegakan hukum terhadap tipikor.
b. Memperkuat sarana pendukung berbasis teknoIogi informasi untuk koordinasi antar
lembaga penegak hukum dalam penanganan kasus dan proses peradilan(e-law
enforcement).
c. Penerapan zero tolerance pada tipikor dan sanksi hukum yang lebih tegas di semua
strata pemerintahan (eksekutif), legislatif, maupun yudikatif.
3. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Meratifikasi UNCAC atau Konvensi PBB Antikorupsi, adalah bukti konsistensi dari
komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai
konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat
sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru,
22
sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi
selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas
dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian
regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC. Semakin mendekati seratus persen,
maka peraturan perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia semakin lengkap dan sesuai dengan common practice yang terdapat pada negara-
negara lain.
Isu utama dalam menghadapi tumpang-tindih regulasi terkait upaya pemberantasan
korupsi adalah harmonisasi dan penyusunan peraturan perundang-undangan dalam rangka
implementasi UNCAC. Kegiatan berjangka panjang dalam strategi ini difokuskan pada:
a. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan sesuai dengan kebijakan
nasional dan kebutuhan daerah yang berhubungan dengan sumberdaya alam.
b. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan penyusunannya
dalam rangka modernisasi penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana.
c. Mekanisme monitoring dan evaluasi peraturan perundang-undangan terhadap
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan inkonsisten.
d. Melakukan pemetaan dan revisi peraturan perundang-undangan terkait proses
penegakan hukum, antara lain: perlindungan saksi dan justice collaborator (pelaku yang
bekerja sama), serta obstruction of justice (menghalangi proses hukum).
e. Harmonisasi berikut penyusunan peraturan perundang-undangan dalam rangka
implementasi UNCAC atau Konvensi PBB Antikorupsi dan peraturan pendukungnya
lainnya.
f. Penyederhanaan jumlah dan jenis perizinan dalam kapasitas Daerah.
g. Harmonisasi terhadap pengawasan atas pelaksanaan regulasi terkait pelimpahan
kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
4. Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor
Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar
negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara
langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan perundang-undangan Indonesia belum
mengatur pelaksanaandari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih
23
terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus
korupsi (confiscation without a criminal conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh
pengelolaan aset negara yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari
aset hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini
diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan
pengadilan dan persentase tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait
pelaksanaan permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan
Ekstradisi. Semakin tinggi pengembalian aset ke kas negara dan keberhasilan kerjasama
internasional, khususnya dibidang tipikor, maka strategi ini diyakini berjalan dengan baik.
Pengembalian asset hasil tipikor penting di dalam rangkaian pemberantasan korupsi.
Dalam rangka meningkatkan persentase pengembalian aset dan kerugian negara, maka
kegiatan berjangka panjang dalam strategi ini difokuskan pada kegiatan:
a. Optimalisasi kelembagaan dalam rangka pelaksanaan Mutual Legal Assistance (MLA)
dengan fokus pada pemantapan Otoritas Pusat di Kementerian Hukum dan Hak Azasi
Manusia dalam proses penyelamatan aset, kerja sama internasional, serta pelaksanaan
ekstradisi.
b. Penataan lembaga pengelola aset hasil korupsi dengan mempertimbangkan kebutuhan
nasional dan internasional.
c. Pelatihan dan bantuan teknis di antara lembaga penegak hukum dalam rangka
penyelamatan aset hasil korupsi.
d. Sosialisasi peraturan perundang-undangan kepada aparat penegak hukum berkenaan
dengan penyelamatan aset berikut implementasinya.
e. Peningkatan kerjasama internasional dengan negara-negara lain dalam Mutual Legal
Assistance (MLA) dan ekstradisi.
5. Pendidikan dan Budaya Antikorupsi
Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif dari Pemerintah
beserta segenap pemangku kepentingan. Wujudnya, bisa berupa upaya menanamkan nilai
budaya integritas yang dilaksanakan secara kolektif dan sistematis, baik melalui aktivitas
pendidikan anti korupsi dan internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan publik maupun
swasta. Dengan kesamaan cara pandang pada setiap individu di seluruh Indonesia bahwa
korupsi itu jahat, dan pada akhirnya para individu tersebut berperilaku aktif mendorong 24
terwujudnya tata-kepemerintahan yang bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan prakarsa-
prakarsa positif bagi upaya PPK pada khususnya, serta perbaikan tata-kepemerintahan pada
umumnya. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku Antikorupsi
yang ada dikalangan tata-kepemerintahan maupun individu di seluruh Indonesia. Semakin
tinggi angka indeks ini, maka diyakini nilai budaya anti korupsi semakin terinternalisasi dan
mewujud dalam perilaku nyata setiap individu untuk memerangi tipikor.
Dengan persamaan cara pandang bahwa korupsi sangat merugikan masyarakat dan
setiap manusia Indonesia, diharapkan akan muncul perbaikan-perbaikan. Pendidikan dan
internalisasi budaya antikorupsi di segenap lapisan masyarakat merupakan salah satu cari
untuk menyamakan cara pandang tersebut. Kegiatan berjangka panjang dalam strategi ini
difokuskan pada:
a. Pengembangan sistem nilai dan sikap antikorupsi dalam berbagai aktivitas kehidupan di
masyarakat, sektor swasta, dan aparat pemerintah.
b. Pengembangan dan penerapan nilai-nilai antikorupsi, kejujuran, keterbukaan, dan
integritas di berbagai aktivitas di sekolah, perguruan tinggi dan lingkup sosial dalam
rangka menciptakan karakter bangsa yang berintegritas.
c. Kampanye antikorupsi secara menyeluruh dan terencana.
d. Memperluas ruang partisipasi masyarakat.
6. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi
Strategi yang mengedepankan penguatan mekanisme di internal Kementerian/
Lembaga, swasta, dan masyarakat, tentu akan memperlancar aliran data/ informasi terkait
progres pelaksanaan ketentuan UNCAC. Konsolidasi dan publikasi Informasi di berbagai media,
baik elektronik maupuncetak, termasuk webportal PPK, akan mempermudah pengaksesan dan
pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan pengukuran kinerja PPK. Keterbukaan
dalam pelaporan kegiatan PPK akan memudahkan para pemangku kepentingan berpartisipasi
aktif mengawal segenap upaya yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga publik maupun sektor
swasta. Keberhasilannya diukur berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku kepentingan
terhadap laporan PPK. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan, maka
harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses penyusunan kebijakan
dan penilaian progres PPK dapat semakin terpenuhi sehingga upaya PPK dapat dikawal secara
berkesinambungan dan tepat sasaran.
25
Kegiatan pelaporan dalam melaksanakan PPK dan ketentuan UNCAC perlu difokuskan
pada usaha-usaha beserta capaiannya yang telah, tengah, dan akan dilakukan pelbagai
elemen terkait. Kegiatan itu, khususnya adalah aksi-aksi yang berdampak langsung dan
signifikan bagi perbaikan IPK serta sejalan dengan ketentuan UNCAC. Media publikasinya perlu
dipilih dengan mempertimbangkan kemudahan akses para pihak dalam menilai dan menyusun
kebijakan PPK. Guna kelancaran pasokan informasi, pelaporan, dan publikasinya, kegiatan
pelaporan akan difokuskan pada:.
a. Penyusunan dan penerapan standar informasi, dokumentasi, dan pelaporan para pihak
terkait, khususnya sistem pelaporan yang berbasis teknologi informasi.
b. Mekanisme pelaporan pencegahan dan pemberantasan korupsi nasional secara
terpadu.
c. Keterbukaan dan komunikasi upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi,
serta partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
pelaporan.
d. Pengawasan dan pelaksanaan implementasi UU 14/2008 (Keterbukaan Informasi
Publik), termasuk mekanisme verifikasi dan klarifikasi dalam pelaksanaan pencegahan
dan pemberantasan korupsi.
e. Perluasan akses informasi menyangkut pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
korupsi.
Analisis Kasus
Asal Mula Kasus Hambalang
Proyek Hambalang dimulai sekitar tahun 2003. Proyek yang dikabarkan ada dugaan korupsi
seperti ‘nyanyian’ M. Nazaruddin ini ditargetkan selesai akhir tahun 2012 ini.
Proyek pusat olahraga di Hambalang, Bogor- Jawa Barat menjadi sorotan, apalagi dua
bangunan di sana ambruk karena tanahnya ambles. Secara kronologi, proyek ini bermula pada
Oktober Tahun 2009. Saat itu Kemenpora (Kementerian Pemuda dan Olah Raga) menilai perlu
ada Pusat Pendidikan Latihan dan Sekolah Olah Raga pada tingkat nasional.
Maka, Kemenpora memandang perlu melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan proyek
pusat pendidikan pelatihan dan sekolah olahraga nasional di Hambalang, Bogor. Selain itu juga
untuk mengimplementasikan UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
26
Pada 20 Januari 2010, sertifikat hak pakai nomor 60 terbit atas nama Kemenpora dengan luas
tanah 312.448 meter persegi.
Pada 30 Desember 2010, terbit Keputusan Bupati Bogor nomor 641/003.21/00910/BPT 2010
yang berisi Izin Mendirikan Bangunan untuk Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi
Olahraga Nasional atas nama Kemenpora di desa Hambalang, Kecamatan Citeureup- Bogor.
Lanjutan pembangunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional
mulai dilaksanakan tahun 2010 dan direncanakan selesai tahun 2012. Untuk membangun
semua fasilitas dan prasarana sesuai dengan master plan yang telah disempurnakan, anggaran
mencapai Rp 1,75 triliun. Ini sudah termasuk bangunan sport science, asrama atlet senior,
lapangan menembak, extreme sport, panggung terbuka, dan voli pasir.Ini berdasarkan hasil
perhitungan konsultan perencana.
Sejak tahun 2009-2010 Kementerian Keuangan dan DPR menyetujui alokasi anggaran sebagai
berikut :
A). APBN murni 2010 sebesar Rp 125 miliar yang telah diajukan pada tahun 2009
B). APBNP 2010 sebesar Rp 150 miliar
C). Pagu definitif APBN murni 2011 sebesar Rp 400 miliar
Pada 6 Desember 2010 keluar surat persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenkeu RI nomor
S-553/MK.2/2010. Pekerjaan pembangunan direncanakan selesai 31 Desember 2012.
Penerimaan siswa baru diharapkan akan dilaksanakan tahun 2013-2014.
Berikut kronologi pembangunan proyek Hambalang dari tahun ke tahun :
Tahun 2003-2004
Pada tahun itu, masih di Direktorat Jenderal (Ditjen) Olahraga Depdikbud. Proyek ini
digelontorkan pada tahun itu sesuai dengan kebutuhan akan pusat pendidikan dan pelatihan
olahraga yang bertaraf internasional. Selain itu untuk menambah fasilitas olahraga selain
Ragunan.
Pada tahun itu direkomendasikan 3 wilayah yaitu Hambalang Bogor, Desa Karang Pawitan, dan
Cariuk Bogor. Akhirnya yang dipilih Hambalang.
Tahun 2004
27
Dilakukan pembayaran para penggarap lahan di lokasi tersebut dan sudah dibangun masjid,
asrama, lapangan sepakbola dan pagar.
Tahun 2004-2009
Proyek di Ditjen Olahraga Kemendikbud dipindahkan di Kemenpora. Lalu dilaksanakan
pengurusan sertifikat tanah Hambalang tapi tidak selesai.
Tahun 2005
Datang studi geologi oleh konsultan pekerjaan di lokasi Hambalang.
Tahun 2006
Dianggarkan pembuatan maket dan masterplan. Dari rencana awalnya pusat peningkatan
olahraga nasional, menjadi pusat untuk atlet nasional dan atlet elite.
Tahun 2007
Diusulkan perubahan nama dari Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Nasional menjadi Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional.
Tahun 2009
Diajukan anggaran pembangunan dan mendapat alokasi sebesar Rp 125 miliar, tapi tidak dapat
dicairkan (dibintangi) karena surat tanah Hambalang belum selesai.
Tahun 2010
Pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat Keputusan Kepala BPN RI Nomor 1/ HP/ BPN
RI/2010, tentang Pemberian Hak Pakai atas nama Kemenpora atas tanah di Kabupaten Bogor-
Jawa Barat dan berdasarkan Surat Keputusan tersebut, kemudian pada tanggal 20 Januari
diterbitkan sertifikat hak pakai nomor 60 atas nama Kemenpora dengan luas tanah 312.448 m2.
Lalu pada 30 Desember 2010 keluar izin pendirian bangunan.
Lalu pada 2010 juga ada perubahan lagi yakni penambahan fasilitas sarana dan prasarana
antara lain bangunan sport sains, asrama atlet senior, lapangan menembak, ekstrem sport,
panggung terbuka dan volley pasir dengan dibutuhkan anggaran Rp 1,75 triliun.
Lalu sejak 2009-2010 sudah dikeluarkan anggaran total Rp 675 miliar. Lalu 6 Desember 2010
keluar surat kontrak tahun jamak dari Kemenkeu untuk pembangunan proyek sebesar Rp 1,75
triliun dan pengajuan pembelian alat- alat membengkak menjadi Rp 2,5 Triliun.
Tahun 201228
31 Desember 2012 pekerjaan direncanakan selesai. Lalu penerimaan siswa baru direncanakan
pada 2013-2014.
Awal mula proyek Hambalang menjadi kasus publik adalah setelah keluarnya Sertifikat
Hambalang Nomor 60 tanggal 20 Januari 2010, dimana pada Rapat Kerja Menpora dengan
Komisi X DPR RI, Menpora mengajukan pencabutan bintang (anggaran Rp 125 Miliar) dan
mengusulkan peningkatan program penambahan sarana dan prasarana sport centre dll,
sehingga mengajukan anggaran menjadi Rp 1,75 Triliun.
Bahkan usulan tambahan pembelian alat- alat menjadi proyek Hambalang membutuhkan dana
sampai Rp 2,5 triliun.
Yang sungguh menjadi tanda tanya besar adalah, proses perubahan besarnya anggaran dari
Rp 125 Miliar menjadi Rp 1,75 Triliun bahkan berkembang menjadi Rp 2,5 Triliun tidak melalui
tahapan- tahapan yang semestinya, dimana dalam pembahasannya seharusnya mengikut-
sertakan seluruh anggota Komisi X DPR RI.
Laporan Hasil Pemeriksaan atas Kasus Hambalang
Pada tanggal 23 Agustus 2013 Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menyerahkan Laporan
Hasil Pemeriksaan (LHP) Tahap II kepada ke aparat penegak hukum seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai dasar penyelidikan dugaan korupsi di kasus
Hambalang.
Laporan hasil investigasi ini terkait proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga
Nasional (P3 SON) di Desa Hambalang, Citeureup, Bogor, tahun anggaran 2010 dan 2011.
Dari LHP Tahap II ini merupakan kelanjutan dari LHP Tahap I dimana dalam LHP Tahap I, BPK
menyebutkan adanya dugaan kerugian negara mencapai Rp243 miliar.
Dalam LHP tahap II ini BPK kembali menemukan adanya penyimpangan dalam proses
pengajuan dan keruan negara mencapai Rp471 miliar.
BPK menilai adanya dugaan penyimpangan terhadap peraturan perundangan dan atau
penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan kontrak tahun jaman, dalam proses
lelang dalam pelaksnaaan pekerjaan konstruksi dan dalam proses pencairan uang muka yang
dilakukan oleh pihak terkait dalam proyek Pusat Pendidiakn Pelatihan dan Sekolah Olahraga
Nasional (P3 SON), Hambalang.
Berikut kesimpulan LHP tahap II BPK soal Hambalang;
29
1. Bahwa permohonan persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenpora kepada Menteri
Keuangan atas proyek pembangunan P3 SON Hambalang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku, sehingga selayaknya
permohonan tersebut tidak dapat disetujui Menteri Keuangan.
2. Bahwa pihak-pihak terkait secara bersama-sama diduga telah melakukan rekayasa
pelelangan untuk memenangkan rekanan tertentu dalam proses pemilihan rekanan
pelaksana proyek pembangunan P3 SON Hambalang.
3. Bahwa pihak Kemenpora selaku pemilik proyek tidak pernah melakukan studi amdal maupun
menyusun DELH (Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup) terhadap proyek pembangunan P3
SON Hambalang sebagaimana yang diamanatkan UU Lingkungan Hidup. Persyaratan
adanya studi amdal terlebih dahulu sebelum mengajukan izin lokasi, site plan, dan IMB
kepada Pemkab Bogor tidak pernah dipenuhi oleh Kemenpora.
30
PENUTUP
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang
diresmikan, dan sebagainya.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
2. Perbuatan melawan hukum;
3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena
jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dari uraian pengertian dapat disimpulkan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi sangat luas
dan mengakar. Adapun akibat dari korupsi adalah sebagai berikut:
1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah;
2. Berkurannya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat;
3. Menyusutnya pendapatan Negara;
4. Rapuhnya keamanan dan ketahanan Negara;
5. Perusakan mental pribadi;
31
6. Hukum tidak lagi dihormati.
DAFTAR PUSTAKA
Tuanakotta, Theodorus M, Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, Edisi 2, Jakarta : Salemba Empat, 2012
http://seputarnusantara.com/?p=13559http://nasional.news.viva.co.id/news/read/363930-asal-mula-mega-proyek-hambalang
http://nasional.inilah.com/read/detail/2022328/inilah-hasil-audit-tahap-ii-bpk-soal-hambalang#.Uot6sHDwlQg
http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/
http://doonukuneke.wordpress.com/2008/02/19/nullum-delictum/
http://panglimaw1.blogspot.com/2010/08/concursus-idealis-dan-concursus-realis.html
http://lammarasi-sihaloho.blogspot.com/2011/04/perbuatan-berlanjut-voortgezette.html
http://farhad88.wordpress.com/2013/04/22/pengertian-korupsi-dan-unsur-unsur-korupsi/
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFcQFjAG&url=http%3A%2F%2Fbengkulu.kemenag.go.id%2Ffile%2Ffile%2FDokumen%2Fhfib1349588837.pptx&ei=PE6MUumXDIr8rAfqvICYCA&usg=AFQjCNHb8E1uMKcU9NpvJaLPP3oIuItheQ&sig2=3dgaN-WLdpUc7RXdIYUtrw&bvm=bv.56753253,d.bmk
http://kakakung.blogspot.com/2010/06/tingkatan-korupsi.html
http://www.emakalah.com/2013/04/bentuk-bentuk-korupsi.html
http://acch.kpk.go.id/6-strategi-pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi
32