Post on 02-Feb-2018
118
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM)
DAN UPAYA PERWUJUDAN MASYARAKAT MADANI:
KAJIAN ATAS PELAKSANAAN PNPM DI
KELURAHAN KAPUK, KECAMATAN CENGKARENG
Ricca Anggraeni, Rifkiyati Bachri, Endra Wijaya
Fakultas Hukum Universitas Pancasila
Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, 12640.
Telp. (021) 7872830, Faks.78880008.
E-mail: cha2_khan@yahoo.com
ABSTRAK:
PNPM merupakan program nasional yang pada intinya bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan yang melibatkan
masyarakat. Secara yuridis, PNPM ini mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional
dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemerintahan daerah, perencanaan pembangunan,
keuangan negara, serta penanggulangan kemiskinan. Selain itu, secara filosofis, PNPM juga memiliki landasan yang
jelas di dalam falsafah Negara Indonesia, yaitu Pancasila, khususnya sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Secara prinsip, PNPM terkait erat dengan upaya untuk mewujudkan masyarakat madani di Indonesia.
Dilihat dari usianya, maka PNPM ini sebenarnya sudah cukup lama berjalan. Namun demikian, masih ada beberapa
hal yang patut untuk dipertanyakan atau dikritisi sehubungan dengan pelaksanaan PMPM tersebut, dan hal inilah
yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah berikut. Pembahasan dalam makalah ini berasal dari
penelitian pelaksanaan PNPM di wilayah Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng (sebagai contohnya).
Penelitian menyimpulkan bahwa pelaksanaan PNPM di wilayah tersebut belum berjalan secara efektif.
Kata kunci: pemberdayaan, partisipasi masyarakat, masyarakat madani.
1. PENDAHULUAN: LATAR BELAKANG DAN
POKOK PERMASALAHAN
Pembangunan Negara Indonesia (pem-
bangunan nasional) pada hakikatnya merupakan
pembangunan yang dilakukan secara menyeluruh
oleh dan terhadap masyarakat serta bangsa Indonesia
dalam berbagai bidang kehidupan, baik spiritual
maupun material, yang meliputi bidang ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan
keamanan.
Tujuan yang hendak dicapai dalam pem-
bangunan nasional secara eksplisit telah dirumuskan
di dalam alinea ke-4, Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945), yaitu untuk: melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, men-
cerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam tataran yang lebih konkret, khu-
susnya tujuan memajukan kesejahteraan umum
tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam program-
program pembangunan yang diarahkan kepada
pembangunan masyarakat agar masyarakat ini
sejahtera, mandiri, terbebas dari kemiskinan, dan
secara sosial menjadi masyarakat yang hubungan
antaranggotanya kuat (Jimly Asshiddiqie, 2010).
Dan terkait dengan hal tersebut di atas,
maka pada tahun 2006, Pemerintah Indonesia
menyetujui untuk menetapkan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat sebagai instrumen dalam
percepatan penanggulangan kemiskinan dan per-
luasan kesempatan kerja berbasis pemberdayaan
masyarakat. Tetapi, baru pada tahun 2007, Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia
<http://www.pnpm-mandiri.org>.
Secara garis besar, PNPM ini bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan dengan berbasis
pada pemberdayaan masyarakat. Untuk itu, dilaku-
kanlah serangkaian kegiatan untuk menanggulangi
kemiskinan dengan berbasis pada partisipasi masya-
rakat. Jadi, kegiatan ini tidak hanya mengandalkan
pembangunan secara fisik dengan penyediaan dan
perbaikan prasarana/sarana lingkungan pemukiman,
sosial ekonomi secara padat karya, tetapi juga secara
ekonomi dengan penyediaan sumber daya keuangan
melalui dana bergulir dan kredit mikro untuk me-
ngembangkan kegiatan ekonomi masyarakat miskin.
Dan yang paling penting juga ialah PNPM ini
ditujukan sebagai bagian dari program pembangunan
secara utuh untuk peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan peningkatan kapasitas masyarakat serta
pemerintah lokal. Kegiatan ini dilakukan hingga ke
level masyarakat yang paling bawah, baik di desa
maupun di kota.
Secara ideal, PNPM memang telah diran-
cang sebagai program yang di dalamnya Pemerintah
akan menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mem-
bangun dan memberdayakan masyarakat yang
menjadi sasaran PNPM, seperti fasilitas pendam-
pingan, pelatihan, serta dana Bantuan Langsung
untuk Masyarakat (BLM). Selain itu, secara ideal
juga diharapkan bahwa di dalam proses pelaksanaan
PNPM ini ada keterlibatan aktif masyarakat dalam
setiap tahapan kegiatan PNPM. Yang disebut terakhir
ini ialah unsur partisipatif di dalam PNPM, yang
tujuannya agar kegiatan PNPM tidak salah sasaran
dan tetap dapat membuat masyarakat menjadi
mandiri.
119
Dari perspektif ilmu hukum, khususnya
hukum tata negara, unsur partisipatif yang hadir
dalam perumusan dan pelaksanaan suatu kebijakan
merupakan salah satu syarat penting agar kebijakan
itu menjadi efektif berlaku di masyarakat. Hal ini
sejalan dengan pendapat Yuliandri, Guru Besar Ilmu
Perundang-Undangan dari Universitas Andalas, yang
menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) pilar dari per-
aturan perundang-undangan yang berkelanjutan,
yaitu adanya naskah akademis, partisipasi publik, dan
kesesuaian materi muatan dengan persyaratan
pembentukan perundang-undangan (Yuliandri,
2009).
Dari penjelasan tersebut, maka dapat dipa-
hami bahwa sebenarnya PNPM memiliki keterkaitan
yang erat dengan proses perwujudan masyarakat
madani (civil society). Unsur partisipasi masyarakat
yang terdapat di dalam PNPM tidak lain ialah
perwujudan dari unsur free public sphere, demo-
kratisasi dan partisipasi sosial pada konsep ma-
syarakat madani (Juniarso Ridwan dan Achmad
Sodik Sudrajat, 2009). Dengan demikian, apabila
PNPM ini dilaksanakan secara benar atau ideal, maka
sesunguhnya melalui PNPM ini dapat diwujudkan
konsep masyarakat madani dalam konteks yang
nyata.
Namun demikian, yang patut untuk diper-
tanyakan kemudian ialah: apakah PNPM ini sudah
dapat berjalan sesuai dengan harapannya yang ideal?
Atau, dengan kata lain, apakah PNPM sudah dapat
mencapai dan mewujudkan apa yang menjadi tujuan
dibentuknya PNPM? Dan, apakah pelaksanaan
PNPM yang ada sekarang sudah dapat berkontribusi
secara positif bagi upaya perwujudan masyarakat
madani?
Pertanyaan tersebut menjadi penting untuk
dibahas dan dijawab setidaknya karena: Pertama,
untuk melihat kesesuaian antara konsep normatif
PNPM dan praktiknya di lapangan, sehingga ke-
mudian dapat dievaluasi apakah PNPM itu telah tepat
sasaran dan berdaya guna atau tidak di masyarakat.
Ke dua, terkait dengan upaya mewujudkan ma-
syarakat madani, maka hasil pembahasan pertanyaan
tadi akan dapat menjadi pintu masuk untuk menilai
apakah masyarakat madani itu telah dapat
diupayakan perwujudannya secara maksimal atau
tidak melalui kegiatan PNPM.
2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam
kajian mengenai PNPM ini ialah metode penelitian
normatif dan empiris.
Metode penelitian hukum normatif mengacu
pada data sekunder (data kepustakaan), yang dalam
penelitian ini menggunakan data berupa bahan
hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mempunyai
kekuatan mengikat di masyarakat, seperti halnya
peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum
sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai bahan hukum
primer tadi, seperti halnya buku-buku dan makalah
dari para ahli hukum (Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, 2006).
Kemudian, metode penelitian hukum em-
piris pada penelitian ini mengacu pada pelaksanaan
PNPM di wilayah Kelurahan Kapuk, Kecamatan
Cengkareng, Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta (sebagai salah satu contohnya). Data em-
pirisnya dikumpulkan melalui metode pengamatan
dan wawancara kepada narasumber yang relevan
dengan pokok permasalahan penelitian.
Narasumber yang diwawancarai ialah
Sudarmoyo, Ketua TPP, RW 10, Kelurahan Kapuk,
Kecamatan Cengkareng, dan beberapa warga setem-
pat. Wawancara dilakukan beberapa kali pada awal
bulan Mei 2012.
3. PEMBAHASAN
3.1. Landasan Yuridis PNPM
Secara filosofis, dari perspektif falsafah
negara, apa yang dirumuskan di dalam PNPM se-
benarnya merupakan perwujudan pengamalan sila
ke-5 dari Pancasila. Sedangkan dari perspektif
konstitusi, PNPM mempunyai landasan pada be-
berapa pasal yang terdapat di dalam UUD 1945,
yaitu: Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat
(1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 31 ayat (5), Pasal 33
ayat (1), Pasal 33 ayat (4), Pasal 34 ayat (1), dan
Pasal 34 ayat (2).
Bahkan secara eksplisit Pasal 34 ayat (2) itu
dapat dipahami sebagai suatu bentuk jaminan
konstitusional pelaksanaan PNPM sebagai salah satu
program “kebijakan kesejahteraan” yang ditujukan
bagi masyarakat hingga di lapisan bawah (grass-
roots) (Jimly Asshiddiqie, 2002). Pasal 34 ayat (2)
menegaskan bahwa “Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan mem-
berdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” (huruf
miring dari penulis).
Pengaturan pasal-pasal tersebut di dalam
UUD 1945 telah memperlihatkan bahwa UUD 1945
itu sebenarnya bukanlah dokumen konstitusi politik
semata. Lebih dari itu, UUD 1945 juga merupakan
konstitusi ekonomi bagi bangsa dan Negara Indo-
nesia yang telah memilih sistem ekonomi kerakyatan
dalam mencapai perwujudan masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
(Jimly Asshiddiqie, 2010).
Lebih lanjut, landasan yuridis dari PNPM
dirumuskan lagi di dalam peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan sistem pemerintahan,
perencanaan, keuangan negara, dan kebijakan pe-
nanggulangan kemiskinan, sebagai berikut:
3.1.1. Sistem Pemerintahan
Dasar peraturan perundangan sistem peme-
rintahan yang digunakan ialah:
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 tentang Pemerintah Desa dan Per-
aturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005
tentang Kelurahan.
120
c. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005
tentang Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan.
3.1.2. Sistem Perencanaan
Dasar peraturan perundangan sistem pe-
rencanaan yang terkait ialah:
a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN).
b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Pan-
jang Nasional 2005-2025.
c. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Me-
nengah (RPJM) Nasional 2004-2009.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangun-
an.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
2007 tentang Tata Cara Penyusunan Ren-
cana Pembangunan Nasional.
f. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000
tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional.
3.1.3. Sistem Keuangan Negara
Dasar peraturan perundangan sistem ke-
uangan negara yang digunakan ialah:
a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara.
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 ten-
tang Perbendaharaan Negara.
c. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 ten-
tang Perimbangan Keuangan antara Pe-
merintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2005 tentang Hibah kepada Daerah.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006
tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman
dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
f. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa
Pemerintah.
g. Peraturan Menteri Perencanaan Pem-
bangunan Nasional/Kepala Bappenas
Nomor 005/MPPN/06/2006 tentang Tata
Cara Perencanaan dan Pengajuan Usulan
serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari
Pinjaman/Hibah Luar Negeri.
h. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
52/PMK.010/2006 tentang Tata Cara Pem-
berian Hibah kepada Daerah.
i. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
3.2. PNPM dan Upaya Perwujudan Masyarakat
Madani (Civil Society)
Terdapat beberapa prinsip dari PNPM, yai-
tu:
a. Bertumpu pada pembangunan manusia. Pe-
laksanaan PNPM senantiasa bertumpu pada
peningkatan harkat dan martabat manusia
seutuhnya.
b. Otonomi. Dalam pelaksanaan PNPM, ma-
syarakat memiliki kewenangan secara
mandiri untuk berpartisipasi dalam menen-
tukan dan mengelola kegiatan pembangunan
secara swakelola.
c. Desentralisasi. Kewenangan pengelolaan
kegiatan pembangunan sektoral dan ke-
wilayahan dilimpahkan kepada pemerintah
daerah atau masyarakat sesuai dengan
kapasitasnya.
d. Berorientasi pada masyarakat miskin.
Semua kegiatan yang dilaksanakan meng-
utamakan kepentingan dan kebutuhan
masyarakat miskin dan kelompok masya-
rakat yang kurang beruntung.
e. Partisipasi. Masyarakat terlibat secara aktif
dalam setiap proses pengambilan keputusan
pembangunan dan secara gotong-royong
menjalankan pembangunan.
f. Kesetaraan dan keadilan gender. Laki-laki
dan perempuan mempunyai kesetaraan
dalam perannya di setiap tahap pem-
bangunan dan dalam menikmati secara adil
manfaat kegiatan pembangunan.
g. Demokratis. Setiap pengambilan keputusan
pembangunan dilakukan secara musyarawah
dan mufakat dengan tetap berorientasi pada
kepentingan masyarakat miskin.
h. Transparansi dan Akuntabel. Masyarakat
harus memiliki akses yang memadai ter-
hadap segala informasi dan proses
pengambilan keputusan sehingga pengelola-
an kegiatan dapat dilaksanakan secara
terbuka dan dipertanggunggugatkan baik
secara moral, teknis, legal, maupun ad-
ministratif.
i. Prioritas. Pemerintah dan masyarakat harus
memprioritaskan pemenuhan kebutuhan
untuk pengentasan kemiskinan dengan men-
dayagunakan secara optimal berbagai sum-
ber daya yang terbatas.
j. Kolaborasi. Semua pihak yang ber-
kepentingan dalam penanggulangan ke-
miskinan didorong untuk mewujudkan kerja
sama dan sinergi antarpemangku kepen-
tingan dalam penanggulangan kemiskinan.
k. Keberlanjutan. Setiap pengambilan kepu-
tusan harus mempertimbangkan kepentingan
peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak
hanya saat ini tapi juga di masa depan
dengan tetap menjaga kelestarian ling-
kungan.
l. Sederhana. Semua aturan, mekanisme dan
prosedur dalam pelaksanaan PNPM harus
sederhana, fleksibel, mudah dipahami, dan
121
mudah dikelola, serta dapat dipertanggung-
jawabkan oleh masyarakat.
Satu hal yang jelas, dan ini eksplisit dapat
dilihat pada penggunaan isitilah “Pemberdayaan
Masyarakat” pada nama program, bahwa PNPM
tersebut sangat menekankan pada aspek pem-
berdayaan masyarakat dalam rangka untuk menye-
jahterakan masyarakat miskin.
Pemberdayaan (empowerment) dapat diarti-
kan sebagai pengembangan (perluasan) modal dan
kesempatan dari masyarakat kurang mampu (miskin)
untuk berpartisipasi di dalam, bernegosiasi dengan,
ikut mempengaruhi, mengontrol, dan meminta per-
tanggungjawaban kepada institusi-institusi tertentu
atas sesuatu (kebijakan) yang berdampak pada
kehidupan mereka (masyarakat tersebut) (Deepa
Narayan, ed., 2002).
4 (empat) elemen pokok dalam program
pemberdayaan ialah (Deepa Narayan, ed., 2002):
a. Access to information. Mengalirnya infor-
masi secara 2 (dua) arah, yaitu dari pe-
merintah ke masyarakat, dan dari masya-
rakat ke pemerintah merupakan hal yang
penting bagi penciptaan masyarakat yang
bertanggung jawab dan pemerintah yang
responsif serta akuntabel;
b. Inclusion (participation). Partisipasi ma-
syarakat memungkinkan untuk terwujudnya
dan berjalannya sebuah kebijakan yang
berbasiskan sumber daya dan kebutuhan
masyarakat tersebut;
c. Accountability. Pihak pemerintah harus
menjadikan diri mereka menjadi institusi
yang dapat dipertanggungjawabkan atas
segala kebijakan (keputusan) mereka yang
membawa dampak ke masyarakat.
d. Local organizational capacity. Hal ini
mengacu kepada keharusan adanya ke-
mampuan dari seluruh pihak untuk dapat
bekerja secara bersama-sama, meng-
organisasikan diri mereka dengan baik, dan
menggunakan secara tepat seluruh sumber
daya yang ada untuk memecahkan per-
masalahan bersama.
Dengan penekanan terhadap aspek pem-
berdayaan masyarakat, jika dilihat dari prinsip-
prinsip PNPM di atas, maka sebenarnya keseluruhan
prinsip tersebut sangat mendukung (sejalan dengan)
terciptanya masyarakat madani (civil society) yang
bercirikan: adanya kemandirian yang cukup tinggi
dari individu-individu dan kelompok-kelompok da-
lam masyarakat, adanya ruang publik bebas sebagai
wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari
warga negara melalui wacana dan praksis yang
berkaitan dengan kepentingan publik, dan adanya
kemampuan untuk membatasi kuasa negara agar dia
tidak intervensionis (Muhammad A.S. Hikam, 1996).
Konsep masyarakat madani tersebut me-
ngandung beberapa hal penting yang menjadi syarat
perwujudannya, yaitu (B. Hestu Cipto Handoyo,
2009 dan Ramlan Surbakti, 2009):
a. Free public sphere (ruang publik yang be-
bas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh
terhadap setiap kegiatan publik, berhak
untuk menyampaikan pendapat, berserikat,
berkumpul, serta mempublikasikan infor-
masi yang diketahuinya.
b. Demokratisasi, yaitu proses di mana para
anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat
dan mewujudkan kepentingan-kepentingan-
nya.
c. Toleransi, yaitu sikap saling menghargai dan
menghormati pendapat serta aktivitas yang
dilakukan oleh orang atau kelompok lain.
d. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan me-
nerima kenyataan masyarakat yang maje-
muk disertai dengan sikap tulus,
e. Social justice (keadilan sosial), yaitu ke-
seimbangan dan pembagian antara hak dan
kewajiban, serta tanggung jawab individu
terhadap lingkungannya.
f. Partisipasi publik, yaitu partisipasi masya-
rakat yang benar-benar bersih dari rekayasa,
intimidasi, ataupun intervensi penguasa.
g. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk mem-
berikan jaminan terciptanya keadilan me-
lalui perangkat hukum yang tegas dan
berkeadilan.
h. Adanya upaya pengembangan masyarakat
melalui peningkatan pendapatan dan pen-
didikan.
Oleh karena itu, apabila konsep masyarakat
madani ini ingin diwujudkan secara maksimal,
terutama dalam konteks kehidupan nyata masyarakat
di Indonesia, maka diperlukan sinergi antara seluruh
komponen bangsa, mulai dari pihak pemerintah,
masyarakat yang diberdayakan, bahkan dunia usaha.
Hal itu jelas sejalan pula dengan sistem ekonomi
kerakyatan sebagaimana yang diatur dalam UUD
1945 sebagai dokumen konstitusi ekonomi (Jimly
Asshiddiqie, 2010), dan yang pada akhirnya juga
telah dirumuskan di dalam pedoman (dasar hukum)
pelaksanaan PNPM.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
sebenarnya PNPM ini juga bisa berfungsi sebagai
salah satu sarana untuk mewujudkan masyarakat
madani di Indonesia.
3.3. Prosedur PNPM
Secara garis besar, prosedur PNPM meli-
puti:
a. Sosialisasi dan penyebaran informasi pro-
gram, baik secara langsung melalui forum
pertemuan maupun dengan memanfaatkan
media (saluran) informasi masyarakat di
berbagai tingkat pemerintahan.
b. Proses partisipatif pemetaan rumah tangga
miskin (RTM) dan pemetaan sosial.
Masyarakat diajak untuk bersama-sama
menentukan kriteria kurang mampu dan
bersama-sama pula menentukan rumah
tangga mana yang termasuk kategori miskin
atau sangat miskin. Masyarakat juga
difasilitasi untuk membuat peta sosial
desa/kelurahan dengan tujuan agar lebih
122
mengenal kondisi (situasi) sesungguhnya
desa/keluarahan mereka, yang berguna
untuk mengagas masa depan desa, peng-
galian gagasan untuk menentukan kegiatan
yang paling dibutuhkan, serta mendukung
pelaksanaan kegiatan pembangunan dan
pemantauannya.
c. Perencanaan partisipatif di tingkat dusun
(RT/RW), desa/kelurahan dan kecamatan.
Masyarakat memilih Fasilitator Desa/Kelu-
rahan atau Kader Pemberdayaan Masyarakat
Desa/Kelurahan (KPMD/K), satu laki-laki,
satu perempuan, untuk mendampingi proses
sosialisasi dan perencanaan. KPMD/K ini
kemudian mendapat peningkatan kapasitas
untuk menjalankan tugas dan fungsinya
dalam mengatur pertemuan kelompok,
termasuk pertemuan khusus perempuan,
untuk melakukan penggalian gagasan ber-
dasarkan potensi sumber daya alam dan
manusia di desa /kelurahan masing-masing,
untuk menggagas masa depan desa/kelu-
rahan.
d. Masyarakat kemudian bersama-sama mem-
bahas kebutuhan dan prioritas pembangunan
di desa/kelurahan dan bermusyawarah untuk
menentukan pilihan jenis kegiatan pem-
bangunan yang prioritas untuk didanai.
PNPM Mandiri menyediakan tenaga kon-
sultan pemberdayaan dan teknis di tingkat
kecamatan dan kabupaten guna mem-
fasilitasi atau membantu upaya sosialisasi,
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.
Usulan (gagasan) dari masyarakat akan
menjadi bahan penyusunan Rencana Pem-
bangunan Jangka Menengah (RPJM).
e. Seleksi kegiatan di tingkat desa/kelurahan
dan kecamatan. Masyarakat melakukan
musyawarah di tingkat desa/kelurahan dan
kecamatan untuk memutuskan usulan
kegiatan prioritas yang akan didanai.
Musyawarah ini terbuka bagi segenap
anggota masyarakat untuk menghadiri dan
memutuskan jenis kegiatan yang paling
prioritas (mendesak). Keputusan akhir me-
ngenai kegiatan yang akan didanai, diambil
dalam forum Musyawarah Antar-Desa/Ke-
lurahan (MAD/K) di tingkat kecamatan,
yang dihadiri oleh wakil-wakil dari setiap
desa/kelurahan dalam kecamatan yang
bersangkutan. Pilihan kegiatan adalah open
menu untuk semua investasi produktif,
kecuali yang tercantum dalam daftar la-
rangan (negative list). Dalam hal terdapat
usulan masyarakat yang belum terdanai,
maka usulan tersebut akan menjadi bahan
kajian dalam Forum Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD)
f. Masyarakat melaksanakan kegiatan mereka.
Dalam forum musyawarah, masyarakat
memilih anggotanya sendiri untuk menjadi
Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) di setiap
desa/kelurahan untuk mengelola kegiatan
yang diusulkan desa/kelurahan yang ber-
sangkutan dan mendapat prioritas pendana-
an program. Fasilitator Teknis PNPM
Mandiri akan mendampingi TPK dalam
mendesain sarana/prasarana (bila usulan
yang didanai berupa pembangunan infra-
struktur), penganggaran kegiatan, verifikasi
mutu dan supervisi. Para pekerja yang
terlibat dalam pembangunan sarana/pra-
sarana tersebut berasal dari warga desa/kelu-
rahan penerima manfaat
g. Akuntabilitas dan laporan perkembangan.
Selama pelaksanaan kegiatan, TPK harus
memberikan laporan perkembangan ke-
giatan minimal 2 (dua) kali dalam perte-
muan terbuka desa/kelurahan, yakni se-
belum program mencairkan dana tahap
berikutnya dan pada pertemuan akhir, di
mana TPK akan melakukan serah terima
kegiatan kepada desa/kelurahan, serta badan
operasional dan pemeliharaan kegiatan atau
Tim Pengelola dan Pemelihara Prasarana
(TP3).
3.4. Studi Kasus: Praktik PNPM di Kelurahan
Kapuk, Kecamatan Cengkareng
3.4.1. Kondisi Kelurahan Kapuk, Kecamatan
Cengkareng
Kapuk ialah salah satu kelurahan di Keca-
matan Cengkareng, Kota Jakarta Barat. Kelurahan ini
berbatasan dengan Kelurahan Kamal Muara, Pen-
jaringan dan Kelurahan Kapuk Muara, Penjaringan di
sebelah utara, Kelurahan Wijaya Kusuma, Grogol
Petamburan, dan Kelurahan Kedaung Kali Angke,
Cengkareng di sebelah timur, serta Kelurahan Ceng-
kareng Timur, Cengkareng di sebelah barat dan
selatan. Adapun luas wilayah Kelurahan Kapuk 723
ha., dengan jumlah penduduk 53.965 jiwa dan 18.887
kepala keluarga (KK). Kelurahan Kapuk ini terbagi
menjadi 16 Rukun Warga (RW) yang kemudian
terbagi lagi menjadi 125 Rukun Tetangga (RT).
Kapuk merupakan kelurahan di wilayah
Kecamatan Cengkareng dengan wilayah terluas dan
penduduk terpadat, namun sayang tingkat pendidikan
yang ada di wilayah itu belum tinggi. Kapuk juga
merupakan daerah yang terhitung banyak pemukiman
kumuhnya, rawan banjir, dan kebakaran.
3.4.2. Pelaksanaan PNPM
Jumlah dana PNPM yang diterima oleh RW
yang proposal kegiatannya disetujui sebesar Rp.
20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Setiap RW baru
akan mendapatkan dana PNPM itu setelah mengikuti
seluruh prosedur yang menjadi persyaratannya
PNPM.
Adapun prosedur pelaksanaan PNPM yang
harus dilakukan ialah masing-masing RT menyusun
proposal usulan mengenai kegiatan yang akan
diprioritaskan atau dibutuhkan oleh wilayah itu, tapi
sayangnya pengajuan kegiatan ini hanya terbatas
pada kegiatan fisik dan sosial, tanpa bidang ekonomi
karena, menurut keterangan dari narasumber yang
diwawancarai, di wilayah Kelurahan Kapuk ini telah
123
memiliki P2KP yang ditangani oleh Dewan Ke-
lurahan yang kini sudah berubah pula menjadi
koperasi. Koperasi inilah yang bergerak mengurusi
bidang ekonomi untuk wilayah kelurahan.
Kritik pelaksanaan PNPM di Kelurahan Ka-
puk, Kecamatan Cengkareng, setidaknya dapat di-
arahkan kepada hal-hal berikut ini:
Pertama, terdapat masalah dalam penentuan
prioritas rumah tangga miskin yang akan didanai.
Permasalahan ini sering kali menimbulkan salah
paham di level masyarakat (RT/RW), karena persepsi
dari masyarakat, setiap rumah tangga miskin yang
telah dipetakan pasti menerima dana PNPM.
Apabila ditelusuri pangkal permasalahan-
nya, hal tersebut terjadi karena tidak adanya indikator
untuk menentukan rumah tangga miskin yang men-
jadi prioritas. Dalam praktik, penentuan prioritas
hanya mengandalkan pertimbangan-pertimbangan
yang subjektif, dan ketiadaan indikator untuk
menentukan prioritas rumah tangga miskin ini
memperlihatkan kelemahan dari peraturan yang
menjadi acuan pelaksanaan PNPM.
Jika mengacu pada pendapatnya Yuliandri,
maka hal tersebut dapat terjadi dikarenakan kurang
adanya partisipasi aktif masyarakat dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan yang
menjadi pedoman pelaksanaan PNPM (Yuliandri,
2009). Hal itu kemudian menunjukkan pula bahwa
peraturan perundang-undangan yang menjadi pe-
doman PNPM tidak memiliki sifat berkelanjutan,
dalam arti berdaya laku dan berdaya guna di
masyarakat. Padahal sifat berkelanjutan ialah salah
satu asas dari kumpulan asas-asas pembentukan
peraturan yang baik yang harus dipenuhi dalam
perumusan setiap peraturan agar dapat berlaku efektif
di masyarakat.
Partisipasi masyarakat (partisipasi publik)
dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat,
baik secara individual maupun kelompok, secara
aktif dalam penentuan kebijakan publik atau per-
aturan perundang-undangan. Sebagai sebuah konsep
yang berkembang dalam sistem politik modern,
partisipasi merupakan ruang bagi masyarakat untuk
melakukan negosiasi dalam proses perumusan
kebijakan terutama yang berdampak langsung ter-
hadap kehidupan masyarakat tersebut (Saldi Isra,
2010).
Secara garis besar, partisipasi masyarakat
merupakan rangkaian proses yang berkelanjutan
(continuum) dari unsur-unsur berikut (James L.
Creighton, 2005):
a. Inform the public;
b. Listen to the public;
c. Engage in problem solving;
d. Develop agreements.
Kesemua rangkaian proses tersebut men-
dudukkan masyarakat sebagai unsur yang penting
dalam perumusan kebijakan. Jadi dengan demikian,
sebagaimana menurut Lothar Gundling, dalam kai-
tannya dengan perumusan dan implementasi suatu
kebijakan atau peraturan perundang-undangan, maka
proses partisipasi masyarakat tersebut sebenarnya
juga merupakan upaya bagi “democratizing decision-
making” (Saldi Isra, 2010). Hal inilah yang seharus-
nya diterapkan pada proses perumusan dan pe-
laksanaan PNPM.
Ke dua, tidak adanya kesesuaian antara
proposal yang diajukan dalam perencanaan dengan
pelaksanaan kegiatan di masyarakat. Hal ini menjadi
celah bagi masyarakat yang mendapatkan dana
PNPM untuk melakukan korupsi. Membudayanya
korupsi menjadikan masyarakat akhirnya terbiasa
untuk mencari keuntungan pribadi dari setiap pro-
gram pemerintah, sehingga apa yang seharusnya
dilaksanakan menjadi tidak dilaksanakan, atau
kalaupun dilaksanakan standarnya (kualitasnya)
dikurangi.
Ke tiga, PNPM yang dilaksanakan di Kelu-
rahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng juga masih
belum memperlihatkan adanya efektivitas dalam
pelaksanaan, ini disebabkan karena kurangnya
sosialisasi dan penyebaran informasi. Hal itu selan-
jutnya berimplikasi pada rendahnya partisipasi yang
seharusnya diperlukan dalam penentuan kriteria ku-
rang mampu dan penentuan rumah tangga yang
termasuk kategori miskin/sangat miskin (RTM), serta
dalam penggalian gagasan untuk menentukan ke-
giatan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat.
Sepertinya, program ini hanya menjadi “bagian” dari
orang-orang tertentu yang terlibat, bukan masyarakat
secara utuh.
Padahal jika kembali pada konsep pember-
dayaan masyarakat perihal sosialisasi dan penyebaran
informasi (access to information yang dipahami
sebagai mengalirnya informasi secara 2 (dua) arah)
merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
dalam setiap pogram yang berbasiskan pem-
berdayaan masyarakat. Kurangnya unsur (syarat)
access to information dapat mengakibatkan ter-
hambatnya upaya penciptaan masyarakat yang
bertanggung jawab dan pemerintah yang responsif
serta akuntabel.
Ke empat, dalam lingkup mikro (khusus di
wilayah yang menjadi locus objek penelitian), maka
upaya perwujudan masyarakat madani cenderung
akan menjadi terhambat karena ada beberapa syarat
perwujudan dari masyarakat madani tidak terpenuhi.
Hal tersebut setidaknya dapat dilihat pada fakta-fakta
di masyarakat di Kelurahan Kapuk, Kecamatan
Cengkareng yang tidak dilibatkan partisipasinya
secara utuh, kemudian masyarakat juga tidak menya-
dari apa yang menjadi hak dan kewajibannya, serta
mereka tidak memiliki akses yang memadai terhadap
segala informasi dan proses pengambilan keputusan
sehingga pengelolaan kegiatan dari PNPM tidak
dapat dilaksanakan secara terbuka dan diper-
tanggunggugatkan, baik secara moral, teknis, legal,
maupun administratif.
Ke lima, dana PNPM tidak pernah sampai
ke tangan masyarakat tepat pada waktunya. Bahkan
berdasarkan keterangan narasumber yang peneliti
wawancarai, dana PNPM yang ada tidak sepenuhnya
dapat digunakan untuk kegiatan prioritas, karena ada
keperluan administrasi dan prasarana lain, seperti
pembuatan papan nama, yang harus dipenuhi dengan
dana PNPM tersebut.
124
Ke enam, beberapa kritik yang telah di-
jelaskan di atas sebenarnya juga menyiratkan adanya
kelemahan dalam proses evaluasi terhadap pelak-
sanaan PNPM pada tingkat grassroots. Seperti
halnya pada fakta bahwa telah terjadi ketidaksesuaian
antara proposal yang diajukan dalam perencanaan
dengan pelaksanaan kegiatan di masyarakat. Di
dalam praktik, apabila ketidaksesuaian seperti itu
terjadi, maka sanksinya masih sangat lemah, yaitu
masih hanya berupa tidak diikutsertakan lagi pihak
yang bersangkutan pada PNPM periode berikutnya.
4. PENUTUP: SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diurai-
kan di atas, maka simpulan yang dapat diperoleh
ialah:
Pertama, PNPM jelas merupakan program
yang sebenarnya memiliki tujuan yang baik (ideal),
karena pada hakikatnya PNPM bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan dengan berbasis pada
pemberdayaan masyarakat. Hal yang demikian tentu
sangat sejalan dengan tujuan Negara Indonesia yang
salah satunya ialah memajukan kesejahteraan umum.
Demikian pula halnya dengan perangkat
peraturan perundang-undangan yang menjadi lan-
dasan yuridis pelaksanaan PNPM, Pemerintah Indo-
nesia (pihak eksekutif) dan pihak legislatif telah me-
nyiapkannya. Landasan dan pengaturan PNPM dapat
ditemukan mulai dari UUD 1945, undang-undang
bahkan sampai dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri.
Ke dua, dalam pelaksanaannya di lapangan,
praktik PNPM masih menemukan beberapa per-
soalan, di antaranya ialah tidak adanya indikator
penentuan prioritas rumah tangga miskin yang sering
kali menyebabkan kesalahpahaman di masyarakat,
dan tidak adanya kesesuaian antara proposal yang
diajukan dalam perencanaan dengan pelaksanaan
kegiatan di masyarakat.
Adanya beberapa kendala tersebut me-
nunjukkan ketidakefektifan pelaksanaan PNPM, dan
hal itu antara lain disebabkan karena kurangnya pe-
nerapan asas partisipasi masyarakat dalam program
tadi. Selain itu, yang juga menjadi masalah ialah
dana PNPM ternyata tidak pernah sampai ke tangan
masyarakat tepat pada waktunya, yang berakibat
pada tertundanya kegiatan yang harus dilaksanakan.
Ke tiga, dengan masih adanya beberapa
persoalan dalam praktik PNPM tersebut, maka se-
benarnya PNPM ini masih belum bisa secara mak-
simal menjadi sarana untuk mewujudkan masyarakat
madani di Indonesia. Padahal, idealnya PNPM
dengan segala prinsip pelaksanaannya dapat menjadi
salah satu jalan untuk menuju masyarakat madani,
karena antara PNPM dan konsep civil society jelas-
jelas memiliki prinsip yang sejalan.
Sehubungan dengan simpulan tersebut,
maka untuk waktu yang akan datang diperlukan
beberapa pembenahan pada pelaksanaan PNPM.
Langkah awal dapat dimulai dari mengintensifkan
sosialisasi mengenai PNPM yang tidak hanya ber-
henti pada level tertentu tetapi juga meliputi seluruh
lapisan masyarakat. Ketika sosialisasi berjalan
dengan baik diharapkan akan tercipta partisipasi dari
masyarakat secara maksimal, yang pada akhirnya
akan berdampak secara positif pula terhadap pelak-
sanaan PNPM.
Begitupun dengan mekanisme evaluasi pe-
laksanaan PNPM di tingkat grassroots, perlu dipikir-
kan mekanisme yang tepat agar pelaksanaan PNPM
itu sesuai dengan sasaran dan tidak justru malah
membuka peluang bagi terjadinya tindakan korupsi.
Untuk waktu yang akan datang, mungkin dapat pula
dipikirkan untuk mengaitkan setiap penyimpangan
yang terjadi dalam penggunaan dana PNPM yang
tidak sesuai dengan peruntukannya dengan tindak
pidana korupsi. * * *
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly (2002). Konsolidasi Naskah UUD
1945 Setelah Perubahan ke Empat.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
FHUI.
----------- (2010). Konstitusi Ekonomi. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Creighton, James L. (2005). The Public Participation
Handbook: Making Better Decisions
Through Citizen Involvement. San
Francisco: Jossey-Bass.
Handoyo, B. Hestu Cipto (2009). Hukum Tata
Negara Indonesia. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Hikam, Muhammad A.S. (1996). Demokrasi dan
Civil Society. LP3ES.
Isra, Saldi (2010). Pergeseran Fungsi Legislasi:
Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers.
Narayan, Deepa, ed. (2002). Empowerment and
Poverty Reduction: A Sourcebook.
Washington, D.C.: The World Bank.
Ramses, Andy dan La Bakry, ed. (2009). Politik dan
Pemerintahan Indonesia. Jakarta:
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia.
Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik Sudrajat
(2009). Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung:
Nuansa.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji (2006).
Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Yuliandri (2009). Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang
Berkelanjutan. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2009.
----------- (2009). “Yuliandri Tawarkan Sistem
Perundang-Undangan Berkelanjutan”.
<http://www.padangmedia.com/?mod=ber
ita&id=56327>, diakses pada tanggal 3
Mei 2012.
125
“Sejarah PNPM”. <http://www.pnpm-
mandiri.org/index.php?option=com_conte
nt&view=article&id=162&Itemid=301>,
diakses pada tanggal 3 Mei 2012.