Post on 30-Mar-2019
1
Problematika Arah Kiblat Dalam Tinjaun Fiqh1
oleh : Dr. Sopa AR, MA2
A. Pendahuluan
Menghadap kiblat itu termasuk salah satu syarat sahnya salat3. Apabila tidak
menghadap kiblat, salatnya tidak sah. Beberapa waktu yang lalu umat Islam digemparkan isu
bergesernya arah masjid-masjid di Negara kita akibat sering terkena gempa bumi. Kemudian
isu tersebut diperparah dengan adanya tawaran dari pihak tertentu yang menawarkan alat ke
masjid-masjid untuk dibeli. Pihak tersebut mengklaim bahwa pengukuran arah kiblat masjid-
masjid yang dilakukan selama ini tidak akurat. Yang akurat hanyalah pengukuran yang
menggunakan alat tersebut. Akibatnya, umat Islam menjadi resah karena khawatir salatnya
tidak sah akibat arah kiblatnya menjadi tidak akurat.
Kemudian umat bertanya kepada MUI. MUI harus menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Ia tidak boleh membiarkan umat dalam keadaan tidak tahu terus-menerus atau
dalam kebingungan karena hal itu akan membahayakan umat sebagai fihak mustafti baik
secara i’tiqadi maupun syar’i4. Meskipun demikian, mufti harus hati-hati dan bijak dalam
memberikan jawabannya. Ia tidak boleh tergesa-gesa memberikan jawaban sebelum
mengetahui hakekat persoalan yang ditanyakan umat. Di samping itu, ia juga harus
melakukan kajian yang mendalam menggunakan dalil-dalil syara’ mengerahkan segenap
kemampuan intelektualnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut (ijtihad).
Apabila tidak menggunakan dalil-dalil syara’ maka itu termasuk tahakkum yaitu “membuat-
1 Disampaikan dalam Semiloka Nasional “PROBLEMATIKA ARAH KIBLAT & WAKTU SHOLAT, URGENSI & SOSIALISASI” di Pesantren Tebuireng Jombang tanggal 12-14 Juli 2010
2 Penluis adalah anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, dosen FAI-UMJ dan Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon
3 Lihat Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 104-111; Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid 1, h. 80; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), Jilid 1, h. 758
4 Lihat “Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia” dalam bagian muqaddimah paragrfaf ke-4
2
buat hukum”5i yang harus dijauhi oleh seorang mufti sebagaimana telah diperingatkan oleh
Allah dalam surat An-Nahl [16] : 116.
Itulah yang melatarbelakangi MUI menyampaikan fatwa tentang kiblat. Fatwa
tersebut diharapkan dapat menghilangkan keresahan umat Islam berkaitan dengan kiblat.
Ternyata, fatwa tersebut belum berhasil menghilangkan keresahan karena salah satu butir
fatwanya yaitu butir ketiga menimbulkan masalah baru. Untuk mengatasi hal tersebut MUI
kemudian melakukan reveiuw terhadap fatwa yang telah dikeluarkannya. Makalah yang
sederhana ini mencoba membahas hal tersebut sehingga jelas duduk permasalahannya.
B. Perintah Menghadap Kiblat
Oleh karena menghadap kiblat itu berkaitan dengan ritual ibadah yakni salat, maka ia
baru boleh dilakukan setelah ada dalil yang menunjukkan bahwa menghadap kiblat itu wajib.
Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: “al-ashl fî al-‘ibâdah al-buthlân hattâ yaqûma al-
dalîl ‘alâ al-amr6, “hukum pokok dalam lapangan ibadah itu adalah bathal sampai ada dalil
yang memerintahkannya”. Ini berarti bahwa dalam lapangan ibadah, pada hakekatnya segala
perbuatan harus menunggu adanya perintah yang datangnya dari Allah dan rasul-Nya baik
melalui al-Qur’an maupun hadis Nabi saw.
Ada beberapa nash yang memerintahkan kita untuk menghadap kiblat dalam salat
baik nash al-Qur’an maupun Hadis. Adapun nash-nash al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1. Al-Baqarah [2] : 144 :
وحيث الحرام المسجد شطر وجهك فول ترضاها قبلة فلنولينك السماء في وجهك تقلب نرى قد
بغافل الله وما ربهم من الحق أنه ليعلمون الكتاب أوتوا الذين وإن شطره وجوهكم فولوا كنتم ما
يعملون عما
5 Lihat Ibrahim Hosen, Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : MUI, 2000), h. 2-36 Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1976)
cet. Ke-1, h. 43
3
Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya;
dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.
2. Al-Baqarah [2] : 149 dan 150.
عما بغافل الله وما ربك من للحق وإنه الحرام المسجد شطر وجهك فول خرجت حيث ومن
وجوهكم فولوا كنتم ما وحيث الحرام المسجد شطر وجهك فول خرجت حيث ومن تعملون
نعمتي وألتم واخشوني تخشوهم فال منهم ظلموا الذين إال حجة عليكم للناس يكون لئال شطره
تهتدون ولعلكم عليكم
Artinya : “Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.Dan dari mana saja kamu keluar, maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada,
maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu,
kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu, takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan ni`mat-Ku atasmu, dan supaya
kamu mendapat petunjuk”.
Dalam ayat-ayat tersebut Allah mengulang الحرام المسجد شطر وجهك dalam فول
firman-Nya sampai tiga kali. Menurut Ibn Abbas, pengulangan tersebut berfungsi sebagai
penegasan pentingnya menghadap kilbat (ta’kîd). Sementara itu, menurut Fakhruddin ar-
Razi, pengulangan tersebut menujukkan fungsi yang berbeda-beda. Pada ayat yang pertama
(al-Baqarah : 144) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang dapat melihat
ka’bah, sedangkan pada ayat yang kedua (al-Baqarah : 149) ungkapan tersebut ditujukan
4
kepada orang-orang yang berada di luar masjidil Haram. Sementara itu, pada ayat yang ketiga
(al-Baqarah : 150) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang berada di negeri-
negeri yang jauh7. Berdasarkan kedua pendapat tersebut jelaslah bahwa perintah menghadap
kiblat itu tidak hanya ditujukan pada mereka yang berada di Makkah dan sekitarnya, tetapi
juga bagi semua umat Islam di manapun mereka berada.
Adapun hadis-hadis Nabi saw. yang secara tegas menyebutkan kewajiban menghadap
kiblat pada saat salat adalah :
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim :
: . . : . . استقبل ثم الوضوء فاسبغ الصالة الى قمت اذا م ص النبى قال قال ع ر هريرة ابى عن
وكبر القبلة
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a. Nabi saw bersabda: bila hendak salat maka
sempurnakanlah wudu, lalu menghadaplah ke kiblat kemudian bertakbirlah”8.
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
نحو : عن يصلى كان م ص الله ل رسو ان قال رع مالك بن نس قد : ا فنزلت المقدس بيت
. رجل فمر الحرام المسجد شطر وجهك فول ترضاها قبلة فلنولينك السماء في وجهك تقلب نرى
ان اال فنادى ، ركعة صلوا وقد الفجر صالة فى ركوع وهم سلمة بنى فمالوا من حولت قد القبلة
القبلة نحو هم 9كما
Artinya : “ Dari Anas bin Malik r.a bahwa Rasulullah SAW (pada suatu hari) sedang salat
menghadap ke Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat “ Sungguh kami melihat mukamu
menengadah ke langit (sering melihat ke langit berdo’a agar turun wahyu yang
memerintahkan berpaling ke Baitullah). Sungguh kami palingkan mukamu ke kiblat yang
kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”. Kemudian ada orang dari Bani
7Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), Jilid I, h. 243 8 Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim ibn al-Mughirah bin Bardazbah al-Bukhary,
Shahih al-Bukhari, Jilid 1, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), h. 1109Imam Abi Husain Muslim bin Hujja ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Jami’us shahih, Juz 1,
(Beirut: Dar al-fikr,tth), h. 66
5
Salamah sedang melakukan ruku’pada salat fajar pada raka’at kedua. Lalu Nabi menyeru
“Ingatlah bahwa kiblat telah diubah”. Lalu, mereka berpaling ke arah kiblat (Baitullah).
Hadis yang pertama memperkuat perintah menghadap kiblat yang terdapat dalam al-
Qur’an sehingga hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang semakna berfungsi sebagai
bayan ta’kid. Lebih dari itu, hadis yang kedua lebih mengokohkan fungsinya sebagai bayan
ta’kid karena adanya perintah Nabi saw untuk membetulkan arah kiblat yang keliru10.
C. Pendapat Ulama
Bila pada masa Nabi Muhammad saw. kewajiban menghadap kiblat yakni Ka’bah itu
tidak banyak menimbulkan masalah karena umat Islam masih relatif sedikit dan kebanyakan
tinggal di seputar Mekkah sehingga mereka bisa melihat wujud Ka’bah. Berbeda halnya
dengan keadaan pasca Nabi saw. Saat itu, umat Islam sudah banyak jumlahnya dan tinggal
tersebar di berbagai belahan dunia yang jauh dari Mekkah. Apakah kewajiban menghadap
kiblat itu harus pada fisik ka’bah (‘ain al-ka’bah) atau cukup dengan arahnya saja ( jihah).
Para ulama sepakat bahwa bagi orang-orang yang dapat melihat ka’bah wajib
menghadap bangunan ka’bah (‘ain al-ka’bah) dengan penuh keyakinan. Sementara itu, bagi
mereka yang tidak dapat melihat ka’bah maka para ulama berbeda pendapat. Pertama,
Jumhur ulama selain Syafi’iyah berpendapat cukup dengan menghadap arah ka’bah (jihah al-
ka’bah). Adapun dalil yang dikemukakan oleh Jumhur adalah sabda Nabi saw yang
diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan al-Tirmidzi yang berbunyi :
ه رسول قال: قال هريرة أبي عن ه صلى الل م عليه الل بين ما وسل11قبلة والمغرب المشرق
10Kekeliruan yang terjadi pada masa Nabi saw tidak disebabkan oleh ketidakakuratan dalam penentuan arah kiblat, tetapi terjadi karena adanya perubahan arah kiblat berdasarkan perintah Allah dari masjid al-Aqsha di Yerussalam ke masjid al-Haram di Makkah.
11 At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Juz I, (Beirut : Dar al-Fikr, 2003), h. 363; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, (Beirut : Dar al-Fikr, 2004), h. 320; an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Juz IV, (Beirut : Dar al-Fikr, 1999), h. 175
6
“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullahsaw bersabda, Apa yang berada di antara Timur
dan Barat adalah Kiblat”.
Secara lahiriah hadis itu menunjukkan bahwa semua arah yang berada di antara
keduanya yaitu utara dan selatan termasuk kiblat. Sebab, bila diwajibkan menghadap fisik
ka’bah, maka tidak sah salatnya orang-orang yang berada dalam shaff yang sangat panjang
yang jauh dari ka’bah karena tidak bisa memastikan salatnya menghadap fisik ka’bah12.
Padahal umat Islam sudah sepakat bahwa salatnya orang-orang tersebut adalah sah karena
yang diwajibkan bagi mereka yang tidak dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke arah
ka’bah13.
Kedua, Syafi’iyah berpendapat bahwa diwajibkan bagi yang jauh dari Makkah untuk
menghadap ‘ain al-ka’bah karena menurut Syafi’I, orang yang mewajibkan menghadap
kiblat berarti mewajibkan pula untuk menghadap bangunan ka’bah seperti penduduk
Makkah14. Hal ini berdasarkan surat al-Baqarah : 150. Ayat tersebut mewajibkan kita untuk
menghadap ka’bah yang berarti wajib menghadap fisik ka’bah sebagaimana orang yang dapat
melihat ka’bah secara langsung15. Di samping itu, mereka juga menggunakan hadis Ibn
Abbas16 yang berbunyi :
يصل ولم ها كل نواحيه في دعا البيت م وسل عليه ه الل صلى بي الن دخل لما
القبلة هذه وقال الكعبة قبل في ركعتين ركع خرج فلما منه خرج ى حتKetika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam Ka'bah, beliau berdo'a di seluruh
sisinya dan tidak melakukan shalat hingga beliau keluar darinya. Beliau kemudian shalat
12 Lihat Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), Jilid 1, h. 758.; Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid 1, h. 80
13 Ibn Rusyd, ibid.14 An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid III, (Jaddah : Maktabah al-Irsyad, tth.), h. 202;
Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri ‘ala Syarh al-‘Allamah Ibn Qasim al-Ghazi, juz I, (tt. : Dar al-Fikr, tth.), h. 147
15 Al-Zuhaili, loc. cit..16 An-Nawawi, op. cit., h. 203
7
dua rakaat dengan memandang Ka'bah lalu bersabda: "Inilah kiblat."(HR. Bukhari dan
Muslim)
Apabila pendapat Syafi’iyah ini diikuti, maka umat akan mengalami kesulitan dalam
melaksanakan salat yang merupakan induk segala peribadatan dalam Islam (ummul ‘ibadah).
Sebab, umat akan mengalami kesulitan dalam memastikan akurasi arah kiblatnya karena
berbagai keterbatasan terutama ilmu pengetahuan. Padahal hal yang demikian itu tidak
dikehendaki oleh Allah swt sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya :
Artinya : “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (al-Hajj : 78)
Akibat lebih lanjut, umat Islam tidak dapat melaksanakan ibadah salat sesuai
ketentuan tersebut karena tidak dapat memenuhi salah satu syarat sahnya salat yaitu
menghadap kilbat. Ini berarti, Syari’ dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya telah memberikan
taklif yang tidak mampu dilakukan oleh mukallaf (taklîf mâlâ yuthâq). Hal ini tidak mungkin
terjadi. Oleh karena itu, pendapat Jumhurlah yang lebih kuat (rajih)17 dan dapat diamalkan.
Lalu, bagaimana kita mengetahui arah kiblat yang akurat sebagaimana dikehendaki
oleh nash-nash tersebut ? Ilmu pengetahuan dapat membantu untuk mengetahui apa yang
dikehendaki oleh nash itu dengan metode melihat fenomena alam dalam hal ini adalah
keadaan bumi yang bulat. Maka, sebagai implikasinya adalah ke manapun muka kita
dihadapkan akan bertemu juga dengan Ka’bah. Oleh karena itu, persoalannya apakah yang
dimaksudkan dengan arah itu (jihah) ?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “arah” itu mempunyai dua arti, yaitu
“menuju” dan “menghadap ke”18. Apabila arti arah tersebut digunakan dalam konteks ini,
maka menjadi relatiflah menghadap ke arah ka’bah itu karena dapat dilakukan dengan
17 Al-Zuhaili, op. cit., h. 758; Ali Mushtofa Ya’qub, Qiblah ash-Shalah bain al-Ka’bah wa al-Jihah, h. 15
18 Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 46
8
menghadap kedua arah yang berlawanan. Oleh karena itu, para ahli astronomi menggunakan
arah dalam pengertian jarak terdekat dari suatu tempat ke Mekah19 yang dapat diukur melalui
lingkaran besar.
Dengan bekal ilmu pengetahuan tersebut, umat Islam dapat mengetahui arah kiblatnya
secara lebih akurat. Sebab, menurut Malikiyah dan Syafi’iyah apabila terjadi kekeliruan
dalam arah kiblat yang diketahui pada saat sedang salat maka salatnya harus dibatalkan dan
diulangi lagi dengan menghadap ke arah kiblat yang diyakini kebenarannya. Demikian juga
apabila kekeliruan itu baru diketahui setelah salat selesai dikerjakan20. Salat tersebut harus
diulangi kembali (I’âdah). Mereka menganggap orang tersebut seperti seorang hakim yang
telah memutus perkara yang ternyata bertentangan dengan nash. Maka, hakim tersebut harus
meralat putusannya karena bertentangan dengan nash21.
Sementara itu, menurut Hanafiyah dan Hanabilah, orang yang mengetahui kekeliruan
arah kiblat di dalam salatnya tidak perlu membatalkan salatnya. Cukup baginya membetulkan
arah kiblat dengan metode memutar badannya ke arah kiblat yang diyakini kebenarannya
serta melanjutkan salatnya sampai selesai. Begitu juga bagi orang yang mengetahui
kekeliruan arah kiblatnya setelah selesai salat. Ia tidak perlu mengulang kembali salatnya.
Sebab, orang tersebut posisinya sama seperti mujtahid yang berijtihad dalam menentukan
arah kiblat22.
Oleh karena itu, dalam menentukan arah kiblat harus dilakukan dengan metode
mengerahkan segala kemampuan (ilmu pengetahuan) semaksimal mungkin sebagaimana
layaknya sebuah ijtihad. Atas dasar itu, Imam Syafi’I dalam kitabnya “al-Risâlah”
memberikan contoh aktifitas ijtihad adalah menentukan arah kiblat. Akibatnya, pekerjaan
19 Jan van den Brink dan marja Meeder, Kiblat Arah Tepat Menuju Mekah, disadur oleh Andi Hakim Nasoetion dari “Mekka”, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993), cetakan pertama, h. 2
20 Ibn Rusyd, op. cit., h. 81; 21 Wahbah al-Zuhaili, op. cit., h. 760-761; an-Nawawi, op. cit., h. 20622 Ibid., h. 761; Ibn Rusyd, loc. cit.; i
9
ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tetapi harus oleh ahlinya sehingga
menghasilkan arah kiblat yang akurat yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
D. Penetapan Fatwa MUI
Terdapat tiga pendekatan yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa dalam memberikan
fatwa yaitu pendekatan nash qath’î, qaulî, dan manhâjî. Pertama, pendekatan nash qath’î.
Inilah pendekatan yang pertama kali dipergunakan baik dengan cara merujuk kepada nash al-
Qur’an maupun as-Sunnah. Akan tetapi, pendekatan ini memiliki keterbatasan karena tidak
semua persoalan dapat dirujuk kepada nash. Sebab, jumlah nash itu tetap, sedangkan jumlah
dan jenis persoalan yang dihadapi terus bertambah dan berkembang23. Pendekatan ini
menghasilkan hukum-hukum yang qath’î yang oleh MUI disebut al-ahkâm al-qath’iyyât24,
sedangkan oleh Ibrahim Hosen disebut ahkâm manshûshah dalam arti hukum-hukum Islam
yang telah ditegaskan secara langsung oleh nash al-Qur’an atau al-Sunnah yang tidak
mengandung pentakwilan. Di samping itu, ia juga disebut ”syari’ah” atau ”mâ ’ulima min al-
dîn bi al-dlarûrah”. Hukum-hukum jenis ini kebenarannya bersifat pasti dan absolut. Oleh
karena itu, wajib diikuti apa adanya, tidak boleh ditambah atau dikurangi, dan berlaku
sepanjang zaman untuk seluruh umat manusia25.
Kedua, pendekatan qaulî yang dilakukan dengan cara merujuk kepada aqwâl ulama
yang terdapat dalam kitab-kitab yang muktabar (al-kutub al-mu’tabarah). Para ulama
terdahulu memang telah merespon persoalan-persoalan dengan aqwâl, af’âl, dan tasharruf
mereka. Pendekatan ini juga memilki keterbatasan karena terdapat kesenjangan antara kitab-
kitab yang muktabar yang ditulis oleh para ulama beberapa abad yang lalu dengan persoalan-
23 Lihat Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal Produk Makanan, Minuman, Obat, Kosmetika, dan Produk Lainnya”, Makalah, disampaikan dalam acara Pelatihan Auditor Halal, diselenggarakan oleh LPPOM MUI, di Jakarta, pada tanggal 6-7 April 2005, h. 12-17
24 Lihat Bab II Metode Penetapan Fatwa pasal 2 dalam M. Din Syamsuddin et. al., Pedoman Penyelenggaraan organisasi Majelis Ulama Indonesia, h. 181
25 Lihat Ibrahim Hosen, Mâ Huwa al-Maysir Apakah Judi Itu ? (Jakarta : Lembaga Kajian Ilmiah IIQ, 1987), h. 7
10
persoalan baru yang timbul dan terus berkembang26. Ketiga, pendekatan manhâjî dilakukan
dengan cara berijtihad mengikuti metodologi ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ulama
terdahulu apabila kedua pendekatan tersebut tidak dapat menyelesaikan persoalan yang
dihadapi27.
Pendekatan pertama dilakukan apabila dalam masalah yang dihadapi itu sudah
terdapat ketentuan hukum yang jelas baik dalam nash al-Qur’an atau as-Sunnah atau dalam
kedua-duanya. Apabila terdapat ketentuan hukumnya, maka hukum tersebut disampaikan apa
adanya karena masalah tersebut tidak termasuk lapangan ijtihad sehingga Komisi Fatwa
tidak perlu berijtihad dalam menetapkan status hukumnya28. Pendekatan tersebut belumlah
lengkap karena di samping nash yang qath’î juga terdapat nash yang zhannî baik dalam nash
al-Qur’an maupun al-Sunnah. Yang terakhir ini kebalikan dari yang pertama yaitu
menghasilkan hukum yang zhannî dan menjadi lapangan ijtihad sehingga oleh Ibrahim Hosen
disebut ”ijtihâdî”29. Oleh karena itu, semestinya pendekatan pertama tersebut adalah
”pendekatan nash” sehingga mencakup kedua nash baik yang qath’î maupun yang zhannî30.
Maka, pertama kali yang dilakukan oleh Komisi Fatwa dalam menetapkan suatu
hukum adalah dengan mencari ketentuan hukumnya dalam nash al-Qur’an. Apabila terdapat
ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an baik secara langsung berkaitan dengan masalah
tersebut atau secara umum, maka nash tersebut diambil sebagai dalil. Langkah selanjutnya
adalah mencari ketentuan hukumnya di dalam hadis-hadis Nabi SAW. Hal ini dilakukan
26 Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal Produk Makanan, Minuman, Obat, Kosmetika, dan Produk Lainnya”, h. 12-17
27 Lihat Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal Produk Makanan, Minuman, Obat, Kosmetika, dan Produk Lainnya”, h. 12-17
28 Lihat Ibrahim Hosen, Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : MUI, 2000), h.629 Lihat Ibrahim Hosen, Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 630 Pembagian nash pada yang qath’î dan zhannî itu kemudian dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu dari
segi datangnya (wurûd atau nuzûl) dan dari segi penujukkan maknanya (dalalâhnya). Dari segi wurûdnya nash itu terbagi dua, ada yang qath’î al-wurûd seperti al-Qur’an dan hadis Mutawâtir dan ada yang zhannî al-wurûd seperti hadis Ahâd. Dari segi dalalâhnya, nash itu terbagi dua, ada yang qath’î al-dalâlah dan zhannî al-dalâlah. Nash yang qath’î al- dalâlah adalah nash yang menunjuk pada makna tertentu secara tegas dan pasti sehingga tidak memungkinkan diberi makna lain. Sementara itu, nash yang zhannî al-dalâlah adalah kebalikannya yaitu nash yang menujuk pada suatu makna tetapi tidak secara tegas dan pasti sehingga masih dimungkinkan diberi makna lain. Untuk lebih jelasnya, lihat Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Juz I, h. 441-442
11
apabila tidak menemukan ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an. Di samping itu, langkah
ini juga dilakukan manakala sudah ditemukan ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an. Oleh
karena itu, langkah yang terakhir ini menghasilkan dua macam dalil yaitu dari nash al-
Qur’an dan dari hadis-hadis Nabi SAW. Kedua dalil tersebut dipergunakan karena keduanya
merupakan sumber utama hukum Syara’31.
Dalam kenyataannya, ternyata tidak semua fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI
disertai dengan dalil-dalil baik dari al-Qur’an maupun hadis-hadis nabi SAW32. Hal ini terjadi
karena dalam menyampaikan fatwa yang diutamakan adalah ketentuan hukumnya, sedangkan
penyertaan dalil-dalilnya dalam fatwa tersebut tidak menjadi suatu keharusan. Meskipun
demikian, hal tersebut tidak dapat difahami bahwa fatwa-fatwa tersebut tidak merujuk pada
al-Qur’an dan hadis. Sebab, sebelum fatwa-fatwa tersebut diputuskan terlebih dahulu
dilakukan pembahasan secara mendalam oleh para anggota Komisi Fatwa dalam suatu rapat
yang sengaja diagendakan untuk itu. Bila dipandang perlu, dalam rapat tersebut dilakukan
pembahasan terhadap makalah yang dibuat oleh salah seorang anggota Komisi Fatwa atau
pakar lain yang sengaja dimintakan makalahnya33.
Apabila tidak terdapat ketentuan hukumnya di dalam kedua nash tersebut, maka
ditempuhlah pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan qaulî. Pendekatan ini dilakukan
dengan cara merujuk kepada aqwâl para ulama yang terdapat dalam kitab-kitab yang
muktabar meskipun sampai saat ini Komisi Fatwa belum menetapkan kitab-kitab mana saja
yang dinilai muktabar atau paling tidak kriteria-kriterianya saja34.31 Demikianlah di antara ketetapan yang dihasilkan oleh Muktamar I Majma’ al-Buhuts al-Islâmiyyah
di Kaira tahun 1983. Lihat Nadiah Syarîf al-Umrî, al-Ijtihâd fî al-Islâm : Ushûluh, Ahkâmuh, Afâquh, (Beirût : Muassasah al-Risâlah, 2001), cet. ke-1, h. 264
32 seperti fatwa MUI tentang “Salat dan Puasa di Daerah yang Waktu dan Malamnya Tidak Seimbang”, ”Penentuan Awal Ramadlan, Awal Syawal / Idul Fitri dan Awal Dzulhijjah / Idul Adlha”, dan ”Ibadah Haji Hanya Sekali Seumur Hidup”. Untuk lebih jelasnya, lihat isi fatwa-fatwa tersebut dalam Lihat A. Nazri Adlani, et.al. (Tim Penyunting) , Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (MUI, 1997), h. 27, 41, 42
33 Lihat Bab IV Prosedur Rapat pasal 2 dalam M.Din Syamsuddin, et. al., Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h. 182
34 Menurut Imdadun Rahmat, di kalangan NU, kriteria yang digunakan untuk menentukan muktabar tidaknya suatu kitab adalah madzhab Syâfi’î. Apabila kitab itu dihasilkan oleh ulama dari lingkungan madzhab Syâfi’î maka dinilai sebagai kitab yang muktabar. Sebaliknya, apabila berasal dari luar madzhab Syâfi’î maka dinilai tidak muktabar. Dengan demikian, kriteria tersebut telah menutup peluang digunakannya kitab-kitab
12
Apabila dalam kitab-kitab tersebut terdapat satu pendapat atau beberapa pendapat
yang sama, maka diambillah pendapat tersebut untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Tentu saja hal itu baru dilakukan setelah dilakukan kajian yang seksama dan memadai
terhadap pendapat-pendapat tersebut berikut dalil-dalilnya35. Hal ini terjadi karena mereka
telah mengikatkan diri dengan madzhab-madzhab tersebut. Oleh karena itu, mereka
dipersyaratkan juga untuk meyakini pendapat madzhabnya itu sebagai pendapat yang paling
kuat (arjah)36. Langkah seperti ini mencerminkan bahwa Komisi Fatwa dalam aktifitas
ijtihadnya membatasi diri pada pendapat di lingkungan madzhab yang sudah ada
(bermadzhab secara qaulî) sehingga dimasukkan dalam ketegori ijtihâd fî al-madzhab37.
Akan tetapi, apabila terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama (ikhtilâf
al-‘ulamâ’), maka dicarilah titik temu di antara pendapat-pendapat tersebut (al-jam’u wa al-
taufîq). Untuk itu, diperlukan kajian sosial-historis dari para ulama tersebut guna memahami
latar belakang pendapat-pendapat mereka sehingga dapat menemukan ”benang merah” dari
pendapat-pendapat tersebut38. Apabila cara tersebut tidak berhasil, maka ditempuhlah metode
tarjîh yaitu menetapkan mana di antara pendapat-pendapat tersebut yang paling kuat dalilnya
(râjih).
Tarjîh dilakukan dengan pendekatan lintas madzhab (muqâranah al-madzâhib)
dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushûl al-Fiqh al-Muqâran39. Mereka bebas memilih dan yang berasal dari madzhab yang lain setidaknya dari lingkungan Ahlus Sunnah. Padahal dalam Anggaran Dasarnya NU telah menetapkan bermadzhab pada empat madzhab Ahlus Sunnah yaitu S Syâfi’î, Hanafî, Mâlikî dan Hambalî. Lebih dari itu, kriterianya lebih dipersempit lagi pada kitab-kitab yang lazim dipakai di lingkungan pondok pesantren. Untuk lebih jelasnya, lihat M.Imdadun Rahmat, “Catatan Editor : Tranformasi Fiqih untuk Transformasi Sosial”, dalam Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU : Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il, (Jakarta : LAKPESDAM, 2001), cet. ke1, h. vii
35Menurut M. Anwar Ibrahim, Ketua Komisi Fatwa, pembahasan tersebut meliputi ketentuan hukumnya, dalil-dalil yang dipergunakan berikut penalarannya (istimbat hukumnya). Lihat M. Anwar Ibrahim, “Pendalaman Fatwa”, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Auditor Halal Internal ”Sistem Jaminan Halal” tanggal 16-17 Oktober 2002 di Jakarta, h. 2; juga M.Din Syamsuddin, et. al., Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h. 181
36 Lihat al-Mahallî, Hâsyiyah al-‘Allâmah al-Bannânî ‘alâ Matn Jam’ al-Jawâmi’, Juz II, h. 40037 Helmi Karim, “Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum Islam”,
Disertasi Doktor Ilmu Agama Islam, (Jakarta : Perpustakaan Pascasarjana IAIN, 1993), h. 213, t.d.38 M.Anwar Ibrahim, “Pendalaman Fatwa”, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Auditor Halal
Internal ”Sistem Jaminan Halal” , h. 1-239 Lihat Bab III tentang Metode Penetapan fatwa pasal 1,2, dan 3; juga Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal
Produk Makanan”, h. 15-16
13
melakukan tarjîh terhadap pendapat-pendapat imam madzhab yang ada tanpa terikat pada
salah satu di antara mereka. Dengan demikian, Komisi Fatwa menempatkan diri dalam posisi
yang netral dengan cara tidak mengikatkan diri pada madzhab-madzhab yang sudah ada
sehingga langkah seperti ini dapat diketegorikan sebagai ijtihad tarjîh.
Berdasarkan tiga pendekatan tersebut, fatwa tentang kiblat dirumuskan. Pendekatan
nash dilakukan yang menghasilkan nash-nash al-Qur’an dan hadis Nabi saw sebagaimana
telah disebutkan di atas. Selanjutnya, dilakukan pendekatan qauli karena sebagian dari nash-
nash tersebut masih bersifat zhanni terutama yang menunjukkan posisi menghadap kiblat itu
mengadung ihtimal fisik ka’bah (’ain al-ka’bah) dan arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Oleh
karena, perlu dilakukan pendekatan qauli untuk mendapatkan ketegasan di antara dua ihtimal
kandungan nash tersebut. Ternyata, qaul ulama terpolarisasi ke dalam dua ihtimal tersebut.
Maka, perlu dilakukan tarjih untk mendapatkan pendapat yang rajih.
Berdasarkan tarjih yang dilakukan ternyata pendapat yang rajih adalah pendapat
Jumhur ulama yang menyatakan bagi umat Islam yang tidak melihat ka’bah kiblat salatnya
adalah arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Atas dasar itu, maka sudah tepat bunyi fatwa MUI pada
butir satu dan dua berikut ini :
1. Kiblat bagi orang yang salat dan dapat melihat ka’bah adalah bangunan Ka’bah
adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (’ain al-ka’bah).
2. Kiblat bagi orang yang salat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah
(jihah al-ka’bah)40.
Kedua diktum tersebut berkaitan dengan ijtihad istimbathi. Butir pertama sudah disepakati
oleh para ulama (ijma’) sehingga harus diikuti karena tidak termasuk lapangan ijtihad.
Sementara itu, butir kedua merupakan hasil tarjih karena terdapat perbedaan pendapat para
ulama (ikhtilaf al-’ulama’). Sebagai hasilnya, ada pendapat yang rajih dan ada yang marjuh.
40 Lihat Fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tanggal 1 Februari 2010
14
Dalam hal ini yang dipandang rajih adalah pendapat Jumhur ulama sehingga pendapat inilah
yang diikuti.
Sementara itu butir ketiga yang berbunyi : ”Letak Geografis Indonesia yang berada di
baian Timur ka’bah/Makkah maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah
Barat”41. Diktum keputusan ini menimbulkan masalah baru meskipun masih berada dalam
semangat ”jihah al-ka’bah” karena diktum ini merupakan ijtihad tathbiqi yang berisi aplikasi
hasil ijtihad pada dua diktum sebelumnya. Ternyata, arah Barat sebagai kiblat umat Islam
Indonesia tidak tepat karena arah tersebut akan menuju Afrika seperti Somalia Selatan,
Kenya dan Tanzania42.
Ada dua pertimbangan yang menjadi dasar diktum ketiga ini. Pertama, hadis riwayat
Tirmidzi dan Ibn Majah tersebut di atas. Lafazh ”ma” mencakup semua arah antara Timur
dan Barat yaitu Selatan termasuk kiblat bagi penduduk Madinah. Begitu juga dengan
Indonesia yang berada di sebelah Timur Ka’bah yang berarti kiblatnya menghadap ke Barat43.
Padahal dalam ”al-Muwaththa’” Imam Malik, matan hadis tersebut ada kelanjutannya yaitu
selama menghadap arah Ka’bah44. Oleh karena itu, hadis tersebut mestinya difahami secara
utuh, tidak parsial. Kedua, para ulama telah sepakat bahwa salat dalam barisan yang panjang
yang berada jauh dari ka’bah hukumnya tetap sah walaupun barisannya tetap lurus, tidak
melengkung45. Memang ini bisa dibenarkan karena barisan yang di belakang mengikuti
barisan di depannya yang menghadap arah kiblat sehingga salatnya tetap sah.
Meskipun demikian, tetap saja butir tersebut menimbulkan kesan bahwa fatwa
tersebut kurang ”menghargai” ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu Astronomi dan ilmu
Falak. Padahal kedua ilmu tersebut bersumber dari ayat Allah juga yang terdapat dalam
41 Fatwa MUI No. 3 Tahun 201042 Lihat A.Ghozalie Mesroeri, Arah Qiblat dari Indonesia, bahan rapat Komisi Fatwa MUI pada
tanggal 1 Juli 2010 di Jakarta43 Lihat Ali Mustofa Ya’qub, Qiblah ash-Shalah bain al-Ka’bah wa al-Jihah, makalah bahan rapat
Komisi Fatwa, h. 1044 Lihat Malik bin Anas, al-Muwaththa’, tahqiq asy-Syaikh Thaha ‘Abd ar-Rauf Sa’ad, (t.t. : t.p., 2003),
cet. Ke-1, h. 11345 Ali Mustofa Ya’qub, op. cit., h. 13
15
alam semesta (ayat kauniyah) yang hasilnya tidak perlu dipertentangkan dengan ilmu Fiqh
yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis Nabi saw (ayat Qur’aniyah). Baik ayat kauniyah
maupun ayat Qur’aniyah sumbernya sama yaitu Allah. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila
mempertentangkan antara keduanya atau mengabaikan salah satunya.
Yang ideal adalah menggunakan kedua ayat tersebut secara proporsional. Untuk
ijtihad istimbathi ayat Qur’aniyah yang digunakan dengan pendekatan Ushul Fiqh, sedangkan
untuk ijtihad tathbiqi tidaklah cukup apabila hanya menggunakan ayat Qur’aniyah. Akan
lebih akurat hasilnya apabila dibantu dengan ayat kauniyah yaitu menggunakan ilmu Falak
dan Astronomi.
Oleh karena itu, beberapa anggota Komisi fatwa menghendaki agar fatwa tersebut
direvieuw dan disempurnakan yang kemudian disetujui dalam rapat pleno. Sebab, secara
teoritis hal itu dimungkinkan. Bukankah hukum-hukum yang dirumuskan melalui ijtihad itu
memberi peluang untuk berubah. Hal ini sudah terbukti dalam sejarah hukum Islam (tarikh
at-tasyri’ al-islami) kita menyaksikan terjadinya perubahan hasil ijtihad Imam Syafi’I sebagai
“Bapak Ushul al-Fiqih” dari pendapat lamanya yang di rumuskan di Irak (qaul qadim /
madzhab qadim) berubah menjadi qaul jadid / madzhab jadid yang dirumuskannya ketika
tinggal di Mesir sampai akhir hayatnya46. Ia mengubah pendapat yang pernah dicetuskannya
di Irak (qaul qadim) sebanyak 100 masalah (qaul jadid)47.
Pendekatan yang digunakanpun tidak semata-mata murni ilmu Fiqh, tetapi juga
melibatkan sains dalam hal ini ilmu Falak dan Astronomi. Ternyata, hasilnya berbeda. Butir
kesatu dan kedua tetap dipertahankan karena tidak menimbulkan masalah, sedangkan butir
46 Lihat Ismail Thalibi, Imam Syafi’I Mujtahid Tradisional Yang Dinamis, (Jakarta : Kalam Mulia, 1993), cet. Ke-1
47 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang : Angkasa Raya, 1990), h. 108.
16
ketiga direvisi menjadi : ”kiblat umat Islam Indonesia menghadap ke Barat Laut dengan
tingkat kemiringan yang bervariasi sesuai dengan letak geografisnya”48.
Jelas diktum ini sesuai dengan hasil perhitungan ilmu Falak dan Astronomi karena
memang Indonesia tidak persis berada di sebelah Timur ka’bah. Oleh karena itu, arah
kiblatnya ke arah Barat Laut dengan tingkat kemiringan 20 derajat lebih sesuai dengan letak
geografisnya masing-masing. Dengan demikian, diktum ini masih bearada dalam ketentuan
arah ka’bah, hanya saja penentuan arahnya lebih akurat karena dibantu ilmu Falak dan
Astronomi.
Atas dasar itu, maka bunyi rekomendasi fatwa-pun berubah menjadi : masjid dan
mushalla yang arah kiblatnya tidak sesuai harus disesuaikan melalui shafnya tanpa merubah
bangunan fisiknya49. Inipun harus dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana sebagaimana
yang dilakukan oleh K.Arsyad Al-Banjari di masjid Luar Batang Jakarta. Sebab, perubahan
ini sangat sensitif. Bila pendekatan yang dilakukan tidak pas akan menimbulkan resistensi
seperti yang dialami oleh KH.Ahmad Dahlan di Yogyakarta50.
F. Penutup
Demikianlah makalah ini saya sampaikan, semoga bisa menjadi bahan diskusi yang
dapat memperkaya wawasan kita. Bila benar, datangnya dari Allah dan bila salah datangnya
dari saya pribadi.Wallah a’lam bishshawab.
G. Daftar Pustaka
48 Notulen Rapat Komisi Fatwa tanggal 1 Juli 201049 Ibid.50 Lihat M.Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan : Pemikiran dan Kepemimpinannya,
(Yogyakarta : MPKSDI PP Muhammadiyah, 2005), h. 54-59
17
Amin, Ma’ruf, “Fatwa Halal Produk Makanan, Minuman, Obat, Kosmetika, dan Produk Lainnya”, Makalah, disampaikan dalam acara Pelatihan Auditor Halal, diselenggarakan oleh LPPOM MUI, di Jakarta, pada tanggal 6-7 April 2005
Adlani, A. Nazri , et.al. (Tim Penyunting) , Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, MUI, 1997
Asrofie,M.Yusron, Kyai Haji Ahmad Dahlan : Pemikiran dan Kepemimpinannya,Yogyakarta : MPKSDI PP Muhammadiyah, 2005
Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri ‘ala Syarh al-‘Allamah Ibn Qasim al-Ghazi, juz I, tt. : Dar al-Fikr, tth.
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 1, Kairo: Dar al-Hadits, 2004
Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Hosen, Ibrahim, Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : MUI, 2000
-------, Mâ Huwa al-Maysir Apakah Judi Itu ? Jakarta : Lembaga Kajian Ilmiah IIQ, 1987
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, tth, Jilid 1
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Beirut : Dar al-Fikr, 1992, Jilid I
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, Beirut : Dar al-Fikr, 2004
Ibrahim, M. Anwar, “Pendalaman Fatwa”, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Auditor Halal Internal ”Sistem Jaminan Halal” tanggal 16-17 Oktober 2002 di Jakarta
Karim, Helmi, “Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum Islam”, Disertasi Doktor Ilmu Agama Islam, Jakarta : Perpustakaan Pascasarjana IAIN, 1993), t.d.
Al-Mahallî, Syams al-Dîn Muhammad bin Ahmad, selanjutnya al-Mahallî, Hâsyiyah al-‘Allâmah al-Bannânî ‘alâ Matn Jam’ al-Jawâmi’, t.t. : Dâr al-Fikr, 1982 Juz II,
Malik bin Anas, al-Muwaththa’, tahqiq asy-Syaikh Thaha ‘Abd ar-Rauf Sa’ad, t.t. : t.p., 2003, cet. Ke-1,
Masroeri, A.Ghozalie, Arah Qiblat dari Indonesia, bahan rapat Komisi Fatwa MUI pada tanggal 1 Juli 2010 di Jakarta
Muslim, al-Jami’ ash-Shahih, Juz 1,Beirut: Dar al-Fikr,tth.
An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Juz IV, Beirut : Dar al-Fikr, 1999
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid III, Jaddah : Maktabah al-Irsyad, tth.
18
Rahman, Asjmuni A., Qaidah-Qaidah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976, cet. Ke-1
Rahmat, M.Imdadun , “Catatan Editor : Tranformasi Fiqih untuk Transformasi Sosial”, dalam Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU : Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il, Jakarta : LAKPESDAM, 2001, cet. ke1,
Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983
Syamsuddin, M. Din, et. al., Pedoman Penyelenggaraan organisasi Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2001
Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, 1990
Thalibi, Ismail, Imam Syafi’I Mujtahid Tradisional Yang Dinamis, Jakarta : Kalam Mulia, 1993, cet. Ke-1
At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Juz I, Beirut : Dar al-Fikr, 2003
Al-Umrî, Nadiah Syarîf, al-Ijtihâd fî al-Islâm : Ushûluh, Ahkâmuh, Afâquh, Beirût : Muassasah al-Risâlah, 2001, cet. ke-1
Van den Brink, Jan, dan Marja Meeder, Kiblat Arah Tepat Menuju Mekah, disadur oleh Andi Hakim Nasoetion dari “Mekka”, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993, cet.ke-1
Ya’qub, Ali Mustofa, Qiblah ash-Shalah bain al-Ka’bah wa al-Jihah, makalah bahan rapat Komisi Fatwa tanggal 1 Februari 2010
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997, Jilid 1
-------, Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Beirût : Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1986, cet. ke-1, Juz ke-1,